UU Tenaga Kerja Tidak Menentukan Batas U

UU Tenaga Kerja Tidak Menentukan
Batas Usia Pensiun
Usia pensiun, kapan kita mulai memasuki usia pensiun? Apa Undang-Undang mengatur
mengenai batas usia pensiun bagi pekerja Indonesia? Gajimu membahas mengenai
peraturan batas usia pensiun.
Sebagai pekerja tentunya kita harus memikirkan rencana masa depan dikala kita
memasuki masa/usia pensiun. Akan tetapi, apakah Anda mengetahui kapan Anda
memasuki usia pensiun? Berapa batas usia pensiun? Mari kita tilik bersama mengenai
batas usia pensiun bagi pekerja di Indonesia.
Apakah ada perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai batas usia
pensiun?
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kapan saatnya
pensiun dan berapa Batas Usia Pensiun (BUP) untuk pekerja sektor swasta. Dalam
pasal 167 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa salah satu alasan pemutusan
hubungan kerja (PHK) adalah karena pekerja telah memasuki usia pensiun. Akan tetapi
tidak diatur secara jelas dan tegas pada usia berapa batas usia pensiun berlaku. Ketentuan
mengenai batas usia pensiun ditetapkan dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan
Perusahaan (PP)/ Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perundangan yang
berkaitan dengan masa pensiun menurut Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan.
Apabila tidak ada peraturan tegas dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, lalu
berapa batas usia pensiun yang rata-rata diterapkan oleh perusahaan?

Penentuan mengenai batas usia pensiun biasanya merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam perusahaan, atau berpedoman pada beberapa UU yang mengatur hak-hak
yang berkaitan dengan masa pensiun, seperti UU Jamsostek, UU mengenai Dana Pensiun
atau UU Kepegawaian serta UU mengenai profesi tertentu.
Contohnya pada pasal 14 ayat 1 UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja menyebutkan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) dibayarkan kepada tenaga yang telah
mencapai usia 55 tahun. Ketentuan tersebut merupakan saat timbulnya hak atas JHT yang
dapat dianalogikan sebagai saat mencapai batas usia pensiun.
Sama halnya dengan UU No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun yang menyebutkan
bahwa hak atas manfaat pensiun dengan catatan batas usia pensiun normal adalah 55
tahun dan batas usia pensiun wajib maksimum 60 tahun. Lagi-lagi ketentuan tersebut
dianalogikan sebagai batas usia pensiun bagi pekerja.
No

Nama Jabatan/
Golongan

1 PNS Umum
Ahli Peneliti dan
Peneliti

Guru Besar/
3
Professor
4 Dosen
2

5 Guru

Batas Usia
Pensiun (BUP)

Dasar Hukum

56

Pasal 3 ayat 2 PP No. 32 Th 1979 tentang
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, yang
diubah menjadi PP No. 65 tahun 2008

65


Pasal 1 PP No. 65 tahun 2008

65

Pasal 67 ayat 5 UU No.4 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen

65
60

Pasal 40 ayat 4 UU No.4 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen

6 POLRI
POLRI dengan
7
keahlian khusus
8 Perwira TNI
Bintara dan

9
Tantama

58

10 Jaksa

62

11
12
13
14
15
16

Eselon I dalam
jabatan Sruktural
Eselon II dalam
jabatan Struktural

Eselon I dlm
jabatan strategis
Pengawas Sekolah
Hakim Mahkamah
Pelayaran
Jabatan lain yang
ditentukan
Presiden

17 Pekerja/ Buruh

60
58
53

Pasal 30 ayat 2 UU No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 75 UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia
Pasal 12 UU No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

60
60

Pasal 1 PP Nomor 65 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas PP No.32 tahun 1979
tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

62
60
58
58

Pasal 1 PP Nomor 65 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas PP No.32 tahun 1979
tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

Berdasarkan
Pasal 154 UU No. 13 tentang Tenaga Kerja

PK, PP, PKB

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena memasuki usia pensiun. UU Ketenagakerjaan tidak menentukan batas usia
pensiun; melainkan ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.

Meski demikian, mengenai usia pensiun dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang
menetapkan usia pensiun yaitu 56 (lima puluh enam) tahun.
Usia pensiun ini dapat ditemukan dalam Pasal 15 PP 45/2015, sebagai berikut:

(1) Untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam)
tahun.
(2) Mulai 1 Januari 2019, Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun.
(3) Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya
bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya
sampai mencapai Usia Pensiun 65 (enam puluh lima) tahun.
(4) Dalam hal Peserta telah memasuki Usia Pensiun tetapi yang

bersangkutan tetap dipekerjakan, Peserta dapat memilih untuk
menerima Manfaat Pensiun pada saat mencapai Usia Pensiun atau
pada saat berhenti bekerja dengan ketentuan paling lama 3 (tiga)
tahun setelah Usia Pensiun.

Berdasarkan Pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), bahwa
“pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat (karena) kecelakaan
kerja dan (sudah) tidak dapat menjalankan pekerjaannya, setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan, dapat (mempunyai opsi) mengajukan PHK...”

Artinya, pengusaha tidak memiliki opsi PHK, kecuali melakukan perundingan (sesuai
Pasal 151 ayat [2] UUK) atau pekerja/buruh (:karyawan) PHK karena telah memasuki batas
usia pensiun ("BUP") yang disepakati/ditentukan oleh perusahaan*.
Untuk menyelesaikan permasalahan yang tidak/belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, jalan
terbaik yang dapat ditempuh (saat ini) adalah melakukan negosiasi (bargaining) dengan pihak
manajemen Perusahaan sesuai dengan Pasal 1338 jo Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan argumentasi dan atas budi baik (kebijakan) perusahaan.

Ketentuan (secara umum) mengenai BUP tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, hanya ada
beberapa jabatan tertentu –seperti guru/dosen- yang ditentukan UU yang bersangkutan. Oleh karena itu,

perusahaan wajib mengatur (menyepakati)-nya sebagai dasar untuk timbulnya hak pensiun. Dapat
juga disepakati untuk dilanjutkan (hubungan kerja) setelah batas waktu (BUP) yang ditentukan dengan
suatu alasan tertentu, misalnya karena sambil mencari pengganti karyawan yang bersangkutan atau dalam
rangka transfer of knowledge.

Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa uang pesangon adalah berbeda dengan uang penghargaan masa
kerja maupun uang penggantian hak. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang berbunyi, “dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.” Perhitungan pesangon lebih lanjut diatur dalam Pasal 156
ayat (2) UUK.

Sehingga, jika melihat pada bunyi ketentuan Pasal 167 ayat (3) UUK yang Anda
tanyakan, yaitu:
“Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar
oleh pengusaha.”
Maka, yang dimaksud dengan “uang pesangon” dalam Pasal 167 ayat (3) tersebut tidak
termasuk uang penghargaan masa kerja maupun uang penggantian hak.

Untuk memahami maksud dari Pasal 167 ayat (3) UUK tersebut, ada baiknya Anda
membaca keseluruhan dari pasal tersebut. Berikut kami jabarkan beberapa kondisi terkait
dengan pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak terhadap pekerja yang diputus hubungan kerjanya karena memasuki usia pensiun
sebagaimana diatur dalam Pasal 167 UUK:
1.

Bila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang

iurannya

dibayar

mendapatkan:-

penuh

oleh

pengusaha,


maka

pekerja/buruh

uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2);-

tidak

berhak

uang penghargaan masa kerja

sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).Tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).(lihat Pasal 167 ayat [1] UUK).

2. Bila besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima oleh pekerja sekaligus dalam
program pensiun yang didaftarkan oleh pengusaha ternyata lebih kecil daripada jumlah
uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha (lihat Pasal 167
ayat [2] UUK).
3.

Bila pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang
iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka pekerja/buruh tetap
dapat memperoleh uang pesangon dari selisih uang pensiun yang didapat dari premi/iuran
yang dibayarkan oleh pengusaha (lihat Pasal 167 ayat [3] UUK).

4.

Bila pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja/buruh:
-

uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2);

-

uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3); dan

-

uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(lihat Pasal 167 ayat [5] UUK).

Ketentuan terkait pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
terhadap pekerja yang diputus hubungan kerjanya karena memasuki usia pensiun ini juga dapat diatur lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (lihat Pasal 167 ayat [4]
UUK).

Jadi, pada prinsipnya pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena memasuki usia pensiun tetap
berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bila pengusaha tidak
mengikutsertakan

pekerja/buruh

yang

bersangkutan

pada

program

pensiun.

Bila

pengusaha

mengikutsertakan pekerja/buruh tersebut dalam program pensiun, maka yang menjadi hak pekerja/buruh
adalah sebagaimana telah kami paparkan di atas.