Etika dan Profesi Hukum Kode Etik Advoka

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai bagian dari elemen penegakan hukum, advokat tentu saja memegang
peranan penting dalam menegakkan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Advokat
berdasarkan yang tertulis dalam Anggaran Dasar Peradi bertanggung jawab untuk
menegakkan hukum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, melindungi hak asasi
manusia, meningkatkan kesadaran hukum, dan berperan memelopori pembaharuan
pembangunan dan pembentukan hukum demi terselenggaranya supremasi hukum.
Akan tetapi, kenyataannya para advokat seringkali tidak dapat menjunjung
tinggi idealisme dari profesi advokat itu sendiri. Hal itu bisa terjadi karena adanya
faktor di luar dirinya yang begitu kuat atau terkadang juga karena penghayatan advokat
yang bersangkutan terhadap esensi profesinya yang kurang.1 Pada prinsipnya, advokat
dapat memberikan layanan jasa yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu:2
1. Nasihat dalam bentuk lisan maupun tulisan terhadap permasalahan hukum yang
dihadapi klien, termasuk membantu merumuskan berbagai jenis dokumen
hukum. Dalam kategori ini advokat secara teliti, antara lain memberikan
penafsiran terhadap dokumen-dokumen hukum yang bersangkutan dalam

kaitannya

dengan

peraturan

perundang-undangan

Indonesia

ataupun

internasional.
2. Membantu melakukan negosiasi atau mediasi. Dalam hal ini advokat harus
memahami keinginan klien maupun pihak lawan, tugas utamanya adalah
mencapai penyelesaian yang memuaskan para pihak. Kadangkala advokat juga
diminta menilai bukti-bukti yang diajukan para pihak, tetapi tujuan utama di sini
adalah penyelesaian di luar pengadilan (settlement out of court).

1


Tinjauan Umum Etika Profesi Advokat
Yio Tjeh Kie, Malpraktik Advokat dan Sanksi Kode Etiknya: Studi Kasus Komparatif antara
Indonesia dan Jepang, Skripsi (Depok: Universitas Indonesia, 2012), hlm. 3
2

1

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

3. Membantu klien di pengadilan baik dalam bidang hukum perdata, hukum
pidana, hukum tata usaha negara, ataupun mahkamah konstitusi. Dalam kasus
pidana, bantuan dapat diterima ketika klien di Kepolisian dan Kejaksaan.
Intinya tugas advokat atau penasehat hukum adalah untuk memberikan pendapat
hukum (legal opinion), serta nasehat hukum (legal advice) dalam rangka menjauhkan
klien dari konflik, tetapi di lingkungan peradilan (beracara di Pengadilan) penasehat
hukum justru tidak sedikit yang mengajukan atau membela kepentingan kliennya
(secara ambisius).3
Oleh karena itu, advokat pada kenyataannya seringkali melakukan segala cara
untuk memengangkan kasus kliennya dan melanggar kode etik profesi advokat, seperti

melakukan penyuapan pada hakim agar klienya mendapatkan keringanan hukuman,
tidak bertingkah laku atau bersikap baik dalam persidangan, dan lain sebagainya.
Kode etik profesi advokat merupakan instrumen penting untuk mencegah
advokat melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis dan melanggar hukum. Dengan
adanya kode etik profesi advokat, diharapkan advokat dapat menyadari akan pentingnya
tugas dan kewajiban dari profesi advokat bagi penegakan hukum di Indonesia. Atas
dasar inilah, maka pemakalah akan membahas tentang Kode Etik Profesi Advokat.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang menarik dan patut untuk
dibahas, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana peran, fungsi, dan kewajiban profesi advokat?
2. Bagaimana fakta sejarah organisasi advokat, fungsi dan perannya?
3. Bagaimana aturan mengenai kode etik profesi advokat?
4. Bagaimana acara peradilan malpraktik advokat?
5. Bagaimana aturan mengenai hak imunitas advokat?
6. Bagaimana aturan tentang kerahasiaan klien?

3


Tinjauan Umum Etika Profesi Advokat

2

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka didapat tujuan dari penulisan makalah yakni
sebagai berikut:
1. Menganalisis peran, fungsi, dan kewajiban profesi advokat?
2. Menganalisis fakta sejarah organisasi advokat, fungsi dan perannya?
3. Menganalisis aturan mengenai kode etik profesi advokat?
4. Menganalisis acara peradilan malpraktik advokat?
5. Menganalisis aturan mengenai hak imunitas advokat?
6. Menganalisis aturan tentang kerahasiaan klien?

3

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Advokat
Akar kata Advokat, apabila berdasarkan pada kamus latin Indonesia, dapat
ditelusuri dari bahasa latin, yaitu advocatus yang berarti antara lain yang membantu
seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan.4
Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam
perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia.
Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa/klien)
yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum
yang telah ditentukan.5
Advokat merupakan salah satu penegak hukum yang bertugas memberikan
bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi
masalah hukum yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Advokat
mengandung tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang luhur baik terhadap diri
sendiri, klien, pengadilan dan Tuhan serta demi tegaknya keadilan dan kebenaran.
Dalam sumpahnya, advokat bersumpah tidak akan berbuat palsu atau membuat
kepalsuan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebagai pekerjaan bermartabat
Advokat karenanya harus mampu melibatkan diri lebih tinggi dengan aparat penegak

hukum. Dasar filosofis, asas-asas, teori-teori dan tentunya norma-norma hukum dan
hampir semua aspek harus dikuasai.6

4

Harlen Sinaga V, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 2

5

Luhut M.P. Pangaribuan. Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan
Profesi. Dalam Amir Syamsuddin. Tanggung Jawab Profesi Dan Etika Advokat. Di http://clickgtg.blogspot.com/2012/05/tanggung-jawab-profesi-dan-etika.html
6

Jawahir Tantowi, Peningkatan Kualitas Advokat Melalui Pendidikan Advokat Di Era Global:
disampaikan dalam seminar dengan tema “Revisi UU No 13 Tahun 2003: Suatu Kemajuan atau
Kemunduran Sumbangsih untuk RUU Perubahan UU Advokat “ Diselenggarkan oleh Ikatan Advokat

4

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia


Profesi Advokat, tidak bisa dijauhkan dari profesi hukum pada umumnya.
Keluhuran dari profesi hukum adalah terletak pada karakter dan corak keilmuannya
yang langsung menyentuh kebutuhan pokok rohaniah masyarakat (manusia). Karena
hukum pada hakekatnya merupakan akal budi yang bermartabat, dan tidak ada
masyarakat yang sehat, jika di dalam masyarakat tersebut tidak ditegakkan prinsip
hukum dan keadilan. Berbanding lurus dengan karakteristik keilmuannya itu pula,
profesi hukum pada hakekatnya merupakan profesi yang prestisius. Sebaliknya profesi
ini, karena banyak godaan dan tantangan dapat terjerumus ke lembah nista, manakala
diaplikasikan secara tidak bertanggung jawab dan tanpa kendali moral.7

B. Peran dan Fungsi Advokat
Peran dan fungsi advokat dapat dilihat dalam Undang-Undang Advokat. Dalam
pasal 1 ayat (1), ketentuan tentang fungsi dan peran advokat selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini.”
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa peran dan fungsi advokat meliputi
pekerjaan baik yang dilakukan di pengadilan maupun di luar pengadilan tentang

masalah hukum pidana (hukum publik) dan/atau perdata, seperti mendampingi klien
dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan (di kejaksaan atau kepolisian) atau beracara
di muka pengadilan.
Hukum publik diartikan sebagai hukum yang mengatur hubungan antara badan
publik dan badan publik atau antara badan publik dan perorangan, yang singkatnya
mengatur hubungan negara dan warganya. Sementara itu, hukum perdata diartikan

Indonesia (Indonesia Bar Association). Bumi Hotel Surabaya Jl.Basuki Rahmat 106-128. Surabaya.
Jumat, 5 April 2013.
7
Artidjo Alkostar, Prospek Dan Kerja Profesi Konsultan Hukum Dalam Era Pembangunan,
Makalah disampaikan pada Karya Latihan hukum ke X (KARTIKUM) LKBH FH UII,Tanggal 25-30
Januari 1992, Ar-Risalah, Vol. XIII No. 1 April 2015, hlm. 31

5

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

sebagai hukum yang mengatur hak dan kewajiban orang perorangan dan korporasi
(governs the rights and duties of private persons and corporations).

Ruang lingkup pekerjaan advokat yang berkaitan dengan pengadilan disebut
pekerjaan litigasi, suatu bidang yang lebih dahulu dikerjakan advokat, sehingga orang
banyak salah paham bahwa pekerjaan advokat hanya terbatas pada bidang tersebut.
Bahkan dikatakan bahwa pekerjaan advokat hanya sepenuhnya berkaitan dengan
perkara gugatan, suatu pemahaman yang dapat muncul karena dunia advokat hanya
berkaitan dengan perkara perdata.
Namun, dalam perkembangannya sebetulnya masih terdapat banyak pekerjaan
advokat di luar bidang litigasi, yang disebut sebagai pekerjaan non-litigasi (non-litigious
work), bidang-bidang tersebut adalah:
1. Memberi pelayanan hukum (legal service);
2. Memberi nasihat hukum (legal advice), dengan peran sebagai penasihat hukum
(legal adviser);
3. Memberi pendapat hukum (legal opinion);
4. Mempersiapkan dan menyusun kontrak (legal drafting);
5. Memberikan informasi hukum;
6. Membela dan melindungi hak asasi manusia;
7. Memberikan bantuan hukum cuma-cuma (pro bono legal aid) kepada
masyarakat yang tidak mampu dan lemah.
Pekerjaan di bidang litigasi di atas memiliki kemiripan dengan pekerjaan
advokat di Inggris yang disebut barrister, yang mewakili klien di ruang pengadilan.

Sedangkan pekerjaan non-litigasi di Indonesia memiliki kesamaan dengan tugas
solicitor, yaitu bahwa mereka dapat melakukan pekerjaan di bidang hukum tetapi tidak
dapat tampil di pengadilan. Agak mirip dengan hal di atas, fungsi advokat di Amerika
Serikat dapat dibagi ke dalam tiga jenis:
1. Advokat yang mewakili pekerjaan di pengadilan (lawyers as advocates).
Lawyers as advocates dapat dilihat dalam contoh tentang bagaimana advokat
menemukan teori baru dalam menafsirkan undang-undang ketika menangani
perkara di pengadilan;

6

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

2. Advokat sebagai penasihat (lawyers as advisors). Sebagai contoh tentang
lawyers as advisors, advokat akan memberikan nasihat kepada kalangan bisnis
atas hak dan kewajibannya dan menjelaskan konsekuensi hukum dari keputusan
yang diambil, sehingga orang ini disebut juga advokat yang melakukan tindakan
hukum prevensi (preventive law);
3. Advokat sebagai juru runding (lawyers as negotiators). Akhirnya, dalam fungsi
lawyers as negotiators, advokat dibekali dengan pelatihan dan pengalaman

untuk melakukan tugas-tugasnya secara efektif atas nama klien dalam bidang
antara lain kontrak penjualan, sewa-menyewa, real estate, dan kesepakatan
perdagangan internasional. Dalam fungsi ini dihindari agar masalah yang
ditangani advokat tidak diteruskan ke pengadilan.
Selain semua tugas di atas, peran advokat dapat bersifat futuristik, yang berarti
bahwa advokat ikut memikirkan dan memberikan sumbangan dalam strategi
pembangunan hukum pada masa yang akan datang. Strategi pembangunan hukum
adalah upaya dari kelompok sosial dalam suatu masyarakat untuk mengambil bagian
dalam pembentukan, penerapan, dan pelembagaan dalam proses politik. Peran ini
disebut sebagai agent of development, yaitu untuk turut serta dalam pembangunan
hukum (law development), pembaruan hukum (law reform), dan pembuatan formulasi
rumusan hukum (law shaping).
Dalam pembangunan hukum, advokat mendorong dan mengarahkan undangundang dan perkembangan hukum kebiasaan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat
yang berkembang ke arah modernisasi. Hal ini dapat dipahami karena hukum
merupakan pertumbuhan sejarah yang berkembang dari waktu ke waktu dari tradisi dan
kebiasaan masyarakat yang merupakan pencerminan ciri khusus masyarakat yang
berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Dalam peran ini advokat harus membuka mata
terhadap perkembangan di sekitarnya agar mereka dapat menyumbangkan pikirannya
dalam pembangunan hukum.
Sedangkan dalam pembaruan hukum, peran advokat adalah merombak dan
memperbarui hukum yang tertulis sesuai dengan peradaban dan kemajuan kesadaran
dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat. peran ini berkaitan dengan kesiapan untuk
melakukan penggantian atau amandemen undang-undang yang telah ada.

7

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

Akhirnya, dalam pembuatan dan penyusunan formulasi hukum, hukum
kebiasaan dalam undang-undang dan hukum kebiasaan yang tegas dan jelas memuat
dan menampung asas-asas, norma-norma dan syarat-syarat hukum yang memihak pada
yang lemah, melarang penyalahgunaan kekuasaan, melarang perbuatan yang menindas
dan sebagainya.
Berdasarkan hal di atas, advokat seharusnya dapat memberikan andil atau
berbuat secara konkret dalam menentukan arah perkembangan hukum nasional yang
disebut sebagai politik hukum, yang meliputi dua hal. Pertama, pembangunan hukum
yang berintikan pembuatan dan pembaruan materi-materi hukum agar dapat sesuai
dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Hal ini terkait dengan
jenis dan peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang Nomor
10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyatakan
bahwa advokat dapat memberikan sumbangan pikiran pembentukan undang-undang
sebagai bagian dari hukum.

C. Kewajiban Advokat dan Larangan Terhadapnya
Profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam penyelenggaraan
peradilan ialah guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemandirian dan kebebasan
yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab
masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU
Nomor 18 Tahun 2003 telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan
sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Undang-undang advokat
tersebut memuat landasan pijakan berupa hak dan kewajiban yang melekat pada seorang
advokat. Kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat meliputi:
1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan
terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau
latar belakang sosial dan budaya.

8

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien
oleh pihak yang berwenang dan/atau oleh masyarakat.
3. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau peroleh dari
kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undangundang.
4. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan
tugas dan martabat profesinya.
5. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian
rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan
kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
6. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat
selama memangku jabatan tersebut.
Undang-Undang Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan,
tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat, yakni ketentuan
Pasal 6 Undang-undang Advokat yang menentukan bahwa advokat dapat dikenai
tindakan dengan alasan8:
1. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
2. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan
seprofesinya;
3. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundangundangan, atau pengadilan;
4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat
dan martabat profesinya;
5. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau
perbuatan tercela;
6. Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

8

Sinaga Harlen, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), Hlm. 105

9

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

Selain ketentuan Undang-undang Advokat di atas, ada juga ketentuan mengenai
kewajiban dan larangan terhadap advokat menurut KEAI (Kode Etik Advokat
Indonesia), yaitu9:
1. Memelihara rasa solidaritas di antara teman sejawat (pasal 3 huruf d KEAI);
2. Memberikan bantuan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa
suatu perkara pidana baik atas permintaan sendiri maupun karena penunjukan
organisasi profesi (pasal 3 huruf c KEAI);
3. Bersikap sopan terhadap semua teman sejawat dan mempertahankan martabat
advokat (pasal 4 huruf d KEAI);
4. Dalam

menentukan

besarnya

honorarium,

wajib

mempertimbangkan

kemampuan klien (pasal 4 huruf d KEAI);
5. Memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara
kepercayaaan dan tetap menjaga rahasia tersebut setelah sampai berakhir
hubungannya dengan klien (pasal h KEAI);
6. Memberikan surat dan keterangan apabila perkara akan diurus advokat baru
dengan memperhatikan hak retensi (pasal 5 huruf f KEAI);
7. Wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu
(pasal 7 huruf h KEAI);
8. Menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara
yang ditangani kepada klien (pasal 7 huruf i KEAI).
Sementara itu, beberapa pelanggaran kode etik advokat yang telah diputus
kasusnya oleh Dewan Kehormatan PERADI antara lain ialah seputar hal-hal sebagai
berikut:10
1. Merebut klien;
2. Mengurus dua kepentingan yang bertentangan;
3. Mengeluarkan kata-kata kasar, mengidentikkan advokat dengan kliennya;
4. Mengirim tembusan surat secara langsung ke pihak lawan;
5. Mendatangi pihak lawan secara langsung;
6. Menerima suap dari pihak lawan;
9

http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/5 diakses pada Tanggal 25 Mei 2017.
Yio Tjeh Kie, Malpraktik Advokat dan Sanksi Kode Etiknya: Studi Kasus Komparatif antara
Indonesia dan Jepang, Skripsi, (Depok: Universitas Indonesia, 2012).
10

10

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

7. Mengeluarkan pendapat/pernyataan secara tidak proporsional (Nomor Putusan
Peradi: 14);
8. Diam-diam menjadi kuasa hukum pihak lawan;
9. Membocorkan rahasia klien;
10. Tidak jujur, tidak adil dan tidak bertanggung jawab;
11. Memberikan keterangan yang menyesatkan;
12. Meminta honor yang tidak pantas;
13. Meninggalkan atau menelantarkan klien;
14. Mencemarkan nama baik;
15. Mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat;
16. Mengeluarkan ancaman;
17. Mempengaruhi saksi;
18. Merugikan klien;
19. Melakukan pekerjaan yang konflik kepentingannya demi mencari keuntungan
dan publisitas pribadi;
20. Menggunakan surat atau dokumen palsu;
21. Melakukan kekerasan;
22. Memberikan kuasa substitusi kepada orang yang belum qualified;
23. Mengikutsertakan orang yang bukan advokat;
24. Membiarkan kliennya melakukan perbuatan tidak menyenangkan;
25. Memberikan keterangan yang membingungkan klien;
26. Tidak memberikan laporan kepada klien.
Semua bentuk pelanggaran di atas telah diputus berdasarkan Undang-undang
Advokat dan peraturan perundang-undangan tentang Kode Etik Profesi Advokat yang
sudah dijelaskan sebelumnya.

D. Pengawasan Terhadap Advokat
Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. Pengawasan
tersebut bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung
tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan

11

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh
Organisasi Advokat. Keanggotaan Komisi Pengawas terdiri atas unsur Advokat senior,
para ahli/akademisi, dan masyarakat.
Pasal 12
(1) Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam
menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang
dibentuk oleh Organisasi Advokat.
(2) Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan
Organisasi Advokat.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
menetapkan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas
Penasihat Hukum dan Notaris.” Kemudian berdasarkan Pasal 36 ini, dikeluarkan
peraturan pelaksana berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1987 tentang Tata
Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum yang pada intinya
menentukan:
1. Bahwa pelaksanaan pengawasan sehari-hari atas para penasihat hukum
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat dan selanjutnya secara
hierarkis dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman (ayat (1) Pasal 2);
2. Bahwa seorang penasihat hukum dapat dikenakan penindakan dengan alasan
mengabaikan atau menelantarkan klien, bertingkah laku tidak patut pada

12

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

lawannya, melakukan contempt of court, berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan kewajiban profesi dan lain-lain.
Penasihat hukum yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi
penindakan oleh Mahkamah Agung dan Pemerintah yang terdapat pada Pasal 4 yaitu:
1. Teguran dengan lisan atau tertulis;
2. Peringatan keras dengan surat;
3. Pemberhentian sementara dari jabatan advokat selama tiga bulan sampai dengan
enam bulan;
4. Pemberhentian dari jabatan sebagai advokat (pencabutan ijin praktek sebagai
advokat).
Berdasarkan SKB ini, maka advokat selain berada di bawah pengawasan badan
yudikatif (Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung), juga berada di bawah
pengawasan badan eksekutif (Pemerintah/Menteri Kehakiman). Loekman Wiriadinata,
mantan Menteri Kehakiman RI pernah menyatakan bahwa SKB ini tidak sah dan tidak
berlaku untuk umum.11
Pengadilan dan Organisasi Advokat tersebut akan memantau bahkan memaksa
agar advokat selalu tunduk pada ketentuan Undang-undang atau berperilaku yang patut
dan pantas terhadap kliennya. Karena advokat harus membela klien semaksimal
mungkin, advokat harus hati-hati dan tunduk sepenuhnya kepada aturan hukum yang
berlaku.

E. Organisasi Advokat
Di dunia terkenal beberapa bentuk bar association, yakni single bar assoiation
yaitu hanya ada satu organisasi advokat dalam suatu yurisdiksi; multi bar association
yaitu terdapat beberapa organisasi advokat yang berdiri sendiri. Organisasi advokat
merupakan instrumen penting untuk profesi advokat. Setidaknya organisasi advokat
harus memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, melaksanakan
11

Loekman Wiriadinata, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, editor Paul S. Baut dan Luhut
M.P. Pangaribuan, cetakan pertama, (Jakarta: YLBHI, 1989), hlm. 60-64.

13

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

pengawasan terhadap advokat agar advokat dapat menjalankan profesinya dengan selalu
menjunjung tinggi pelaksanaan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur advokat,12 dan menghukum advokat yang melakukan korupsi yudisial (mafia
peradilan).
Organisasi advokat di Indonesia bermula dari masa kolonialisme. Jumlah
advokat pada masa itu masih sedikit, advokat hanya ditemukan di kota-kota yang
memiliki landraad (pengadilan negeri) dan raad van justitie (dewan pengadilan). Para
advokat yang tergabung dalam suatu organisasi advokat disebut balie van advocaten.
Wadah advokat di Indonesia dibentuk pada tanggal 4 Maret 1963 di Jakarta pada saat
Seminar Hukum Nasional di Universitas Indonesia, yang diberi nama Persatuan
Advokat Indonesia (PAI). Pembentukan wadah atau organisasi advokat di Jakarta
tersebut disusul dengan pembentukan organisasi PAI di daerah-daerah.13
Kemudian, dalam Musyawarah I/Kongres Advokat yang berlangsung di Hotel
Danau Toba di Solo, pada tanggal 30 Agustus 1964, secara aklamasi diresmikan
pendirian Persatuan Advokat Indonesia (PERADI), sebagai pengganti PAI. Semenjak
itu PERADIN konsisten mengawal konstitusi, sehingga semua Keppres, Inpres, PP, dan
UU yang bertentangan dengan konstitusi diprotes keberadaannya. Karena kiprahnya
tersebut, PERADIN sampai disebut I’enfant terrible (si anak nakal). Bahkan pernah
dianggap disiden.14 Wadah-wadah profesi advokat setelah PERADIN dibentuk
bermunculan di Jakarta, yakni antara lain ialah sebagai berikut:15
1. PUSBADHI (Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum)
2. FOKSO ADVOKAT (Forum Studi dan Komunikasi Advokat)
3. HPHI (Himpunan Penasihat Hukum Indonesia)
4. BHH (Bina Bantuan Hukum)
5. PERNAJA
6. LBH KOSGORO
12

Keputusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor. KEP
504/PERADI/DPN/VIII/2015 tentang Perubahan Pertama Anggaran Dasar Perhimpunan Advokat
Indonesia.
13
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 89-90
14
Frans Hendra Winarta, Advokasi dengan Hati Nurani, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI,
2010), hlm. 69
15
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 103

14

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

Sebab hal di atas, serta untuk membungkan PERADIN si anak nakal, maka
pemerintah ORBA memprakarsai pembentukan wadah tunggal advokat yaitu Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN). Pada tahun 1981, Ketua Mahkamah Agung Mudjono,
S.H., Menteri Kehakiman Ali Said, S.H., dan Jaksa Agung Ismail Shaleh, S.H., dalam
kongres PERADIN di Bandung sepakat untuk membentuk wadah tunggal advokat,
yakni IKADIN tersebut.16 Pada akhirnya, IKADIN dibentuk pada tanggal 10 November
1985.17
Meski pemerintah telah membentuk IKADIN, namun PERADIN ternyata tidak
pernah dibubarkan. PERADIN hanya masuk dalam kondisi demisioner karena
ditinggalkan anggota-anggotanya yang bergabung dalam IKADIN. Anggota PERADIN
mencurigai bahwa ada satu rencana diam-diam untuk menempatkan para advokat di
bawah kontrol pemerintah. Konsep bottom up yang dijalankan oleh PERADIN menjadi
kandas dan diganti dengan konsep top down semenjak didirikannya IKADIN tersebut,
sehingga pemerintah menjadi berwenang mengatur advokat dan advokat tidak bebas
mengeluarkan aspirasinya untuk Indonesia.18
Pada akhirnya IKADIN tidak dapat bertahan lama, karena tidak ditindaklanjuti
secara konsisten oleh pendirinya. Terjadi perpecahan di tubuh IKADIN sebagai akibat
dari pengurus IKADIN tidak setuju terhadap beleid (kebijakan) Dewan Pimpinan Pusat
IKADIN, puncaknya adalah insiden pada saat berlangsungnya Kongres sekitar tahun
1990 di Hotel Horison.19 Sejak peristiwa di atas, muncul banyak organisasi advokat
antara lain ialah:
1. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);
2. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);
3. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
4. Serikat Pengacara Indonesia (SPA);
5. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM);
6. Badan Pembelaan dan Konsultasi Hukum MKGR (BPKH MKGR);
7. Bina Bantuan Hukum (BHH);
16

V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 8
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 104.
18
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009
19
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1995), hlm. 80.

17

15

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

8. Lembaga Bantuan dan Pengembangan Hukum Kosgoro;
9. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Trisula (LKBH Trisula);
10. Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH);
11. Perhimpunan Organisasi Pengacara Indonesia;
12. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
13. Perhimpunan Ahli Hukum Spesialis Indonesia (Pahsindo);
14. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI);
15. Jakarta Lawyers Club (JLC);
16. Perhimpunan Pengacara Persaingan Usaha (Perhumpus);
17. Perhimpunan Pengacara Kepailitan.
Kemudian pada tanggal 5 April 2003, dibentuklah Undang-undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang ini dianggap sebagai tonggak sejarah
besar dalam dunia hukum, sebab sudah sangat lama dinantikan oleh advokat Indonesia.
Biarbagaimana pun, advokat membutuhkan payung hukum dalam melakukan kewajiban
dan memperoleh hak-haknya sebagai profesional hukum. Jepang bahkan telah memiliki
undang-undang advokat sejak tahun 1949, yang telah diamandemen sebanyak dua puluh
kali hingga tahun 1999. Oleh karenanya, evaluasi fungsi dan peran advokat tersebut
mestilah dilakukan secara saksama, sebagaimana yang dilakukan negara lain.

1. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
Berdasarkan rumusan Pasal 28 (1) Undang-undang Advokat, pembentukan
hanya satu organisasi advokat yang menjadi wadah dari seluruh pengacara, advokat,
pengacara praktik, penasihat hukum, dan konsultan hukum menjadi suatu keharusan.
Hal ini bertujuan agar organisasi advokat yang berdiri sebelum dibentuknya Undangundang Advokat dapat diintegrasikan atau disatukan. Dalam Pasal 28 ayat (1) tersebut
dinyatakan bahwa:
Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang
bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini
dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.
Ketentuan mengenai organisasi advokat ditetapkan oleh para advokat dalam

16

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pimpinan organisasi advokat
tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
Berangkat dari aturan di atas, maka organisasi advokat yang terdiri dari beberapa
organisasi advokat sepakat untuk membentuk sebuah komite yang akan bertugas untuk
membentuk kode etik advokat Indonesia. Kesepakatan advokat tersebut melahirkan
sebuah komite yang disebut Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang bertugas
membentuk satu kode etik yang akan diberlakukan untuk semua advokat Indonesia.
Organisasi advokat yang menandatangani Kode Etik Advokat Indonesia dan sekaligus
terlibat dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah20:
a. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN);
b. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);
c. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (HAPI);
d. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
e. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
f. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
g. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHM).
Pada tanggal 21 Desember 2004, ketujuh organisasi advokat tersebut di atas
ditambah dengan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) mengadakan deklarasi
pendirian perhimpunan advokat Indonesia (Indonesian Bar Association). Inti dari
deklarasi tersebut menyatakan hal-hal sebagai berikut:21
a. Mewakili para advokat Indonesia yang tergabung dalam keorganisasian
advokat yang tersebut diatas;
b. Menyatakan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat Indonesia dengan
nama Perhimpunan Advokat Indonesia;
c. Perhimpunan Advokat Indonesia merupakan satu-satunya wadah profesi
advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab berdasarkan Undangundang Dasar 1945;
20

Supriadi, S.H., M.Hum., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cet. Ketiga
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 85
21
V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 19

17

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

d. Hal-hal lain yang berkenaan dengan susunan, tugas, dan wewenang
Perhimpunan Advokat Indonesia akan diatur lebih lanjut dalam anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 tanggal 27 November
2006 mengatur bahwa Peradi tidak hanya dikatakan sebagai subjek hukum yang
dimaksudkan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, tetapi juga merupakan organ
negara yang mandiri (independent state organ).
Berdasarkan pemikiran Hans Kelsen, organ negara merupakan organisasi yang
dapat melakukan penciptaan hukum (a law-creating function) atau fungsi penerapan
hukum (a law-applying function).22 Oleh karenanya, Peradi disebut organ negara sebab
Peradi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan advokat dan
mengeluarkan peraturan/ketentuan sehubungan dengan pemenuhan persyaratan
pengangkatan advokat tersebut.
Sementara itu, suatu badan dapat dikatakan mandiri apabila terpenuhi dua hal.
Pertama, negara tidak dapat mencampuri atau mengurusi tindakan-tindakan badan
tersebut karena ia merupakan lembaga yang bebas dan bertanggung jawab. Kedua,
negara tidak terbebani atau mengeluarkan biaya untuk aktivitas organisasi tersebut,
meskipun seharusnya, sebuah organ negara, seyogyanya mendapatkan anggaran untuk
aktivitas yang dijalankannya.23
Sebagai organ negara yang mandiri, dari sudut ilmu perundang-undangan,
Peradi memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan atribusi kewenangan dan
membentuk peraturan otonom (autonome satzung) yang berkaitan dengan keadvokatan.
Atribusi kewenangan ialah pemberian kewenangan kepada lembaga negara/pemerintah
untuk membentuk peraturan perundang-undangan.24
Sementara itu, Fungsi Peradi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat antara lain:
a. menyelenggarakan pendidikan khusus profesi Advokat;
22

V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 34
Ibid., hlm. 35
24
Ibid., hlm. 35

23

18

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

b. menyelenggarakan ujian advokat;
c. mengangkat advokat yang telah lulus ujian advokat;
d. menyusun Kode Etik Advokat Indonesia;
e. melakukan pengawasan terhadap advokat;
f. memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi advokat; dan
g. menentukan jenis sanksi dan tingkat pelanggaran advokat yang dapat
dikenakan sanksi.

2. Kepengurusan Peradi
Kepengurusan Peradi terdiri atas Dewan Pimpinan Nasional (DPN), Dewan
Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Dalam melakukan
tugas-tugasnya, Dewan Pimpinan Nasional dibantu oleh Dewan Pimpinan Daerah yang
hanya berjumlah lima orang. Pengangkatan Dewan Pimpinan Daerah sepenuhnya ada di
tangan Dewan Pimpinan Nasional, Dewan Pimpinan Cabang memiliki peran dalam
mengusulkan anggota Dewan Pimpinan Daerah kepada Dewan Pimpinan Nasional.25
Berdasarkan Pasal 46 Anggaran Dasar Peradi, kepengurusan Dewan Pimpinan
Nasional Peradi untuk kurun waktu lima tahun dari sejak didirikan, yang berarti bahwa
kepengurusan Peradi berlaku hingga tahun 2010, sehingga di tahun 2010 tersebut, harus
dilakukan musyawarah nasional. Dalam Musyawarah Nasional, pengurus akan atau
harus menyampaikan pertanggungjawaban kepada anggota mengenai hal-hal yang telah
dilakukan pengurus selama waktu kepengurusan. Musyawarah Nasional tersebut
dilaksanakan pada tanggal 30 April 2010 di Pontianak.26
Hasil dari Musyawarah Nasional tersebut salah satunya ialah para anggota
sepakat untuk mempertahankan Peradi sebagai satu-satunya Organisasi advokat di
Indonesia. Oleh karenanya, kedelapan organisasi pendiri yang telah dijelaskan di atas,
secara hukum bukan merupakan organisasi advokat lagi, sehingga seharusnya organisasi

25
26

V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 36
Ibid., hlm. 36

19

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

pendiri bubar atau membubarkan diri sebagai organisasi advokat dengan melakukan
perubahan atas anggaran dasar masing-masing melalui rapat atau musyawarah.27

F. Dewan Kehormatan
Dewan Kehormatan dibentuk oleh Peradi. Dewan kehormatan ini memiliki
wewenang dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh Advokat sebagaimana yang dimaksud pasal 2 huruf c dan ketentuan
pasal 10 atas permintaan pengaduan dari pihak yang mengadukan (pengadu). Dewan
Kehormatan yang dibentuk di Pusat disebut Dewan Kehormatan Pusat dan yang di
Cabang disebut Dewan Kehormatan Cabang.
Dewan Kehormatan Cabang berkuasa memeriksa dan mengadili pelanggaran
kode etik pada peradilan kode etik tingkat pertama di cabangnya dan Dewan
Kehormatan Pusat di tingkat banding atau putusan akhir. Persidangan oleh Dewan
Kehormatan tersebut dipimpin Majelis Dewan Kehormatan yang terdiri dari seorang
Ketua Majelis dan beberapa orang anggota Majelis dengan ketentuan Majelis Dewan
Kehormatan harus berjumlah ganjil.

G. Sanksi Pelanggaran Kode Etik Advokat
Sanksi-sanksi atas pelanggaran kode etik profesi ialah sebagai berikut:
1. Teguran
2. Peringatan;
3. Peringatan keras;
4. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu;
5. Pemberhentian selamanya;
6. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
Dengan pertimbangan atas berat dan ringannya sifat pelanggaran kode etik,
teradu dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut:
27

V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 36

20

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

1. Berupa teguran atau berupa peringatan bilamana sifat pelanggarannya tidak
berat;
2. Berupa peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena
mengulangi berbuat melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi
teguran/peringatan yang diberikan;
3. Berupa pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat
pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan
kode etik profesi atau bilamana setelah mendapatkan sanksi berupa peringatan
keras masih mengulangi melalukan pelanggaran kode etik profesi.
Advokat yang melakukan pelanggaran kode etik profesi dengan maksud dan
tujuan merusak citra serta martabat kerhormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung
tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat, dapat dikenakan sanksi dengan
hukuman pemberhentian selamanya.
Sanksi putusan dengan hukuman pemberhentian sementara untuk waktu tertentu
dan dengan hukuman pemberhentian selamanya, dalam keputusannya dinyatakan bahwa
yang bersangkutan dilarang dan tidak boleh menjalankan praktek profesi Advokat baik
di luar maupun di muka pengadilan. Terhadap mereka yang dijatuhi hukuman
pemberhentian selamanya, dilaporkan dan diusulkan kepada Pemerintah Menteri
Kehakiman Republik Indonesia untuk membatalkan serta mencabut kembali izin
praktek/surat pengangkatannya.

H. Acara Peradilan Malpraktik Advokat28
Pedoman yang digunakan dalam mengadili seorang advokat diatur dalam
Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara
Memeriksa dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia, yang ditetapkan
pada tanggal 5 Desember 2007. Beberapa bagian penting dari Keputusan tersebut
diringkas di bawah ini.

28

Bagian ini disadur dari Yio Tjeh Kie, Malpraktik Advokat dan Sanksi Kode Etiknya: Studi
Kasus Komparatif antara Indonesia dan Jepang, Skripsi, (Depok: Universitas Indonesia, 2012).

21

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

1. Legal Standing
Pengadu KEAI menetapkan pada Pasal 11 ayat (1) bahwa pengaduan dapat
diajukan oleh “pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan.” Pasal ini
dijabarkan lebih rinci oleh Pasal 2 ayat (1) Keputusan Dewan Kehormatan Pusat
PERADI No. 2 tahun 2007 bahwa yang dapat mengajukan pengaduan adalah:
a. Klien;
b. Teman sejawat;
c. Pejabat Pemerintah;
d. Anggota Masyarakat;
e. Komisi Pengawas;
f. Dewan Pimpinan Nasional PERADI;
g. Dewan Pimpinan Daerah PERADI di lingkungan mana berada Dewan
Pimpinan Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota;
h. Dewan Pimpinan Cabang PERADI dimana Teradu terdaftar sebagai anggota.
Dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum
serta

hal

lain

yang

dipersamakan

untuk

itu,

Dewan

Pimpinan

Nasional/Daerah/Cabang PERADI dapat juga bertindak sebagai Pengadu.
Jika melihat cakupannya yang begitu luas dengan memasukkan “Anggota
Masyarakat” sebagai pihak yang berhak mengadu, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pada prinsipnya setiap orang yang “berkepentingan dan merasa dirugikan” oleh
malpraktik seorang advokat boleh mengadu ke PERADI.

2. Susunan Majelis Kehormatan Daerah
Majelis Kehormatan Daerah yang akan memeriksa perkara terdiri dari 5 (lima)
orang anggota, diantaranya 3 (tiga) orang berasal dari unsur advokat yang menjadi
anggota Dewan Kehormatan Daerah, 2 (dua) orang lagi dari unsur non-advokat, yang
terdiri dari 1 (satu) orang ahli di bidang hukum dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat.
Yang menjadi Ketua Majelis harus dari unsur advokat.

22

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

3. Tahap Pengaduan
Pengaduan harus disampaikan secara tertulis dan jelas mengenai identitas para
pihak, hal yang diadukan dan alasannya, tuntutan yang dimohonkan serta bukti-bukti
yang dianggap perlu. Pengaduan ditujukan kepada:
a. Dewan Kehormatan Daerah yang wilayahnya mencakup Dewan Pimpinan
Daerah/Cabang; dan/atau
b. Dewan Pimpinan Daerah/Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota;
dan/atau
c. Dewan Pimpinan Nasional.
Berkas pengaduan dibuat dalam 7 (tujuh) rangkap, didaftar di bagian registrasi
dan membayar biaya pengaduan. Menurut informasi langsung dari PERADI Jakarta
pada bulan April 2012, biaya pengaduan yang berlaku sekarang adalah Rp.3.500.000,(Tiga juta lima ratus ribu rupiah) per kasus.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengaduan, Dewan Kehormatan
Daerah sudah harus selesai memeriksa dan menyatakan lengkap atau tidak lengkapnya
berkas pengaduan. Kalau berkas dinyatakan lengkap, maka dalam 7 (tujuh) hari kerja
Dewan Kehormatan Daerah harus membentuk Majelis Kehormatan Daerah yang akan
memeriksa dan memutus pengaduan tersebut. Majelis ini dapat mengadakan
pemeriksaan pendahuluan atas berkas pengaduan, apabila dianggap perlu maka Pengadu
akan diberi kesempatan untuk memperbaiki surat pengaduannya.
Majelis

menyampaikan

surat

pemberitahuan

kepada

Teradu

dengan

melampirkan 1 (satu) rangkap berkas pengaduan paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja

sejak

surat

pengaduan

dinyatakan

lengkap.

Setelah

menerima

surat

pemberitahuan, dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja Teradu harus memberikan
jawabannya secara tertulis kepada Majelis.
Jika jangka waktu tersebut sudah lewat dan Teradu tidak memberikan jawaban,
maka dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja Majelis sudah harus mengirim surat
pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas)
hari kerja sejak surat pemberitahuan kedua ini diterima Teradu tetap tidak memberikan

23

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

jawaban secara tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya. Dengan
demikian, Majelis dapat segera memeriksa pengaduan dan menjatuhkan putusan tanpa
kehadiran Teradu.

4. Tahap Persidangan
Kalau Teradu sudah memberikan jawaban, maka dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari kerja sejak jawaban diterima, Majelis sudah harus menetapkan hari sidang
pertama dan menyampaikan panggilan kepada Pengadu dan Teradu. Panggilan ini harus
diterima oleh Pengadu dan Teradu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari sidang.
Pengadu dapat mencabut pengaduannya sebelum sidang pertama dimulai.
Apabila sidang pertama sudah berjalan, pencabutan hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan dari Teradu.
Pengadu dan Teradu harus hadir secara pribadi di persidangan. Kalau Pengadu
berhalangan hadir karena suatu alasan yang sah, ia dapat diwakili oleh keluarganya bila
pengaduannya berkaitan dengan kepentingan pribadi atau keluarga, atau oleh
pengurus/pemimpin bila terkait dengan kepentingan badan hukum. Pengadu dan Teradu
dapat didampingi Penasihat dan masing-masing pihak berhak mengajukan saksi-saksi
dan bukti-bukti.
Apabila Pengadu tidak hadir tanpa alasan yang sah pada sidang pertama
walaupun sudah dipanggil secara patut, maka Majelis akan memanggil untuk kedua
kali. Apabila Pengadu tetap tidak hadir maka pengaduannya dinyatakan gugur. Pada
sidang kedua, dilakukan pemeriksaan bukti-bukti, saksi atau ahli. Majelis berwenang
menetapkan keabsahan alat bukti di persidangan ini.
Pada sidang ketiga, Majelis memberikan kesempatan kepada masing-masing
pihak untuk mengajukan Kesimpulan. Pada sidang ini, Pengadu maupun Teradu tidak
perlu hadir secara pribadi. Baik sidang pertama, kedua maupun ketiga semua diadakan
secara tertutup.

24

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

Pada sidang terakhir yang bersifat terbuka, pembacaan Putusan dapat dilakukan
tanpa kehadiran para pihak yang bersangkutan setelah sebelumnya diberitahu tentang
hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut.

5. Putusan Tingkat Pertama
Putusan Majelis diambil secara mufakat namun apabila tidak tercapai mufakat
maka Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Anggota Majelis yang kalah dalam
pemungutan suara dapat membuat dissenting opinion yang dimuat di dalam Putusan.
Majelis dapat mengambil Putusan berupa:
a. Menyatakan pengaduan dari Pengadu tidak dapat diterima;
Amar putusan ini perlu dibandingkan dengan amar putusan pengadilan
perdata. Pada pengadilan perdata, amar putusan yang berbunyi “gugatan
penggugat tidak dapat diterima” (niet onvankelijk verklaad), putusan tersebut
berkaitan dengan formalitas perkara, yakni secara konkret berkaitan dengan
pengadilan mana yang seharusnya mengadili, ke pengadilan wilayah mana
seharusnya diajukan gugatan, para pihak mana sebagai tergugat atau turut
tergugat, siapa subjek hukum para pihak, dan/atau apakah gugatan tersebut
kabur (tidak jelas) atau tidak. Dalam putusan yang tidak dapat diterima,
penggugat masih dapat mengajukan gugatannya lagi.29 Sama halnya dengan
putusan pengadilan dalam perkara perdata, Dewan Kehormatan dalam perkara
pelanggaran KEAI juga menjatuhkan putusan tidak dapat diterima tersebut
apabila persyaratan formalitas pengaduan tidak terpenuhi.30
b. Menerima pengaduan dari Pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi
kepada Teradu.
Jika dalam pemeriksaan ternyata ditemukan bahwa advokat bersalah.
Sanksi akan dijatuhkan pada yang bersangkutan dengan amar putusan:
“menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi29

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1982), hlm. 77-78
30
V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 103

25

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

sanksi kepada teradu”. Apabila dibandingkan dengan peradilan perdata, redaksi
amar putusan tersebut tampak tidak sama karena dalam peradilan perdata apabila
argumen penggugat diterima, amar putusannya akan berbunyi: “gugatan
dikabulkan.”
Dilihat dari sifat amar atau diktum, maka terdapat perbedaan antara
putusan condemnatoir pada pengadilan perdata dan putusan Dewan Kehormatan
atas pengaduan pelanggaran KEAI. Putusan condemnatoir pada pengadilan
perdata, pihak penggugat dapat meminta pihak tergugat untuk melakukan
pembayaran sejumlah uang, menyerahkan barang, atau mengosongkan persil.31
Untuk putusan condemnatoir perkara kode etik, Dewan Kehormatan hanya
menjatuhkan sanksi yang sama sekali tidak terkait dengan pembayaran sejumlah
uang.32
Untuk tuntutan pembayaran sejumlah uang, pengadu akan menempuh
upaya hukum ke peradilan umum dengan dasar perbuatan melawan hukum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Namun lebih baik jika
diselesaikan melalui mediasi terlebih dahulu.
c. Menolak pengaduan dari Pengadu;
Dewan Kehormatan menjatuhkan putusan berupa penolakan pengaduan
dari pengadu yang dijatuhkan apabila ternyata Dewan Kehormatan tersebut tidak
menemukan kesalahan pada teradu.
Sanksi yang diberikan dalam Putusan dapat berupa:
a. Teguran lisan sebagai peringatan biasa;
b. Teguran tertulis sebagai peringatan keras;
c. Pemberhentian sementara dari profesi selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas)
bulan;
d. Pemberhentian tetap dari profesinya dan pemecatan dari keanggotaan
organisasi profesi.
31

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1982), hlm. 127
32
V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 104

26

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

Putusan Dewan Kehormatan Daerah akan disampaikan kepada Dewan
Kehormatan Nasional PERADI untuk dieksekusi kecuali Pengadu dan/atau Teradu
mengajukan banding.

6. Pemeriksaan Tingkat Banding
Pengadu dan/atau Teradu yang tidak puas dengan Putusan tingkat pertama dapat
mengajukan banding dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak tanggal
menerima salinan Putusan. Upaya banding dilakukan dengan menyampaikan
Permohonan Banding disertai Memori Banding melalui Dewan Kehormatan Daerah
yang akan meneruskan berkas tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat dalam waktu
14 (empat belas) hari kerja.
Dewan Kehormatan Daerah harus mengirimkan salinan Memori Banding kepada
Terbanding paling lambat 14(empat belas) hari kerja sejak menerima Memori Banding.
Terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding dalam 21 (dua puluh satu) hari
kerja sejak ia menerima Memori Banding. Bila ia tidak menyampaikan Kontra Memori
Banding dalam jangka waktu tersebut, maka ia dianggap telah melepaskan haknya
untuk itu.
Dewan Kehormatan Pusat harus membentuk Majelis Kehormatan Pusat dalam
waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima berkas permohonan Banding. Majelis terdiri
dari 5 (lima) orang anggota, 3 (tiga) orang dari unsur Dewan Kehormatan, 2 (dua) orang
dari unsur non-advokat. Dalam hal tertentu Majelis dapat terdiri lebih dari 5 (lima)
orang.

7. Putusan Tingkat Banding
Majelis Kehormatan Pusat mengeluarkan Putusan Tingkat Banding berupa:
a. Menguatkan putusan Dewan Kehormatan Daerah;
b. Mengubah atau memperbaiki putusan Dewan Kehormatan Daerah; atau
c. Membatalkan putusan Dewan Kehormatan Daerah denga mengadili sendiri.

27

Etika dan Profesi Hukum || Kode Etik Advokat Indonesia

Putusan Majelis Kehormatan Pusat mempunyai kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak. Putusan Majelis
Kehormatan Pusat bersifat final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam
foru