CATATAN PERJALANAN UMROH perjalanan perjalanan

CATATAN PERJALANAN UMROH (Bagian 1 : Madinah)
Posted on 30/01/2014by Nurbaiti-Hikaru
Sebelum keberangkatan
Semakin dekat hari keberangkatan, perasaan saya semakin campur aduk. Saya masih tidak
percaya bahwa saya akan berangkat ke tanah suci, saya merasa cemas apakah bisa menjaga diri
saya di sana. Tapi hal utama yang saya takutkan adalah : saya takut mati. Sungguh. Saya takut
saya tidak jadi berangkat ke tanah suci karena ajal telah lebih dulu datang memanggil. Saya jadi
lebih hati-hati bersikap. Saya berdoa kepada Allah agar diizinkan menginjakkan kaki di tanah
suci. Saya menghibur diri bahwa –seandainya- saya benar-benar lebih dulu meninggal dunia
sebelum berangkat, semoga niat saya telah tercatat dan saya termasuk husnul khotimah.
Ketakutan akan hal ini pulalah yang membuat saya ingin segera membereskan semua hal penting
sebelum keberangkatan. Saya tidak ingin pergi ke Tanah Haram sambil memikirkan pekerjaan
atau hal lain. Janji adalah hutang yang harus dibayar dengan segera. Maka minggu-minggu
terakhir benar-benar saya pergunakan untuk menyelesaikan semuanya. Saya memenuhi jadwal
mengisi beberapa training di kantor dan di luar kota, serta mengatur ulang jadwal mengisi
training berikutnya. Saya meminta seorang rekan untuk bertukar jadwal sampai saya kembali
dari tanah suci. Saya membayar tagihan-tagihan bulanan seperti premi asuransi, pulsa bulanan
sampai gaji sekretaris untuk bulan depan. Saya membereskan beberapa hal dengan para klien,
dan meminta kerelaan mereka untuk menyelesaikan hal-hal yang tidak mendesak setelah saya
pulang. Saya juga memberikan beberapa nomer telepon yang bisa dihubungi seandainya ada hal
mendesak sementara saya belum kembali.

Saya tidak memberitahukan rencana keberangkatan saya ke banyak orang. Saya hanya
berpamitan dengan saudara-saudara dan teman dekat tapi saya memberitahukannya ke seluruh
klien. Saya baru berpamitan dengan tetangga terdekat, malam sebelum keberangkatan serta pagi
harinya saat akan keluar rumah menuju bandara.
Saya mendapat tiga buah tas dari pihak travel. Sebuah tas pinggang, tas tenteng kecil serta
sebuah koper standar untuk ukuran bepergian beberapa hari. Saya juga menerima satu stel
perlengkapan umroh, mukena, ID serta buku panduan. Saat membuka-buka lemari, saya tidak
tahu harus membawa baju yang mana. Bukan karena banyak pilihan, karena sejak kuliah dulu,
saya lebih rela tidak makan daripada tidak membeli bisa buku. Pakaian saya lebih banyak
didominasi pakaian kerja yang jumlahnya pun tak seberapa. Blazer, jas, kemeja dan sejenisnya.
Selebihnya adalah kaos lengan pendek dan celana panjang untuk santai di rumah. Saya tidak
punya banyak pilihan. Saya mulai menulis daftar isi koper dan barang bawaan serta menandai
yang sudah ada sebelum kemudian mengepaknya. Ini adalah kebiasaan saya untuk menghindari
benda-benda penting yang tercecer. Bagaimana pun, saya penulis. Dan di mana pun, saya rasa
para penulis selalu punya pedoman : “Lebih baik sebuah pena yang tumpul dari pada ingatan
yang tajam.”
Ketakutan saya pada kematian sepertinya terbawa dalam tidur. Dua atau tiga hari sebelum
keberangkatan, saya bangun pagi dan termenung di tempat tidur. Masih berbaring, saya
mengingat mimpi semalam bahwa gigi saya tanggal. Ada mitos yang menyatakan katanya itu
pertanda akan ada yang meninggal. Tapi tentu saja saya tidak mau percaya. Saya takut terjebak

pada syirik karena mempercayai mimpi yang tak berdasar. Tapi sejujurnya saya sempat berpikir,
bagaimana jika saya benar-benar tidak jadi ke tanah suci? Perasaan saya mendadak langsung
tidak enak. Saya meraih HP, membuka isi pesan yang baru masuk, dan agak shock, karena isinya
berita duka bahwa seorang teman lama saya meninggal dunia.
Saya bangkit dan menyakinkan diri saya bahwa semua ini hanya kebetulan. Tidak ada

hubungannya dengan mimpi saya sama sekali. Ini ujian keimanan. Rasul pernah kehilangan
ibrahim, putra beliau yang masih kecil, dan saat tiba-tiba ada gerhana, orang-orang menyangka
itu ada kaitannya dengan berpulangnya Ibrahim. Tapi Rasul jelas-jelas menegaskan bahwa
kematian seseorang tidak ada kaitannya dengan fenomena alam tertentu. Saya beristigfar dan
segera menyiapkan diri untuk bertakziah.
Malam sebelum berangkat, atas saran seorang sahabat, saya menunaikan salat taubat. Saya
berdoa semoga umur saya sampai dan saya diizinkan ke tanah suci. Saya juga berdoa memohon
kelancaran dalam ibadah, dilindungi dan memohon ampun atas semua dosa-dosa yang telah saya
lakukan.
Proposal Hidup
Saya telah menyiapkan proposal hidup saya berbulan-bulan sebelum hari H keberangkatan. Ini
adalah bukti keseriusan hidup saya. Maksud saya, jika saya seorang CEO perusahaan besar dan
ada seorang anak muda yang mengajukan permohonan dana 100 milyar, saya perlu tahu siapa,
untuk apa dan bagaimana orang tersebut akan mengelola uang saya. Jika sebuah event seminar

sehari saja butuh proposal kegiatan dan persiapan berminggu-minggu atau berbulan-bulan,
apalagi keseluruhan hidup saya dengan aset berupa waktu yang menjadi amanah. Hidup saya
terlalu berharga untuk dianggap sebagai main-main dan diurus seadanya. Maka, proposal hidup
adalah grand design hidup sayahingga akhir nanti. Ingin jadi apa, dan kenapa saya ‘berhak’
menginginkannya. Apa keuntungan yang bisa saya berikan pada orang lain jika hal itu tercapai.
Proposal hidup adalah rancangan doa-doa yang rencananya akan saya panjatkan nanti di
Multazam.
Proposal hidup saya sebenarnya belum benar-benar selesai. Saya sengaja menuliskannya dengan
tulisan tangan agar emosi saya juga turut bermain. All out. Saya tuliskan semuanya dalam buku
folio yang menyatu dengan dream book saya sebelumnya. Saya kesulitan menuliskan empat
puluh hal yang saya inginkan dalam hidup berbulan-bulan lalu. Lalu di tahap selanjutnya, saya
kesulitan meningkatkan doa saya menjadi 101 permohonan. Tapi dua hari sebelum berangkat,
setelah menuliskan bagian pembukaan berupa surat kecil kepada Tuhan, saya berhasil
menyelesaikan 129 doa dalam waktu sekitar empat jam. Memang proposal ini tetap perlu
direvisi, karena nyatanya, doa-doa yang saya tuliskan kebanyakan adalah doa-doa untuk keluarga
besar saya sehingga bisa dibilang isinya bukan lagi proposal hidup secara pribadi. Itu pun, masih
ditambah dengan tiga puluhan doa tambahan keesokan harinya, berupa ‘titipan’ doa teman-teman
dan kerabat. Proposal hidup saya terhenti sampai di situ, belum direvisi, belum diberi ilustrasi
dan diberikan kata penutup.
Saya ingat seorang ustadz pernah berkata : “Minta banyak ke Allah, minta sedikit pun ke Allah.

Jadi, minta banyak saja sekalian. Tapi jangan lupa, minta juga agar semua yang kita miliki
bermanfaat dan berkah.“ Saya ingat seorang sahabat Nabi yang berdoa, agar Allah meletakkan
seluruh dunia di tangannya, dan bukan di hatinya.
Proposal hidup saya pribadi, yang menjadi bagian dari keseluruhan yang saya ajukan, berisi
berbagai macam doa dalam berbagai aspek. Mulai doa mohon ampunan sampai meminta citacita saya dikabulkan. Mulai hal kecil yang remeh temeh seperti ingin membeli beberapa hal kecil
sampai ingin keliling dunia dan membeli ranch di Amerika. Mulai hal yang sangat ‘mature’
seperti ingin berguna untuk umat sampai hal ‘kekanakan’ seperti ingin memiliki rumah pohon.
Sepanjang hidup, saya telah banyak melihat dan merasakan banyak keajaiban, atau mungkin
lebih tepat disebut sebagai pertolongan Allah yang membantu saya mewujudkan satu demi satu
rencana hidup saya. Jadi, walaupun saya menuliskan rumah pohon dan lain sebagainya sambil
tersenyum-senyum di kulum antara keinginan dan mempertimbangkan ketidakmungkinan, saya

pikir…, mengapa tidak? Bukannya saya tidak bersyukur, tapi saya pikir, akan lebih indah
rasanya bersyukur di atas ranch milik pribadi sambil selonjoran di atas rumah pohon menikmati
pemandangan dari pada di atas rumah kontrakan sempit dan pengap. Toh, Rasul pernah bersabda
bahwa sebaik-baik harta adalah harta yang ada di tangan seorang mukmin.
Semoga saya bisa seperti itu.
Hari -H
This is it! Inilah saatnya.
Ahad, 31 Juli 2011 pukul delapan pagi saat aku tiba di terminal 2, pintu D2 Bandara Soekarno

Hatta. Pesawat kami dijadwalkan take off pukul dua siang, tapi kami diminta sudah ada di
bandara pukul sembilan pagi untuk pengaturan bagasi, check in, pengaturan mahram, dll. Jumlah
rombongan kami hampir mencapai 100 orang, dan hanya beberapa orang saja yang berusia di
bawah 30 tahun termasuk diri saya. Saya mendapatkan diri saya di tengah para orang tua yang
kebanyakan sudah berkali-kali ke tanah suci.
Bandara penuh dengan beragam manusia. Seorang wanita cantik berambut pirang menyandang
ransel besar bersama pria asing lainnya. Dari postur dan barang bawaan mereka saya menduga
mereka para backpacker yang sedang berencana liburan. Saya menemukan sedikit kesamaan.
Dibandingkan seluruh anggota rombongan, saya mungkin termasuk salah kostum. Sementara
yang lain mengenakan batik halus buatan tangan yang mengkilap, kemeja, dan para ibu di
sekeliling saya mengenakan jubah putih serupa seragam ibu-ibu majlis taklim, saya sendiri hanya
mengenakan rok, kaos panjang, jilbab kaos lebar dengan ransel di punggung. Untungnya saya
masih cukup sopan untuk tidak mengenakan sandal jepit walaupun sebenarnya sempat
terpikirkan juga oleh saya ketika akan berangkat tadi pagi, hehehe.
Bukan apa-apa, kami akan menghabiskan sekitar sembilan jam berada di atas pesawat dan akan
tiba di Jeddah pukul sepuluh malam waktu setempat atau pukul dua pagi waktu Indonesia barat.
Jadi menurut sebagian sisi otak saya yang biasa berpikir praktis, buat apa berpakaian sangat
bagus kalau hanya untuk numpang tidur di pesawat?
Saya berkenalan dengan beberapa orang, tapi lebih banyak menghabiskan waktu sendirian dan
melewatkannya dengan agenda pribadi saya. Teringat pesan teman dan ibu saya untuk

mendahulukan para orang tua, saya menuntun seorang wanita yang paling sepuh berusia 87
tahun yang saya pikir paling membutuhkan bantuan.
Saya cukup sering bepergian dan kebiasaan backpacker saya rupanya sudah cukup mendarah
daging. Sementara yang lain membawa perbekalan lengkap nasi dan lauk pauk untuk sarapan
dan saat menunggu keberangkatan, saya hanya membawa beberapa potong makanan kecil berupa
kue, coklat serta permen. Pesawat terlambat dua jam dan saya tidak tertarik untuk mengambil
roti yang disediakan maskapai penerbangan. Kami sudah berada di ruang tunggu dan saya tidak
tahu dimana bisa membeli nasi dan lauk. Jadi sampai pukul empat sore, saya menghabiskan dua
batang coklat terakhir saya sebagai menu makan siang, sedikit menyesal dan mengakui
kebenaran orang-orang mau merepotkan diri menyiapkan perbekalan memadai.
Untungnya dalam pesawat makanan cukup berlimpah. Tak lama kami naik, dihidangkan sari
jeruk dalam kemasan kecil. Selang beberapa waktu, dihidangkan snack berupa cake, pudding,
dan kue. Teh, kopi susu, jus jeruk, sari buah apel serta minuman bersoda pilihan minuman yang
ditawarkan pramugari.
Makan malam dihidangkan pukul enam sore mengikuti waktu makan malam di Jakarta.
Makanan standar pesawat berupa nasi, sayuran dan sapi lada hidam yang masih hangat
terbungkus dalam wadah tertutup aluminium foil. Kudapan kedua disajikan sekitar pukul
setengah sembilan malam berupa roti keju, pudding, kue dan minuman. Makan malam kedua

disajikan pukul sebelas malam mengikuti waktu makan malam di kota tujuan. Meskipun seharian

mengharapkan nasi, sejak makan malam pertama saya sudah merasa cukup dan tidak lagi
berselera untuk makan. Snack pertamaku pun masih tersisa. Saya pernah dengar dalam sebuah
penerbangan jarak jauh, salah satu alasan kita sering dibangunkan hanya untuk makan katanya
untuk mencegah jet lag. Saya tidak tahu apakah info itu valid atau hanya isapan jempol belaka.
Saya mengobrol dengan kawan duduk di kanan dan kiri saya, sebelum kami kehabisan bahan
pembicaraan dan bersiap untuk tidur.
Pesawat ini lebih besar dari pada pesawat yang biasa saya naiki untuk penerbangan lokal. Dua
baris di sisi kiri, empat baris di tengah dan dua baris lagi di sisi kanan. Saya kehilangan
kesenangan saya karena berada di barisan tengah sehingga tidak bisa melihat ke jendela saat
pesawat take off. Peragaan keselamatan dalam pesawat yang biasanya diperagakan pramugari
sekarang sudah terekam dalam sebuah layar berbentuk televisi yang otomatis masuk ke dalam
kabin sesaat sebelum pesawat tinggal landas. Monitor ini juga menampilkan peta dunia yang
menunjukkan posisi pesawat, kecepatannya, suhu udara, waktu tempuh menuju kota tujuan, serta
waktu setempat dibandingkan waktu tempat asal pemberangkatan.
Kami berada di atas wilayah Srilanka saat saya memperhatikan kembali layar monitor di depan
kami. Suhu di luar menunjukkan sekitar minus 35 derajat celcius, kecepatan pesawat 920
km/jam, dan kami masih berada beberapa jam dari tempat tujuan.
Saya mendapatkan penemuan baru dalam hal tidur. Biasanya, para penumpang akan mengatur
sandaran kursi ke belakang untuk tidur, dan itu membuat leher sakit. Lagipula, cara itu terlalu
‘konvensional’, jadi saya duduk bersila, membiarkan meja lipat di depan saya tetap terbuka,

menaruh ransel saya ke atasnya seperti menaruh menu makanan, memakai jaket dan selimut
kemudian melipat tangan ke atas ransel dan mencoba tidur. Gaya saya persis anak sekolahan
yang tidur di kelas pada jam-jam pelajaran terakhir. Cara ini juga beresiko membuat pegal leher
sehingga saya harus berubah posisi beberapa kali, tapi sebagai variasi, cara ini lumayan juga.
lagipula, ini penemuan baru. Saya harus menghargainya. *Apaan sih?
Saya tidak bisa tidur satu jam sebelum mendarat. Arloji di tangan saya masih belum diubah dan
layar monitor juga menunjukkan informasi yang sama. Waktu di Indonesia bagian barat adalah
empat jam lebih awal dibanding Saudi. Saat ini, pukul satu dinihari waktu Jakarta atau pukul
sembilan malam waktu Jeddah. Saya terpikir tentang keluarga saya. Malam ini seharusnya
malam pertama ramadhan, malam tarawih pertama di masjid yang biasanya tidak akan saya
lewatkan. Saat kuliah dulu, entah kenapa acara pulang munggahan menjadi penting artinya. Saya
sudah membahas hal itu tadi pada teman duduk saya. Pengalaman masa kecil ‘mengetek’ tempat
dengan menggelar sajadah di masjid sejak magrib, dan keharusan mencatat ceramah dan
meminta tanda tangan pengurus masjid untuk tugas sekolah.
Tapi saat ini, saya berada puluhan ribu kaki di atas tanah, melewatkan ‘seremoni’ tarawih
pertama yang pesertanya biasanya membludak sampai ke halaman masjid. Saya sedang dalam
perjalanan menuju sebuah tempat di mana selama ini wajah saya menghadap saat sujud.
Mengalami semua hal ini, tidak bisa tidak, membuat air mata saya mengalir tanpa bisa saya
cegah. Saya menganggap diri saya amat beruntung.
Saya membuka quran dan memulai tilawah dari al-fatihah kembali sebagai tanda masuknya satu

ramadhan. Saya rasa banyak juga yang melakukan hal yang sama. Saya menghentikan bacaan
saya saat terdengar pengumuman bahwa pesawat akan mendarat. Saat ini pukul dua pagi waktu
Jakarta atau pukul sepuluh malam waktu Jeddah. Semakin dekat saat pesawat mendarat, saya
makin berdebar. This is it! Inilah saatnya.

Hari pertama di Madinah
Dari tempat pendaratan, kami dibawa dengan bus menuju ruang tunggu bandara. Bandara King
Abdul Aziz berupa bangunan-bangunan putih dengan atap yang seperti kanopi berderet. Saya
memandangi bangunannya, lampu-lampu tinggi yang menerangi bandara dari balik jendela besar
di pintu bus. Kami melewati sebuah ruangan di mana saya melihat para laki-laki di sana sudah
berpakaian ihram. Saya semakin merasakan keberadaan saya di tempat asing.
Tadinya saya pikir, bandara akan ramai dengan orang, tapi ternyata tidak. Pemerintah Arab Saudi
membuat aturan baru untuk mengantisipasi jamaah umroh yang membludak di bulan ramadhan
sehingga kami mendarat di terminal haji, bukan di terminal internasional seperti biasanya. Jadi
bisa dipastikan, selain petugas bandara, semua orang yang berada di sini memang datang untuk
melakukan umroh. Itulah sebabnya sejak tadi yang saya lihat hanya orang-orang yang berpakaian
ihram. Makin lama semakin penuh.
Untuk wanita yang bepergian sendiri dan berusia di bawah empat puluh lima tahun, wajib
didampingi mahramnya. Pihak travel telah menitipkan saya pada seorang bapak sebagai mahram
hanya untuk melewati proses imigrasi. Setelah selesai, kami menunggu di sudut sementara

petugas dari travel mengurus bagasi dan koper. Rombongan demi rombongan orang datang dan
mulai memenuhi bandara. Seorang pria yang saya duga muthawif dari Negara Turki berteriakteriak mengkoordinir jamaahnya. Saya duduk di troli, menyaksikan semua itu dengan takjub.
Tua muda, bahkan anak-anak, dari berbagai bangsa dan bahasa, bercampur baur dalam pakaian
ihram. Ukhuwah islamiyah, esensi yang menyatakan bahwa kami sama.
Ternyata di dalam bandara, ada juga yang berdagang. Dan para pedagang, banyak yang bisa
berbahasa Indonesia dengan cukup lancar. Kenyataan itu baru saya ketahui saat seseorang
mendekati rombongan kami dan menawarkan voucher pulsa dengan nomer Saudi, sehingga kami
tidak dikenakan tarif international roaming jika harus menelepon lokal. Saya pribadi tidak
bermaksud mengganti nomer. Bukan apa-apa. Mengganti SIM Card berarti harus merestart ulang
ponselku. Saya termasuk gaptek dan toh, saya hanya mengambil program 11 hari. Saya tidak
mau ketika kembali ke Indonesia tiba-tiba saya tidak bisa menerima e-mail atau messenger
karena setting ponsel saya berubah. Tapi memang, tarif SMS pun tetap terhitung mahal jika
masih menggunakan nomer Indonesia. Sekitar lima sampai delapan ribu rupiah untuk satu kali
SMS standar, bahkan ada yang mengatakan sepuluh ribu rupiah tergantung masing-masing
operator. Untuk saya yang biasa menerima 150 SMS gratis setiap bulan karena pemakaian pulsa
di atas rata-rata, tarif ini tentu mengejutkan.
Tenda-tenda besar terpasang di luar bandara. Kami keluar dari ruang tunggu dan udara panas
bercampur dengan suara blower menggaung menemani kami naik menuju bus yang akan
membawa kami ke hotel.
Bus-bus di Saudi tidak sebagus bus-bus AC eksekutif di Indonesia. Meskipun keluaran

Mercedes, dari luar, bus ini tampak seperti bus zaman perang dengan dua pintu masuk di depan
dan tengah, serta sedikit pembatas yang sepertinya dimaksudkan untuk memisahkan laki-laki dan
perempuan. Tapi di dalamnya cukup nyaman, meskipun tanpa toilet, tapi AC-nya cukup dingin
dan ada speaker yang diatur oleh supir untuk berbicara mutawif atau ketua rombongan. Setir di
bus ini berada di sebelah kiri dengan tangga untuk naik ke dalam bus yang lebih tinggi daripada
tangga bus PPD.
Meskipun Mekah hanya berjarak satu jam perjalanan dari Jeddah, kami akan langsung bertolak
ke Madinah yang berjarak sekitar 498 kilo dari Mekah. Makan sahur dibagikan sekitar pukul tiga
pagi waktu setempat. Nasi kotak, ayam bakar, telur, orek tempe, lalapan dan sambal, lengkap
dengan buah dan air mineral botolan. Keseluruhan menu ini disajikan dalam porsi yang terlalu

besar.
Rata-rata, kami semua sudah lelah akibat perjalanan. Pemandangan gelap di luar sehingga tidur
adalah pilihan yang paling masuk akal. Saya tidak terbiasa makan sahur, apalagi dalam porsi
sangat besar seperti ini. Potongan ayamnya rasanya cukup untuk dua atau tiga orang. Saya ingin
mencukupkan diri mengambil berkah sahur hanya dengan minum air, tapi berhubung saya tidak
tahu medan seperti apa yang akan saya hadapi nanti, saya memaksakan diri membuka tutup
aluminium foil dan menyuap makanan selagi masih hangat. Meskipun saya meminta bantuan
yang lain untuk mengambil makanan saya sebelum sempat saya sentuh, tetap saja, porsinya
terlalu banyak. Jadi saya hanya memakan beberapa suap, berjuang memasukkan potongan ayam
ke dalam mulut, dan meniatkan sisanya untuk disedekahkan kepada para semut yang entah bisa
hidup di tempat ini atau tidak.
Kami salat subuh di sebuah masjid di pinggir jalan yang terpencil dari sekitarnya. Mungkin
karena letaknya yang kurang strategis dan hanya sekedar dijadikan persinggahan orang dalam
perjalanan jauh, sehingga kurang terawat. Masjidnya lumayan rapi tapi toiletnya kotor dan bau.
Saya baru tahu bahwa di luar negeri ada juga fasilitas umum yang seperti ini.
Kami tiba di Madinah saat hari mulai terang. Walaupun waktu menunjukkan pukul tujuh pagi,
tidak tampak kesibukan berarti yang tampak di jalan. Toko-toko tutup, suasana lenggang tanpa
pejalan kaki. Kendaraan hanya satu atau dua yang lewat. Pemandu kami memberi info bahwa
kami akan segera melewati masjid Nabawi. Masjid kebanggaan penduduk Madinah yang
dinyatakan sebagai masjid paling indah di dunia. Di dalam masjid tersebut, ditandai dengan
kubah hijau, terdapat makam Rasulullah SAW beserta dua sahabat beliau, Abu Bakar ash-shidiq
RA dan Al-Faruq, Umar bin Khattab RA.
Di dalam kompleks masjid terdapat kuburan Baqi, tempat dimakamkannya para istri Rasul,
sahabat-sahabat beliau termasuk orang-orang yang wafat ketika melaksanakan ibadah
haji/umroh.
Hotel tempat kami menginap hanya berjarak sekitar seratus meter dari masjid Nabawi. Terletak
di pinggir jalan yang strategis di arah selatan masjid. Di depannya terdapat lapangan kecil di
mana puluhan burung dara yang jinak sedang sibuk mencari makan. Sebentar mereka terbang ke
jalan, lalu ke atap dan jendela gedung, lalu kembali ke lapangan di depan saya. Saya naik sedikit
ke pagar pembatas yang tidak begitu tinggi, terpesona saat melihat kawanan burung itu terbang
ke sana ke mari. Beberapa anak kecil mengejarnya, sebagian lagi melemparkan makanan, tapi
sebagian besar hanya menontonnya seperti saya.
Ini Tanah Haram, burung-burung itu akan dengan tenang mencari makan karena dilarang untuk
dibunuh. Konon, burung-burung dara di Mekah dan Madinah adalah keturunan burung dara yang
turut berjasa dalam perjalanan hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah. Saat Rasulullah dan Abu
bakar bersembunyi dalam gua, Allah memberikan pertolongan-Nya dengan membuat pohon
rimbun dengan akar-akarnya yang kuat tumbuh di mulut gua, seekor burung dara mengerami
telurnya dalam sarang dan seekor laba-laba membuat sarang di mulut gua. Orang-orang quraisy
yang mengejar Nabi tidak memeriksa gua Tsur karena mereka beranggapan, tidak mungkin Nabi
berada di sana karena akar-akar pohon yang menutupi mulut gua sehingga tidak memungkinkan
seseorang untuk masuk, burung dara yang sedang mengeram pasti akan pergi dan sarang labalaba di mulut gua pasti akan hancur. Burung-burung dara di Tanah Haram diyakini sebagai
keturunan burung dara di mulut gua tadi.
Saya tidak bisa membayangkan jika burung-burung dara tadi hidup di Indonesia. Tentu mereka
tidak akan bisa terbang dalam kawanan yang terdiri dari puluhan, bahkan ratusan burung
sekaligus, karena kemungkinan sudah akan diburu untuk dijadikan makanan.

Berada di sebuah tempat asing jelas membutuhkan penyesuaian tersendiri. Bagi orang yang
pernah belajar beberapa bahasa asing seperti saya, kata-kata di dalam otak selalu lebih cepat
daripada yang terucap di mulut, tapi seringkali dalam berbagai bahasa campuran sekaligus.
Bahasa Arab saya menghilang entah ke mana. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Inggris
dan pertanyaan pertama yang saya ajukan kepada petugas hotel adalah : “Where is the nearest
toilet?”
Dalam beberapa kesempatan berikutnya, saya hampir kelepasan bicara dalam bahasa Jepang.
Para penduduk di sini rata-rata bisa berbahasa Indonesia sedikit-sedikit. Jika sedang tawar
menawar dengan pedagang, saya hanya mengikuti kebanyakan orang lain dengan berpatokan
pada dua kata saja : halal dan haram. Halal untuk menunjukkan persetujuan harga atau ‘ya’, dan
haram sebaliknya. Jadi setelah bertanya “How much it cost?” atau “berapa?” dalam bahasa
Indonesia, saya akan melanjutkan dengan tawaran seperti : “Twenty riyal for one dozen, halal?”
Saya beruntung selalu mendapat teman sekamar yang baik dan lebih berpengalaman dibanding
diri saya. Baik ketika di Madinah, Mekah maupun Jeddah, teman-teman sekamar saya
kebanyakan sudah berkali-kali ke tanah suci sehingga saya bisa mendapat banyak pelajaran serta
pengalaman. Secara karakter pun, meski usia kami terpaut jauh, tapi selalu ‘nyambung’ dan bisa
saling menggingatkan. Tiga belas hari perjalanan umroh dan tiba-tiba saya punya banyak ibu,
nenek, dan saudara sepupu.
Setelah pembagian kamar dan merapikan barang-barang. Saya naik ke tempat tidur. Sedikit
bingung dan disorientasi waktu. Hari senin seperti ini, biasanya saya sedang meeting di kantor,
jadwal saya untuk sepekan sudah akan fiks dan biasanya padat. Tapi sekarang, saya malah
berada di kamar, kelelahan sehabis perjalanan tapi merasa aneh untuk tidur di jam-jam yang
biasanya saya anggap waktu produktif.
Kami ditempatkan sekamar berempat. Empat bed besar dengan meja, kulkas, telepon, AC dan
kamar mandi di dalam. Teman sekamar saya adalah bu Nur asal Jakarta, bu Suminten asal Kalsel
yang biasa kupanggil bu Sum serta bu Haklimah asal Bengkulu. Bu Sum dan Bu Haklimah
berangkat umroh bersama para suami masing-masing, sedang bu Nur berangkat sendiri karena
suami beliau telah lama meninggal dunia.
Saya memutuskan untuk mandi sekaligus mencuci pakaian. Merasa bingung karena hotel ini
tidak memiliki beranda untuk bisa menjemur. Bahkan, baru kali ini saya pergi dengan membawa
hanger karena ada dalam daftar barang yang perlu dibawa dalam buku yang diberikan pihak
travel.
Saya menggantung pakaian di hanger dan menjepitkannya di jendela agar udara panas
membuatnya kering. Seseorang di kamar depan saya bertanya berapa nomer ekstension hotel
karena ia ingin menanyakan jasa laundry. Dengan sedikit malu saya menjawab tidak tahu, dan
memang, menggunakan jasa laundry hotel benar-benar tidak terpikir oleh saya saat itu.
Kebiasaan saya untuk mandiri dan pengalaman backpacker yang singkat selama ini tidak
mencatat perlunya menggunakan jasa orang lain sehingga saya malah bersusah payah mencuci
pakaian saya sendiri, dengan tangan pula. Sejujurnya saya merasa sedikit kampungan. Ndeso.
Kampring, kalau menurut bahasa anak ‘gaul’ yang tidak jelas gaul di mana.
Saya mengikuti ajakan para ibu teman sekamar saya untuk lebih dulu ke masjid Nabawi
menunggu waktu dzuhur. Udara panas menyergap begitu kami berempat keluar hotel. Saat ini
musim panas dan suhu udara di Tanah Haram berkisar antara 50-60 derajat celsius pada siang
hari. Ini hari pertama saya di negeri asing bertepatan dengan hari pertama di bulan ramadhan
pada puncak musim panas. Benar-benar ujian yang sempurna.
Masjid Nabawi memiliki halaman yang luas yang terlindungi oleh payung-payung indah yang

bisa dibuka-tutup. Saat pertama kali saya datang, saya belum tahu banyak hal. Tapi saya pernah
menonton tayangan Discovery channel dan mendapatkan info bahwa payung-payung indah dan
atap masjid Nabawi didesain oleh seorang arsitek dari Jerman sedang ratusan lampu kristal
berlapis emas dalam masjid dipesan khusus dari Italia.
Kami masuk melalui pintu Ali bin Abi Thalib. Saya sebenarnya ingin masuk melalui pintu Umar
bin Khattab yang menjadi pahlawan favorit saya. Tapi sepertinya gerbang Abu Bakar dan Umar
RA adalah gerbang untuk para laki-laki. Pintu masuk menuju masjid Nabawi terpisah sejak dari
halaman. Seorang askar di pos memperingati kami karena salah mengambil arah jalan dan
menunjukkan arah jalan masuk untuk wanita.
Tiap pintu gerbang berwarna kuning dan tampak megah. Mungkin terbuat dari emas, entahlah,
saya tidak begitu tahu. Bagian dalam masjid berbentuk seperti terowongan besar dengan
lengkungan-lengkungan berlapis berwarna abu-abu dan putih. interiornya mengingatkan saya
dengan istana Al-Hambra yang pernah saya lihat gambarnya karena cukup mirip. Tiang-tiang
masjidnya besar, terbuat dari marmer, dengan lampu-lampu gantung dan lampu dinding yang
cahaya dan warnanya bisa disesuaikan.
Atap masjid dihiasi kaligrafi, dengan beberapa kubah yang ternyata bisa digeser sehingga langit
akan terlihat. Bagian lain berbentuk ukiran berwarna abu-abu. Ada sekitar sembilan ukiran yang
masing-masing coraknya berbeda. Di bawah tiang masjid diletakkan rak sepatu kecil, dan tempat
menyimpan kursi lipat untuk para lansia yang salat sambil duduk. Di atasnya, terdapat rak kecil
tempat menaruh quran berwarna hijau dalam berbagai ukuran. Termos-termos besar berwarna
coklat berderet di banyak tempat. Karena ini bulan ramadhan, termos-termos air itu kosong. Tapi
menjelang asar, termos-termos itu akan diisi dengan air zam-zam dingin yang menyegarkan.
Saat masjid makin penuh, askar-askar wanita berpakaian serba hitam dan bercadar menyuruh
orang-orang masuk ke dalam dan merapatkan saf. Mereka memberi komando dalam campuran
bahasa yang paling mungkin adalah bahasa mayoritas para jamaah yang datang. Mengingat
Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, banyak tempat di sini juga diberikan
keterangan dalam bahasa Indonesia selain dalam bahasa Arab dan Inggris. Semua jamaah di sini
dipanggil dengan sebutan hajjah. Sehingga seringkali terdengar para askar menyuruh kami
masuk ke dalam sambil berteriak : “Ya Hajjah, thoriq, thoriq.” Disusul dengan bahasa Indonesia
dalam logat khas Arab yang terdengar asing di telinga saya. “Ibu, jalan ibu.”
Kami menunggu waktu dzuhur dengan tilawah al-quran. Mata saya terasa pedih dan berair. Efek
dari tidak nyenyaknya tidur dan mungkin debu. Saya menatap langit-langit berbentuk ukiran
bunga, mengamati kaligrafi, lampu-lampu, mengagumi keseluruhan ornamen masjid yang indah,
seolah berusaha menyakinkan diriku sendiri bahwa saya benar-benar berada di tempat ini dan
bukan sekedar mimpi.
Masjid Nabawi memiliki sistem udara yang baik. Mesin-mesin pendingin berukuran raksasa
mengalirkan udara sejuk yang berlawanan dengan udara luar. Bahkan di tengah penuhnya
jamaah dalam masjid, saya dan teman-teman sekamar saya bisa merasa kedinginan karena
besarnya AC yang diatur untuk tempat ini.
Waktu subuh di Madinah saat saya di sana adalah pukul setengah lima, dzuhur setengah satu
siang, Asar pukul empat sore, magrib pukul tujuh, dan isya pukul sembilan malam. Jarak adzan
dengan iqomat adalah lima belas menit tiap waktu salat.
Saya baru tahu bahwa tiap selesai salat fardhu baik di Madinah dan Mekah selalu diadakan salat
ghaib. Tadinya saya pikir imam mengingatkan kami untuk salat sunah bakdiyah, tapi temanteman sekamar saya mengatakan agar saya berniat salat jenazah. Katanya dulu saat jamaah haji
belum banyak, tiap ada yang wafat dalam pelaksanaan haji atau umroh, jenazahnya diletakkan di

depan Ka’bah dan imam masjidil haram memimpin salat jenazahnya. Saya pikir bisa disalatkan
di masjid Nabawi atau di masjidil Haram, disalatkan oleh ribuan orang dan dimakamkan di Baqi
bersama para sahabat dan keluarga Rasul adalah salah satu cara berpulang yang indah dan bisa
jadi pilihan.
Um…, tapi saya tidak menuliskannya dalam proposal hidup saya.
Kami pulang ke hotel setelah salat dzuhur dan udara panas langsung menyeruak saat kami keluar
dari masjid. Suhu udara sekitar lima puluh tiga derajat Celsius, tapi ada juga yang mengatakan
suhunya sekitar lima puluh enam derajat Celsius. Kulit saya rasanya kering oleh teriknya
matahari. Panasnya seperti kita dimasukkan dalam tong dan ditutup rapat-rapat sehingga kita
harus megap-megap untuk mencari napas. Begitu keringnya udara Madinah sehingga saat kita
menelan ludah pun, sepertinya tidak ada lagi air liur yang tersisa. Tenggorokan terasa sakit oleh
udara panas yang kita hirup. Dan aspal jalanan memantulkan panas yang membakar wajah dan
menyakitkan mata. Bahkan walaupun jarak hotel hanya sekitar seratus meter, perjalanan ke dan
dari masjid Nabawi sudah merupakan perjalanan berat. Tapi siapa yang tidak tergoda dengan
pahala seribu kali salat di tempat lain di muka bumi?
Bu Nur memberikan saya masker yang sangat membantu dan saya mengenakan kaca mata gelap
saat kembali ke masjid untuk salat Asar. Tetapi rupanya udara panas tetap menembus masuk dan
seolah menyerap habis setiap energi saya yang tersisa. Ini adalah puasa yang paling berat yang
pernah saya alami. Kelelahan, panas, dan adaptasi yang lambat. Hari-hari selanjutnya, saya akan
mencelupkan masker saya dalam air, memerasnya sebelum saya pakai, dan membiarkan kaos
kaki saya dipakai dalam keadaan setengah kering untuk sedikit mengurangi hawa panas. Hanya
perlu satu kali perjalanan, atau mungkin satu kali bolak-balik ke masjid untuk membuat masker
dan kaos kaki saya kering sempurna.
Saya masuk ke dalam area salat “woman without children” dengan keterangan dalam bahasa
Arab, Inggris, Perancis, Urdu dan Melayu. Hanya saja terjemahan bahasa melayunya sepertinya
salah ketik sehingga tulisan besar-besar itu berbunyi : wanita tanap anak-anak. ‘Tanap’, bukan
tanpa. Toilet pun diterjemahkan sebagai WC. Padahal dalam gedung-gedung di Jakarta, istilah
WC sangat jarang ditemui karena terkesan kasar, sama seperti istilah benjou dalam bahasa
Jepang.
Pukul setengah tujuh malam, saya dan bu Nur menuju masjid Nabawi untuk menunggu adzan
magrib. Dua teman sekamar saya yang lain sudah lebih dulu pamit ke masjid bersama suami
mereka. Masjid sudah penuh sehingga kami hanya mendapat tempat di halaman. Ini memberi
saya satu pengalaman baru lagi dalam perjalanan kali ini. Terpal-terpal digelar untuk tempat
makanan. Para petugas membagikan makanan ta’jil berupa roti-roti besar dan tebal, susu, dan
kurma. Banyak yang membagikan makanan lain seperti jus jeruk dalam kemasan, nasi biryani
dalam kotak tertutup alumunium foil, yoghurt, daging, dan lain-lain. Ada yang menerima dengan
tertib, tapi ada juga yang berebut menerima apa pun dan menyimpannya. Dilihat dari ukuran roti
dan makanan lain yang dibagikan, sepertinya porsi makan rata-rata orang di sini memang besar.
Saya sendiri hanya menerima sebuah roti bulat serupa martabak di Indonesia. Rotinya masih
hangat, tadinya saya pikir kebab, tapi ternyata bukan. Bentuknya lebih pipih dari pada martabak
Indonesia, tapi lebih lebar, dan ada bekas bakaran di kedua sisinya. Saat saya pulang ke
Indonesia, seorang supir yang pernah bekerja di Arab memberitahu saya bahwa namanya adalah
roti khubus, harganya murah, tapi bisa mengenyangkan dari pagi sampai sore. Seorang di
samping kami menawarkan, bahkan memaksa kami mencicipi daging dan ayam sebagai lauk roti
tadi. Kami menerimanya sebagai tanda penghormatan, saya merobek pinggir roti, berbagi dengan
bu Nur, tapi kami tetap tidak sanggup menghabiskannya. Saya menyimpannya karena tidak mau

membiarkannya mubazir. Lagipula, rasanya bagi saya cukup lezat. Hangat, empuk dan gurih.
Kran air zam zam sudah dibuka sejak Asar tadi dan saya ikut mengantri untuk mengisi tempat air
minum saya. Saya menekan kran dan air zam zam dingin mengalir. Sebagian orang
menggunakannya untuk mencuci muka dan menyiramkan ke kepala untuk mengurangi panas.
Adzan magrib berkumandang sekitar pukul tujuh malam. Air zam zam di masjid Nabawi sudah
didinginkan sehingga seperti air es yang segar. Setiap hari lebih dari satu juta gelas plastik sekali
pakai disediakan untuk memberi minum para jamaah di masjid Nabawi. Pada saat ramadhan
seperti ini jumlahnya bisa meningkat hingga tiga kali lipatnya. Sekitar lima puluh juta liter air
zam zam didistribusikan pada musim haji setiap tahun, dan sumur zam-zam tetap tidak pernah
kering. Subhanallah.
Sebelumnya, saat di Indonesia, bila ada yang memberi saya air zam zam, saya meminumnya
sedikit-sedikit karena rasanya agak aneh. Barangkali karena kandungan mineralnya paling tinggi
dan lengkap sehingga terasa agak pahit di lidah. Tapi di sini, setelah seharian terbakar terik
matahari, tenaga saya langsung terasa pulih setelah mengunyah beberapa sobekan roti dan
meminum beberapa teguk zam zam. Saya baru benar-benar merasakan keberkahan zam-zam saat
air dingin itu menyentuh kerongkongan saya yang kering seharian. Itu adalah air zam-zam paling
menyegarkan, paling nikmat seumur hidup saya.
Lima belas menit kemudian, terpal-terpal diangkut bersama sisa-sisa makanan dan sampah. Para
petugas cleaning service berseragam coklat beserta para askar membereskan sisa-sisa ta’jil
dengan cepat sehingga seluruh lokasi masjid dan halaman kembali bersih dalam sekejap dan siap
untuk dipakai salat kembali.
Saat pulang kembali ke hotel, seorang pemuda dengan satu dus besar kurma mempersilakan
kami mengambil kurmanya. Saya dan bu Nur mengambil beberapa buah. Saya sedikit heran
karena kurma ini hanya setengah matang. Setengah bagiannya manis, tapi setengah bagian
lainnya lagi masih keras dan berasa pahit, mungkin lebih tepatnya sepat seperti rasa buah salak.
Bu Nur menjelaskan bahwa ini adalah kurma ruthob, kurma setengah matang yang dimakan
Maryam saat baru melahirkan Nabi Isa. Rupanya setiap jenis dan kematangan kurma memiliki
khasiat tersendiri. Kurma mentah dipercaya mengobati ketidaksuburan kandungan dan
infertilitas, kurma ruthob mengembalikan stamina dan kurma Ajwa atau kurma Rasul mencegah
racun dan sihir.
Saya melihat deretan mobil petugas kebersihan siap bertugas. Mereka menaiki semacam traktor
kecil yang berfungsi menyapu dan mengepel halaman masjid sekaligus. Seperti alat kebersihan
yang biasa dipakai di gedung-gedung di Jakarta, hanya saja, ini lebih besar dan dijalankan
dengan mobil. Truk-truk sampah mengangkut sisa-sisa makanan dalam terpal dan langsung
mengolahnya. Kerja mereka begitu cepat dan efisien. Di dalam masjid juga ada alat pel manual,
tapi alat pemerasnya serupa mesin staples besar yang memeras air zam-zam yang tumpah agar
tidak licin. Ini menjawab pertanyaan saya bagaimana membersihkan masjid besar ini setiap hari.
Episode buka puasa dan sahur
Buka puasa di hotel biasanya menyajikan aneka makanan dalam bentuk buffee. Makanan
Indonesia yang dimasak orang Arab biasanya rasanya tidak jelas. Bukan taste Arab dan juga
bukan cita rasa Indonesia. Nanggung, menurut istilah teman saya. Saya rasa itu sebabnya travel
ini mempekerjakan orang Indonesia asli sebagai kokinya. Baik saat di Mekah maupun di
Madinah, sesuai cabang terdekat travel ini.
Menu makanan selalu bervariasi setiap hari. Selain beberapa pilihan lauk ‘standar’ seperti fillet
ikan, daging atau ayam, juga ada sayuran dan lauk khas Indonesia seperti tempe, tahu, sayur
asam, sayur lodeh, karedok, soto, rawon, lalapan lengkap dengan sambal, serta buah-buahan

semacam pir, jeruk sunkist, apel atau pisang import yang besar. Itu belum ditambah dengan ta’jil
berupa kurma, es campur atau kolak, teh, kopi, susu, serta jus jeruk dingin yang segar. Kadangkadang ada juga makanan khas Arab sebagai perkenalan seperti nasi biryani, semacam nasi
kebuli yang bentuk nasinya lebih panjang dan berbumbu serta sambosa, gorengan semacam risol
berbentuk segitiga yang berisi daging dan sayuran.
Bisa dibilang, makanan berlimpah sehingga saya tidak pernah merasa khawatir walaupun hanya
berbuka dengan segelas air zam zam di masjid. Roti-roti besar dan yoghurt biasanya saya berikan
pada orang lain atau saya tolak saat askar membagikan makanan tersebut menjelang berbuka
puasa. Saya hanya menerima makanan yang memang akan saya makan agar tidak mubazir.
Beberapa butir kurma, segelas kecil qahwa, kopi khas Arab yang rasanya aneh karena
merupakan racikan berbagai rempah, atau air mineral dalam kemasan.
Saya pecinta buah dan biasanya tidak suka sayuran. Tapi makanan catering ini memang lezat
sehingga saya bahkan jadi menyukai beberapa sayur di antaranya.
Sama seperti di Indonesia, favorit saya sendiri adalah sea food, cumi atau udang besar
kemerahan dengan saus padang serta dua potong daging kecil goreng yang gurih.
“Ini apa?” tanyaku.
“Itu daging burung.”
“Ini bukan burung dara yang banyak di halaman itu kan?” saya memastikan. Urung mengambil
makanan sebelum benar-benar yakin santapan saya kali ini bukan burung-burung dara di jalanan
yang menjadi korban.
Petugas catering itu tertawa. “Itu burung puyuh.”
“Oooo….h,” saya terperangah. Pantas saja dagingnya begitu kecil. Tapi baki ini penuh. Jika
setiap orang mengambil dua potong seperti saya, dan kami nyaris seratus orang, entah berapa
ekor burung puyuh yang dibutuhkan untuk mengisi baki ini sampai penuh. Inilah akibatnya jika
kita terbiasa membaca dan menulis novel detektif. Dengan lebay-nya saya membayangkan
pembantaian besar-besaran burung puyuh mungil bermata sayu yang seketika bergelimpangan.
Namun bayangan itu segera hilang saat saya mencicipi rasanya. Rasanya begitu lezat dan gurih,
bahkan lebih gurih daripada burung dara. Enuaa…k.
Tiba-tiba saja saya menyesal tidak mengambil tiga potong.
Nabawi malam hari.
Di langit Madinah tidak ada bintang sama sekali. Mungkin karena ‘bintangnya’ sudah ada di sini.
Nabawi berwarna kehijauan di malam hari, dengan payung-payung yang terkembang.
Keseluruhan masjid tampak dilingkupi cahaya kehijauan yang sangat indah.
Salat tarawih di masjid Nabawi dimulai sekitar pukul setengah sepuluh malam dan berakhir
sekitar tengah malam. Setiap hari, imam akan menghabiskan satu juz dalam dua puluh tiga rakaat
tarawih dan witir sehingga tiap rakaat tarawih tidak sepanjang yang saya perkirakan sebelumnya.
Meski begitu, saya hanya mengikuti tarawih sampai delapan rakaat dan melanjutkan tilawah dan
witir sendirian di masjid atau di hotel. Saat saya di Madinah, imam masih membacakan juz-juz
awal dalam Al-quran, surat Al-Baqarah yang banyak menceritakan tentang baitullah,
pemindahan kiblat, dan hal-hal yang sangat pas dengan keberadaan saya di tempat ini. Suara
imamnya terdengar familiar, tapi kali ini saya tidak mendengarnya dari kaset murattal, saya
mendengarnya secara live. Ini salah satu pengalaman yang menakjubkan.
Seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun duduk di depan pintu pagar masjid, menjajakan
dagangan berupa siwak sambil berteriak “Dua riyal, lima riyal,” diikuti oleh kata-kata dalam
bahasa Arab yang tidak kumengerti. Saya memandangnya dengan kagum. Rasulullah adalah
pebisnis, dan jiwa wirausaha serta kemandirian sudah ditanamkan sejak dini di sini. Beberapa

kali saya perhatikan, anak-anak kecil yang berdagang di dekat lokasi masjid. Quran, tasbih dan
segala pernak pernik. Sepertinya mereka berdagang bersama orang tuanya atau bergantian,
karena ada kalanya mereka beristirahat dan bermain sepeda, tersenyum ramah pada saya sambil
berucap : ”Hello.”
Saat ini pukul sebelas malam atau pukul dua pagi waktu Jakarta. Berbeda dengan pagi dan siang
hari, lokasi sekitar masjid Nabawi pada malam hari justru ramai. Para pedagang digiring oleh
petugas polisi patroli agar berdagang di area yang telah ditentukan.
Saya tertarik dengan kerumunan orang di dekat hotel yang sepertinya sedang membagikan
sesuatu. Seorang membagikan gelas kertas dan seorang lagi menuangkan minuman. Bagi saya
yang senang dengan berbagai pengalaman baru ala backpacker, ini adalah kesempatan mencicipi
kuliner khas dari penduduk setempat. Saya ikut mengantri dan mendapatkan segelas minuman
hangat berwarna pink. Saya sudah sering mencoba teh susu Arab, tapi yang ini berbeda. Saya
membawanya ke hotel dan meminumnya di kamar. Rasanya agak mirip sekoteng Indonesia, ada
rasa susu hangat, rempah dengan butiran serupa kacang mede yang gurih.
Saya membuka tirai dan menikmati pemandangan dari balik jendela kamar. Madinah masih
ramai sampai sekitar pukul satu pagi. Di luar hanya tampak orang-orang yang pulang ke hotel
dari masjid, beberapa toko yang masih buka serta proyek pembangunan yang belum selesai. Di
kejauhan hanya ada bayangan bukit-bukit hitam tandus, dan lampu-lampu jalanan yang
menerangi kota. Mobil-mobil hilir mudik tanpa satu pun sepeda motor.
Saya bersyukur untuk hari ini.
Tiba-tiba aku teringat syair nasyid favoritku saat masih kuliah di Bandung. Nasyid yang
menyentuh sehingga sering dipakai sebagai musik latar cara muhasabah.
Tuhan, kusebut nama-Mu. Di setiap waktu…
Di kala suka dan duka, Engkau Maha Besar.
Tuhan, kupanggil nama-Mu. Di setiap waktu.. u..
Di kala suka dan duka, Engkau Maha Penolong
Saya menyanyikan syair nasyid itu sambil memandang ke luar jendela. Mengenang perjalanan
mimpi saya hingga bisa sampai ke tempat ini. Menyadari berbagai pertolongan Allah yang
membuat lidah saya kelu.
Saya menghentikan syair saya dan terisak.
Lagi-lagi saya menangis.
Maka nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kamu dustakan?
(QS Ar-rahmaan : 13)
Episode Raudhoh
Hari kedua, selasa, 2 Juli 2011.
Saya mendapat cerita dari seorang teman yang melihat sendiri seseorang di masjid mengambil
gambar dengan HP-nya di dalam masjid. Kami sama-sama berkesimpulan bahwa membawa HP
dan memotret sepanjang tidak mengganggu orang lain dapat dibenarkan. Namun ternyata, itu
hanya kebetulan saja, barangkali orang yang dilihat temanku bisa lolos karena kamera HP-nya
tidak kentara?
Nyatanya, saat subuh itu saya ke masjid, dua orang askar bercadar menjaga pintu masuk dan
menggeledah setiap tas, membolehkan ibu di depan saya membawa HP-nya yang aktif dan
menyuruh saya ke tempat penitipan dan tidak boleh masuk karena membawa smartphone. Saya
sampai bingung, menunjukkan batere ponsel saya yang tercabut dan berkata : “But, my
cellphone was off.” Tapi askar tersebut tetap menahan langkah saya.
Saya tidak tahu di mana tempat penitipan yang dimaksud. Kembali ke hotel bisa membuatku

terlambat salat subuh berjamaah. Sementara salat di halaman membuat saya khawatir tidak
mendapat keutamaan salat di masjid Nabawi.
Seorang berseragam coklat, petugas cleaning service masjid mendekati saya. Melihat saya
kebingungan, wanita Indonesia itu menarik saya ke pojok dan melindungi saya dari penglihatan
para askar. “Masukkan ke kaus kaki mbak, tapi di pojok sana,” ujarnya membeli solusi. Saya
menurut, memandang penuh rasa terima kasih pada kawan sebangsa yang telah menyelamatkan
saya sehingga tidak terlambat salat subuh. Saya mendekati pintu masuk yang berbeda dan masuk
ke dalam masjid dengan penuh syukur.
Saya benar-benar baru tahu kalau hanya HP biasa saja yang diperbolehkan untuk dibawa. Saya
menduga HP biasa diperbolehkan karena dalam suasana masjid yang penuh, bisa saja kita
ditelepon keluarga atau rombongan berkumpul di tempat tertentu di luar masjid, sehingga jika
ada yang nyasar bisa menghubungi hotel atau travelnya. Tapi HP berkamera, wajib dititipkan,
walaupun sudah dalam keadaan tidak aktif. Apalagi kamera digital. Dititipkan pun tidak
diterima. Saya melihat sendiri seorang wanita disuruh kembali ke hotel untuk menaruh dulu
kameranya atau salat di halaman karena membawa kamera digital ke masjid.
Saya masih berada di masjid Nabawi usai salat subuh, menyelesaikan jatah tilawah saya dan
mengamati interior masjid kembali untuk kesekian kalinya. Setiap melihatnya, saya selalu
diliputi kekaguman akan keindahan dan suasana masjid ini. Baik bagian dalam maupun luar
masjid begitu indah. Bagian dalamnya berupa pilar-pilar berukir yang penuh dengan karya
kaligrafi. Setiap tiang, setiap atap jelas dibuat secara khusus dari bahan terpilih. Lampulampunya bisa diatur sedemikian rupa sehingga Nabawi bisa terlihat berubah warna. Ada enam
kotak di atap yang masing-masing dipahat tersendiri. Ada kubah-kubah yang bisa dibuka untuk
melihat langit. Saat pertama kali melihat kubah itu terbuka, saya sampai terperangah, terpesona
oleh keindahannya. Amazing! Rasanya lebih menakjubkan daripada saat melihat animasi atap
terbuka di planetarium Jakarta atau meneropong bintang di langit Boscha.
Sekitar pukul setengah tujuh pagi, saya keluar dari masjid dan kembali mendapatkan
pemandangan langka. Saat udara mulai hangat, payung-payung indah di halaman masjid Nabawi
sudah waktunya dibuka. Menurut info, selain sebagai peneduh, payung-payung ini juga
mengalirkan hawa dingin. Saya sibuk jeprat jepret, mengabadikannya dalam video kamera
ponsel saya saat payung putih kehijauan itu sedikit demi sedikit mulai mengembang serentak.
Bagi saya, itu seperti melihat proses bunga bermekaran yang sangat langka. Indah dan
mengundang decak kagum. Oh ya, memotret halaman masjid sepanjang yang saya tahu tidak
dilarang.
Saya kembali ke hotel untuk bersih-bersih, dan kembali ke lobi, bergabung dengan jemaah lain
untuk mengunjungi raudhoh. Pihak travel telah menyediakan seorang pemandu wanita untuk
kami. Bodohnya, saya sama sekali tidak tahu tentang raudhoh sebelumnya. Saya sempat mengira
raudhoh itu salah satu tempat dalam rangkaian perjalanan city tour. Saya benar-benar tidak tahu
kalau ziarah ke makam Nabi SAW dan raudhah adalah satu paket. Saya sempat menyangka
bahwa kunjungan ke makam Nabi akan dilaksanakan di lain waktu. Saya benar-benar salah
mencerna penjelasan pemandu di bus saat baru datang kemarin. Saat itu, dari atas bus muthawif
menunjukkan kubah hijau yang menjadi penanda makam Rasul serta kompleks pemakaman
Baqi. Karena sama-sama makam saya kira ziarah ke makam Rasul dan para sahabatlah yang
menjadi satu paket. Alhasil saya benar-benar salah kostum. Maksud saya, saya memakai kemeja,
jilbab tapi menyandang ransel, memakai kacamata gelap dan masker karena saya pikir kami akan
pergi jauh. Saya benar-benar memarahi diri sendiri saat pemandu yang saya taksir seusia dengan
saya itu menggiring kami ke depan pintu masuk masjid Nabawi.

Pantas saja kami mendapat pemandu akhwat.
Untungnya mbak Yuni, pemandu kami yang telah lama bermukim di Madinah bersama
suaminya memberikan penjelasan sebelum kami memasuki masjid. Raudhah, adalah sebuah
tempat di dalam masjid Nabawi, tempat terbaik untuk melakukan ibadah sunah dan salah satu
tempat yang mustajab untuk berdoa. Dalam sebuah hadits Bukhari Rasulullah SAW bersabda :
“Di antara rumahku dan mimbarku terdapat satu taman dari taman-taman surga.”
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir hadits ini. Ada yang berpendapat, pada hari akhir,
Raudhah benar-benar akan diangkat sebagai bagian dari taman surga sedang pendapat kedua
meyakini hadits ini berarti bahwa bila kita beribadah di situ akan membawa kita ke surga.
Selain berdoa dan salat sunah, kami juga meniatkan untuk berziarah. Dipandu mbak Yuni, kami
menyampaikan salam kepada Rasulullah SAW lalu berturut-turut kepada Abu Bakar RA dan
Umar bin Khattab RA di halaman masjid Nabawi. Kami mengucapkan salam dengan lirih agar
tidak mengganggu orang lain. Saya benar-benar merasa tidak enak karena gaya backpacker yang
menurut saya tidak sopan untuk mengunjungi (makam) Nabi. Seandainya saya tahu raudhah ada
di dalam masjid dekat makam Rasul, saya pakai saja baju ihra