PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI HAREUTA

PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI HAREUTA

  PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR TESIS Oleh AFRIZAL 117011137/M.Kn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI HAREUTA

  PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR TESIS Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh AFRIZAL 117011137/M.Kn FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

  

Judul Tesis : PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM

PEMBERIAN ORANG TUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR Nama Mahasiswa : AFRIZAL Nomor Pokok : 117011137 Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN Menyetujui

  

Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua Program Studi, Dekan, (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Tanggal lulus : 11 Februari 2014

  Telah diuji pada Tanggal : 11 Februari 2014 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

  2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

  3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

  4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

SURAT PERNYATAAN

  Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : AFRIZAL Nim : 117011137 Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM PEMBERIAN

  Judul Tesis :

ORANG TUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR

  Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

  Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

  Medan, Yang membuat Pernyataan Nama : AFRIZAL Nim : 117011137

  ABSTRAK

  Masyarakat Aceh yang menganut sistem kekerabatan parental atau bilateral, system waris dalam masyarakat kekerabatan parental atau bilateral memberikan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan yaitu sama-sama mempunyai peluang untuk menjadi ahli waris. Anak perempuan disamping menjadi ahli waris di Kabupaten Aceh Besar masih mendapat pemberian harta kekayaan dari orang tua.

  Hareuta Peunulang

  merupakan salah satu bentuk pemberian setelah anak perempuan berumah tangga, dimana pemberian dapat berupa benda-benda seperti perhiasan, emas, rumah, pekarangan, dan lainnya di antara ayah atau ibu kepada anak-anaknya, jumlah yang diberikan tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah keseluruhan harta peninggalan pemberi, dimana hareuta peunulang yang telah diberikan tidak dapat diminta kembali. Penelitian lebih mendalam terhadap pemberian hareuta peunulang perlu dilakukan, mengingat sistem pewarisan di Aceh sekarang yang menganut pewarisan secara Islam dengan prinsip waris Islam 2 berbanding 1 antara anak laki- laki dan anak perempuan. Penelitian mengenai pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dilakukan untuk mengetahui keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dan status hukum pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dapatkan disamakan dengan hibah dalam hukum Islam.

  Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Penelitian menganalisis data yang diperoleh dan menggambarkan gejala-gejala, fakta-fakta serta aspek-aspek seperti menganalisis sistem kekerabatan, hukum waris adat. Analisis tersebut dilakukan sehingga dapat diketahui dan diperoleh hasil/jawaban dari permasalahan.

  Berdasarkan hasil penelitian, pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang masih dilaksanakan sampai sekarang, di mana masih banyak ditemukan kegiatan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui

  hareuta peunulang

  . Pemberian ini dikarenakan faktor sebagai bekal dikemudian hari, factor kasih sayang, faktor ekonomi, faktor yuridis, faktor budaya, faktor agama, dan faktor keadilan. Perkembangan hukum waris Islam dalam masyarakat Aceh mempengaruhi status hukum pemberian orang tua kepada anak perempuan secara adat melalui hareuta peunulang dalam waris adat, karena syarat dan ketentuan pemberian ini dapat disamakan dengan hibah dalam aspek hukum waris Islam, sehingga status dan akibat hukum hibah secara Islam dengan sendirinya berlaku terhadap pemberian hareuta peunulang kepada anak perempuan.

  Kata Kunci : Hareuta Peunulang, anak perempuan, Aceh Besar. i

  

ABSTRACT

The inheritance system in Acehnese community who practice the parental or bilateral kinship system give equal position to their sons and daughters to be pointed as heirs. In Aceh Besar District, a daughter is not only a heir but can also receive the property granted by her parents. Hareuta Peunulang is one of the grants in the forms of jewelry, gold, home, yard or ground and so forth granted by the parents after their daughter gets married. The amount of the grant given must not greater than 1/3 (one- third) of the total number of the property of the legacy provider, and the hareuta peunulang which has been given is not returnable. A further study on granting hareuta peunulang needs to be conducted considering that the currently existing inheritance system in Aceh following Islamic inheritance system with the principle of 2:1 between the son and the daughter. The purpose of this study was to find out the existence of the grant given by the parents to their daughter through hareuta peunulang practice and to find out whether this practice of hareuta paneulang can beequated with a grant in Islamic law.

  The data obtained for this descriptive analytical empirical juridical study describing the symptoms, facts and aspects of kinship system and adat inheritance law were analyzed to achieve the answer to the problems.

  The result of the analysis showed that the giving of grant by the parents to their daughter through hareuta peunulang is still currently practiced. This grant is given is based on the future supplies, affection, economic, juridical, cultural, religious and justice factors. The development of Islamic inheritance law in Achenese communities has influenced the legal status of the grant traditionally given by the parents to their daughter through hareuta paneulang in adat inheritance because the conditions and requirements of this grant giving can beequated with a grant in accvordance with the aspect of Islamic inheritance law. Therefore, the status and legal cosequence resulted from the Islamic grant law is automatically applicable to the giving of hareuta peunulang by the parents to their daughter.

  Keywords: Hareuta Peunulang, Daughter, Aceh Besar

  ii

KATA PENGANTAR

  Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya tesis ini dapat disusun dan diselesaikan dengan judul PELAKSANAAN DAN STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA KEPADA ANAK PEREMPUAN MELALUI HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR. Selama menempuh pendidikan dan penulisan serta penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh dukungan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak.

  Pada kesempatan ini dengan peanuh kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

  1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan Universitas Sumatera Utara dalam menyelasaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara;

  2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

  3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini;

  4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. iii

  5. Orang Tua Penulis Bapak Abdul Jalil Adam dan Ibu Tihawa, S.Pd yang telah memberikan banyak dukungan materil dan moril kepada penulis sehingga selesainya tesis ini.

  6. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D,. Prof Dr. Runtung, SH, M.Hum, dan Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku pembimbing yang di dalam berbagai kesibukan dapat menyempatkan diri membimbing dan mengarahkan serta memberi petunjuk dan saran yang sangat berharga bagi penulisan tesis ini;

  7. Pengelola, Dosen pengajar dan staf sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan;

  8. Rekan-rekan penulis yang terutama Keseluruhan Kelas C yang dalam hal ini juga ikut serta membantu penulis sehingga terselesaikan tesis ini.

  9. Putri Ayu Rezki Utama, yang telah mendorong dan selalu memberi motivasi kepada penulis dalam penulisan tesis dan proses perkuliahan hingga selesai.

  Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkat dan anugrah-Nya berlimpah bagi beliau-beliau yang tersebut di atas. Sangat disadari dalam tesis ini terdapat banyak kekurangan oleh karena itu semua saran dan kritik penulis terima dengan lapang dada demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Akhirnya harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

  Medan, Februari 2014 Penulis

  (Afrizal) iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  I. DATA PRIBADI

  1. Nama Lengkap : AFRIZAL

  2. Tempat, Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 02 April 1985

  3. Domisili : Kec. Samalanga, Kab. Bireuen, Prov. Aceh

  4. Jenis Kelamin : Laki-Laki

  5. Agama : Islam

  6. Status : Belum Menikah

  7. Telepon : 085260540678 8. e-mail : afrizal.pulo@gmail.com

  II. RIWAYAT PENDIDIKAN

  1. (1997) Lulus SDN 3 Samalanga - Kabupaten Bireuen 2. (2000) Lulus MTsN Jeumala Amal Lueng Putue – Kabupaten Pidie 3. (2003) Lulus MAS Jeumala Amal Lueng Putue _ Kabupaten Pidie 4. (2010) Lulus Universitas Syiah Kuala FH - Banda Aceh 5. (2014) Lulus Program Studi Magister Kenotariatan FH –USU Medan v

  vi

  21 G. Metode Penelitian .......................................................................

  45 E. Keberadaan Pemberian Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Hareuta Peunulang di Kabupaten Aceh Besar ...........................................................................................

  43 D. Pengertian Pemberian Hareuta Peunulang ................................

  40 C. Sejarah Pemberian Hareuta Peunulang .....................................

  33 B. Islam di Dalam Masyarakat Aceh ..............................................

  33 A. Deskripsi Daerah Penelitian .......................................................

  MENDORONG ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN

HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR .....

  24 BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

  14 2. Konsepsi ..............................................................................

  DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ........................................................................................................ i ABSTRACT ....................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................ v DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................

  14 1. Kerangka Teori ....................................................................

  13 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ....................................................

  12 E. Keaslian Penelitian .....................................................................

  12 D. Manfaat Penelitian ......................................................................

  11 C. Tujuan Penelitian ........................................................................

  1 B. Perumusan Masalah ....................................................................

  1 A. Latar Belakang ............................................................................

  53

  vii F. Alasan-alasan Pemberian Hareuta Peunulang ...........................

  56 BAB III STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA MELALUI HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR ....

  69 A. Proses dan Syarat-syarat Pemberian Hareuta Peunulang ..........

  69 1. Proses Pemberian Hareuta Peunulang .................................

  69 2. Syarat-syarat Pemberian Hareuta Peunulang .....................

  74 B. Status Hukum Dari Pemberian Melalui Hareuta Peunulang .....

  76

  1. Status Pemberian Orang Tua Melalui Hareuta Peunulang Dalam Aspek Hukum Waris Adat .......................................

  76

  2. Status Pemberian Orang Tua Melalui Hareuta Peunulang Dalam Aspek Hukum Waris Islam ...................

  83 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 100

  A. Kesimpulan ................................................................................. 100

  B. Saran ........................................................................................... 101

  DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 103

  viii

  DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Luas Daerah, Jumlah Desa / Kelurahan, Mukim, menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar..................................

  35 Tabel 1.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ..........

  37 Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Pada Sekolah Negeri dan Swasta................................................................

  38 Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel di bawah Departemen Agama Kabupaten Aceh Besar ............................................

  39

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang penduduknya mempunyai aneka ragam adat

  kebudayaan. Dalam adat kebudayaan tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Termasuk dalam hal ini mengenai hukum waris adat.

  Masalah warisan berkaitan dengan peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang yang tidak

  1

  berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Jadi dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan.

  Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum waris adat masing-masing, dimana biasanya hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang mereka anut.

  Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Keberadaan agama Islam di Indonesia sedikit banyaknya mempengaruhi adat istiadat masyarakat setempat, ataupun sedikit banyaknya praktek keberagaman telah dipengaruhi adat istiadat setempat, termasuk dalam hal ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah kewarisan. Bagi masyarakat yang memegang teguh ajaran agama Islam, maka dia akan terus konsekuen dengan keyakinannya untuk membagikan harta warisan dengan cara-cara Islam. 1 Soerojo Wingjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat , (Jakarta : Gunung Agung,

  1995), hal, 161

  1 Di dalam hukum Islam, hukum kewarisan yang lazim disebut dengan hukum

  

faraid merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan

  membahas tentang proses peralihan harta peninggalan, hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang mewarisi atau ahli waris.

  Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepsikan sebagai suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu, yang dianggap adil dan patut dan telah mendapatkan legitimasi dari

  2

  penguasa adat sehingga mengikat atau wajib dipatuhi (bersifat normatif). Menurut Soerjono Sukanto, hukum adat merupakan keseluruhan adat baik yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang

  3 mempunyai akibat hukum.

  Ter Haar berpendapat bahwa hukum adat merupakan seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang berwibawa dari para fungsionaris hukum seperti para hakim adat, kepala adat dan kepala desa dalam hubungannya secara langsung satu sama lain dan timbal balik dengan masyarakat berdasarkan ikatan

  4 struktural maupun ikatan lainnya.

  Menurut Djojodigoeno, hukum adat yang merupakan suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata, keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga hukum adat tidak boleh bersifat statis dan konservatif. Hukum adat harus bersifat dinamis 2 Otjie Salam Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung :

  Alumni, 2002), hal. 27 3 4 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, (Yogyakarta : Liberty, 2000), hal. 9

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Pramita, 1975), hal. 9 dan dapat menyesuaikan diri dengan suatu keadaan atau suatu situasi tertentu

  5

(plastis). Menurut Bushar Muhammad, hukum adat yang ada akan patut untuk

  6 dipertahankan atau tidak, bergantung kepada kesadaran masyarakat.

  Dalam perkembangannya dewasa ini hukum terus mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti hukum. Hukum bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan keberlakuannya ditengah- tengah masyarakat. Karena sesuatu pebuatan yang dipaksakan maka sesunggahnya hasilnya pasti tidak akan baik

  Eksistensi berlakunya hukum adat disamping hukum nasional sampai saat ini, dapat dilhat pada Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peratutan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) maupun Putusan Badan Peradilan di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dasar 1945 eksistensi berlakunya hukum adat dapat dilihat pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. Badan negara dan peraturan merupakan dua hal yang dipertahankan menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

  Badan negara yang dimaksud adalah lembaga-lembaga hukum yang telah ada baik sebelum maupun pada masa-masa kolonial seperti pengadilan gubernemen, pengadilan asli, pengadilan desa dan swapraja. Peraturan-peraturan yang dimaksud 5

  hal. 13-14 6 Op, Cit, Bushar Muhammad, Op. Cit hal. 19

  adalah seperti dalam pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) dan pasal 163 IS yang pada prinsipnya menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap berlaku hukum adat, sedangkan untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku Burgerlijk

  Wetbook (BW) atau disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

  UUD 1945 tidak menyebutkan istilah hukum adat secara eksplisit dalam pasal- pasalnya, tetapi dengan masih tetap diberlakukannya badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sudah cukup memadai sebagai sebuah pedoman bahwa diluar hukum perundang-undangan masih diakui pula adanya hukum-hukum yang

  7 tidak tertulis.

  Eksistensi masyarakat hukum adat secara implisit dapat ditemukan pada Batang Tubuh UUD 1945 pasal 18 B yang berbunyi : “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”.

  Menurut Pasal 5 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, dalam memutuskan suatu perkara hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan eksistensi hukum adat itu sendiri yang merupakan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 7 Otjie Salam Soemadiningrat, Op. Cit, hal. 152

  Eksistensi hukum adat di bidang pertanahan dapat dilihat dalam pasal 5 UUPA yang menentukan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional dan negara.

  Bertitik tolak dari penjelasan tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa terdapat dualisme hukum yang mengatur dibidang pertanahan. Menurut Utrecht, sifat tersebut merupakan hal yang perlu dihindari dalam lapangan hukum karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang merupakan suatu keadaan yang

  8 bertentangan dengan filsafah dan tujuan hukum itu sendiri.

  Hukum adat mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat adat, dalam kehidupan masyarakat adat, penggunaan istilah hukum adat sangat jarang ditemukan, masyarakat cenderung menggunakan istilah adat. Istilah tersebut mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus berlaku pada struktur masyarakat terkait dan merupakan pencerminan dari kepribadian suatu

  9

  bangsa. Adat diartikan sebagai suatu kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat

  10 telah terbentuk baik sebelum maupun setelah adanya masyarakat.

  Menurut Hazairin, masyarakat adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup

  11

  berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Hukum adat mengatur berbagai sendi kehidupan masyarakat adat seperti mengatur kehidupan 8 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. Penerbitan dan Balai Buku

  Ichtiar, 1962), hal. 35 9 10 I Gede, A. B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 3 11 Ibid ta : PT. Raja Garfindo Persada, 1983), hal 93

  Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakar keluarga, perkawinan, waris, tanah, hutang piutang dan pelanggaran terhadap hukum

  12 adat.

  Ketentuan dalam pewarisan diatur oleh hukum waris adat. Menurut Soepomo dalam bukunya yang berjudul “Bab-bab tentang Hukum Adat”, hukum waris adat didefinisikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang, harta benda dan barang yang berwujud dari suatu angkatan

  13

  manusia (generatie) kepada turunannya. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat. Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas kekeluargaan yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan daripada sifat-sifat kebendaan dan mementingan diri sendiri.

  Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta

  14 kekayaan materil dan non-materil dari generasi ke genarasi.

  Pada prinsipnya yang merupakan objek hukum waris adalah harta keluarga yang dapat berupa harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa dalam keluarga, usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan, harta yang merupakan hadiah kepada suami-isteri pada

  12 13 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 118-119 14 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal. 72 Iman Sudiyat, Op. Cit, hal. 173

  waktu perkawinan dan harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa

  15 perkawinan.

  Hukum waris suatu golongan masyarakat tidak terlepas dan dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Setiap masyarakat dimanapun ia berada mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda, perbedaan dengan sistem keturunan akan mempengaruhi sistem pewarisan dalam masyarakat yang bersangkutan.

  Secara teoritis sistem keturunan atau kekeluargaan di Indonesia dapat dikelompokkan kedalam tiga macam, yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal, dan sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem

  16 kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.

  Menurut wirjono Prodjodikoro, bahwa diantara orang-orang Indonesia asli ditemukan 3 (tiga) macam golongan kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu :

  (Patriachaat,

  1. Golongan kekeluargaan yang bersifat kebapakan

  Vaderrechtlijk)

  atau disebut juga patrilineal terdapat didaerah Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian, Timor, dan Bali.

  (Matriaachaat,

  2. Golongan kekeluargaan yang bersifat keibuan

  Moderrechtelijk) atau disebut juga matrilineal terdapat di Minangkabau.

  3. Golongan kekeluargaan yang kebapak-ibuan (Parental Ouderrechtlijk) terdapat di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,

  17 15 seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok. 16 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 277 17 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1993), hal. 23 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, Cet-II (Bandung : Sumur, 1983), hal.

  15-16

  Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik yang material maupun inmateriel).

  Ada tiga sistem yang dikenal dalam hukum waris adat, yaitu :

  1. Sistem kewarisan individu yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan yang dapat dilihat pada suku Batak, Jawa dan Sulawesi.

  2. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama- sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris yang dapat dilihat pada suku Minangkabau.

  3. Sistem kewarisan mayorat terdiri dari :

  a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal, yang terdapat di daerah Lampung.

  b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, terdapat pada masyarakat

  18 di tanah Samendo.

  Sistem kekerabatan pada masyarakat parental atau bilateral didasarkan pada kedua orang tua (bapak dan ibu). Dengan terjadinya perkawinan baik suami maupun isteri keluarganya bertambah. Disamping masih tetap menjadi anggota keluarga yang semula, juga dianggap telah menjadi anggota pihak suami/isteri. Demikian juga anak yang lahir dari perkawinan tersebut mempunyai dua keluarga, yaitu keluarga bapak dan keluarga ibunya.

  Dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan seperti ini kedudukan anak laki- laki dan anak perempuan dalam sistem kewarisan yaitu sama-sama mempunyai

  19 peluang menjadi ahli waris. 18 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 260 Hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang telah kawin diwujudkan dalam berbagai bentuk, menurut daerah masing-masing. Dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar, setelah seorang anak perempuan kawin, maka anak tersebut beserta suaminya untuk beberapa waktu tetap tinggal dalam keluarganya. Mereka tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga. Secara sosial mereka masih belum dikategorikan sebagai sebuah keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya. Kondisi ini berkonsekuensi bahwa mereka tetap berada dibawah tanggung jawab orang tua, sampai mereka dipisahkan secara adat guna membentuk keluarga sendiri. Dalam perkembangannya pada proses pemisahan untuk membentuk sebuah keluarga sendiri terpisah dari keluarga orang tua melakukan pemberian harta kekayaannya kepada anak perempuan.

  Eman Suparman dalam hal ini mempersamakan pemberian dengan hibah. Menurut Eman Suparman “hibah dalah pemberian yang dilakukan oleh sesorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya

  20 biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup”.

  Menurut Sopeomo, “pemberian semasa hidup dilakukan oleh orang tua untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut

  21 anggapan pewaris dan juga untuk mencegah perselisihan”.

  Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan yaitu : 19 H. Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris menurut KUH Perdata, Hukum Adat

  dan Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 36 20 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2005), hal. 51 21 Soepomo, Op. Cit, hal. 91

  1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup.

  2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara Cuma- Cuma

  3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat.

  4. Benda-benda yang dapat dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak mapun benda tetap.

  5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian dalam hukum adat adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian dapat berupa barang tetap, barang bergerak atau hannya berupa hak pakai yang dilakukan sebelum atau sejak

  

22

adanya perkawinan dan selama perkawinan.

  Pemberian atau hibah juga diatur dalam hukum nasional, yaitu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Titel X Buku III yang dimulai dari

  pasal 1666 sampai dengan pasal 1693, serta di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  pasal 171 poin g “hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa

  23 imbalan dari seseorang kepada orang yang masih hidup untuk dimiliki”.

  Kata “di waktu masih hidup“ mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup, dan bila beralih sudah matinya yang berhak maka di sebut wasiat. Adapun kata tanpa imbalan atau sukarela, berarti itu semata-mata 22 23 Eman Suparman, Op. Cit, hal. 81

  

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet ke-I, (Jakarta : Akademia Presindo, 1992), hal. 156 kehendak sepihak (sipemberi) tanpa mengharapkan apa-apa, apabila mengharapkan

  24 imbalan dinamakan jual beli.

  Pemberian orang tua kepada anaknya semasa hidup terjadi dengan corak dan tujuannya masing-masing disetiap lingkungan adat yang berbeda-beda seperti pada masyarakat Batak Karo yang disebut pemere, masyarakat Daya Kendayan di Kalimantan, di Lampung, Banten, Aceh yang disebut hareuta peunulang, dan Jawa.

  Masyarakat Aceh khususnya masyarakat Kabupaten Aceh Besar terdapat proses pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak perempuan pada saat anak perempuannya melangsungkan perkawinan ataupun beberapa waktu setelah perkawinan berlangsung itu sudah menjadi kewajiban bagi orang tua disana. Di dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar pemberian ini dikenal dengan Hareuta peunulang.

  Berdasarkan uraian diatas, pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang tidak terlepas dari pengaruh hukum waris adat, sistem kekerabatan, hukum tanah yang berlaku dalam masyarakat Aceh, serta hukum Islam yang dianut oleh hamper seluruh masyarakat di Aceh.

  Hal tersebut yang melatar belakangi pentingnya dilakukan penelitian dengan judul “Pelaksanaan dan Status Hukum Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Hareuta Peunulang di Kabupaten Aceh Besar”.

B. Perumusan Masalah

  Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 24 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

  Minangkabau, (Jakarta : Pt. Gunung Agung, 1984), hal. 252

  1. Bagaimanakah keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui

  hareuta peunulang dan faktor-faktor apa saja yang mendorong orang tua dalam

  memberikan hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar?

  2. Apakah status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui

  haruta peunulang

  di Kabupaten Aceh Besar, dapatkah disamakan dengan Hibah dalam Hukum Waris Islam ?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan tesis ini yang akan dilakukan oleh peneliti adalah :

  1. Untuk mengetahui keberadaan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui lembaga hareuta peunulang perempuan dan faktor-faktor apa saja yang mendorong orang tua untuk memberikan hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar.

  2. Untuk mengetahui status hukum dari pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dengan pemberian hibah dalam Hukum Waris Islam.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

  1. Secara Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu sosial, budaya dan hukum, khususnya ilmu sosial budaya tentang masyarakat Aceh, dan

  Hukum Waris Adat Aceh, sebagai sumber informasi bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui masalah hareuta peunulang, sebagai salah satu sumbangan untuk bisa menjadi acuan atau dasar bagi peneliti yang lebih jauh dan mendalam tentang hareuta

  peunulang di dalam masyarakat adat Aceh.

  2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan tambahan pemahaman dinamika yang secara nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum dan masyarakat Aceh yang ada di Kabupaten Aceh Besar secara khusus. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan dalam melakukan pembangunan hukum ke arah yang lebih baik lagi.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Kedudukan Lembaga Hareuta Peunulang Dalam Masyarakat Adat Aceh Besar Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam” belum pernah dilakukan sebelumnya, namun beberapa penelitian yang membahas tentang hareuta peunulang di dalam literaturnya, antara lain :

  1. Abdurrahman, SH, M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, pada tahun 2000 melakukan penelitian dengan judul “Hareuta Peunulang Sebagai Suatu Lembaga Adat Aceh” dengan permasalahan bagaimanakah konsepsi hareuta peunulang dan proses pemberiannya.

  2. T. Mohd Djuned, Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, tahun 1991, dengan tulisannya “Peunulang sebagai salah satu bentuk pewarisan di Aceh”, dalam buletin kanun Nomor 2 edisi Desember 1991.

  Akan tetapi dari segi materi, substansi dan permasalahannya serta pengkajian dalam penelitian ini berbeda sama sekali, dengan demikian penilitian ini dapat dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi,

  25

  aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori didefiniskan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala

  26

  spesifik atau proses tertentu terjadi. Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisi dari hasil penelitian yang

  27 dilakukan.

  Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press ,

  1982), hal. 6 26 27 M. Hisyam, Penelitian ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta ; FE UI, 1996), hal. 203 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21

  28

  yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena

  29 menjadi sebuah penjelasan yang sifatya umum.

  Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan

  30 perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.

  Teori adalah susunan konsep, definisi yang dalam, yang menyajikan pandangan yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukkan hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan

  31

  meramalkan fenomena, atau menjelaskan gejala spesifik atau proses sesuatu terjadi dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat

  32 menunjukkan ketidakbenarannya.

  Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam

  33 setiap bidang ilmu pengetahuan. 28 Agar kerangka teori meyakinkan maka harus memenuhi syarat: Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal. 6 29 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34 30 31 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80 Sofyan Safri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komperehensif,

  (Jakarta : Pustaka Quantum, 2001), hal. 40 32 33 J.J.J.M. Wurisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Azas-azas, (Jakarta : Fe UI, 1991), hal. 203

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hal. 113

  Pertama, teori yang digunakan dalam membangun kerangka berfikir harus

  merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Kedua, analisis filsafat dari teori-teori keilmuan dengan cara berfikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya, Ketiga, mampu mengidentifikasikan masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai dengan kerangka berfikir ilmiah.

  34 Penelitian dilakukan dengan berpedoman kepada pandangan Eugen Erlich

  tentang hukum yang hidup (living law). Eugen Erlih berpendapat bahwa hukum tidak dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen dan bahan-bahan hukum formal, melainkan perlu terjun sendiri kedalam kehidupan nyata masyarakat. Hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah laku yang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubunganya satu sama lain. Hukum tidak mempunyai daya laku atau penerapan yang universal, tiap bangsa mengembangkan hukumnya sendiri.

  35 Dalam menganalisa permasalahan dalam tesis ini, teori Urf /kebiasaan dalam

  masyarakat, menurut Hasballah Thaib dalam bukunya “Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, dan teori keadilan dalam perspektif filsafat hukum dan Islam (Mu’tazilah).

  34 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006), hal. 26 35 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 297

  Urf

  atau adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan dalam masyarakat

  36 dan dijalankan terus menerus baik merupakan perkataan ataupun perbuatan.

  Tesis dasar Mu’tazilah adalah bahwa manusia sebagai yang bebas, bertanggung jawab dihadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tidak bergantung kepada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif ini merupakan akibat wajar tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan ebyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang pembuat hukum menyatakannya atau tidak, dengan kata lain kaum Mu’tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan

  37 spiritual, dengan demikian menegakkan obyektifisme rasionalis.

  38 Kata keadilan berasal dari kata “adala”, yang dalam Al-qur’an terkadang

  39

  disebut dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita. Kata adala dalam Al-qur’an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali dalam berbagai bentuknya untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut

  40 lurus karena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar.

  36 Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan : Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarja USU, 2002), hal. 32 37 Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1994) hal.

  154-155 38 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 73 Tematik, 39 40 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal. 23 Ali Parman, Op. Cit, hal. 84

  Pada pokoknya syari’ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang,

  41 jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari’ah.

  Dalam bahasa Indonesia keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang pada

  42 kebenaran, proporsional dan lain-lain.

  Dalam hubunganya dengan hak menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan

  43 dan kewajiban/keperluan.

  Dengan demikian keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris (pemilik harta yang meninggal dunia) kepada ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang.

  Sedangkan menurut Van Apoolderen sebagaimana yang dikutip oleh Budiono Kusumohamidjojo, tujuan hukum adalah tertib masyarakat yang damai dan seimbang.

  44 Bahwa fungsi utama dari hukum adalah menegakkan keadilan.

  Hukum setidaknya mempunyai tiga peranan utama dalam masyarakat, antara lain : 41 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi