ANALISI PUTUSAN NOMOR:389/Pid.A/2012/PN.GS BERUPA DIKEMBALIKAAN KEPADA KEDUA ORANG TUA TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN ANAK

(1)

DIKEMBALIKAAN KEPADA KEDUA ORANG TUA TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

YANG DILAKUKAN ANAK

OLEH

CICI METHA SARI

Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Anak sebagai salah satu subjek hukum di negara ini juga harus tunduk dan patuh terhadap aturan hukum yang berlaku, tetapi tentu saja ada perbedaan perlakuan antara orang dewasa dan anak dalam hal sedang berhadapan dengan hukum. Permasalahan yang diangkat adalah: (1). Bagaimanakah pelaksanaan/penerapan pidana anak yang melakukan pencurian yang menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua ditinjau dari putusan No: 389/Pid.A/2012/PN.GS, (2). Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normative dan yuridis empiris. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari hasil penelitian dilapangan yang berupa pendapat-pendapat dan cara kerja aparat penegak hukum yang menjadi responden dan data sekunder yang di peroleh dari studi kepustakaan. Data yang di peroleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.


(2)

yaitu berupa, Pelaksanaan/penerapan pidana atas pencurian yang dilakukan oleh anak didasarkan atas terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 363 Ayat (1) ke-3, ke-4, ke-5 KUHP jo Pasal 56 Ayat (1) KUHP. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana atas pencurian yang dilakukan oleh anak didasarkan pada kemampuan anak bertanggungjawab, kesesuaian unsur ancaman pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum, pengaruh tindak pidana yang dilakukan terhadap korban dan masyarakat.

Saran yang diberikan peneliti adalah sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga pelaksanaan/penerapan sesuai dengan kesalahan yang diperbuat oleh anak yang bersangkutan. Selain itu, sebaiknya hakim dalam memberikan putusan pidana terhadap anak, lebih memprhatikan dampak positif dan negatif dari putusan pidana tersebut bagi masa depan anak yang bersangkutan, sehingga tujuan pemidanaan terhadap anak dapat tercapai sesuai dengan harapan.


(3)

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar YANG DILAKUKAN ANAK

Oleh

Cici Metha Sari

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

2014


(4)

YANG DILAKUKAN ANAK ( Skripsi )

OLEH:

CICI METHA SARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitan... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Mengenai Pemidanaan ... 18

B. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Pencurian ... 22

C. Pengertian Anak dan Undang-undang yang Mengatur ... 24

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana………. 26

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 32


(8)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 37 B. Gambaran umum putusan nomor:389/Pid.A/2012/PN.GS ... 39 C. Pelaksanaan/penerapan Pidana Anak yang Melakukan Pencurian

Menyebabkan Timbulnya Putusan Dikembalikan Kepada Orang Tua ... 41 D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pidana Anak yang Melakukan Pencurian

Menyebabkan Timbulnya Putusan Dikembalikan Kepada Orang Tua ... 52

V. Penutup

A. Simpulan ... 60 B. Saran ... 61


(9)

A. Latar Belakang Masalah

Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut

meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

Rights of the Child ) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga di tuangkan dalam Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan

menghargai partisipasi anak.1

Pemerintah Indonesia dalam hal ini lembaga ekskutif dan legislatif secara bersama-sama sampai dengan saat ini telah membuat begitu banyak undang-undang, baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Undang-undang yang telah dibuat tersebut mengatur dan mengikat seluruh perilaku dari subjek hukum yang ada di Indonesia.

1


(10)

Anak sebagai salah satu subjek hukum di negara ini juga harus tunduk dan patuh terhadap aturan hukum yang berlaku, tetapi tentu saja ada perbedaan perlakuan antara orang dewasa dan anak dalam hal sedang berhadapan dengan hukum. Hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B) ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Undang-UndangKesejahteraan, Perlindungan, Pengadilan, dan Sistem Peradilan Pidana Anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Hal ini di maksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak sebagai bagian dari generasi muda. Hukum pidana yang merupakan tombak hukum dalam melindungi perjalanan masyarakat menuju ke sejahteraan, dari sudut pandang ini akan menjadi logis untuk dilaksanakan. Perlindungan ini pada pokoknya ditujukan terhadap berbagai macam perbuatan yang membahayakan keseimbangan, kesejahteraan, keamanan dan ketertiban sosial.

Prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan

hidup, dan tumbuh kembang anak.2 Seorang anak yang melakukan tindak pidana

wajib disidangkan di pengadilan khusus anak yang berada di lingkungan peradilan umum, dengan proses khusus serta pejabat khusus yang memahami masalah anak, mulai dari penangkapan, penahanan, proses mengadili dan pembinaan.

2

DS.Dewi,Fatahilla A.Syukur, Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia,Indie Pre Publishing, Depok,2011, hlm 13 .


(11)

Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, meyakini bahwa penjatuhan

pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa

anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek

penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat).3

Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah

menjalani pidana. Mendidik anak merupakan hal yang penting untuk

mempersiapkan generasi muda Indonesia yang akan datang. Mengenalkan hukum dan mengajarkan anak untuk taat hukum sejak dini juga perlu dilakukan oleh orang tua dan pendidik di sekolah. Hukum juga harus memberikan ruang bagi anak untuk terus berkembang dan terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya. Untuk itu diharapkan generasi muda di masa datang lebih bisa mentaati hukum yang berlaku.

Tindak pidana yang terjadi saat ini banyak dilakukan oleh anak, tindak pidana yang sering dilakukan oleh anak adalah pencurian. Pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur merupakan suatu pencurian dengan cara-cara tertentu sehingga bersifat lebih ringan, namun dalam ketentuan hukum pidana dapat saja diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih berat, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun atau lebih dari pidana yang diancamkan dalam Pasal 362 KUHP. Hal ini diatur dalam Pasal 363 KUHP yang disebut dengan pencurian

3

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang, 1994 hal 20.


(12)

dalam keadaan memberatkan dengan ancaman pidana paling lama 7 (tujuh) tahun.

Sedangkan tindak pidana penyertaan sebagai pembantu (medeplichtige) menurut

Pasal 56 KUHP terdiri dari pembantu pada saat kejahatan dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Salah satu contoh tindak pidana pencurian yang pelakunya masih dalam kategori anak adalah Chandra bin Umar 17 (tujuh belas) tahun pada hari sabtu tanggal 7 juli 2012 sekiranya pukul 23:30 WIB . Terdakwa dituntut oleh jaksa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 363 Ayat (1) ke-3, 4 dan ke-5 KUHP jo Pasal 56 Ayat (1) KUHP.

Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 389/Pid.A/Anak/2012/PN.GS, terdakwa oleh hakim dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “memberikan bantuan melakukan pencurian dalam keadaan memberatkan”. Jaksa penuntut umum menuntut mengembalikan terdakwa kepada orang tua dan berdasarkan tuntutan jaksa serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan hakim menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan mengembalikan terdakwa kedalam lingkungan kedua orang tuanya.

Kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu bahwa ia terdakwa bersama-sama Soni Sandi (berkas perkara terpisah) melakukan tindak pidana pencurian sepeda motor milik korban bernama Budi Cahyono bin Kusmar Tono bertempat di jln. 45 Transat Seng Kampung Bandar Agung Kec.Terusan Nunyai. Awalnya korban memarkirkan sepeda motornya di sebuah parkiran hajatan. Kemudian terdakwa bersama dengan saksi Soni Sandi A.P Bin Nurili berangkat menuju lokasi dengan


(13)

menggunakan sepeda motor Yamaha vega milik terdakwa. Dengan menggunakan kunci leter T yang Soni Sandi A.P Bin Nurili yang dibawanya dari rumah langsung menghidupkan motor Honda Supra X warna merah hitam Nopol BE 7170 HX. Akibat perbutan terdakwa saksi korban mengalami kerugian ditaksir sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).

Hakim berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memiliki kebebasan dalam menjatuhkan pidana, namun apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh seseorang yang pelakunya tergolong dalam usia anak dan hanya sebagai pembantu kejahatan seharusnya hakim dapat lebih mempertimbangkan putusan yang dijatuhkan.

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada dilingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Namun, terkait dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif dengan tujuan untuk perlindungan hukum bagi Anak Nakal.


(14)

Berdaskan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk meneliti penelitian skripsi yang berjudul “Analisis Putusan No. 389/Pid.A/2012/PN.GS Berupa Dikembalikan Kepada Orang Tua Tentang Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Anak” penelitian ini adalah salah satu contoh tindak pidana yang

dilakukan oleh anak dalam melakukan tindak pidana “pencurian dalam keadaan

memberatkan”. Mengadili terdakwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak ini

dengan menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa yaitu mengembalikan terdakwa

dalam lingkungan orang tuanya.4

B. Rumusan Masalah dan Ruang lingkup 1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis menarik

rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah pelaksanaan/penerapan pidana anak yang melakukan pencurian yang menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua ditinjau dari putusan No: 389/Pid.A/2012/PN.GS ?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam putusan No: 389/Pid.A/2012/PN.GS ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini ialah substansi penelitian agar pembahasan tentang penelitian ini tidak terlalu luas maka peneliti membatasi penelitian hanya mengenai analisis putusan berupa dikembalikan kepada orang tua tentang tindak pidana pencurian yang dilakukan anak. Objek penelitian, yaitu Putusan

4


(15)

Pengadilan Negeri nomor 389/Pid.A/2012/PN.GS. Lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dan Fakultas Hukum Universitas Lampung penelitian dilakukan pada tahun 2013.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan/penerapan pidana anak yang

melakukan pencurian yang menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua No. 389/Pid.A/2012/PN.GS;

b. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan dalam putusan No. 389/Pid.A/2012/PN.GS

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum mengenai Putusan Pengadilan serta mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh penulis.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk sumbangan pikiran pada ilmu hukum pidana dan penegakan hukum khususnya serta dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi para pihak yang ingin mengetahui dan memahami tentang tindak pidana tersebut yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.


(16)

D. Kerangka Teoritis dan Konsepsual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh penulis.5

1. Teori Tujuan Pemidanaan

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan /pembinaan individu pelaku tindak pidana.

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:6

1. Teori Retributive(teori absolut atau teori pembalasan)

Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan.

2. Teori Utilitarian(teori relatif atau teori tujuan)

Menurut pandangan dari teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai

pembalasan belaka seperti pada teori retributive, melainkan harus dilihat pula

manfaatnya bagi terpidana dimasa yang akan datang. Teori ini melihat dasar

5

Soejono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 125 6

Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar lampung: Universitas Lampung, 2011, hal. 82.


(17)

pembenaran pemidanaan itu kedepan, yakni pada perbaikan para pelanggar hukum (terpidana) dimasa yang akan datang.

3. Teori Gabungan

Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.

Ketiga teori diatas merupakan teori tujuan pemidanaan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 26 Ayat (1) telah mengatur bahwa dalam penjatuhan pidana terhadap anak telah ditentukan paling lama 1/2 (setengah) dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana.

Konsep Keadilan Restoratif (restorative justice) sebagai penerapan asas diversi

yang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak. Diversi merupakan tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.


(18)

Konsep dari diversi itu sendiri pada pokoknya merupakan pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak agar penyelesaian perkara tersebut berada di luar proses peradilan. Syarat penerapan diversi ini diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Untuk menjawab rumusan permasalahan kedua, dengan menggunakan teori dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan


(19)

kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto7, hakim memberikan keputusannya, mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang ditujukan padanya;

b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP, yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Menurut Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terkdawa.

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan suatu perkara pidana adalah dengan memperhatikan faktor-faktor seperti:

1. Faktor Yuridis

Faktor yuridis didasarkan atas fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Fakta-fakta hukum diperoleh selama proses persidangan yang didasarkan pada

7

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1986, hal. 84.


(20)

kesesuaian dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barang bukti yang merupakan satu rangkaian.

Fakta hukum ini oleh hakim menjadi dasar pertimbangan yang berhubungan dengan apakah perbuatan seorang anak telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Unsur-unsur ini akan menunjukan jenis pidana yang telah dilakukan anak nakal. Faktor yuridis berkaitan pula dengan pertanggungjawaban pidana dari anak pelaku tindak pidana. Di sini, hakim akan

mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan dapat

dipertanggungjawabkan atau tidak serta dengan melihat adakah unsur kesalahan anak atas perbuatan yang didakwakan kepadanya. Selain itu, faktor yuridis juga berkaitan dengan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, lamanya ancaman pidana dan bentuk dari jenis pidana yang telah dilakukan.

2. Faktor Non Yuridis

Kajian non yuridis sebagai dasar pertimbangan hakim berkaitan dengan penjatuhan sanksi kepada anak yang terdiri dari beberapa faktor yaitu:

a. Filosofis

Faktor filosofis dijadikan dasar pertimbangan yang penting dari hakim dalam menjatuhkan sanski terhadap anak. Dengan faktor ini hakim tidak akan kehilangan orientasi yang didasarkan atas tujuan yang telah digariskan undang-undang yang bersangkutan. Dalam rangka penjatuhan sanksi terhadap anak maka dasar filosofi penjatuhannya tidak lain adalah demi kepentingan terbaik anak sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.


(21)

b. Sosiologis

Faktor sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak diperoleh dari laporan kemasyarakatan. Laporan kemasyarakatan ini berisikan mengenai data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial serta kesimpulan dari pembimbing kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Peradilan Anak, pembacaan laporan kemasyarakatan ini telah diatur dalam Pasal 56 sehingga laporan kemasyarakatan ini menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi. Faktor sosiologis juga menjadi dasar pertimbangan hakim akan pengaruh bentuk sanksi yang dijatukan di masa yang akan datang terhadap anak, sehingga bentuk sanksi yang diambil akan benar-benar dipertimbangkan.

c. Psikologis

Faktor psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis anak pada saat anak melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Pertimbangan psikologis dijadikan pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan sanksi pidana karena pemahaman terhadap aspek psikologis ini memungkinkan adanya penggambaran terhadap persepsi hakim terhadap anak yang bersangkutan dalam rangka penjatuhan sanksi pidana. Hakim memperoleh laporan kemasyarakatan dari BAPAS maupun pendapat dari BAPAS di persidangan serta diketahui dari perilaku anak selama menjalani persidangan anak.

d. Kriminologis

Faktor krominologis diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seorang anak melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku anak yang


(22)

melakukan tindak pidana. Berdasarkan pada faktor kriminologis ini, hakim dalam rangka penjatuhan sanksi mempertimbangkan motif dari anak dalam melakukan tindak pidana yang akan berpengaruh terhadap bentuk penjatuhan sanksi kepada anak.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunya arti-arti yang berkaitan dengan istilah

yang diteliti atau diketahui.8

Dibawah ini ada beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam skripsi ini: a. Analisis

Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang

tepat dan pemahaman arti keseluruhan.9

b. Putusan

Putusan adalah suatu pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari

pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).10

c. Orang tua

Orang tua adalah pengertian umum dari seseorang yang melahirkan kita , orang tua biologis. Namun orang tua juga tidak selalu dalam pengertian yang

8

Soejono soekanto,Opcit ,hlm.132 9

Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hal. 32.

10


(23)

melahirkan. Orang tua juga bisa terdefinisikan terhadap orang tua yang telah

memberikan arti kehidupan bagi kita.11

d. Tindak pidana

Tindak pidana adalah suatu pidana yang dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan maka orang yang melakukan atau

mengabaikan itu diancam dengan pidana.12

e. Pencurian

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara, perbuatan. Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-.

f. Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin (Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak).

11

Id.m.wikipedia.org (diakses pada tanggal 7 agustus 2013)

12

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor, 1984,. hlm. 6.


(24)

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, permasalahan, ruang lingkup, tujuan, kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi beberapa pengertian serta pemahaman terhadap objek penelitian dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian di dalam skripsi ini.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode penelitian yang merupakan cara-cara untuk penulis menjabarkan hasil penelitian, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sample yang diperlukan, prosedur pengumpulan dan pengelolaan data hasil penelitian, serta metode analisis terhadap data yang telah diperoleh.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan tentang permasalahan yang ada, yaitu pembahasan tentang. Analisis putusan Nomor: 389/Pid.A/2012/PN.GS Berupa di Kembalikan Kepada Orang Tua Tentang Tindak Pidana Pencurian Yang di Lakukan Oleh Anak. Karena bab ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu: Bagaimanakah penerapan/pelaksanaan tindak pidana anak yang


(25)

menimbulkan putusan dikembalikan kepada orang tua dalam putusan No: 389/Pid.A/2012/PN.GS dan Bagaimanakah pertimbangan hukum oleh hakim.

V. PENUTUP

Pada bab ini kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil pembahasan dan saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang merupakan tindak lanjut dalam pembenahan dan perbaikan.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Mengenai Pemidanaan

L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment).12 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Subtantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.13

Barda Nawawi Arief bertolak dari pengertian di atas menyatakan bahwa apabila aturan-aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana subtantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan.

12

Barda Nawawi Arief. Op. Cit., hal. 23. 13


(27)

khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana subtantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP.Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.14

Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu: 1. Teori Retributionatau Teori Pembalasan

Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain m isalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. Pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.15

14

Ibid., hlm. 135. 15

Muladi dan Barda Nawawi Arief.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 17.


(28)

2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Teori utilitarianmenyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk: a. Pencegahan (prevention);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.16

3. Teori Gabungan

Ide dasar dari teori gabungan ini,pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.

Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan.Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap

16


(29)

penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.17

Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis, dan harmonis.Hakekatnya dengan mengenal, menghubungkan, dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu, berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana.Asas-asas dasar dalam hukum pidana adalah pidana.Asas-asas legalitas dan pidana.Asas-asas kesalahan.

a. Asas Legalitas

Asas legalitas tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa latin, yaitu: “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”. Artinya secara harafiah adalah: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang”.18Asas legalitas dalam KUHP dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1), yaitu tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

17

Tri Andrisman, Op. Cit., hlm. 33. 18


(30)

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia membawa konsekuensi dalam penerapan hukum pidana, baik dalam praktek peradilan maupun masyarakat. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) konsekuensi utama dianutnya asas legalitas ini19, yaitu:

1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam undang-undang pidana.

2. Tidak boleh menggunakan analogi di dalam menerapkan undang-undang pidana.

3. Undang-Undang Pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif)

b. Asas Kesalahan

Dalam hukum pidana dikenal asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geenstraf zonder schuld). Walaupun asas initidak tercantum secara tegas dalam KUHP maupun peraturan lainnya, berlakunya asas ini tidak diragukan lagi. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu hukum pidana itu sendiri, yang semula menitikberatkan pada perbuatan yang kemudian berkembang ke arah hukum pidana yang menitikberatkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari perbuatan.20

B. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana Pencurian

Pencurian adalah suatu perbuatan mengambil barang kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang tersebut dengan cara melawan hukum. Di

19

Ibid., hlm. 39. 20

Tri Andrisman, Delik KhususDalam KUHP, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2009, hlm.15.


(31)

dalam KUHP, tindak pidana pencurian diatur pada Buku II Titel XXII (Pasal 362-367).

Jenis-jenis Tindak Pidana Pencurian 1. Pencurian Ringan (biasa)

Pencurian ringan ini bisa dikatakan pencurian ringan apabila dilakukan dengan tidak merusak kunci atau pintu, tidak memanjat pagar, tidak dilakukan pada malam hari, dan harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Dan diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Terdapat dalam UU KUHP Pasal 362.

2. Pencurian Pemberatan Pasal 363 KUHP

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1. Pencurian ternak;

2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih:

5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

3. Pencurian dengan kekerasan

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,


(32)

terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri. (UU KUHP Pasal 365). Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di berjalan;

2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

3. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

C. Pengertian Anak dan Undang-Undangyang Mengatur

Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang berpotensi untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa, berperan secara strategis dan bersifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh.

Pengertian anak saat ini belum terdapat persamaan pendapat sampai umur berapa seorang anak masih dapat disebut sebagai seorang anak-anak, remaja dan dewasa. Masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga tahap, yaitu masa bayi berumur 0-2 tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanak-kanak terakhir yaitu umur 5-12 tahun. Pada masa bayi, keadaan fisik seorang anak masih sangat


(33)

lemahsehingga sangat tergantung kepada pemeliharaan orang tua terutama dari seorang ibu.21

Selain itu terdapat pengertian mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Pengaturan batas usia anak ini berbeda-beda dalam peraturan perundangan-undangan, misalnya:

1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 Ayat (1): “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”

2. Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997).

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Pasal 330 Ayat (1) BW membuat batas antara belum dewasa

(minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerjarigheid), yaitu 21 tahun, kecuali anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan (Pasal 419).

21

Gatot Suparmono, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1998. hlm.12.


(34)

4. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 angka (2): “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka (5): “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

7. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 angka (3): “Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun”.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.22

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:

22


(35)

Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:

1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depanpengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalahatas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:

1. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


(36)

2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah:23

1. Faktor Subyektif, yaitu: a. Sikap perilaku apriori

Hakim sering kali dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah.Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

b. Sikap perilaku emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

23


(37)

c. Sikap arogan (arrogance power)

Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali dapat mempengaruhi keputusannya.

d. Moral

Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim.Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.

2. Faktor Obyektif, yaitu:

a. Latar belakang sosial budaya

Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Hakim dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.

b. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) dan skills

(keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan, oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara


(38)

dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Keputusan hakim sebagai dasar hukum umum pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan sebagai dasar hukum kebijakan pidana.Untuk menelaah keputusan hakim lebih banyak berpangkal pada nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan dalam menetapkan keputusannya.Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakanyurisprudensi.Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu.Karena itu secara prinsip, seorang hakim tidak terikat dengan putusan-putusan hakim lainnya.


(39)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah yuridis normative dan yuridisempiris.

1. Pendekatan yuridis normatif

Pendekatan yuridis normative adalah pendekatan yang penulis lakukan dalam bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai peraturan undang–undang terutama yang berhubungan dengan putusan Pengadilan Negeri Nomor:389/Pid.A/2012/PN.GS tentang Analisis Putusan No. 389/Pid.A/2012/PN.GS Berupa Dikembalikan Kepada Orang Tua Tentang Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Anak.

2. Pendekatan yuridis empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu menelaah hokum sebagai pola perilaku yang ditujukan pada penerapan peraturan hukum. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi-informasi di lapangan yang ditujukan kepada system peradilan anak.


(40)

B. SumberdanJenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari hasil studi dan penelitian di lapangan.Data primer ini di dapat dari pengamatan putusan Nomor:389/Pid.A/2012/PN.GS. Data primer ini akan diambil dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Hakim Anak Gunung Sugih, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih , dan Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk mencari masukan-masukan, saran-saran, dan tanggapan atas putusan tersebut.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka.20

Terdiri dari:

a. Bahan hukum primer antara lain:

(1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, jo. Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

20


(41)

(3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, jo Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Undang-undang, KUHAP dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.21

c. Bahan hukum tersier, seperti kamus-kamus, literatur-literatur, makalah-makalah dan lain-lain yang memberikan penejelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

21

Prof. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.82.


(42)

C. PenentuanPopulasidanSampel

1. Penentuan Populasi

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.22

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik di dalam suatu penelitian.Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil populasi penelitian yang ada kaitanya dengan masalah-masalah yang dibahas.Ada pun populasi dalam penelitian ini adalah Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dan Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Penentuan Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu.23Penentuan sampel dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pengambilan sampel berupa Purvosive Sampling, yaitu dalam menentukan sampel sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel yang dianggap telah mewakili dengan masalah yang hendak diteliti.

22Ibid.,hlm.90. 23

Barda Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Universitas Gajah Mada Pers, Yogyakarta,1987, hlm.141.


(43)

Ada pun responden dalam penelitian ini adalah:

a. Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 1 orang b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih : 1 orang c. Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini dapat di jelaskan sebagai berikut:

A. Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh sumber data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku sesrta literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

B. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji. Wawancara ditujukan kepada Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gungung Sugih dan Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(44)

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustaka an maupun dari lapangan, maka data diproses pengelolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing

Seleksi data di lakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mencakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

b. Sistematisasi data

Penyusunan data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang sistemastis dan logis serta berdasarkan kerangka pikir. Dalam tiap tahap ini data dapat dimaksudkan kedalam table apabila diperlukan.

E. Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis.Pada penelitian ini data dianalisis secara dekriftif kualitatif. Cara analisis ini adalah dengan memberikan uraian atau menjabarkannya dengan kalimat-kalimat, kemudian di susun suatu simpulan secara induktif terhadap gejala dan kenyataan yang ditemukan. Atas dasar kesimpulan tersebut lalu di susun saran-saran dalam rangka perbaikkan.


(45)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan/penerapan pidana anak yang melakukan tindakan pencurian menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang didasarkan atas terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 363 Ayat (1) ke-3, ke-4, ke-5 KUHP jo Pasal 56 Ayat (1) KUHP yang didakwakan dan ada atau tidaknya alasan yang menghapus kesalahan, serta hal yang memberatkan atau yang meringankan terdakwa. Chandara bin Umar telah benar adanya dimana dalam pelaksanaan/penerapan pidana Chandra bin umar mengikuti proses dengan baik, mengakui kesalahannya, menyesali perbuatanya dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya maka pengembalian kepada orang tua telah sesuai dengan terpenuhiya unsur-unsur tersebut.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam pidana anak yang melakukan tindakan pencurian menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua menjatuhkan putusan terhadap perkara anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan dalam Perkara Nomor: 389/PID.A/2012/PN.GS., yaitu


(46)

dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi.

perbuatannya. Pertimbangan hakim juga dengan melihat motif tindak pidana, akibat yang ditimbulkan dan sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)sebagai berikut:

1. Hakim dalam memberikan pertimbangan putusan pemidanaan, harus lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih tergolong anak, sebaiknya hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap anak menerapkan sistem pemidanaan yang bersifat edukatif dalam bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus. Sejalan dengan hal ini, sebaiknya konsep keadilan restoratif dan upaya diversi sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak untuk kedepannya.

2. Hakim harus lebih bijak dan adil dalam memberikan vonis terhadap pelaku yang masih tergolong anak, sebaiknya putusan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara menjadi pilihan terakhir (ultimum remidium) dan hakim hendaknya lebih mempertimbangkan hal-hal yang bersifat non-penal daripada yang bersifat penal.


(47)

Abdulkadir, Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Andrisman, Tri, 2009, Delik Khusus Dalam KUHP , Universitas Lampung, Bandar Lampung,

_____________2011, Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.

Fakultas Hukum UNILA Bandar Lampung.

A.Syukur, .Dewi, Fatahilla 2011. Penerapan Restorative Justice di Pengadilan

Anak Indonesia, IndiePre Publishing, Depok.

Gultom,Maidin. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung. Nawawi, Barda, 1994 Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang.

______________, 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial, Universitas Gajah

Mada Pers, Yogyakarta.

______________. 1998.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia.


(48)

Sudarto, 1986. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru.

Suparmono, Gatot. 1998. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana.

Aksara Baru, Jakarta.

Tim Penyusun Kamus, 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta.

Wisnubroto, Al. 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia, Djambatan. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. http://eprints.upnjatim.ac.id

http://Id.m.wikipedia.org


(1)

Ada pun responden dalam penelitian ini adalah:

a. Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 1 orang b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih : 1 orang c. Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini dapat di jelaskan sebagai berikut:

A. Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh sumber data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku sesrta literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

B. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji. Wawancara ditujukan kepada Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gungung Sugih dan Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(2)

36

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustaka an maupun dari lapangan, maka data diproses pengelolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing

Seleksi data di lakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mencakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

b. Sistematisasi data

Penyusunan data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang sistemastis dan logis serta berdasarkan kerangka pikir. Dalam tiap tahap ini data dapat dimaksudkan kedalam table apabila diperlukan.

E. Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis.Pada penelitian ini data dianalisis secara dekriftif kualitatif. Cara analisis ini adalah dengan memberikan uraian atau menjabarkannya dengan kalimat-kalimat, kemudian di susun suatu simpulan secara induktif terhadap gejala dan kenyataan yang ditemukan. Atas dasar kesimpulan tersebut lalu di susun saran-saran dalam rangka perbaikkan.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan/penerapan pidana anak yang melakukan tindakan pencurian menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang didasarkan atas terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 363 Ayat (1) ke-3, ke-4, ke-5 KUHP jo Pasal 56 Ayat (1) KUHP yang didakwakan dan ada atau tidaknya alasan yang menghapus kesalahan, serta hal yang memberatkan atau yang meringankan terdakwa. Chandara bin Umar telah benar adanya dimana dalam pelaksanaan/penerapan pidana Chandra bin umar mengikuti proses dengan baik, mengakui kesalahannya, menyesali perbuatanya dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya maka pengembalian kepada orang tua telah sesuai dengan terpenuhiya unsur-unsur tersebut.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam pidana anak yang melakukan tindakan pencurian menyebabkan timbulnya putusan dikembalikan kepada orang tua menjatuhkan putusan terhadap perkara anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan dalam Perkara Nomor: 389/PID.A/2012/PN.GS., yaitu


(4)

61

dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi.

perbuatannya. Pertimbangan hakim juga dengan melihat motif tindak pidana, akibat yang ditimbulkan dan sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)sebagai berikut:

1. Hakim dalam memberikan pertimbangan putusan pemidanaan, harus lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih tergolong anak, sebaiknya hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap anak menerapkan sistem pemidanaan yang bersifat edukatif dalam bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus. Sejalan dengan hal ini, sebaiknya konsep keadilan restoratif dan upaya diversi sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak untuk kedepannya.

2. Hakim harus lebih bijak dan adil dalam memberikan vonis terhadap pelaku yang masih tergolong anak, sebaiknya putusan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara menjadi pilihan terakhir (ultimum remidium) dan hakim hendaknya lebih mempertimbangkan hal-hal yang bersifat non-penal daripada yang bersifat penal.


(5)

Abdulkadir, Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Andrisman, Tri, 2009, Delik Khusus Dalam KUHP , Universitas Lampung, Bandar Lampung,

_____________2011, Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum UNILA Bandar Lampung.

A.Syukur, .Dewi, Fatahilla 2011. Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, IndiePre Publishing, Depok.

Gultom,Maidin. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung. Nawawi, Barda, 1994 Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang.

______________, 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial, Universitas Gajah Mada Pers, Yogyakarta.

______________. 1998.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta.


(6)

Soesilo, R. 1984. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor, 1984

Sudarto, 1986. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru.

Suparmono, Gatot. 1998. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana. Aksara Baru, Jakarta.

Tim Penyusun Kamus, 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta.

Wisnubroto, Al. 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia, Djambatan. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. http://eprints.upnjatim.ac.id

http://Id.m.wikipedia.org