BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi di Kedokteran Gigi - Perubahan Densitas Tulang Mandibula pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2 Berdasarkan Pemeriksaan Radiografi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radiografi di Kedokteran Gigi

  Pemeriksaan radiografi di bidang kedokteran gigi, baik yang konvensional maupun modern, secara umum mencakup radiografi intra dan ekstra oral. Jenis radiografi intra oral konvensional/analog yang paling sering digunakan di bidang kedokteran gigi adalah radiografi intra oral periapikal. Jenis ini memerlukan bahan kimia dalam prosesnya dan membutuhkan tempat khusus untuk tempat pemrosesan dan penyimpanan film (White, 2009).

  Dalam radiografi konvensional maupun modern, karakteristik pembentukan gambar radiografi menentukan kualitas diagnostik yang dihasilkan. Pada radiografi konvensional, penerima gambar yang digunakan adalah film radiografi yang merupakan medium analog. Dalam medium ini perbedaan ukuran dan distribusi perak hitam metalik yang diendapkan pada permukaan film radiografi tersebut menghasilkan spektrum densitas gambaran radiografi yang sifatnya berkesinambungan. Interpretasi gambaran radiografi yang dilakukan adalah pembacaan langsung pada radiografi dengan menggunakan transmisi cahaya dari

  viewing box (White, 2009).

  Densitas radiografi pada suatu radiografi dipengaruhi kontras radiografi. Hal ini didefinisikan sebagai perbedaan antara daerah terang dan gelap pada radiografi.

  Gambaran radiografi yang mempunyai kontras tinggi memiliki daerah terang dan juga daerah gelap. Kondisi ini disebut sebagai kontras short grey scale karena hanya beberapa gambaran abu-abu yang tampak di antara gambaran hitam dan putih pada abu gelap memiliki kontras rendah, dan disebut sebagai kontras long grey scale. Kontras radiografi pada radiografi dipengaruhi kontras subyek, kontras film dan radiasi hambur (White, 2009).

  A B Gambar 1. Radiografi Rahang Bawah yang Memper- lihatkan A. Kontras Rendah dan B. Kontras

  Tinggi. Agar dapat menghasilkan kualitas diagnostik yang optimum, interpretasi atau evaluasi radiografi memerlukan persyaratan khusus seperti kondisi pencahayaan yang optimum, dan pengetahuan tentang berbagai struktur anatomi serta perubahan radiografi berbagai kondisi patologis. Interpretasi radiografi memiliki keterbatasan, misalnya perubahan mineral pada tulang secara radiografi yang kasat mata baru dapat dievaluasi setelah kehilangan mineral sejumlah 25% sampai dengan 60%. Saat film radiografi dipapar oleh sinar-x dan kemudian diproses, kristal perak halide pada lapisan emulsi di permukaan film yang terkena foton sinar-X akan berubah menjadi butir-butir perak metalik. Butiran perak ini akan menghambat transmisi cahaya dari

  viewbox dan menghasilkan tampilan gambaran hitam pada radiografi tersebut. Derajat kegelapan secara keseluruhan pada film radiografi disebut densitas radiografi.

  film radiografi (Whaithes, 2002).

  Watanabe (2003) juga melakukan penelitian mengenai indikator kualitas tulang mandibula pada panoramik penduduk Brazil, yang dihubungkan dengan penentuan kepadatan mineral tulang dengan menggunakan DEXA (Dual-Energy Xray

  Absorptiometry) sebagai baku emas (gold standard). Indikator yang digunakan adalah

  trabekular tulang dan korteks mandibula (Watanabe et al., 2003). Penelitian mengenair trabekular tulang untuk menentukan nilai kepadatan tulang mandibula menggunakan foto intraoral digital pada perawatan implan gigi telah dilakukan pula di Indonesia. Dalam penelitian tersebut digunakan klasifikasi densitas radiografi trabekular tulang berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Taguchi dkk. Penilaian trabekulasi tulang pada radiografi dibagi menjadi lima klasifikasi yakni derajat 1 (sangat tipis atau jarang), derajat 2 (tipis), derajat 3 (normal), derajat 4 (tebal atau padat) dan derajat 5 (sangat tebal) (Priaminiarti et al., 2009). Klasifikasi Taguchi ini juga mendasari beberapa penelitian kualitas tulang terkait penyakit/kelainan yang bermanifestasi di tulang rahang, antara lain penelitian osteoporosis dan densitas radiografi pasca radio terapi karsinoma nasofaring. Pada penelitian densitas radiografi yang berhubungan dengan osteoporosis, juga digunakan radiografi panoramik untuk mengevaluasi bentuk korteks mandibula. Bentuk korteks mandibula dikategorikan menjadi tiga grup berdasarkan metode yang dibuat oleh Klemetti dkk, yakni:

  1. Korteks normal : tepi endosteal korteks datar atau lurus dan tajam.

  Gambar 2. Korteks Mandibula yang Normal (Taguchi, 2003)

  2. Korteks dengan erosi ringan hingga sedang : tepi endosteal menunjukkan kerusakan berbentuk semilunar akibat adanya resorpsi tulang.

  Gambar 3. Korteks Mandibula dengan Erosi yang Ringan (Taguchi, 2003)

  3. Korteks dengan erosi yang parah : lapisan kortikal endosteal berkurang banyak dan terlihat adanya poreus.

  Gambar 4. Korteks Mandibula dengan Erosi yang Parah (Taguchi, 2003)

  Walaupun masih terdapat perdebatan dalam penggunaan radiografi panoramik dan peripikal dalam mendeteksi densitas radiografi tulang rahang, terkait dengan manifestasi kelainan atau penyakit sistemik, dokter gigi diharapkan dapat menggali informasi diagnostik maksimal dari radiografi untuk memperoleh gambaran adanya perubahan kualitas tulang rahang. Deteksi awal terjadinya perubahan densitas radiografi dapat membantu penentuan rencana perawatan dan mencegah komplikasi perawatan yang akan merugikan pasien (Watanabe et al., 2008).

2.2 Diabetes melitus

  2.2.1 Pengertian

  memerlukan perawatan sepanjang hidup untuk mengurangi risiko kecacatan dan kematian akibat komplikasi penyakit tersebut. DM adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia akibat sekresi dan aktivitas insulin yang tidak sempurna (Wah, 2006; Debora, 2002).

  DM adalah salah satu masalah kesehatan yang umum terjadi dan berkembang di seluruh dunia. DM di beberapa negara cukup tinggi asia seperti di Amerika, Singapura, Hongkong, dan Pakistan. Di Singapura, prevalensi DM meningkat dari yang hanya sekitar 1,7% pada tahun 1975 menjadi 9% pada tahun 1998, dan cenderung terus meningkat (Wah, 2006). Di Amerika, sekitar 9% populasi dewasa mengalami DM dan dengan prevalensi ataupun insidens diabetes yang meningkat setiap tahunnya (Brian, 2006).

  2.2.2 Klasifikasi

  Menurut klasifikasi American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, Diabetes melitus dibagai menjadi empat klasifikasi yang ditetapkan berdasarkan tanda klinis dan keluhan, yaitu: a.

  Diabetes melitus tipe 1 yang merupakan diabetes yang disebabkan akibat adanya kerusakan sel β pankreas. Kondisi ini menyebabkan defisiensi insulin absolut.

  Kerusakan sel tersebut dapat bersifat idiopatik ataupun disebabkan adanya gangguan proses autoimun. Jika tidak dirawat, penderita diabetes DM tipe ini akan menunjukkan tanda-tanda klinis seperti polyuria, polydipsia, polyphagia, pruritis, Klasifikasi ini juga disebut dengan diabetes dengan ketergantungan insulin (insulin-dependent diabetes).

  b.

  Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes yang disebabkan oleh resistensi terhadap insulin. Diabetes tipe ini lebih sering terjadi dibandingkan tipe 1 dan sering dihubungkan dengan obesitas. Resistensi terhadap insulin mengakibatkan penurunan jumlah transfer glukosa ke sel-sel dan akhirnya menimbulkan kondisi

  hiperglikemia.

  c.

  Diabetes melitus gestational merupakan diabetes sementara yang terjadi saat kehamilan. Anak-anak yang ibunya penderita diabetes tipe ini akan memiliki risiko obesitas dan diabetes pada usia mudanya. Penderita diabetes tipe ini juga memiliki risiko mengalami diabetes tipe 2.

  d.

  Diabetes melitus tipe lain merupakan klasifikasi diabetes yang dihubungkan dengan genetik, penyakit lainnya, ataupun penggunaan obat-obatan (Wah, 2006; Debora, 2002).

2.2.3 Diagnosis Diabetes melitus Penegakan diagnosis Diabetes melitus didasarkan pada kadar glukosa darah.

  Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat diambil dari plasma vena ataupun kapiler darah. Penentuan kadar glukosa darah yang menunjukkan tanda-tanda Diabetes melitus didasarkan pada ketentuan yang telah dikeluarkan oleh WHO (Sudoyo AW 2007).

  Diabetes melitus (DM) Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai pedoman diagnosis Diabetes melitus (DM)

  Jenis kadar Jenis Bukan DM Dicurigai DM DM (mg/dl) glukosa darah specimen (mg/dl) (mg/dl) Sewaktu Plasma vena < 110 110-199 >200

  Kapiler darah < 90 90-100 >200 Puasa Plasma vena < 110 110-125 >126

  Kapiler darah < 90 90-109 >110 Sumber : Aru W.Sudoyo (Ilmu Penyakit Dalam ed 4)

2.2.4 Komplikasi Diabetes melitus

  Komplikasi dapat terjadi pada semua tipe Diabetes melitus. Komplikasi DM berhubungan dengan lamanya hiperglikemia yang terjadi pada tubuh. Hiperglikemia mempengaruhi pembentukan Advanced Glycation End-product (AGE). AGE berperan merangsang sel endotel dan monosit untuk menghasilkan mediator inflamasi. Adanya peningkatan AGE di dalam plasma darah dan jaringan berhubungan dengan komplikasi DM. AGE akan mengakibatkan jaringan gingival memiliki permeabilitas pembuluh darah yang lebih besar, kerusakan jaringan kolagen, dan kerusakan jaringan ikat serta tulang (Debora, 2002). Komplikasi ini juga dapat melibatkan pembuluh darah besar antara lain: penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang melibatkan pembuluh darah kecil anttara lain: retinopathy, nefropathy, dan neuropathy . Retinopathy dapat menyebabkan kebutaan, nefropathy akan menyebabkan gagal Komplikasi diabetes di rongga mulut juga dapat terjadi antara lain seperti: xerostomia, penyakit periodontal, insidens karies yang tinggi, kehilangan tulang, serta dapat mempengaruhi perubahan kepadatan (densitas) mineral tulang mandibula (Debora, 2002).

2.2.5 Hubungan Diabetes melitus dengan Densitas Radiografi

  Diabetes melitus dapat mempengaruhi pembentukan tulang dan dihubungkan dengan obesitas, hiperglikemia serta AGE. Albright dan Reifersten adalah peneliti yang pertama kali tahun 1948 melaporkan adanya hubungan antara kepadatan mineral tulang yang berkurang, dengan risiko fraktur pada subjek DM. Namun demikian, penelitian mengenai hubungan kepadatan mineral tulang (bone mineral

  

density /BMD) dengan DM pada tulang rahang rahang, masih sangat sedikit bila

  dibandingkan penelitian pada tulang lainnya seperti radius, vertebra dan femur (Ay, 2005). Beberapa mekanisme berperan dalam menyebabkan berkurangnya kepadatan tulang pada penderita DM, seperti : insulinopenia, microangiopathy, dan peningkatan

  interleukin (Cultrim, 2007).

  Marker atau penanda metabolisme tulang adalah serum osteocalcin, C-

terminal telopeptide colagen tipe 1 (CTX), dan osteoprotegerin (OPG) serta leptin.

  CTX merupakan marker resorpsi tulang, sedangkan OPG, osteocalcin dan leptin merupakan marker pembentukan tulang. Analisis atau pemeriksaan terhadap marker-

  marker di atas dapat memberikan penjelasan mengenai kehilangan tulang pada pasien

  berperan dalam mengatur metabolisme tubuh dan pembentukan tulang. Selain itu,

  

osteocalcin juga merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Penurunan

  jumlah osteocalcin akan mengurangi kepadatan mineral tulang. Penderita Diabetes melitus akan memiliki jumlah osteocalcin yang lebih rendah dibandingkan tidak mengalami DM. Penderita DM akan memiliki konsentrasi CTX yang lebih tinggi.

  

CTX merupakan marker resorpsi tulang. OPG berperan penting dalam mengatur

  resorpsi tulang dengan menghambat diferensiasi osteoklas. Leptin merupakan hormon metabolisme yang regulasinya diatur oleh insulin. Pada penderita DM konsentrasi leptin akan berkurang. Walaupun penyebab pasti kehilangan tulang pada penderita Diabetes mellitus belum jelas sampai saat ini, namun beberapa peneliti menyatakan defisiensi insulin dapat meningkatkan resorpsi dan kehilangan tulang (Alexaopoulou, 2006).

  Marker-marker tersebut di atas dipengaruhi oleh metabolisme tubuh. Elemen

  utama mineral seperti kalsium, total glycated hemoglobin/HbA1, fosfat dan magnesium berperan dalam metabolisme tubuh. Adanya stimulus dan gangguan pada mineral tersebut akan merangsang perubahan metabolisme tubuh. Polyuria pada penderita DM dapat membuat hilangnya kalsium, fosfat dan magnesium.

  Hypophosphatemia, hypomagnesium dan hypocalcemia dapat menyebabkan resistensi insulin. Magnesium adalah ion penting dalam kehidupan sel. Magnesium merupakan kofaktor beberapa enzim (Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008). penelitian menyatakan bahwa magnesium berperan sebagai pembawa pesan kedua (second messenger) dalam aktifitas insulin. Insulin juga berperan dalam mengatur akumulasi magnesium intraseluler (Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008). Pada kondisi resistensi terhadap insulin, kandungan magnesium intraseluler akan turun. Pada Diabetes melitus, rendahnya kandungan magnesium intraseluler disebabkan oleh peningkatan urin yang dikeluarkan, dan resistensi insulin, dan rendahnya kandungan magnesium intraseluler akan menyebabkan gangguan respons serta aktifitas insulin. Hal inilah yang dijumpai pada penderita Diabetes melitus tipe 2 (non-insulin-

  

dependent ), yaitu insulin tidak berfungsi dengan normal. Fosfat juga berperan dalam

  metabolisme energi, dan defisiensi fosfat berhubungan dengan perubahan sensitifitas insulin serta toleransi glukosa (Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008).

  Hubungan antara DM dan osteoporosis merupakan hal yang kompleks. Riwayat DM, lamanya menderita DM dan komplikasi kronis berhubungan dengan peningkatan terjadinya fraktur. Hubungan antara kepadatan mineral tulang dan DM telah diobservasi pada pasien DM tipe 1, di mana dijumpai peningkatan kehilangan mineral tulang yang dihubungkan dengan lamanya menderita, kontrol glikemik yang buruk secara berkepanjangan dan dosis insulin yang tinggi, sedangkan pada pasien DM tipe 2, hubungan di atas tidak dijumpai (Rakie, 2006).

  Beberapa mekanisme yang berperan pada DM tipe 1 yang berhubungan dengan osteopenia, meliputi gangguan regulasi vitamin D, hormon paratiroid (PTH) dan berperan penting dalam menjaga metabolime tulang. Jika hormon PTH berlebih, maka akan mengakibatkan osteolisis. Hormon PTH juga merupakan stimulus dalam pembentukan vitamin D dan aktivitas osteoblast. Dengan kata lain, jika hormon PTH berkurang, maka level vitamin D dan aktivitas osteoblast juga berkurang (Paula, 2001).

  Peningkatan resorpsi tulang dan menurunnya pembentukan tulang telah terbukti pada penderita DM tipe 1 yang tidak terkontrol dalam jangka waktu yang lama. Namun sebaliknya, rendahnya pergantian tulang dijumpai pada penderita DM tipe 2, khususnya yang dirawat dengan insulin. Walaupun hormon seks berperan dalam metabolisme skeletal, namun tidak dijumpai adanya hubungan dengan penderita DM (Rakie, 2006).

  Seino dan Ishida melaporkan beberapa hal yang berhubungan antara osteopenia dan DM, yakni: a.

  Adanya peningkatan kalsium, fosfor dan magnesium pada ekskresi urin disebabkan peningkatan intensitas glikosuria. Nair dkk. menunjukkan bahwa serum kalsium dan PTH pada penderita DM lebih rendah daripada kelompok kontrol.

  b.

  Metabolisme vitamin D berkurang. Frazer dkk melaporkan bahwa level 1,25(OH) 2 D (dihydroxyvitamin), lebih rendah pada pasien DM. c.

  Defisiensi insulin dapat mengurangi aktivitas osteoblast (Seino dan Ishida, 1995).

  Penelitian yang dilakukan oleh Oz dkk. (2006) pada 52 pasien dengan DM tipe bukan resorpsi tulang. Oz dkk. (2006) mencatat penanda biokomia (biochemical

  markers ) metabolisme tulang pada DM seperti serum osteocalcin, BAP dan CTx. Dan

  ketika Oz dkk. (2006) membandingkan dengan kelompok kontrol, dijumpai perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Level serum osteocalcin dan CTx menurun pada pasien DM pria serta level osteocalcin and BAP menurun pada pasien DM wanita.

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Takizawa dkk. (2003), kehilangan mineral tulang merupakan salah satu komplikasi kronis DM tipe 2.

  Ketidakseimbangan kalsium yang disebabkan ekskresi kalsium urin yang meningkat dan penurunan penyerapan kalsium oleh usus dapat terjadi dikarenakan perubahan metabolisme vitamin D dan atau fungsi paratiroid yang menurun. Pada proses metabolisme sel tulang, pembentukan tulang oleh osteoblas ditekan oleh perubahan metabolisme vitamin D, hipoparatiroidisme, hiperglikemia kronis dan aksi insulin yang tidak memadai. Di sisi lain, resorpsi tulang oleh osteoklas sedikit meningkat akibat perubahan tersebut. Sistem fungsional tulang yang tidak seimbang antara osteoblas dan osteoklas pada diabetes mellitus tipe 2 dapat mengakibatkan hilangnya kepadatan tulang (Takizawa et al., 2003)

  Beberapa mekanisme yang berperan pada DM tipe 1dan 2 yang berhubungan dengan osteopenia, meliputi gangguan regulasi vitamin D, hormon parathyroid (PTH) dan metabolisme mineral tulang serta keseimbangan kaslium. Hormon PTH adalah hormon yang berperan penting dalam menjaga metabolime tulang. Jika hormon PTH stimulus dalam pembentukan vitamin D dan aktivitas osteoblast. Dengan kata lain, jika hormon PTH berkurang, maka level vitamin D dan aktivitas osteoblast juga berkurang (Dobnig, 2006; Takizawa et al., 2003).

2.3 Densitas Radiografi Tulang Rahang

  Salah satu indikator kualitas tulang adalah kepadatan atau densitas radiografi, yang merupakan gambaran struktur internal tulang sebagai refleksi kekuatan tulang rahang. Walaupun keadaan ini tidak sepenuhnya sama atau menggambarkan kandungan mineral tulang, namun perubahan densitas radiografi adalah salah satu gambaran berkurangnya kadar mineralisasi tulang. Faktor ini sangat penting bagi berbagai rencana perawatan di bidang kedokteran gigi, antara lain perawatan implan gigi, penentuan indikasi pencabutan/operasi gigi, perkiraan penyembuhan dan lainnya

  Gambar 5. Potongan Melintang Tulang Mandibula pada Regio Foramen Mentalis. Lempeng Tulang Kortikal Tebal pada Daerah Puncak dan di Bagian Dalam Tampak Tulang Trabekula (Misch, 2005)

  Penelitian tentang kepadatan tulang rahang dan kualitas tulang telah diawali oleh Taguchi dkk pada tahun 1997 (Taguchi et al., 1997). Pada penelitiannya, Taguchi membandingkan pola tulang trabekula mandibula tidak bergigi pada gambar radiografi panoramik, dengan Bone Mineral Density (BMD) pada Computed

  

Tomography . Dalam penelitian tersebut, densitas radiografi tulang trabekula

  diklasifikasikan menjadi 5 grade, yaitu :

a) Grade 1 : Tidak tampak adanya trabekula tulang.

  Gambar 6. Pola Trabekula Tulang Grade 1 (Taguchi, 1997)

b) Grade 2 : Tampak beberapa trabekula tulang yang tipis dan tak beraturan.

  Gambar 7. Pola Trabekula Tulang Grade 2 (Taguchi, 1997)

c) Grade 3 : Trabekula tulang tampak jelas seperti pada tulang alveolar normal.

  Gambar 8. Pola Trabekula Tulang Grade 3 (Taguchi, 1997)

  d) Grade 4 : Trabekula tulang yang tebal tampak menempati sebagian rongga sumsum tulang

  Gambar 9. Pola Trabekula Tulang Grade 4 (Taguchi, 1997)

e) Grade 5 : Tulang padat tanpa adanya gambaran trabekula tulang.

  Gambar 10. Pola Trabekula Tulang Grade 5 (Taguchi, 1997)

  Penggolongan kepadatan tulang cara Taguchi ini kemudian dikembangkan di Indonesia untuk melihat perubahan densitas radiografi berbagai kelainan/kondisi di bidang kedokteran gigi, antara lain evaluasi densitas radiografi pada Rapidly

  

Progressive Periodontitis (RPP) , osteoporosis, dan penderita karsinoma nasofaring

  paska radioterapi (Taguchi et al., 1997). Pada penelitian kualitas tulang yang dikembangkan di Indonesia, umumnya menggunakan radiografi periapikal karena gambaran yang dihasilkan lebih geometris dibandingkan panoramik, dan daerah yang diperiksa (Region of interest/ROI) adalah pada mandibula. Mengingat besarnya distorsi gambar pada panoramik yang tidak dapat dihindari disebabkan kedua rahang yang berbentuk lengkung diproyeksikan pada lembaran film radiografi yang datar, maka penelitian yang memerlukan ketepatan/presisi, menggunakan radiografi periapikal paralel. Radiografi periapikal dengan teknik paralel akan menghasilkan gambaran dengan bentuk dan ukuran mendekati yang sebenarnya (geometris), serta 1992).

  Gambar 11. Pembesaran Gambar pada Radiografi Panoramik (Priaminarti, 2009)

  

2.4 Pemeriksaan Radiografi Kualitas Tulang Mandibula Pada Penderita

Diabetes melitus

  Penelitian mengenai hubungan kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density /BMD) dengan DM pada tulang rahang sangat sedikit dilakukan (Ay, 2005).

  Radiografi periapikal adalah satu jenis radiografi yang digunakan untuk menentukan densitas radiografi tulang rahang, dan regio yang dijadikan penelitian, adalah tulang rahang bawah atau mandibula. Beberapa penyakit sistemik yang telah diteliti bermanifestasi di rongga mulut, antara lain yaitu osteoporosis, Diabetes mellitus, hiperparatiroidism, tumor ganas, fibrous dysplasia, dan penyakit-penyakit infeksi seperti tuberkulosis ataupun sifilis (Watanabe et al., 2008).

  Osteopenia dan osteoporosis merupakan kondisi patologis yang dihubungkan dengan kekurangan massa tulang. Menurut WHO, osteopenia adalah kepadatan adalah kepadatan mineral tulang yang < - 2,5 dari deviasi standar. Mekanisme patofisiologis yang berhubungan dengan kehilangan tulang pada penderita DM adalah berkurangnya aktifitas osteoblas, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, serta berkurangnya sintesis kolagen dan insulin (Vargas, 2003).

  Seperti telah diuraikan sebelumnya, DM adalah gangguan metabolisme karbohidrat yang menyebabkan penurunan jumlah insulin dan resistensi jaringan terhadap efek insulin. Gangguan tersebut dapat menyebabkan beberapa komplikasi pada jaringan atau organ lain, seperti pada mandibula. Manifestasi DM pada tulang mandibula dapat berupa kehilangan tulang alveolar (alveolar bone loss) dan berkurangnya kepadatan mineral tulang, yang dapat dievaluasi melalui radiografi sebagai perubahan densitas radiografi. Menurut Taguchi, kedua keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan gigi posterior pada wanita dewasa (Taguchi, 1999).

  Menurut Taylor dkk penderita Diabetes melitus khususnya yang tidak terkontrol, memiliki risiko kehilangan tulang alveolar lebih besar dibandingkan dengan penderita DM yang terkontrol atau yang tidak mengalami DM. (Taylor et al., 1998). Radiografi dapat mendeteksi kehilangan tulang alveolar melalui pengukuran tinggi level tulang interproksimal (Watanabe et al., 2008).

  Kepadatan mineral mandibula pada penderita Diabetes melitus dapat dievaluasi dengan menggunakan radiografi periapikal (Gambar 12 dan 13). Penelitian Ay dkk. terhadap 19 subjek penderita DM dan 17 subjek kontrol mengenai kepadatan mineral tulang yang dilihat melalui radiograf dengan bantuan five-step copper stepwedge

  DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) sebagai gold standard. Hasilnya

  menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kepadatan mineral tulang mandibula pada grup DM dan kontrol (Ay, 2005).

  Gambar 12. Evaluasi Radiografi dilihat dengan Kaca Pembesar Gambar 13. Extension Cone Paralelling/

  

  XCP Hansin yang Digunakan pada Teknik Periapikal Paralel Gambar 14. Potongan Foto Panoramik yang Menunjukkan Kepadatan Mineral Tulang yang Normal (Watanabe et al.,2008)

  Gambar 15. Potongan Dua Foto Panoramik yang Menunjukkan Berkurangnya Kepadatan Mineral Tulang Mandibula yang Dapat Dilihat dari Gambaran Radiolusen (Watanabe et al.,2008)

  Gambar 16. Demonstrasi Teknik Kalibrasi Dexa Melalui Radiografi Panoramik. Pada foto di atas, Contoh Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang pada Beberapa Regio yang Ditandai Nomor

  2

  2

  yakni (1) 0,05 g/cm , (2) 1,63 g/cm dan (3)

  2

  1,57 g/cm (Watanabe et al.,2008) Penelitian lain mengenai kualitas tulang, dalam hal ini densitas radiografi, telah mulai dilakukan tahun 2002 di Indonesia yaitu pada densitas radiografi mandibula pada penderita Rapidly Progressive Periodontitis/RPP, yang sekarang disebut sebagai

  

aggressive periodontitis . Penelitian serupa juga dilakukan pada penialaian densitas

radiografi tulang mandibula pasien pasca radioterapi karsinoma nasofaring.

  Priaminiarti dkk. (2009) melakukan pemeriksaan trabekula tulang mandibula untuk menentukan nilai kepadatan tulang mandibula pada perawatan implan gigi, menggunakan foto intra oral digital. Dari penelitian-penelitian sebelumnya tersebut telah diperoleh pula nilai densitas radiometrik digital pada berbagai usia, yang dapat dijadikan pedoman bagi penelitian densitas radiografi tulang mandibula. Boel dalam disertasinya melaporkan hasil penelitian perubahan densitas radiografi dengan menggunakan radiografi digital pada perubahan di jaringan lunak, untuk mendeteksi adanya plak arteri karotis di regio vertebrae cervicales 3-4 yang terlihat pada radiografi panoramic (Boel, 2011).

  Gambar 17. Pengukuran Kepadatan (dalam

  Grey Scales ) dengan Meng-

  gunakan Software pada Regio yang Ditandai dengan Meng- gunakan Radiografi Digital Periapikal (Priaminart, 2009)

  Pada penelitian tersebut penilaian densitas radiografi dilakukan pada radiografi konvensional dengan menggunakan pembanding radiografi digital, sehingga diperoleh nilai densitas radiografi dalam satuan radiometrik 0-256 grey scales dengan menggunakan bantuan computer-software (Gambar 17). Apabila dibandingkan dengan radiografi konvensional, radiografi digital dapat memberikan informasi diagnostik yang lebih terukur dan akurat. Namun demikian, mengingat densitas radiografi dapat dilihat dari radiografi konvensional apabila memenuhi syarat ‘membaca’ radiografi yang benar, seperti penggunaan viewing box, pencahayaan yang baik dan lainnya, maka radiografi konvensional periapikal yang memang banyak tersedia, dapat digunakan.

2.5 Kerangka Konsep & Hipotesis Penelitian

  2.5.1 Kerangka Konsep

  Diabetes melitus (DM)

  • Usia Perubahan Densitas tulang

  Mandibula secara radiografi

  • Jenis Kelamin • Lama menderita
  • Pengguna obat-obatan

  Korteks Trabekular Grade 1-3 Grade 1-5

  2.5.2 Hipotesis Penelitian 1.

  Ada hubungan densitas radiografi tulang mandibula dengan penderita DM tipe 2