Perubahan Densitas Tulang Mandibula pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2 Berdasarkan Pemeriksaan Radiografi

(1)

PERUBAHAN DENSITAS TULANG MANDIBULA

PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

BERDASARKAN PEMERIKSAAN RADIOGRAFI

TESIS

TESIS

Oleh : Yollanda Susanti

097028004

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERUBAHAN DENSITAS TULANG MANDIBULA

PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

BERDASARKAN PEMERIKSAAN RADIOGRAFI

TESIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister (MDSc)

Dalam Bidang Ilmu Kedokteran Gigi

Pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

Oleh : Yollanda Susanti

097028004

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Tanggal Lulus : 6 Juli 2013

Telah diuji

Pada Tanggal : 6 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ameta Primasari, drg.,MDSc.,M.Kes

Anggota : 1. Prof. Trimurni Abidin, drg.,M.Kes.,Sp.KG(K) 2. Prof. Sondang Pintauli, drg.,Ph.D

3. Dr. Trelia Boel, drg.,M.Kes., SP.RKG(K)

4. Saidina Hamzah Daliemunthe, drg., Sp.Perio (K) 5. Asfan Bahri, drg., Sp.RKG


(4)

Judul Tesis : Perubahan Densitas Tulang Mandibula Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2 Berdasarkan Pemeriksaan Radiografi

Nama Mahasiswa : Yollanda Susanti Nomor Induk Mahasiswa : 097028004

Program Studi : Magister (S2) Ilmu Kedokteran Gigi Menyetujui

Pembimbing

Dr.Trelia Boel,drg.,Mkes.,Sp.RKG(K) Saidina Hamzah Dalimunthe,drg.,Sp.Perio(K)

Ketua Program Studi, Dekan


(5)

PERNYATAAN

PERUBAHAN DENSITAS TULANG MANDIBULA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 BERDASARKAN

PEMERIKSAAN RADIOGRAFI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis yang diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2013 Yollanda Susanti


(6)

ABSTRAK

Radiografi panoramik dan periapikal merupakan alat bantu dalam menegakkan diagnosa suatu penyakit. Melalui radiografi tersebut dapat dilihat kemungkinan adanya perubahan densitas tulang mandibula. Penentuan kepadatan tulang mandibula merupakan hal yang penting dalam membuat diagnosa, rencana perawatan dan penatalaksanaan beberapa prosedur perawatan gigi seperti implan,

bone grafting dan periodontitis. Salah satu penyakit sistemik yang mempengaruhi kepadatan tulang adalah Diabetes Melitus (DM). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh Diabetes melitus dengan perubahan densitas tulang mandibula. Salah satu perubahan radiografi yang terjadi pada penderita diabetes melitus adalah penurunan densitas tulang. Apabila pada tulang mandibula penderita DM terlihat perubahan densitas radiografi yang berhubungan dengan lamanya menderita DM, maka hal ini dapat menjadi pedoman bagi dokter gigi untuk melakukan perawatan pada penderita DM. Subjek penelitian ini berjumlah 65 orang dengan riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 yang diperoleh dari data sekunder dilengkapi dengan wawancara dengan bantuan kuisioner. Pada subjek dilakukan pemeriksaan radiografi periapikal dan panoramik. Untuk melihat densitas tulang mandibula, penilaian dilakukan dengan metode grading. Pemeriksaan densitas tulang mandibula dihubungkan dengan usia, turunan, obat dan lamanya menderita diabetes.

Kepadatan tulang mandibula tidak berpengaruh pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 (p>0.05). Pasien yang dengan kurun waktu yang cukup lama menderita DM tipe 2 juga tidak mempengaruhi kepadatan tulang mandibula (p>0.05), tetapi hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada pengaruh antara minum obat dengan kerusakan tulang mandibula (p=0.006).

Tidak ada perubahan densitas tulang mandibula pada penderita DM tipe-2 yang diukur berdasarkan usia, lama menderita DM dan turunan DM. Hanya riwayat minum obat yang memperoleh hubungan yang signifikan dengan perubahan densitas tulang mandibula.


(7)

ABSTRACT

Panoramic and periapical radiography serve as adjunct tools the diagnosis of a disease. One of the features that can be observed in radiographs is the alteration of mandibular bone density. The determination of mandibular density is essential in diagnostic process, treatment planning and management of several treatment procedures such as implant placement, bone grafting and periodontal treatment. One of the systemic diseases which affects bone density is diabetes mellitus (DM). Diabetes mellitus constitutes a group of common metabolic disorders that share the phenotype of hyperglicemia caused by impairment in insulin secretion, insulin action or both. The study aimed to determine the corelation of Diabetes mellitus by mandibular bone density. The decrease of bone density in diabetic patients can be see in radiograph. If the alteration of mandibular radiographic density in diabetic patients in relation to the duration of DM can be determined, it can serve as a guideline for dentists to manage DM patients. A total of 65 patients with a history of type 2 diabetes mellitus was taken from secondary data, supplemented with interviews in the form of questionaire. Periapical and panoramic radiograph examination were made. To observe the mandibular bone density, the estimation were done by grading method. The results of mandibular bone density were correlated with age, hereditary, medication and duration of disease.

Mandibular bone density was not significantly altered in type 2 diabetes mellitus patients (p>0.05). Similarly, mandibular density did not differ in patients with longer duration of having DM type 2 (p>0.05), but the results showed that there was a relation between drug intake and mandibular bone damage (p=0.006).

There is no alteration of mandibular bone density in type 2 DM patients according to age, duration of disease and familial history of DM. Only drug intake history was significantly correlated with mandibular density change.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Gigi dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penelitian tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan binbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis ngin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort, Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Trelia Boel, drg.,M.Kes., Sp.RKG(K) selaku pembimbing pertama, yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan dan dukungan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Saidina Hamzah Daliemunthe, drg., Sp.Perio (K) selaku pembimbing kedua

penulis yang telah meluangkan banyak waktu, memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dr. Ameta Primasari, drg. MDSc.,MKes selaku Ketua Panitia Penguji dan Ketua Program Studi Magister Fakultas Kedokteran Gigi Universitas


(9)

Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan dorongan semangat kepada penulis.

5. Prof. Trimurni Abidin, drg.,MKes.,Sp.KG(K) selaku anggota Panitia Penguji dan Ketua Tim Koordinasi Pelaksana Program Studi Magister Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan dorongan semangat kepada penulis.

6. Prof. Sondang Pintauli, drg.,Ph.D selaku anggota Panitia Penguji dan Sekretaris Program Studi Magister Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.

7. Asfan Bahri, drg., Sp.RKG selaku anggota Panitia Penguji yang telah banyak meluangkan waktu, masukan dan bimbingan kepada penulis.

8. Dr. Taufik Ashar MKM atas bantuannya dalam analisis statistik hasil penelitian.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, yaitu ayahanda H.A. Darman SP dan ibunda Hj. Irnayati yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tak terbalas, doa, semangat, dan dukungan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada suami penulis dr. Iqbal Sungkar, abang penulis Oky Irawan, adik penulis Yogi Trianto, Yossy Apriani, Yon Permana Putra serta segenap keluarga yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.


(10)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah praktis.

Medan, Juli 2013 Penulis, Yollanda Susanti


(11)

RIWAYAT HIDUP

Keterangan Pribadi

Nama : Yollanda Susanti

Alamat Tempat Tinggal : Jl. Garuda No. 27 A Medan Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

No. Kontak : 081396788807 Nama Ayah : H.A Darman SP Nama Ibu : Hj. Irnayati Suami : dr. Iqbal Sungkar Pendidikan Formal

Sekolah Dasar : SD. HARAPAN Sekolah Menengah : SMP HARAPAN 1 Sekolah Menengah Atas : SMU HARAPAN

Fakultas Kedokteran Gigi : Universitas Sumatera Utara Pasca Sarjana : Ilmu Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara Pelatihan, Seminar dan Lokakarya :

1. The 4rd Regional Dental Meeting and Exhibition 2009 2. 5th FDI – IDA Joint Meeting 2009

3. Medan Esthetic Dentistry 2010

4. In The 5th Regional Dental Meeting and Exhibition 2011

5. Seminar Ilmiah Sehari Kedokteran Gigi dan Rakorwil PDHI Sumut 2013

6. Seminar Ilmiah Kedokteran Gigi Estetik dalam Perspektif Profesionalisme Dokter Gigi 2013

Hasil Penelitian : - Publikasi Ilmiah : -


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN... ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... ... 6

2.1 Radiografi di Kedokteran Gigi ... 6

2.2. Diabetes melitus ... 11

2.2.1 Pengertian ... 11

2.2.2 Klasifikasi ... 11

2.2.3 Diagnosis Diabetes melitus ... 12

2.2.4 Komplikasi Diabetes melitus ... 13

2.2.5 Hubungan Diabetes melitus dengan Densitas Radiografi ... 14

2.3 Densitas Radiografi Tulang Rahang ... 19

2.4 Pemeriksaan Radiagrafi Tulang Mandibula pada Penderita Diabes melitus ... 24

2.5 Kerangka Konsep & Hipotesa Penelitian ... 30

2.5.1 Kerangka Konsep ... 30

2.5.2 Hipotesis Penelitian ... 30

BAB 3 METODE PENELITIAN... ... 31

3.1 Desain Penelitian ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3 Sampel Penelitian ... 31

3.4 Kriteria Sampel Penelitian ... 32

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 32

3.4.2 Kritera Eksklusi ... 32


(13)

3.6 Alur Peneliti ... 34

3.7 Rencana Manajemen dan Analisis Data ... 36

BAB 4 HASIL PENELITIAN... ... 37

4.1 Karakteristik Subjek ... 37

4.2 Kontrol Kualitas Data ... 38

4.3 Perbedaan Kerusakan Tulang Trabekular dan Korteks pada Penderita Diabetes melitus ... ... 39

BAB 5 PEMBAHASAN. ... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

6.1 Kesimpulan ... 52

6.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Pedoman

Diagnosis Diabetes melitus ... 13 2. Karakteristik Responden Penelitian ... 38 3. Hasil Uji Keselarasan antar Dua Pemeriksa untuk Pemeriksaan

Trabekular ... 39 4. Hasil Uji Keselarasan antar Dua Pemeriksa untuk Pemeriksaan

Korteks ... 39 5. Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) berdasarkan

Usia ... 40 6. Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) berdasarkan

Jenis Obat Menurut Pengelompokan usia Pada Penderita DM ... 40 7. Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Menurut

Pengelompokan Usia pada Penderita DM yang tidak minum obat ... 41 8. Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Menurut

Pengelompokan Usia Sesuai dengan Lama Penderita DM ... 42 9. Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan

Ada Tidaknya Turunan DM ... 42 10.Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Menurut

Pengelompokan Usia Berdasarkan Ada Tidaknya Turunan DM ... 43 11.Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan

Ada Tidaknya Minum Obat DM ... 43 12.Perbedaan Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Radiografi Rahang Bawah ... 7

2. Korteks Mandibula yang Normal ... 9

3. Korteks Mandibula dengan Erosi yang Ringan ... 9

4. Korteks Mandibula dengan Erosi yang Parah ... 10

5. Potongan Melintang Tulang Mandibula pada Regio Foramen Mentalis ... 20

6. Pola Trabekular Tulang Grade 1 ... 21

7. Pola Trabekular Tulang Grade 2 ... 21

8. Pola Trabekular Tulang Grade 3 ... 22

9. Pola Trabekular Tulang Grade 4 ... 22

10.Pola Trabekular Tulang Grade 5 ... 23

11.Pembesaran Gambar pada Radiografi Panoramik ... 24

12.Evaluasi Radiografi Dilihat dengan Kaca Pembesar ... 26

13.Extension Cone Paralleling ... 26

14.Potongan Foto Panoramik yang Normal ... 27

15.Potongan Foto Panoramik Berkurangnya Kepadatan Tulang ... 27

16.Demonstrasi Teknik Foto Kalibrasi ... 28


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Kuesioner ... 57

2. Informed Consent ... 59

3. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 62

4. Surat Foto Ronsen ... 63


(17)

ABSTRAK

Radiografi panoramik dan periapikal merupakan alat bantu dalam menegakkan diagnosa suatu penyakit. Melalui radiografi tersebut dapat dilihat kemungkinan adanya perubahan densitas tulang mandibula. Penentuan kepadatan tulang mandibula merupakan hal yang penting dalam membuat diagnosa, rencana perawatan dan penatalaksanaan beberapa prosedur perawatan gigi seperti implan,

bone grafting dan periodontitis. Salah satu penyakit sistemik yang mempengaruhi kepadatan tulang adalah Diabetes Melitus (DM). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh Diabetes melitus dengan perubahan densitas tulang mandibula. Salah satu perubahan radiografi yang terjadi pada penderita diabetes melitus adalah penurunan densitas tulang. Apabila pada tulang mandibula penderita DM terlihat perubahan densitas radiografi yang berhubungan dengan lamanya menderita DM, maka hal ini dapat menjadi pedoman bagi dokter gigi untuk melakukan perawatan pada penderita DM. Subjek penelitian ini berjumlah 65 orang dengan riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 yang diperoleh dari data sekunder dilengkapi dengan wawancara dengan bantuan kuisioner. Pada subjek dilakukan pemeriksaan radiografi periapikal dan panoramik. Untuk melihat densitas tulang mandibula, penilaian dilakukan dengan metode grading. Pemeriksaan densitas tulang mandibula dihubungkan dengan usia, turunan, obat dan lamanya menderita diabetes.

Kepadatan tulang mandibula tidak berpengaruh pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 (p>0.05). Pasien yang dengan kurun waktu yang cukup lama menderita DM tipe 2 juga tidak mempengaruhi kepadatan tulang mandibula (p>0.05), tetapi hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada pengaruh antara minum obat dengan kerusakan tulang mandibula (p=0.006).

Tidak ada perubahan densitas tulang mandibula pada penderita DM tipe-2 yang diukur berdasarkan usia, lama menderita DM dan turunan DM. Hanya riwayat minum obat yang memperoleh hubungan yang signifikan dengan perubahan densitas tulang mandibula.


(18)

ABSTRACT

Panoramic and periapical radiography serve as adjunct tools the diagnosis of a disease. One of the features that can be observed in radiographs is the alteration of mandibular bone density. The determination of mandibular density is essential in diagnostic process, treatment planning and management of several treatment procedures such as implant placement, bone grafting and periodontal treatment. One of the systemic diseases which affects bone density is diabetes mellitus (DM). Diabetes mellitus constitutes a group of common metabolic disorders that share the phenotype of hyperglicemia caused by impairment in insulin secretion, insulin action or both. The study aimed to determine the corelation of Diabetes mellitus by mandibular bone density. The decrease of bone density in diabetic patients can be see in radiograph. If the alteration of mandibular radiographic density in diabetic patients in relation to the duration of DM can be determined, it can serve as a guideline for dentists to manage DM patients. A total of 65 patients with a history of type 2 diabetes mellitus was taken from secondary data, supplemented with interviews in the form of questionaire. Periapical and panoramic radiograph examination were made. To observe the mandibular bone density, the estimation were done by grading method. The results of mandibular bone density were correlated with age, hereditary, medication and duration of disease.

Mandibular bone density was not significantly altered in type 2 diabetes mellitus patients (p>0.05). Similarly, mandibular density did not differ in patients with longer duration of having DM type 2 (p>0.05), but the results showed that there was a relation between drug intake and mandibular bone damage (p=0.006).

There is no alteration of mandibular bone density in type 2 DM patients according to age, duration of disease and familial history of DM. Only drug intake history was significantly correlated with mandibular density change.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radiografi baik intra maupun ekstra oral sangat banyak pemakaiannya dikalangan dokter gigi. Radiografi periapikal merupakan jenis intra oral yang sangat baik dalam hal melihat detail suatu keadaan normal atau patologis suatu penyakit, sedangkan radiografi panoramik (jenis ekstra oral) dapat melihat suatu keadaan rahang atas dan rahang bawah baik normal ataupun patologis (White, 2009). Penurunan kualitas tulang rahang dibandingkan dengan keadaan normal dapat terlihat berupa perubahan densitas tulang pada radiografi. Perubahan ini dapat terjadi karena berbagai penyebab, termasuk infeksi bakteri, penyakit sistemik, atau perubahan lokal pada respons host, terkait berbagai faktor seperti usia dan hormonal. Salah satu penyakit sistemik seperti diabetes melitus tipe 2 pada panoramik akan terlihat adanya perubahan densitas tulang mandibula (White, 2009).

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronis pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah serta densitas tulang (Wah, 2006; Debora, 2002; Milczarczyk, 2008). Salah satu perubahan radiografi yang terjadi pada penderita diabetes melitus adalah penurunan densitas tulang. Perubahan kepadatan


(20)

atau densitas tulang salah satunya dapat dideteksi dari pemeriksaan radiografi. Salah satu parameter yang diperlukan dalam melakukan perawatan di bidang kedokteran gigi adalah kualitas tulang, baik pola maupun densitasnya. Evaluasi kualitas tulang ini sangat berguna untuk menjawab apakah terdapat perubahan densitas radiografi pada tulang mandibula, misalnya adanya osteopenia, oleh karena dapat berpotensi menjadi osteoporosis (Brian dan Alexaopoulou, 2006; Cultrim, 2007). Menurut Albright dan Reifenstein (cit Ay, 2005), terjadi perubahan densitas tulang pada penderita DM dibandingkan penderita non diabetes. Dennision (2007) menyatakan bahwa perubahan densitas tulang dipengaruhi oleh profil lipid dan obesitas, sedangkan menurut Gursoy tidak ada hubungan antara penderita DM dengan kepadatan tulang (Ay, 2005).

Menurut WHO, prevalensi DM di seluruh dunia diperkirakan sekitar 2,8% pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 4,4% pada tahun 2030 dengan jumlah pasien DM diperkirakan sekitar 171 juta pada tahun 2000 dan 366 juta pada tahun 2030. Prevalensi DM lebih tinggi pada pria dari pada wanita, dimana usia >65 tahun memiliki prevalensi lebih tinggi mengalami DM (Wild, 2004). Jumlah penderita DM di Kanada diperkirakan 1,4 juta pada tahun 2000 dan 2,4 juta pada tahun 2016 (Ohinma, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Yang pada tahun 2007 hingga 2008 melaporkan prevalensi DM di Cina sekitar 9,7 % dengan jumlah 92,4 juta yaitu 50,2 juta pria dan 42,2 juta wanita (Yang, 2010). WHO memperkirakan Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibandingkan tahun 1995. Pada tahun


(21)

2012 Indonesia berada pada peringkat nomor 2 yaitu sebanyak 7,6 juta penderita DM (IDF, 2012).

Menurut Chaudhary (2008) dan Kotsovilis (2006), penyakit DM dapat mengurangi proses penyembuhan luka sehingga memiliki kontribusi terhadap kegagalan restorasi implan gigi. Penggunaan implan gigi sebagai pengganti gigi yang hilang menjadi salah satu bentuk perawatan dalam bidang kedokteran gigi. Namun demikian, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan dalam pembuatannya, di antaranya adanya penyakit sistemik seperti DM yang merupakan salah satu yang paling umum sebagai kontraindikasi dalam perawatan implan gigi. Implan gigi melibatkan proses osseointegrasi dan penyembuhan luka jaringan periodontal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien DM memiliki proses penyembuhan yang lambat setelah prosedur pembedahan dan sering menimbulkan komplikasi seperti kematian jaringan (Wings, 2009). Proses penyembuhan yang lambat pada pasien DM disebabkan berkurangnya suplai darah, penurunan ketahanan tubuh, pembentukan Advanced Glycation End-Products (AGEs), dan penurunan produksi kolagen dan peningkatan aktivitas kolagen (Fiorellini, 2000; Kotsovilis, 2006). Oleh karena itu, pasien DM kontraindikasi terhadap pemasangan implan . Dengan kata lain, kegagalan pemasangan implan gigi pada pasien DM lebih tinggi daripada pasien yang tidak mengalami DM (Park, 2007).

Sampai saat ini belum pernah ada penelitian di Indonesia mengenai perubahan densitas radiografi tulang mandibula terkait lamanya seseorang menderita DM. Apabila pada tulang mandibula penderita DM terlihat perubahan densitas radiografi


(22)

yang berhubungan dengan lamanya menderita DM, maka hal ini dapat menjadi pedoman bagi dokter gigi untuk melakukan perawatan pada penderita DM yang melakukan tidakan bedah ataupun pemasangan implan gigi.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang bagaimana peran perubahan densitas radiografi tulang mandibula dengan lamanya menderita DM.

1.2 Rumusan Masalah

1.Apakah ada pengaruh DM tipe 2 terhadap densitas radiografi tulang mandibula.

2.Bagaimana hubungan lamanya menderita DM tipe 2 dengan perubahan densitas radiografi tulang mandibula.

1.3 Tujuan Penelitian

1.Mendeteksi perubahan densitas radiografi tulang mandibula dari bentuk

korteks dan pola trabekula berupa grade pada penderita DM tipe 2.

2.Mengetahui ada tidaknya hubungan lamanya menderita DM dengan

perubahan densitas radiografi.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman bagi dokter gigi dalam melakukan perencanaan perawatan gigi. Melalui evaluasi radiografi penderita DM tipe 2 dapat dinilai adanya perubahan densitas radiografi tulang


(23)

rahang, yang terkait dengan lamanya DM tipe 2 diderita, sebagai salah satu pertimbangan dalam membuat rencana perawatan di bidang kedokteran gigi.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Radiografi di Kedokteran Gigi

Pemeriksaan radiografi di bidang kedokteran gigi, baik yang konvensional maupun modern, secara umum mencakup radiografi intra dan ekstra oral. Jenis radiografi intra oral konvensional/analog yang paling sering digunakan di bidang kedokteran gigi adalah radiografi intra oral periapikal. Jenis ini memerlukan bahan kimia dalam prosesnya dan membutuhkan tempat khusus untuk tempat pemrosesan dan penyimpanan film (White, 2009).

Dalam radiografi konvensional maupun modern, karakteristik pembentukan gambar radiografi menentukan kualitas diagnostik yang dihasilkan. Pada radiografi konvensional, penerima gambar yang digunakan adalah film radiografi yang merupakan medium analog. Dalam medium ini perbedaan ukuran dan distribusi perak hitam metalik yang diendapkan pada permukaan film radiografi tersebut menghasilkan spektrum densitas gambaran radiografi yang sifatnya berkesinambungan. Interpretasi gambaran radiografi yang dilakukan adalah pembacaan langsung pada radiografi dengan menggunakan transmisi cahaya dari

viewing box (White, 2009).

Densitas radiografi pada suatu radiografi dipengaruhi kontras radiografi. Hal ini didefinisikan sebagai perbedaan antara daerah terang dan gelap pada radiografi. Gambaran radiografi yang mempunyai kontras tinggi memiliki daerah terang dan


(25)

juga daerah gelap. Kondisi ini disebut sebagai kontras short grey scale karena hanya beberapa gambaran abu-abu yang tampak di antara gambaran hitam dan putih pada radiograf. Gambaran radiografi yang hanya terdiri atas zona abu terang dan abu-abu gelap memiliki kontras rendah, dan disebut sebagai kontras long grey scale. Kontras radiografi pada radiografi dipengaruhi kontras subyek, kontras film dan radiasi hambur (White, 2009).

A B

Gambar 1. Radiografi Rahang Bawah yang Memper-lihatkan A. Kontras Rendah dan B. Kontras Tinggi.

Agar dapat menghasilkan kualitas diagnostik yang optimum, interpretasi atau evaluasi radiografi memerlukan persyaratan khusus seperti kondisi pencahayaan yang optimum, dan pengetahuan tentang berbagai struktur anatomi serta perubahan radiografi berbagai kondisi patologis. Interpretasi radiografi memiliki keterbatasan, misalnya perubahan mineral pada tulang secara radiografi yang kasat mata baru dapat dievaluasi setelah kehilangan mineral sejumlah 25% sampai dengan 60%. Saat film radiografi dipapar oleh sinar-x dan kemudian diproses, kristal perak halide pada lapisan emulsi di permukaan film yang terkena foton sinar-X akan berubah menjadi butir-butir perak metalik. Butiran perak ini akan menghambat transmisi cahaya dari


(26)

viewbox dan menghasilkan tampilan gambaran hitam pada radiografi tersebut. Derajat kegelapan secara keseluruhan pada film radiografi disebut densitas radiografi. Densitas ini dapat diukur sebagai densitas optikal pada suatu daerah tertentu pada film radiografi (Whaithes, 2002).

Watanabe (2003) juga melakukan penelitian mengenai indikator kualitas tulang mandibula pada panoramik penduduk Brazil, yang dihubungkan dengan penentuan kepadatan mineral tulang dengan menggunakan DEXA (Dual-Energy Xray Absorptiometry) sebagai baku emas (gold standard). Indikator yang digunakan adalah trabekular tulang dan korteks mandibula (Watanabe et al., 2003). Penelitian mengenair trabekular tulang untuk menentukan nilai kepadatan tulang mandibula menggunakan foto intraoral digital pada perawatan implan gigi telah dilakukan pula di Indonesia. Dalam penelitian tersebut digunakan klasifikasi densitas radiografi trabekular tulang berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Taguchi dkk. Penilaian trabekulasi tulang pada radiografi dibagi menjadi lima klasifikasi yakni derajat 1 (sangat tipis atau jarang), derajat 2 (tipis), derajat 3 (normal), derajat 4 (tebal atau padat) dan derajat 5 (sangat tebal) (Priaminiarti et al., 2009). Klasifikasi Taguchi ini juga mendasari beberapa penelitian kualitas tulang terkait penyakit/kelainan yang bermanifestasi di tulang rahang, antara lain penelitian osteoporosis dan densitas radiografi pasca radio terapi karsinoma nasofaring. Pada penelitian densitas radiografi yang berhubungan dengan osteoporosis, juga digunakan radiografi panoramik untuk mengevaluasi bentuk korteks mandibula. Bentuk korteks mandibula dikategorikan menjadi tiga grup berdasarkan metode yang dibuat oleh Klemetti dkk, yakni:


(27)

1. Korteks normal : tepi endosteal korteks datar atau lurus dan tajam.

Gambar 2. Korteks Mandibula yang Normal (Taguchi, 2003)

2. Korteks dengan erosi ringan hingga sedang : tepi endosteal menunjukkan kerusakan berbentuk semilunar akibat adanya resorpsi tulang.

Gambar 3. Korteks Mandibula dengan Erosi yang Ringan (Taguchi, 2003)


(28)

3. Korteks dengan erosi yang parah : lapisan kortikal endosteal berkurang banyak dan terlihat adanya poreus.

Gambar 4. Korteks Mandibula dengan Erosi yang Parah (Taguchi, 2003)

Walaupun masih terdapat perdebatan dalam penggunaan radiografi panoramik dan peripikal dalam mendeteksi densitas radiografi tulang rahang, terkait dengan manifestasi kelainan atau penyakit sistemik, dokter gigi diharapkan dapat menggali informasi diagnostik maksimal dari radiografi untuk memperoleh gambaran adanya perubahan kualitas tulang rahang. Deteksi awal terjadinya perubahan densitas radiografi dapat membantu penentuan rencana perawatan dan mencegah komplikasi perawatan yang akan merugikan pasien (Watanabe et al., 2008).


(29)

2.2 Diabetes melitus 2.2.1 Pengertian

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang kompleks dan memerlukan perawatan sepanjang hidup untuk mengurangi risiko kecacatan dan kematian akibat komplikasi penyakit tersebut. DM adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia akibat sekresi dan aktivitas insulin yang tidak sempurna (Wah, 2006; Debora, 2002).

DM adalah salah satu masalah kesehatan yang umum terjadi dan berkembang di seluruh dunia. DM di beberapa negara cukup tinggi asia seperti di Amerika, Singapura, Hongkong, dan Pakistan. Di Singapura, prevalensi DM meningkat dari yang hanya sekitar 1,7% pada tahun 1975 menjadi 9% pada tahun 1998, dan cenderung terus meningkat (Wah, 2006). Di Amerika, sekitar 9% populasi dewasa mengalami DM dan dengan prevalensi ataupun insidens diabetes yang meningkat setiap tahunnya (Brian, 2006).

2.2.2 Klasifikasi

Menurut klasifikasi American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, Diabetes melitus dibagai menjadi empat klasifikasi yang ditetapkan berdasarkan tanda klinis dan keluhan, yaitu:

a. Diabetes melitus tipe 1 yang merupakan diabetes yang disebabkan akibat adanya kerusakan sel β pankreas. Kondisi ini menyebabkan defisiensi insulin absolut. Kerusakan sel tersebut dapat bersifat idiopatik ataupun disebabkan adanya


(30)

gangguan proses autoimun. Jika tidak dirawat, penderita diabetes DM tipe ini akan menunjukkan tanda-tanda klinis seperti polyuria, polydipsia, polyphagia, pruritis, lemah dan lemas. Penderita juga dapat mengalami komplikasi akibat DM . Klasifikasi ini juga disebut dengan diabetes dengan ketergantungan insulin (insulin-dependent diabetes).

b. Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes yang disebabkan oleh resistensi terhadap insulin. Diabetes tipe ini lebih sering terjadi dibandingkan tipe 1 dan sering dihubungkan dengan obesitas. Resistensi terhadap insulin mengakibatkan penurunan jumlah transfer glukosa ke sel-sel dan akhirnya menimbulkan kondisi

hiperglikemia.

c. Diabetes melitus gestational merupakan diabetes sementara yang terjadi saat kehamilan. Anak-anak yang ibunya penderita diabetes tipe ini akan memiliki risiko obesitas dan diabetes pada usia mudanya. Penderita diabetes tipe ini juga memiliki risiko mengalami diabetes tipe 2.

d. Diabetes melitus tipe lain merupakan klasifikasi diabetes yang dihubungkan dengan genetik, penyakit lainnya, ataupun penggunaan obat-obatan (Wah, 2006; Debora, 2002).

2.2.3 Diagnosis Diabetes melitus

Penegakan diagnosis Diabetes melitus didasarkan pada kadar glukosa darah. Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat diambil dari plasma vena ataupun kapiler darah. Penentuan kadar glukosa darah yang menunjukkan tanda-tanda Diabetes


(31)

melitus didasarkan pada ketentuan yang telah dikeluarkan oleh WHO (Sudoyo AW 2007).

Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Pedoman Diagnosis Diabetes melitus (DM)

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai pedoman diagnosis Diabetes melitus (DM) Jenis kadar glukosa darah Jenis specimen Bukan DM (mg/dl) Dicurigai DM (mg/dl) DM (mg/dl) Sewaktu Plasma vena < 110 110-199 >200

Kapiler darah < 90 90-100 >200 Puasa Plasma vena < 110 110-125 >126 Kapiler darah < 90 90-109 >110 Sumber : Aru W.Sudoyo (Ilmu Penyakit Dalam ed 4)

2.2.4 Komplikasi Diabetes melitus

Komplikasi dapat terjadi pada semua tipe Diabetes melitus. Komplikasi DM berhubungan dengan lamanya hiperglikemia yang terjadi pada tubuh. Hiperglikemia mempengaruhi pembentukan Advanced Glycation End-product (AGE). AGE berperan merangsang sel endotel dan monosit untuk menghasilkan mediator inflamasi. Adanya peningkatan AGE di dalam plasma darah dan jaringan berhubungan dengan komplikasi DM. AGE akan mengakibatkan jaringan gingival memiliki permeabilitas pembuluh darah yang lebih besar, kerusakan jaringan kolagen, dan kerusakan jaringan ikat serta tulang (Debora, 2002). Komplikasi ini juga dapat melibatkan pembuluh darah besar antara lain: penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang melibatkan


(32)

pembuluh darah kecil anttara lain: retinopathy, nefropathy, dan neuropathy . Retinopathy dapat menyebabkan kebutaan, nefropathy akan menyebabkan gagal ginjal, sedangkan neropati akan menyebabkan distesia (sensasi rasa terbakar). Komplikasi diabetes di rongga mulut juga dapat terjadi antara lain seperti: xerostomia, penyakit periodontal, insidens karies yang tinggi, kehilangan tulang, serta dapat mempengaruhi perubahan kepadatan (densitas) mineral tulang mandibula (Debora, 2002).

2.2.5 Hubungan Diabetes melitus dengan Densitas Radiografi

Diabetes melitus dapat mempengaruhi pembentukan tulang dan dihubungkan dengan obesitas, hiperglikemia serta AGE. Albright dan Reifersten adalah peneliti yang pertama kali tahun 1948 melaporkan adanya hubungan antara kepadatan mineral tulang yang berkurang, dengan risiko fraktur pada subjek DM. Namun demikian, penelitian mengenai hubungan kepadatan mineral tulang (bone mineral

density/BMD) dengan DM pada tulang rahang rahang, masih sangat sedikit bila

dibandingkan penelitian pada tulang lainnya seperti radius, vertebra dan femur (Ay, 2005). Beberapa mekanisme berperan dalam menyebabkan berkurangnya kepadatan tulang pada penderita DM, seperti : insulinopenia, microangiopathy, dan peningkatan

interleukin (Cultrim, 2007).

Marker atau penanda metabolisme tulang adalah serum osteocalcin, C-

terminal telopeptide colagen tipe 1 (CTX), dan osteoprotegerin (OPG) serta leptin.


(33)

merupakan marker pembentukan tulang. Analisis atau pemeriksaan terhadap marker-marker di atas dapat memberikan penjelasan mengenai kehilangan tulang pada pasien Diabetes melitus. Osteocalcin merupakan hasil sekresi osteoblas. Osteocalcin

berperan dalam mengatur metabolisme tubuh dan pembentukan tulang. Selain itu,

osteocalcin juga merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Penurunan jumlah osteocalcin akan mengurangi kepadatan mineral tulang. Penderita Diabetes melitus akan memiliki jumlah osteocalcin yang lebih rendah dibandingkan tidak mengalami DM. Penderita DM akan memiliki konsentrasi CTX yang lebih tinggi.

CTX merupakan marker resorpsi tulang. OPG berperan penting dalam mengatur resorpsi tulang dengan menghambat diferensiasi osteoklas. Leptin merupakan hormon metabolisme yang regulasinya diatur oleh insulin. Pada penderita DM konsentrasi leptin akan berkurang. Walaupun penyebab pasti kehilangan tulang pada penderita Diabetes mellitus belum jelas sampai saat ini, namun beberapa peneliti menyatakan defisiensi insulin dapat meningkatkan resorpsi dan kehilangan tulang (Alexaopoulou, 2006).

Marker-marker tersebut di atas dipengaruhi oleh metabolisme tubuh. Elemen utama mineral seperti kalsium, total glycated hemoglobin/HbA1, fosfat dan magnesium berperan dalam metabolisme tubuh. Adanya stimulus dan gangguan pada mineral tersebut akan merangsang perubahan metabolisme tubuh. Polyuria pada penderita DM dapat membuat hilangnya kalsium, fosfat dan magnesium.


(34)

insulin. Magnesium adalah ion penting dalam kehidupan sel. Magnesium merupakan kofaktor beberapa enzim (Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008).

Hubungan antara insulin dan magnesium telah diteliti sebelumnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa magnesium berperan sebagai pembawa pesan kedua (second messenger) dalam aktifitas insulin. Insulin juga berperan dalam mengatur akumulasi magnesium intraseluler (Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008). Pada kondisi resistensi terhadap insulin, kandungan magnesium intraseluler akan turun. Pada Diabetes melitus, rendahnya kandungan magnesium intraseluler disebabkan oleh peningkatan urin yang dikeluarkan, dan resistensi insulin, dan rendahnya kandungan magnesium intraseluler akan menyebabkan gangguan respons serta aktifitas insulin. Hal inilah yang dijumpai pada penderita Diabetes melitus tipe 2 ( non-insulin-dependent), yaitu insulin tidak berfungsi dengan normal. Fosfat juga berperan dalam metabolisme energi, dan defisiensi fosfat berhubungan dengan perubahan sensitifitas insulin serta toleransi glukosa (Cultrim, 2007; Milczarczyk, 2008).

Hubungan antara DM dan osteoporosis merupakan hal yang kompleks. Riwayat DM, lamanya menderita DM dan komplikasi kronis berhubungan dengan peningkatan terjadinya fraktur. Hubungan antara kepadatan mineral tulang dan DM telah diobservasi pada pasien DM tipe 1, di mana dijumpai peningkatan kehilangan mineral tulang yang dihubungkan dengan lamanya menderita, kontrol glikemik yang buruk secara berkepanjangan dan dosis insulin yang tinggi, sedangkan pada pasien DM tipe 2, hubungan di atas tidak dijumpai (Rakie, 2006).


(35)

Beberapa mekanisme yang berperan pada DM tipe 1 yang berhubungan dengan osteopenia, meliputi gangguan regulasi vitamin D, hormon paratiroid (PTH) dan metabolisme mineral tulang (Rakie, 2006). Hormon PTH adalah hormon yang berperan penting dalam menjaga metabolime tulang. Jika hormon PTH berlebih, maka akan mengakibatkan osteolisis. Hormon PTH juga merupakan stimulus dalam pembentukan vitamin D dan aktivitas osteoblast. Dengan kata lain, jika hormon PTH berkurang, maka level vitamin D dan aktivitas osteoblast juga berkurang (Paula, 2001).

Peningkatan resorpsi tulang dan menurunnya pembentukan tulang telah terbukti pada penderita DM tipe 1 yang tidak terkontrol dalam jangka waktu yang lama. Namun sebaliknya, rendahnya pergantian tulang dijumpai pada penderita DM tipe 2, khususnya yang dirawat dengan insulin. Walaupun hormon seks berperan dalam metabolisme skeletal, namun tidak dijumpai adanya hubungan dengan penderita DM (Rakie, 2006).

Seino dan Ishida melaporkan beberapa hal yang berhubungan antara osteopenia dan DM, yakni:

a. Adanya peningkatan kalsium, fosfor dan magnesium pada ekskresi urin disebabkan peningkatan intensitas glikosuria. Nair dkk. menunjukkan bahwa serum kalsium dan PTH pada penderita DM lebih rendah daripada kelompok kontrol.

b. Metabolisme vitamin D berkurang. Frazer dkk melaporkan bahwa level 1,25(OH)2D (dihydroxyvitamin), lebih rendah pada pasien DM.


(36)

c. Defisiensi insulin dapat mengurangi aktivitas osteoblast (Seino dan Ishida, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Oz dkk. (2006) pada 52 pasien dengan DM tipe 2 menunjukkan bahwa pada pasien DM tipe 2 terjadi penurunan pembentukan tulang, bukan resorpsi tulang. Oz dkk. (2006) mencatat penanda biokomia (biochemical markers) metabolisme tulang pada DM seperti serum osteocalcin, BAP dan CTx. Dan ketika Oz dkk. (2006) membandingkan dengan kelompok kontrol, dijumpai perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Level serum osteocalcin dan CTx menurun pada pasien DM pria serta level osteocalcin and BAP menurun pada pasien DM wanita.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Takizawa dkk. (2003), kehilangan mineral tulang merupakan salah satu komplikasi kronis DM tipe 2. Ketidakseimbangan kalsium yang disebabkan ekskresi kalsium urin yang meningkat dan penurunan penyerapan kalsium oleh usus dapat terjadi dikarenakan perubahan metabolisme vitamin D dan atau fungsi paratiroid yang menurun. Pada proses metabolisme sel tulang, pembentukan tulang oleh osteoblas ditekan oleh perubahan metabolisme vitamin D, hipoparatiroidisme, hiperglikemia kronis dan aksi insulin yang tidak memadai. Di sisi lain, resorpsi tulang oleh osteoklas sedikit meningkat akibat perubahan tersebut. Sistem fungsional tulang yang tidak seimbang antara osteoblas dan osteoklas pada diabetes mellitus tipe 2 dapat mengakibatkan hilangnya kepadatan tulang (Takizawa et al., 2003)

Beberapa mekanisme yang berperan pada DM tipe 1dan 2 yang berhubungan dengan osteopenia, meliputi gangguan regulasi vitamin D, hormon parathyroid (PTH)


(37)

dan metabolisme mineral tulang serta keseimbangan kaslium. Hormon PTH adalah hormon yang berperan penting dalam menjaga metabolime tulang. Jika hormon PTH berlebih, maka akan mengakibatkan osteolisis. Hormon PTH juga merupakan stimulus dalam pembentukan vitamin D dan aktivitas osteoblast. Dengan kata lain, jika hormon PTH berkurang, maka level vitamin D dan aktivitas osteoblast juga berkurang (Dobnig, 2006; Takizawa et al., 2003).

2.3 Densitas Radiografi Tulang Rahang

Salah satu indikator kualitas tulang adalah kepadatan atau densitas radiografi, yang merupakan gambaran struktur internal tulang sebagai refleksi kekuatan tulang rahang. Walaupun keadaan ini tidak sepenuhnya sama atau menggambarkan kandungan mineral tulang, namun perubahan densitas radiografi adalah salah satu gambaran berkurangnya kadar mineralisasi tulang. Faktor ini sangat penting bagi berbagai rencana perawatan di bidang kedokteran gigi, antara lain perawatan implan gigi, penentuan indikasi pencabutan/operasi gigi, perkiraan penyembuhan dan lainnya


(38)

Gambar 5. Potongan Melintang Tulang Mandibula pada Regio Foramen Mentalis. Lempeng Tulang Kortikal Tebal pada Daerah Puncak dan di Bagian Dalam Tampak Tulang Trabekula (Misch, 2005)

Penelitian tentang kepadatan tulang rahang dan kualitas tulang telah diawali oleh Taguchi dkk pada tahun 1997 (Taguchi et al., 1997). Pada penelitiannya, Taguchi membandingkan pola tulang trabekula mandibula tidak bergigi pada gambar radiografi panoramik, dengan Bone Mineral Density (BMD) pada Computed

Tomography. Dalam penelitian tersebut, densitas radiografi tulang trabekula

diklasifikasikan menjadi 5 grade, yaitu :


(39)

Gambar 6. Pola Trabekula Tulang Grade 1 (Taguchi, 1997)

b) Grade 2 : Tampak beberapa trabekula tulang yang tipis dan tak beraturan.

Gambar 7. Pola Trabekula Tulang Grade 2 (Taguchi, 1997)


(40)

c) Grade 3 : Trabekula tulang tampak jelas seperti pada tulang alveolar normal.

Gambar 8. Pola Trabekula Tulang Grade 3 (Taguchi, 1997)

d) Grade 4 : Trabekula tulang yang tebal tampak menempati sebagian rongga

sumsum tulang

Gambar 9. Pola Trabekula Tulang Grade 4 (Taguchi, 1997)


(41)

e) Grade 5 : Tulang padat tanpa adanya gambaran trabekula tulang.

Gambar 10. Pola Trabekula Tulang Grade 5 (Taguchi, 1997)

Penggolongan kepadatan tulang cara Taguchi ini kemudian dikembangkan di Indonesia untuk melihat perubahan densitas radiografi berbagai kelainan/kondisi di bidang kedokteran gigi, antara lain evaluasi densitas radiografi pada Rapidly Progressive Periodontitis (RPP), osteoporosis, dan penderita karsinoma nasofaring paska radioterapi (Taguchi et al., 1997). Pada penelitian kualitas tulang yang dikembangkan di Indonesia, umumnya menggunakan radiografi periapikal karena gambaran yang dihasilkan lebih geometris dibandingkan panoramik, dan daerah yang diperiksa (Region of interest/ROI) adalah pada mandibula. Mengingat besarnya distorsi gambar pada panoramik yang tidak dapat dihindari disebabkan kedua rahang yang berbentuk lengkung diproyeksikan pada lembaran film radiografi yang datar, maka penelitian yang memerlukan ketepatan/presisi, menggunakan radiografi


(42)

periapikal paralel. Radiografi periapikal dengan teknik paralel akan menghasilkan gambaran dengan bentuk dan ukuran mendekati yang sebenarnya (geometris), serta

reproducible atau dapat diulang dan dibandingkan, dengan posisi yang sama (Van, 1992).

Gambar 11. Pembesaran Gambar pada Radiografi Panoramik (Priaminarti, 2009)

2.4 Pemeriksaan Radiografi Kualitas Tulang Mandibula Pada Penderita Diabetes melitus

Penelitian mengenai hubungan kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density/BMD) dengan DM pada tulang rahang sangat sedikit dilakukan (Ay, 2005). Radiografi periapikal adalah satu jenis radiografi yang digunakan untuk menentukan densitas radiografi tulang rahang, dan regio yang dijadikan penelitian, adalah tulang rahang bawah atau mandibula. Beberapa penyakit sistemik yang telah diteliti bermanifestasi di rongga mulut, antara lain yaitu osteoporosis, Diabetes mellitus, hiperparatiroidism, tumor ganas, fibrous dysplasia, dan penyakit-penyakit infeksi seperti tuberkulosis ataupun sifilis (Watanabe et al., 2008).


(43)

Osteopenia dan osteoporosis merupakan kondisi patologis yang dihubungkan dengan kekurangan massa tulang. Menurut WHO, osteopenia adalah kepadatan mineral tulang di antara - 1 hingga - 2,5 dari deviasi standar. Sedangkan osteoporosis adalah kepadatan mineral tulang yang < - 2,5 dari deviasi standar. Mekanisme patofisiologis yang berhubungan dengan kehilangan tulang pada penderita DM adalah berkurangnya aktifitas osteoblas, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, serta berkurangnya sintesis kolagen dan insulin (Vargas, 2003).

Seperti telah diuraikan sebelumnya, DM adalah gangguan metabolisme karbohidrat yang menyebabkan penurunan jumlah insulin dan resistensi jaringan terhadap efek insulin. Gangguan tersebut dapat menyebabkan beberapa komplikasi pada jaringan atau organ lain, seperti pada mandibula. Manifestasi DM pada tulang mandibula dapat berupa kehilangan tulang alveolar (alveolar bone loss) dan berkurangnya kepadatan mineral tulang, yang dapat dievaluasi melalui radiografi sebagai perubahan densitas radiografi. Menurut Taguchi, kedua keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan gigi posterior pada wanita dewasa (Taguchi, 1999). Menurut Taylor dkk penderita Diabetes melitus khususnya yang tidak terkontrol, memiliki risiko kehilangan tulang alveolar lebih besar dibandingkan dengan penderita DM yang terkontrol atau yang tidak mengalami DM. (Taylor et al., 1998). Radiografi dapat mendeteksi kehilangan tulang alveolar melalui pengukuran tinggi level tulang interproksimal (Watanabe et al., 2008).

Kepadatan mineral mandibula pada penderita Diabetes melitus dapat dievaluasi dengan menggunakan radiografi periapikal (Gambar 12 dan 13). Penelitian Ay dkk.


(44)

terhadap 19 subjek penderita DM dan 17 subjek kontrol mengenai kepadatan mineral tulang yang dilihat melalui radiograf dengan bantuan five-step copper stepwedge

phantom yang dilekatkan pada film dan dibandingkan dengan pemeriksaan oleh

DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) sebagai gold standard. Hasilnya

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kepadatan mineral tulang mandibula pada grup DM dan kontrol (Ay, 2005).

Gambar 12. Evaluasi Radiografi dilihat dengan Kaca Pembesar

Gambar 13. Extension Cone Paralelling/ XCP Hansin yang Digunakan pada Teknik Periapikal Paralel


(45)

Gambar 14. Potongan Foto Panoramik yang Menunjukkan Kepadatan Mineral Tulang yang Normal (Watanabe et al.,2008)

Gambar 15. Potongan Dua Foto Panoramik yang Menunjukkan Berkurangnya Kepadatan Mineral Tulang Mandibula yang Dapat Dilihat dari Gambaran Radiolusen (Watanabe et al.,2008)


(46)

Gambar 16. Demonstrasi Teknik Kalibrasi Dexa Melalui Radiografi Panoramik. Pada foto di atas, Contoh Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang pada Beberapa Regio yang Ditandai Nomor yakni (1) 0,05 g/cm2, (2) 1,63 g/cm2 dan (3) 1,57 g/cm2 (Watanabe et al.,2008)

Penelitian lain mengenai kualitas tulang, dalam hal ini densitas radiografi, telah mulai dilakukan tahun 2002 di Indonesia yaitu pada densitas radiografi mandibula pada penderita Rapidly Progressive Periodontitis/RPP, yang sekarang disebut sebagai

aggressive periodontitis. Penelitian serupa juga dilakukan pada penialaian densitas radiografi tulang mandibula pasien pasca radioterapi karsinoma nasofaring. Priaminiarti dkk. (2009) melakukan pemeriksaan trabekula tulang mandibula untuk menentukan nilai kepadatan tulang mandibula pada perawatan implan gigi, menggunakan foto intra oral digital. Dari penelitian-penelitian sebelumnya tersebut telah diperoleh pula nilai densitas radiometrik digital pada berbagai usia, yang dapat dijadikan pedoman bagi penelitian densitas radiografi tulang mandibula. Boel dalam disertasinya melaporkan hasil penelitian perubahan densitas radiografi dengan menggunakan radiografi digital pada perubahan di jaringan lunak, untuk mendeteksi


(47)

adanya plak arteri karotis di regio vertebrae cervicales 3-4 yang terlihat pada radiografi panoramic (Boel, 2011).

Gambar 17. Pengukuran Kepadatan (dalam

Grey Scales) dengan

Meng-gunakan Software pada Regio yang Ditandai dengan Meng-gunakan Radiografi Digital Periapikal (Priaminart, 2009)

Pada penelitian tersebut penilaian densitas radiografi dilakukan pada radiografi konvensional dengan menggunakan pembanding radiografi digital, sehingga diperoleh nilai densitas radiografi dalam satuan radiometrik 0-256 grey scales

dengan menggunakan bantuan computer-software (Gambar 17). Apabila dibandingkan dengan radiografi konvensional, radiografi digital dapat memberikan informasi diagnostik yang lebih terukur dan akurat. Namun demikian, mengingat densitas radiografi dapat dilihat dari radiografi konvensional apabila memenuhi syarat ‘membaca’ radiografi yang benar, seperti penggunaan viewing box, pencahayaan


(48)

yang baik dan lainnya, maka radiografi konvensional periapikal yang memang banyak tersedia, dapat digunakan.

2.5 Kerangka Konsep & Hipotesis Penelitian 2.5.1 Kerangka Konsep

2.5.2 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan densitas radiografi tulang mandibula dengan penderita DM tipe 2

2. Ada perbedaan densitas radiografi tulang mandibula berhubungan dengan lamanya menderita DM.

Diabetes melitus (DM) • Usia

• Jenis Kelamin • Lama menderita • Pengguna obat-obatan

Perubahan Densitas tulang Mandibula secara radiografi

Trabekular Grade 1-5 Korteks


(49)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah observasional karena pada penelitian ini tidak memberikan perlakuan pada subjek. Metode cara pengukuran data dengan cross sectional sebab metode pengujian hanya pada satu waktu tertentu.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012 di Unit Radiologi Dental Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3.3 Sampel Penelitian n = Zα2 PQ

d2

P = nilai proporsi DM yang mengalami perubahan densitas mandibula Q = 1-p

Zα= untuk interval kepercayaan 95 % pada α satu arah d = nilai simpangan mutlak

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan.

P = 0,31

Q = 1- 0,31 = 0,69 Zα = 1,96

d = tingkat ketepatan absoolut = 12% Dibutuhkan minimal 60 subjek penelitian

1,96 2 0,31 x 0,69

N = --- = 60 0,122


(50)

3.4 Kriteria Sampel Penelitian 3.4.1 Kriteria Inklusi

• Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent

• Rentang usia subjek penelitian 40– 70 tahun.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

• Menolak ikut serta sebagai subjek penelitian

• Penderita Diabetes melitus yang menderita penyakit/kelainan sistemik, atau penyakit lain yang mempengaruhi densitas tulang.

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Identifikasi Variabel:

• Variabel efek: Densitas tulang radiografi mandibula.

• Variabel risiko: usia, jenis kelamin, lama menderita DM, turunan DM, penggunaan obat.

NO VARIABEL DEFINISI RISIKO OPERASIONAL

CARA UKUR ALAT UKUR HASIL UKUR SKALA UKUR

1 Usia

Ulang tahun terakhir

Riwayat kasus

Kuesioner Dalam tahun

Ordinal

2 Jenis Kelamin Riwayat

kasus

Kuesioner 0= pria 1= wanita


(51)

3 Lama Menderita DM

Banyaknya waktu penderita menderita DM

Riwayat kasus

Kuesioner Dalam tahun

Ordinal

4 Turunan Diabetes

Ada tidaknya keluarga yang menderita Diabetes melitus

Riwayat kasus

Kuisioner 0=tidak 1=ya

Nominal

5 Penggunaan obat

Ada tidaknya obat yang dikonsumsi oleh penderita Diabetes Riwayat kasus Data sekunder 0=tidak 1=ya Nominal

NO VARIABEL DEFINISI RISIKO OPERASIONAL

CARA UKUR

ALAT UKUR

HASIL UKUR SKALA

UKUR

a

Densitas Tulang

Perubahan kepadatan tulang mandibula yang diukur nilai radiografi densitas tulang mandibula trabekular

Ronsen periapikal

Grading Grade1: Tidak tampak adanya tulang trabekula Grade 2: Terlihat beberapa

trabekula tulang yang tipis dan tidak beraturan Grade 3: Trabekula tulang terlihat jelas seperti pada tulang alveolar normal

Grade 4 : Trabekula tulang yang tebal tampak menempati sebagian rongga sumsum tulang Grade 5: Tulang padat tanpa adanya gambaran trabekular tulang.


(52)

b Perubahan kepadatan tulang mandibula yang diukur nilai radiografi densitas tulang mandibula korteks

Ronsen Panoramik

Grading Grade1: Korteks normal; tepi endosteal korteks datar lurus dan tajam

Grade 2 : Korteks dengan erosi ringan hingga sedang; tepi endosteal menunjukan kerusakan berbentuk semilunar akibat adanya resoprsi tulang

Grade 3 : Korteks dengan erosi yang parah; lapisan kortikal endosteal berkurang banyak dan terlihat adanya poreus Ordinal

3.6 Alur Peneliti

Untuk memperoleh densitas radiografi tulang mandibula dilakukan tahapan penelitian dengan alur penelitian sebagai berikut :


(53)

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi mengisi lembaran persetujuan setelah mendapat penjelasan Informed Consent

Pemeriksaan kadar gula darah kembali sebagai data dalam penelitian

Pemeriksaan radiografis periapikal dengan Alat radiografi

Dental X-ray Long Cone 70 KVP, 10 mA 0,9 Second

Pemeriksaan radiografis Panoramik dengan pesawat radiografi Dental X-ray 230Volt

Evaluasi mutu radiografi

Evaluasi densitas radiografi tulang mandibula dengan cara interpretasi radiografi yang dilakukan oleh dua orang yang telah

berpengalaman

Penentuan grade densitas

Pengambilan sampel menentukan pasien DM tipe 2 dan memenuhi kriteria inklusi diambil dari data sekunder dari dokter spesialis penyakit dalam


(54)

3.7 Rencana Manajemen dan Analisis Data

Data dari penelitian dimasukkan ke dalam tabel induk dengan menggunakan bantuan program komputer. Kemudian data diolah dan dianalisis dengan bantuan program analisis statistik. Hasil penelitian menggunakan uji chi square. Untuk mendapatkan hasil uji kesesuaian pembacaan antar dua pembaca, maka dilakukan uji


(55)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan pada penderita DM khususnya tipe 2 adalah untuk mendeteksi perubahan densitas radiografi tulang rahang dari bentuk korteks dan pola trabekular berupa grade (pada penderita DM tipe 2) yang dapat digunakan sebagai pedoman perawatan kedokteran gigi dan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan.

4.1 Karakteristik Responden Peneliti

Subjek penelitian adalah pasien yang menderita Diabetes melitus tipe-2 dan memenuhi kriteria inklusi. Penelitian ini menggunakan 65 subjek yang memenuhi kriteria dan bersedia menjadi subjek penelitian.

Penelitian ini diikuti oleh 65 orang responden, dengan kadar glukosa darah 299,52 mg/dl (SB=224,923) mg/dl. Responden terbanyak berusia 51-60 tahun sebanyak 43,1%. Responden menderita DM sebagian besar selama 1-3 tahun (60%). Sebanyak 50,8% tidak minum obat untuk mengontrol penyakit DM (Tabel 2).


(56)

Tabel 2. Karakteristik Responden Penderita DM tipe 2 di Poli Gigi USU

Karakteristik n = 65

Usia, n (%)

40 – 50 tahun 19 (29,2) 51 – 60 tahun 28 (43,1) > 60 tahun 18 (27,7) Lama DM, n (%)

1 – 3 tahun 39 (60)

4 – 7 tahun 19 (29,2)

> 7 tahun 7 (10,8) Turunan, n (%)

Ya 30 (46,2)

Tidak 35 (53,8)

Obat , n (%)

Tidak minum obat 33 (50,8) Minum obat

Sulfonilurea 22 (338) Thiazolidinedione 2 (3,1) Metformin 8 (12,3)

4.2 Kontrol Kualitas Data

Untuk menguji objektifitas pembacaan densitas berdasarkan grading yang telah ditetapkan, dilakukan uji kesesuaian pembacaan densitas antara dua pembaca, yang dilakukan dengan uji Kappa (Tabel 3 dan Tabel 4).

Tabel 3. Hasil Uji Keselarasan Antar Dua Pemeriksa untuk Pemeriksaan Trabekular

Densitas Tulang Pemeriksa

Kappa p

I II

Grade 1 21 (32.3) 3 (4.6)

0.898 0.0001


(57)

Dari hasil analisis untuk menguji keselarasan antara dua pemeriksa untuk menilai trabekular diperoleh nilai kappa 0,898 dan nilai p=0,0001, maka dapat disimpulkan bahwa kedua pemeriksa menunjukkan hasil pemeriksaan yang selaras untuk pemeriksaan trabekular.

Tabel 4. Hasil Uji Keselarasan Antar Dua Pemeriksa untuk Pemeriksaan Korteks

Pemeriksa I Pemeriksa II

Kappa p

Gr 1 Gr 2 Gr 3

Grade 1 1 (1.5) 0 0

0.934 0.0001

Grade 2 0 41 (63.1) 2 (3.1)

Grade 3 0 0 21 (32.3)

Dari hasil analisis untuk menguji keselarasan antara dua pemeriksa untuk menilai korteks diperoleh nilai kappa 0,934 dan nilai p=0,0001, maka dapat disimpulkan bahwa kedua pemeriksa menunjukkan hasil pemeriksaan yang selaras untuk pemeriksaan korteks.

4.3 Perbedaan Kerusakan Tulang Trabekular dan Korteks Pada Penderita Diabetes melitus

Tabel 5. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan Usia pada Penderita DM

Usia

(tahun) n

Trabekular

p

Korteks

p Grade

Grade 1 Grade 2 Grade1 Grade 2 Grade 3

40-50 19 3 (15,8) 16(84,2) 0,068 0 16(84,2) 3 (15,8) 0,266 51-60 28 12(42,9) 16(57,1) 1(3,6) 17(60,7) 10(35,7)

> 60 18 9 (50) 9 (50) 0 10(55,6) 8 (44,4)

Dari hasil analisis menggunakan uji chi square diperoleh kerusakan tulang trabekular dan korteks berdasarkan tingkatan usia (p>0,05). Pada rentang usia 40-50


(58)

tahun ditemukan umumnya kerusakan tulang trabekular dan korteks pada grade 2 yaitu masing-masing sebanyak 16 responden (84,2%). Begitu pula untuk usia 51-60 tahun juga pada grade 2, untuk kerusakan tulang trabekular sebanyak 16 responden (57,1%) dan kerusakan tulang korteks sebanyak 17 responden (60,7%) (Tabel 5). Tabel 6. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan

Jenis Obat Menurut Pengelompokan Usia pada Penderita DM

Usia

(tahun) Jenis obat n

Trabekular p Korteks p Grade 1 Grade

2 Grade1 Grade2 Grade3

40-50 Silfonilurea 7 0 7(100) - 0 6(85,7) 1(14,3) 0,468a Thiazolidinedione 1 0 1 (100) 0 1 (100) 0

Metformin 2 0 2 (100) 0 1 (50) 1 (50)

51-60 Silfonilurea 7 3(42,9) 4(57,1) 0,308a 0 4(57,1) 3 (42,9) 0,497a Thiazolidinedione 1 0 1 (100) 0 0 1 (100)

Metformin 3 0 3 (100) 0 2(66,7) 1 (33,3)

> 60 Silfonilurea 8 4 (50) 4 (50) 0,236b 0 2 (25) 6 (75) 0,061b

Thiazolidinedione 0 0 0 0 0 0

Metformin 3 0 3 (100) 0 3 (100) 0

a

chi cquare, b exact fisher

Dari hasil analisis menggunakan uji chi square dan exact fisher diperoleh kerusakan tulang trabekular dan korteks berdasarkan jenis obat menurut pengelompokan usia (p>0,05). Pada kelompok usia 40-50 tahun, sebanyak 7 responden yang mengkonsumsi obat Sulfonilurea, seluruhnya (100%) mengalami kerusakan trabekular grade 2. Sebanyak 6 responden (85,7%) yang mengkonsumsi obat jenis Sulfonilurea juga mengalami kerusakan tulang trabekular grade 2 (Tabel 6).


(59)

Tabel 7. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Menurut Pengelompokan Usia pada Penderita DM yang Tidak Minum Obat

Usia

(tahun) n

Trabekular

p Korteks p

Grade 1 Grade2 Grade 1 Grade 2 Grade 3

40-50 9 3(33,3) 6(66,7) 0,314 0 8(88,9) 1(11,1) 0,681

51-60 17 9(52,9) 8(47,1) 1(5,9) 11(64,7) 5(29,4)

> 60 7 5(71,4) 2(28,6) 0 5 (71,4) 2(24,2)

Perbedaan kerusakan tulang trabekular dan korteks pada responden penderita DM yang tidak meminum obat berdasarkan pengelompokan usia. Dari hasil analisis statistik menggunakan uji chi square ditemukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan kerusakan tulang trabekular dan korteks (p>0,05). Kerusakan tulang trabekular dan korteks terbanyak pada grade 2 untuk kelompok usia 40-50 tahun. Sedangkan untuk kelompok usia 51-60 tahun dan >60 tahun, kebanyakan responden mengalami kerusakan tulang trabekular grade 1, yaitu masing-masing sebanyak 52,9% dan 71,4%. Jenis kerusakan tulang korteks terbanyak pada grade 2 pada kelompok usia 51-60 tahun (64,7%) dan > 60 tahun (71,4%) (Tabel 7).

Tabel 8. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Menurut – Pengelompokan Usia Sesuai dengan Lama Menderita DM

Menderita (tahun) Lama Menderita DM (tahun) N Trabekular P Korteks p Grade 1 Grade 2 Grade 1 Grade 2 Grade 3

40-50 1-3 14 2(14,3) 12(85,7) 0,792 0 13(92,9) 1 (7,1) 0,041

4-7 4 1 (25) 3 (75) 0 3 (75) 1 (25)

> 7 1 0 1 (100) 0 0 1 (100)

51-60 1-3 17 6(35,3) 11(64.7) 0,215 1(5.9) 11(64,7) 5(29,4) 0,867

4-7 9 4(44,4) 5 (55,6) 0 5 (55,6) 4(44,4)

> 7 2 2 (100) 0 0 1 (50) 1 (50)

> 60 1-3 8 4 (50) 4 (50) 0,435 0 4 (50) 4 (50) 0,175

4-7 6 2(33,3) 4 (66,7) 0 5 (83,3) 1(16,7)


(60)

Berdasarkan lama menderita DM juga tidak ditemukan perbedaan yang signifikan kerusakan tulang trabekular dan korteks untuk masing-masing kelompok usia (p>0,05) menggunakan uji chi square. Pada kelompok usia 40-50 tahun dan 51-60 tahun, responden yang menderita DM 1-7 tahun kebanyakan mengalami kerusakan tulang trabekuluar dan korteks pada grade 2 (Tabel 8).

Tabel 9. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan Ada Tidaknya Turunan DM

Turunan DM n Trabekular p Korteks p

Grade 1 Grade 2 Grade1 Grade 2 Grade 3

Tidak 35 13(37,1) 22(62,9) 1.000 1(2,9) 21 (60) 13(37,1) 0,399 Ya 30 11(36,7) 19(63,3) 0 22(73.3) 8 (26,7)

Dari hasil analisis menggunakan uji chi square tidak ditemukan perbedaan yang signifikan kerusakan tulang trabekular dan korteks berdasarkan ada tidaknya turunan DM (p>0,05). Sebagian besar responden yang memiliki turunan DM mengalami kerusakan tulang trabekular dan korteks grade 2 yaitu masing-masing sebanyak 63,3% dan 73,3% (Tabel 9).

Tabel 10. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Menurut Pengelompokan Usia Berdasarkan Ada Tidaknya Turunan DM

Usia (tahun)

Turunan

DM N

Trabekular

p Korteks p

Grade 1 Grade 2 Grade1 Grade2 Grade3

40-50 Tidak 11 1(9,1) 10(90,9) 0,546a 0 10(90.9) 1(9,1) 0,54 6a

Ya 8 2 (25) 6 (75) 0 6 (75) 2 (25)

51-60 Tidak 13 6(46,2) 7 (53,8) 1,000b 1(7,7) 7 (53,8) 5(38,5) 0,49 8b Ya 15 6 (40) 9 (60) 0 10(66,7) 5(33,3) 60-70 Tidak 11 6(54,5) 5 (45.4) 1,000a 0 4 (36,4) 7(63,6) 0,06

6a Ya 7 3(42,9) 4 (57,1) 0 6 (85,7) 1(14,3)

a

fisher exact, b chi square

Dari hasil analisis perbedaan kerusakan tulang trabekular dan korteks berdasarkan ada tidaknya DM juga tidak ditemukan adanya perbedaan yang


(61)

signifikan menurut pengelompokan usia, seluruh nilai p>0,05. Kebanyakan pada usia di kelompok 40-50 tahun, kerusakan tulang trabekular terbanyak adalah pada grade 2 yaitu sebanyak 10 responden (90,9%). Pada usia 51-60 tahun kerusakan trabekular grade 2 sedikit lebih banyak dari grade 1. Pada kerusakan tulang korteks juga ditemukan yang terbanyak adalah grade 2 namun keduanya bukan merupakan turunan DM turunan, sedangkan responden DM turunan juga menunjukkan bahwa sebagian besar umumnya memiliki kerusakan trabekular dan korteks berada pada grade 2 (Tabel 10).

Tabel 11. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan Ada Tidaknya Minum Obat DM

Minum Obat n Trabekular p Korteks p

Grade 1 Grade 2 Grade 1 Grade 2 Grade 3

Tidak 33 17(51,5) 16(48,5) 0,027 1 (3) 24(72,7) 8 (24,2) 0,252 Ya 32 7 (21,9) 25(78,1) 0 19(59,4) 13(40,6)

Dari hasil analisis menggunakan uji chi square diperoleh perbedaan yang signifikan kerusakan tulang trabekular pada penderita DM yang tidak minum obat dengan responden yang minum obat (p = 0,027). Sebaliknya, tidak ada perbedaan yang signifikan kerusakan tulang korteks antara responden yang tidak minum obat dan minum obat (p=0,252) (Tabel 11).

Tabel 12. Hasil Analisis Kerusakan Tulang (Trabekular dan Korteks) Berdasarkan Lama Menderita DM

Lama menderita DM (tahun) N Trabekular p Korteks p

Grade Grade

Grade 1 Grade2 Grade1 Grade2 Grade3

1-3 39 12(30,8) 27(69,2) 0,122 1(2,6) 28(71,8) 10(25,6) 0,183 4-7 19 7 (36,8) 12(63,2) 0 13(68,4) 6 (31,6)


(62)

Dari hasil analisis menggunakan uji chi square, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan kerusakan tulang trabekular dan korteks berdasarkan lama menderita DM (p>0,05). Responden yang menderita DM selama 1-3 tahun dan 4-7 tahun kebanyakan mengalami kerusakan tulang trabekular dan korteks grade 2. Sedangkan responden yang telah mengalami DM lebih dari 7 tahun lebih banyak mengalami kerusakan tulang trabekular grade 1 yaitu sebanyak 5 responden (71,4%). Sementara itu, pada kerusakan tulang korteks, mayoritas responden yang telah mengalami DM di atas 7 tahun berada pada grade 3 yaitu sebanyak 5 responden (71,4%) (Tabel 12).


(63)

BAB 5 PEMBAHASAN

Radiografi dalam kedokteran gigi merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat diperlukan setelah diperoleh hasil diagnosa klinis demi mendapatkan hasil diagnosa akhir yang lebih tepat dan akurat. Radiografi juga dapat digunakan untuk melihat apakah terjadi perubahan kepadatan tulang mandibula pada penderita DM. Karena banyaknya pasien yang menderita DM, maka kondisi ini tidak dapat diabaikan dalam rutinitas sehari-hari di klinik maupun di praktek dokter gigi (Ay, 2005; White, 2009).

Penelitian ini dilakukan dengan pembacaan densitas tulang mandibula pada media rontgen foto berdasarkan grading yang telah ditetapkan yang dilakukan oleh dua pemeriksa. Untuk mendapatkan hasil uji keselarasan pembacaan antar dua pembaca, maka dilakukan uji Kappa. Hasil dari uji keselarasan pembacaan antar dua pembaca diperoleh nilai kappa 0,898 dan nilai p=0,0001 untuk pemeriksaan trabekular dan untuk pemeriksaan korteks mandibula diperoleh nilai kappa 0,934 dan nilai p=0,0001.

Tabel 5 menunjukkan kerusakan tulang trabekular berdasarkan usia diperoleh hasil pada rentang usia 40-50 dan 51-60 umumnya berada pada grade 2 sedangkan pada rentang usia lebih dari 60 hampir tidak ada perbedaan antara grade 1 dan 2, begitu juga dengan pemeriksaan korteks mandibula berada pada grade 2 pada rentang usia 40-50, 51-60, dan lebih dari 60 tahun. Kehilangan tulang pada pria terjadi diatas


(64)

usia 50 tahun dan dihubungkan dengan penurunan pembentukan tulang akibat penurunan level hormon androgen. Selain itu, level bone marker juga menurun sejalan bertambahnya usia (Wishart, 1995). Pada kelompok wanita usia menepouse mengalami peristiwa dimana indung telur (ovarium) berhenti memproduksi hormon wanita yaitu estrogen, sementara salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Beberapa faktor hormonal dan biokimia diketahui mempengaruhi metabolisme tulang. Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai (Lane, 1999). Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh terhadap kondisi ini adalah tulang trabekular karena tingkat turnover yang tinggi dan tulang ini sangat rentan terhadap defisiensi estrogen. Tulang trabekular akan menjadi tipis dan akhirnya berlubang atau terlepas dari jaringan sekitarnya. Ketika cukup banyak tulang yang terlepas, tulang trabekular akan melemah (Ethel, 2008; Lane, 1999).

Selain itu, usia juga dianggap mempengaruhi kepadatan mineral tulang. Penurunan level sex hormon, IGF-I, dan vitamin D, dan peningkatan hormon SHBG (Sex hormone-binding globulin) dan PTH (Parathyroid hormone) berperan dalam hubungan antara usia dan kehilangan tulang pada pria berusia tua (Gennari, 2003). Usia juga memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya osteoporosis. Pernyataan ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatmah yang menjelaskan bahwa semakin tinggi usia lansia, proporsi osteoporosis juga semakin


(65)

besar (Fatma, 2008). Secara teori juga disebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, masa tulang yang hilang akan lebih banyak daripada masa tulang yang dibentuk, sehingga dengan meningkatnya usia, masa tulang akan semakin berkurang (Lane, 1999).

Perubahan densitas tulang yang terjadi pada kelompok usia berdasarkan riwayat pemakaian obat khususnya dengan jenis obat yang dikonsumsi seperti golongan sulfonilurea, thiazolidinedine, dan metformin. Perbedaan kerusakan tulang yang terjadi pada penderita DM tipe 2 di peroleh hasil pada kelompok usia 40-50 tahun sebanyak 7 responden mengkonsumsi obat jenis sulfonilurea mengalami kerusakan trabekular pada grade 2. Sebanyak 6 responden atau sekitar 85,7% yang mengkonsumsi obat sulfonilurea juga mengalami kerusakan korteks pasa grade 2 (Tabel 6). Pemakaian jenis obat sulfonilurea pada penelitian ini banyak dikonsumsi oleh para penderita DM. Penggunaan obat sulfonilurea dan metformin dapat terjadi kerusakan tulang dibandingkan dengan penggunaan insulin pada penderita DM tipe 1 dan 2. Kontrol hiperglikemia pada pasien yang menggunakan sulfonilurea dan metformin lebih rendah dibandingkan dengan pemakaian insulin. Kontrol hiperglikemia yang baik akan menurunkan risiko osteoporosis. (Vestergaard et al., 2005). Pemeriksaan trabekular berdasarkan kelompok penderita yang tidak minum obat menurut usia diperoleh grade 2 pada kelompok usia 40-50 tahun.Sedangkan kelompok usia 51-60 tahun dan >60 tahun, kebanyakan responden mengalami kerusakan tulang pada grade 1, yaitu sebanyak 9 responden (52,9%) dan 5 responden (71,4%). Sementara untuk kerusakan korteks terbanyak pada grade 2 pada kelompok usia 51-60 tahun (64,7%) dan >60 tahun (71,4%) (Tabel 7). Kerusakan tulang


(66)

trabekular dan korteks yang terjadi akibat faktor usia penderita DM tipe 2 (Gennari , 2003). Berdasarkan pengelompokkan usia 40-50 tahun dan 51-60 tahun dengan lama menderita DM kerusakan tulang trabekular dan korteks berada pada grade 2. Pada kelompok usia lebih dari 60 tahun dengan lama menderita DM lebih dari 7, kerusakan tulang trabekular pada grade 1 dan korteks pada grade 3 (Tabel 8). Penelitian yang dilakukan oleh Xi-ran dkk (2005-2006) pada 97 pasien pria dengan DM tipe 2 yang berusia 65-76 tahun, juga menyatakan bahwa lamanya menderita DM tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepadatan mineral tulang (Xi-ran, 2008).

Penelitian lain yang menghubungkan antara lama menderita DM tipe 2 dengan densitas tulang juga dilakukan oleh Güven dkk (1999) pada seratus pasien penderita DM tipe 2 (43 pria dan 57 wanita) mengenai hubungan beberapa faktor risiko terhadap nilai kepadatan mineral tulang, menunjukkan bahwa lamanya menderita DM mempengaruhi nilai kepadatan mineral tulang (Gul O, 2006). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kwon dkk (1996) pada 185 wanita dengan DM tipe 2 yang menunjukkan bahwa lamanya menderita DM dapat mengurangi kepadatan mineral tulang. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ayvaz dkk (1998) juga menemukan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Güven dkk dan Kwon dkk.

Hubungan antara turunan diabetes melitus dengan trabekular menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan dimana terlihat perbandingan antara penderita DM turunan dan yang tidak turunan berdasarkan dari gradenya bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna. Sebagian besar responden yang memiliki turunan DM


(67)

mengalami kerusakan tulang trabekular dan korteks berada pada grade 2 yaitu masing-masing sebanyak 19 responden (63,3%) dan 22 responden (73,3%) (Tabel 9). Dari hasil analisis perbedaan kerusakan tulang trabekular dan korteks berdasarkan ada tidaknya turunan DM juga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan menurut pengelompokan usia, seluruh nilai p>0,05. kebanyakan pada usia di kelompok 40-50 tahun, kerusakan tulang trabekular terbanyak adalah pada grade 2 yaitu sebanyak 10 responden (90,9%). Pada usia 51-60 tahun kerusakan trabekular grade 2 sedikit lebih banyak daripada grade 1. Pada kerusakan tulang korteks juga ditemukan yang terbanyak adalah grade 2 namun keduanya tidak memiliki turunan DM (Tabel 10), sedangkan untuk responden yang telah diketahui memiliki turunan juga menunjukkan bahwa sebagian besar umumnya memiliki kerusakan trabekular dan korteks berada pada grade 2.

Hasil penelitian dengan melihat dari riwayat pemakaian obat, pada penderita DM tipe 2 yang tidak mengonsumsi obat diperoleh kerusakan tulang trabekular tidak jauh berbeda untuk grade 1 dan 2 yaitu 51,5% dan 48,5% tetapi untuk pemeriksaan korteksnya dijumpai 72,7% berada pada grade 2.Sedangkan pemeriksaan trabekular pada penderita DM yang mengonsumsi obat diperoleh perbedaan yang signifikan antara grade 1 dan 2 yaitu 21,9% dan 78,1%, sedangkan pada pemeriksaan korteks, penderita DM yang mengkonsumsi obat diperoleh 19 responden (59,4%) pada grade 2 dan 13 responden (40,6%) pada grade 3 (Tabel 11). Dari hasil penelitian yang diperoleh dibandingkan dengan hasil penelitian Yataru (2007) dimana meneliti salah satu obat yang dikonsumsi oleh para penderita DM tipe 2 ini adalah thiazolidinedione.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ay S, Gursoy UK, Erselcan T, Marakoglu I., 2005. Assessment of mandibular bone mineral density in patients with type 2 diabetes mellitus. Dentomaxillofacial Radiology; (34): 327–331.

Alexaopoulou O, Jamaart J, Devogelaer JP, Brichard S, Nayer P, Buysschaert M., 2006. Bone density and markers of bone remodeling in type 1 male diabetic patients. Diabetes Metab;32:453-458.

Aru W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. FKUI. Jakarta:1852-7.

Brian L, Maeley MS., 2006. Periodontal disease and Diabetes a two-way street. JADA;(137);265-315.

Boel T., 2011. Indeks Radiometrik Direct Digital Panoramic Radiography Plak Arteri Karotis Pada Penderita Periodontitis Kronis Dengan Mempertimbangkan Berbagai Faktor Resiko.Disertasi.Medan:FKG USU.

Cultrim DMSL, Pereira FA, Paula FJA, Foss MC., 2007. Lack of relationship between glycemic control and bone mineral density in type 2 diabetes mellitus. Braz J Med Biol Res;40:221-227.

Chaudhary SB, Liporace FA, Gandhi A, Donley BG, Pinzur MS, Lin SS., 2008. Complication of ankle fracture in patients with diabetes. J Am Acad Orthop Surg;16:159-70.

Debora C, Matthews, Piero D., 2002. The Reletionship Between Diabetes and Periodontal Disease. J Can Dent Assoc;68(3):161-164.

Dennison EM, Syddall HE, Sayer AA, Martin HJ, Cooper C., 2007. Lipid profile, obesity and bone mineral density: the Hertfodshire Cohort Study. Oxford Journal;100:297-303.

Ethel S., 2008. Clinician’s Guide to Prevention and Treatment of Osteoporosis: National Osteoporosis Foundation; 4-5.

Fatma., 2008. Osteoporosis dan Faktor pada Lansia Etnis Jawa; 43(2):57-67.

Fiorellini JP, Nevins ML., 2000. Dental implant considerations in the diabetic patients. Periodontology;23:73-77.

Gennari L, Merlotti D, Martini G, Gonnelli S, Franci B, Campagna S., 2003. Longitudinal Association between Sex Hormone Levels, Bone Loss, and Bone Turnover in Elderly Men. J Clin Endocrinology;88(11);5327-33.


(2)

Guven M, Colak R, Tutus A, Bayram F, Kula M., 1999. The Evaluation of bone mineral density in male and postmenopausal female patient with type 2 diabetes mellitus.Turkish Journal of Endocrinology and Metabolism;4:169-172.

Gul O, Guven GS, Kilicarslan A, Beyazit Y, Sozen T., 2006. Evaluation of bone metabolism and bone Mass in patients with type-2 Diabetes Mellitus. National Med;98:1598-1604.

Kotsovillis S, Karaussis IK, Fourmousis I., 2006. A comprehensive and critical review of dental implant placement in diabetic animals ant patients. Clin Oral Implants Res;17:587-99.

Kwon DJ, Kim JH, Chung KW, Kim JH, Lee JW, Kim SP, Lee., 1999. Bone mineral density of the spine using dual energy X-rayabsorbtiometry in patients with non-insulin-dependent diabetes mellitus. J Obstet Gynaecol Res; 22: 157-162.

Lane NE., 1999. The Osteoporosis Book a Guide for Patients and Their Families. New York: Oxford University Press; 19-32.

Micheaeli E, Weinberg I, Nahlieli O., 2009. Dental implants in the diabetic patient: Systemic and rehabilitative considerations.Quintessence Int;40(8):639-645.

Milczarczyk A, Frank E., 2008. Osteoporosis and bone fractures in patients with diabetes mellitus. Diabet Dośw i Klin; 8(2): 63–67.

Ohinma A, Jacobs P, Simpson S, Johnson JA., 2004 The Projection of prevalence and cost of diabetes in Canada:2000-2016.Canadian Journal;28(2):1-8.

Priaminiarti M, Utomo B, Susworo R, Iskandar HB., 2009. Converting conventional radiographic examination data of trabecular bone pattern values into density measurement values using intraoral digital images. Oral Radiol; 25: 129–34.

Paula FJ, Lanna CM, Shuhama T, Foss MC., 2001. Effect of Metabolic Control on Parathyroid Hormone Secretion in Diabetic Patients. Brazilian Journal of Medical and Biological Research;34:1139-1145.

Pittenger MF, Mackay AM, Beck SC, Jaiswal RK, Douglas R, Mosca JD, Moorman MA., 1999. Multilineage potential of adult human mesenchymal stem cells. Science;284:143–147.

Park JB., 2007. Bone healing at a failed implant site in a type II diabetic patient: clinical and histologic evaluations: a case report. J Oral Implantol;33:28-32.


(3)

Rothwell BR, Richard L., 1984. Diabetes mellitus: medical and dental considerations. Spec Care Dentist;4:58-65.

Rakie V, Davis WA, Chubb SA, Islam FM, Prince RL, Davis TM., 2006. Bone Mineral Density and Its Determinants in Diabetes: the Fremantle Diabetes Study. Diabetologia;49:862-871.

Rzonca SO, Suva LJ, Gaddy D, Montague DC, Lecka B., 2004. Bone is a target forthe antidiabetic compound rosiglitazone.Endocrinology;145:401–406.

Soroceanu MA, Miao D, Bai XY, Su H, Goltzman D, Karaplis AC., 2004. Rosiglitazone impacts negatively on bone by promoting osteoblast/osteocyte apoptosis. J Endocrinol;183:203–216.

Seino Y, Ishida H, 1995. Diabetic osteopenia: Pathophysiology and clinical aspects.Diabetes and Metabolism Reviews;11:21-35.

Takizawa M, Kameyama K, Maruyama M, Ishida H., 2003. Bone loss in diabetes mellitus.Diabetic Ostopenia;61:286-291.

Taguchi A, Sanada M, Krall E, Nakamoto T, Ohtsuka M, Suei Y., 2003. Relationship between dental panoramic radiographic findings and biochemical markers of bone turnover. J Bone Miner Res; 18(9): 1689–94.

Taguchi A, Tanimoto K, Akagawa Y, Suei Y, Wada T, Rohlin M., 1997. Trabecular Bone Pattern of the Mandible:Comparison of Panoramic and CT. Dentomaxillofac Radiology ;26:85-9.

Taguchi A, Suei Y, Otani K, Tanimoto K, Hollender LG., 1999. Relationship between Bone Mineral Density and Tooth Loss in Elderly Japanese Women. Dentomaxillofacial Radiology;28:219-223.

Tornvig L, Mosekilde LI, Justesen J, Falk E, Kassem M., 2001. Troglitazone treatment increases bone marrow adipose tissue volume but does not affect trabecular bone volume in mice. Calcif Tissue Int; 69:46–50.

Vestergaard P, Rejnmark L, Mosekilde., 2005. Relative fracture in patients with diabetes mellitus, and the impact of insulin and oral antidiabetic medication on relative fracture risk. Diabetologia;48:1292-1299.

Watanabe PCA, Farman A, Watanabe MGDC, Issa JPM., 2008. Radiographic signals detection of systemic disease. Orthopantomographic radiography. Int. J. Morphol; 26(4): 915-26.


(4)

Vargas DM, Rigotti T, Gutz CN, Schmitt MC, Fernades A., 2003. Bone mineralization in children and adolescents with type 1 diabetes. J Pediatr (Rio J); 79(3): 253-8.

Van D, Thomas FR., 1992. Basic principles of oral and maxillofacial radiology. Philadelphia : WB Saunders company; 75-121.

Wah CT, Fidelia BK, Kum PL., 2006. Diabetes as Risk Faktor for Periodontal Disease: Current status and future Considerations;35(8):572-581.

Wishart JM, Need AG, Horowitz M, Morris HA, Nordin BE., 1995. Effect of age on bone density and bone turnover in men. Clin Endocrinol (Oxf);42(2):141-6.

White SC, Pharoah MJ., 2009. Oral Radiology, Principles and Interpretation. 5th ed. Mosby. Los Angeles California.

Whaithes E., 2002. Essentials of Dental Radiography and Radiology. 3rd ed. London: Churchil Livingstone.

Wings TY, Jin LJ, Cheung MN, Wang M., 2009. The Impact of diabetes in the success of dental implants and periodontal healing.African Biotechnology; 8(19):5122-5127.

Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H., 2004. Global Prevalece of Diabetes. Diabetes Care;27(5):1047-1053.

Xi-ran W, Yu P., 2008. Correlation of bone mineral density with disease duration and bone mass in elder men with type 2 diabetes mellitus;12(15);2891-2894.

Yang W, Lu J, Weng J, Jia W., 2010. Prevalence of diabetes among men and women in China. N Engl J Med;362;1090-1101.

Yataru S, Bryant B, Jain SK., 2007. Thiazolidinedione treatment decreases bone Mineral Density in type 2 Diabetic Men. Diabetes Care;30;1574-1576.


(5)

Lampiran 1.

LEMBARAN KUESIONER

PERUBAHAN DENSITAS TULANG MANDIBULA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DILIHAT DARI GAMBARAN RADIOGRAFI Identitas Responden

No Responden :

Nama :

Usia :

Pendidikan Terakhir : No Hp/telp :

Jenis kelamin : Pria Wanita Kadar Gula Darah :

Berilah tanda silang (x) pada jawaban.

1. Apakah anda tahu bahwa anda menderita Diabetes (sakit gula)? Ya

Tidak

2. Berapa lama anda menderita diabetes ( sakit gula) ? Sebutkan__________________

3. Apakah anda menderita penyakit lain selain diabetes ? Ya penyakit apa______________________ Tidak

4. Apakah ada keluarga anda yang juga menderita Diabetes (sakit gula)? Ya sebutkan___________________________

Tidak

5. Apakah anda sedang menggunakan obat Diabetes (sakit gula) ? Ya sebutkan_____________________________ Tidak


(6)

Keterangan ini dapat dimengerti dan atas kesediaan Bapak/Ibu/saudara untuk berpartisipasi dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.

Pemeriksaan radiografi

1. Bentuk Korteks mandibula Grade 1

Grade 2 Grade 3 2. Pola tulang trabekula

Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4 Grade 5