BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Diabetes Mellitus - Karakteristik Penderita Penyakit Diabetes Mellitus Dengan Kompliksi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Martha Friska Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Mellitus

  Penyakit Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit kronik (menahun) yang disebabkan oleh berkurangnya produksi insulin baik kekurangan ini absolut maupun relatif (Haznam, 1991). Menurut WHO, DM adalah penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan (WHO, 2008).

  Sedangkan menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) , DM merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang dilatarbelakangi oleh kerusakan sel beta pankreas dan resistensi insulin (Soegondo, dkk, 2009).

  Hormon insulin mengendalikan kadar gula darah tubuh. Bila keadaan tubuh kekurangan insulin atau jumlah cukup tetapi tidak efektif akan menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa adalah 70 sampai 110 mg/dL. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya difiltrasi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dL ( Price dan Lorraine, 2006).

  Seseorang dapat dikatakan DM bila didiagnosis dengan kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa yaitu kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO) (PERKENI, 2011).

2.2 Sejarah Diabetes Mellitus

  Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi. Pada Papyrus Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan tanda-tanda banyak kencing.Kemudian Celsus atau Paracelsus kira-kira pada

  30SM juga menemukan penyakit tersebut. Pada 200 tahun kemudian, Artaeus menamai penyakit itu Diabetes dari kata Diabere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat ke tempat lain (Suyono,dkk, 2007).

  Cendekiawan India dan Cina pada abad ke 3 sampai dengan 6 masehi juga menemukan penyakit ini dan mengatakan bahwa urin pasien-pasien rasanya manis. Pada tahun 1674 Willis melukiskan urin tersebut seperti digelimangi madu dan gula. Sejak saat itu nama penyakit ditambah dengan kata Mellitus yang berarti madu (Suyono, dkk, 2007).

  Ibnu Sina pertama kali melukiskan ganggren diabetik pada tahun 1000. Pada tahun 1889 Von Mehring dan Minowski mendapatkan gejala diabetes pada 1921 seorang ahli bedah Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best asistennya menemukan insulin. Pada tahun 1954-1956 ditemukan tablet jenis sulfonilurea yang dapat meningkatkan kadar insulin. Tahun 1969 ditemukan jenis sulfonilurea generasi kedua yaitu Glibenklamid (Suyono, dkk, 2007).

2.3 Epidemiologi Diabetes Mellitus

2.3.1. Distribusi dan Frekuensi

  a. Menurut Orang

  DM cenderung diderita oleh penduduk usia 45-65 tahun pada negara berkembang sedangkan pada negara maju penderita DM cenderung pada usia diatas 64 tahun (Wild, dkk, 2004). Pada umur 40 sampai 70 tahun diabetes lebih banyak pada wanita, tetapi pada umur yang lebih muda frekuensi diabetes lebih banyak pada pria (Haznam, 1991).

  Penderita DM tipe I biasanya penduduk berusia <40 tahun dan penderita DM tipe II adalah penduduk berusia ≥40 tahun. Menurut penelitian Lina (2011) di RS Herna Medan tahun 2009-2010 proporsi tertinggi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan 59,7% sedangkan proporsi terendah pada laki-laki 40,3% (Tarigan, 2011).

  Berdasarkan penelitian Merlyn (2012) di Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar tahun 2011 proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan kelompok umur tertinggi adalah pada kelompok umur 51-60 tahun 33,3% sedangkan proporsi terendah pada kelompok umur ≤ 40 tahun 5,7%. yaitu perempuan 65,0% sedangkan proporsi terendah pada laki-laki 35,0% (Sinaga, 2012).

  b. Menurut Tempat

  Terdapat perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Sebuah penelitian dilakukan di Jakarta tahun 1993 di daerah urban di kelurahan kayu putih adalah 5,6%, sedangkan didaerah rural di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995 adalah 1,1 % (Suyono, dkk, 2009).Berdasarkan laporan hasil Riskesdas tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia di atas 15 tahun yaitu 5,7% (PERKENI, 2011).

  Perbedaan prevalensi DM di perkotaan dengan di pedesaan menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian DM. Menurut laporan PERKENI tahun 2005 dari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia, menunjukkan bahwa angka prevalensi DM terbanyak terdapat di kota-kota besar, antara lain Jakarta (12,8%), Surabaya (1,8%), Makassar (12,5%), dan Manado (6,7%). Sedangkan prevalensi DM terendah terdapat di daerah pedesaan, antara lain Tasikmalaya (1,8%) dan Tanah Toraja (0,9%) (Soegondo,dkk, 2009).

c. Menurut Waktu

  Insidensi dan prevalensi penyakit diabetes tidak pernah berhenti mengalir dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah penderita diabetes di dunia yang tercatat pada tahun 1990 mencapai angka 80 juta, dan mengalami 2010 jumlah penderita mencapai angka 239,3 juta (Arisman, 2011).

  Peningkatan prevalensi DM dari waktu ke waktu lebih banyak disebabkan oleh faktor genetik, life style dan faktor lingkungan.Pada tahun 2011 penderita DM mencapai angka 346 juta dan lebih dari 80% terdapat di negara berkembang.

  (WHO, 2011). Penderita DM mengalami peningkatan tahun 2014 yaitu 387 juta atau 8,3% (IDF, 2014).

2.3.2. Faktor Resiko

  a. Genetika

  Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes. Ini terjadi karena DNA pada orang diabetes mellitus akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008).Sekitar 40% penderita diabetes terlahir dari keluarga yang juga mengidap penyakit diabetes (Arisman, 2011).

  Diabetes tipe 2 lebih terkait dengan faktor riwayat keluarga bila dibandingkan tipe 1. Anak dengan ayah penderita DM tipe 1 memiliki kemungkinan terkena diabetes 1:17. Namun bila kedua orang tua menderita DM tipe 1 maka kemungkinan menderita DM adalah 1:4-10. Pada DM tipe 2, seorang anak memiliki kemungkinan 1:7 untuk menderita DM bila salah satu orang tuanya menderita DM pada usia kurang dari lima puluh tahun dan 1:13 bila salah satu orang tuanya menderita DM pada usia lebih dari lima puluh tahun. Namun bila kedua orang tuanya menderita DM tipe 2, maka kemungkinan menderita DM adalah 1: 2 (ADA, 2008).

  b. Usia

  Pada DM tipe I terjadi akibat kerusakan sel-sel beta Langerhans. Sehingga DM tipe I banyak ditemukan pada anak atau usia muda. Sebaliknya pada DM tipe

  II, lebih banyak pada usia setelah 40 tahun diakibatkan terjadinya penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun.

  Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. Resiko menderita penyakit DM bertambah sejalan dengan usia seseorang (Arisman, 2011).

  c. Pola makan dan Obesitas/ Kegemukan

  Pola makan di kota-kota besar telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak kerbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan beresiko dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam, dan mengandung sedikit serat.Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap saji yang akhir-akhir ini sangat digemari oleh anak-anak muda (Suyono, dkk, 2010).

  Kelebihan mengonsumsi lemak akan disimpan di tubuh dalam bentuk jaringan lemak dan mempengaruhi berat badan bahkan mencapai obesitas.

  Kondisi ini akan membutuhkan jumlah hormon insulin yang banyak untuk mengelolanya. Obesitas meningkatkan gangguan kerja atau resistensi insulin (Waspadji, dkk, 2007).

  d. Kurangnya aktivitas fisik

  Olahraga sangat berperan pada kontrol gula darah.Pada saat tubuh melakukan aktifitas fisik maka sejumlah glukosa akan diubah menjadi energi berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula.

  Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Lanywati, 2001).

e. Infeksi

  Beberapa orang ahli diabetes percaya bahwa DM mempunyai beberapa sebab. Penyebab lain yang dicurigai adalah berbagai jenis virus. Virus yang dapat memicu DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus.Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta pankreas, virus ini menyebabkan kerusakan atau destruksi sel. Virus ini dapat juga menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel beta pankreas.Pada kasus DM tipe 1 yang sering dijumpai pada anak-anak, seringkali didahului dengan infeksi flu atau batuk pilek yang berulang-ulang, yang disebabkan oleh virus mumps dan coxsackievirus.DM akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM (Johnson, 1998).

2.4 Patofisologi Diabetes Mellitus

  Pada proses pencernaan, pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak.Didalam hasil akhirnya timbulnya energi. Insulin bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar (Suyono,dkk, 2007).

  Insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar glukosa memasuki ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan glukosa untuk digunakan sebagai sumber energi meskipun adanya glukosa di dalam aliran darah. Akhirnya, glukosa yang lebih ini atau glukosa yang tidak digunakan ini akan diekskresikan dalam urin (Suyono,dkk, 2007).

  Selain membantu glukosa memasuki sel-sel, insulin juga penting dalam mengatur tingkat glukosa dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan meningkat, untuk mengatasi peningkatan kadar glukosa, pankreas biasanya melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah untuk membantu glukosa memasuki sel-sel dan menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Ketika kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin dari pankreas dihentikan (Suyono, dkk, 2007).

  Dalam DM tipe I, pankreas mengalami serangan autoimmune oleh tubuh sendiri, dan menyebabkan sel-sel pankreas tidak bisa menghasilkan insulin.Antibodi abnormal telah ditemukan di sebagian besar pasien dengan DM tipe I. Pada pasien DM Tipe I, sel-sel beta pankreas yang bertanggung jawab untuk produksi insulin diserang oleh sistem kekebalan tubuh.Hal ini diyakini bahwa warisan genetik mungkin suatu faktor risiko berkembangnya antibiotik yang abnormal.Selain itu, paparan terhadap infeksi virus tertentu atau racun-racun lingkungan hidup lainnya bisa memicu respons antibodi abnormal yang

  Dalam DM tipe II, pasien dapat memproduksi insulin, tetapi tidak dapat menggunakannya secara adekuat, terutama pada pasien yang mengalami resistensi insulin (Suyono,dkk, 2007).

2.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus

  2.5.1 Diabetes Mellitus Tipe 1/ IDDM (Insulin Dependent DM)

  Diabetes Mellitus tipe 1 disebut insulin-dependent DMkarena pasien sangat bergantung terhadap insulin dan hanya dapat diobati dengan menggunakaninsulin. Penderita memerlukan suntikan setiap hari untuk mencukupi kebutuhan insulin dalam tubuh (Johnson,1998).DM tipe 1 dahulu disebut juga diabetes onset-anakkarena banyak terjadi pada usia muda dan

  

diabetes rentan-ketosis karena DM tipe ini sering menimbulkan

ketoasidosis(Arisman, 2011).

  Diabetes Mellitus tipe 1 diakibatkan terjadinya kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel-sel langerhans di pankreas.Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin (Sujono dan Sukarmin, 2008).Gejala penyakit ini biasanya muncul secara mendadak, berat, dan perjalanannya secara progresif.Jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma. Ketika diagnosis ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah, dan kadar gula darah puasa >140 mg/dL (Arisman, 2011). diakui kasusnya memang sangat jarang. Mungkin ini disebabkan karena sebagian tidak terdiagnosis atau tidak diketahui sampai pasien mengalami komplikasi atau mengalami kematian (Suyono, 2007).

  2.5.1 Diabetes Mellitus Tipe 2/NIDDM (Non Insulin Dependent DM)

  Istilah Non Insulin Dependent DM sebenarnya kurang tepat karena banyak individu yang mengidap DM tipe 2 dapat ditangani dengan insulin. DM jenis ini disebut juga diabetes onset-matur/onset-dewasa karena banyak terjadi pada usia tua atau 40 tahun dan diabetes resistan-ketosis karena DM tipe ini cenderung tidak berkembang ke arah ketosis. DM tipe 2 merupakan penyakit familier yang mewakili kurang lebih 85% kasus DM di negara maju dengan prevalensi sangat tinggi pada masyarakat gaya hidup tradisional menjadi modern. Gejala DM tipe 2 muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan dan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun.Progresifitas gejala berjalan lambat (Arisman, 2011).

  Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan DM tipe 2 (Price dan Lorraine, 2006).Pasien biasanya tidak perlu tambahan suntikan insulin dalam pengobatannya, tetapi memerlukan obat yang bekerja untuk memperbaiki fungsi insulin dan menurunkan kadar gula darah (Tjokoprawiro, 1991).

  2.6 Gambaran Klinis Diabetes Mellitus

  menyadari akan adanya perubahan. Gejala klinis yang khas penyakit DM seperti (peningkatan pengeluaran urine), polidipsia (peningkatan rasa haus), dan

  poliuria

polifagia (peningkatan rasa lapar) merupakan petunjuk penting dalam

  mendiagnosis DM dan disebut sebagai Trias P (3P) (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

  Poliuria (peningkatan pengeluaran urine) merupakan gejala yang paling

  utama yang dirasakan oleh setiap pasien.Polidipsia (peningkatan rasa haus) diakibatkan peningkatan pengeluaran urin sehingga menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradient konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (antideuretic hormone) dan menimbulkan rasa haus.Polifagia (peningkatan rasa lapar) diakibatkan habisnya cadangan gula didalam tubuh meskipun kadar gula darah tinggi (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

  Keluhan yang dialami juga oleh penderita DM seperti rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes, kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi di daerah lipatan kulit seperti diketiak dan di bawah payudara, kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati. Pada penderita DM regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari protein (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

2.7 Diagnosis Diabetes Mellitus Diagnosis DMharus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.

  diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah dilakukan di laboratorium klinik (Gustaviani, 2009).

  Uji diagnotik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Gustaviani, 2009).

  Diagnosis klinis DM umumnya bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,

  

polidipsia , polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

  sebabnya.Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvea pada pasien wanita (Gustaviani, 2009).Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: a.

  Jika keluhan klasik ditemukan ( poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

  b.

  Pemeriksaan glukosa plasma puasakeluhan klasik. Puasa diartikan pasien c.

  Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO,menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yangdilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namunpemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukanberulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (PERKENI, 2011).

  Pemeriksaan HbA1C dapat juga dijadikan sebagai salah satu kriteria diagnosis DM. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah. Ketika kadar gula darah tidak terkontrol (kadar gula darah tinggi) maka kadar gula darah akan berikatan dengan hemoglobin. Oleh karena itu, rata- rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C(PERKENI,2011).Kadar HbA1C didalam darah menggambarkan kadar gula darah rata-rata selama 3 bulan. Kadar normal HbA1C <7% (Soegondo, dkk, 2009).

  Pemeriksaan HbA1C dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan pengendalian (Kee JL, 2003).

2.8 Komplikasi Diabetes Mellitus

a. Hipoglikemia

  Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinik gangguan syaraf yang disebabkan oleh penurunan gula darah (Ranakusuma,1992).Kekurangan glukosa sama dengan kekurangan oksigen akan menimbulkan gangguan fungsi otak, kerusakan jaringan atau mungkin kematian apabila kekurangan tersebut berkepanjangan (Waspadji, dkk, 2007).Bila terdapat penurunan kesadaran pada penderita DM kemungkinan terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL (PERKENI, 2011).

  Gejala dan tanda hipoglikemia adalah gejala otonom yang diperantarai neurotransmitter susunan saraf otonom seperti cemas, gemetaran, berkeringat, jantung berdebar-debar dan lapar. Sedangkan gejala lain adalah gejala neuroglikopeni berupa gangguan berpikir, lemas, kesadaran menurun, mata kabur dan sulit berkonsentrasi (Setiati,dkk, 2008).

b. Hiperglikemia

  Hiperglikemia adalah komplikasi akut dari diabetes yang sering terjadi pada penderita DM tipe.Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi berat, hiperosmolalitas, dieresis osmotik.Jika keadaan ini tidak segera ditangani dapat menyebabkan penderita menjadi tidak sadarkan diri dan meninggal (Price dan Lorraine, 2006).

  Hiperglikemia dapat terjadi karena meningkatnya asupan glukosa dan produksi glukosa hati.Hal ini dapat menyebabkan penumpukan glukosa pada sel dan jaringan tertentu sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan

  Hiperglikemia ini antara lain adalah:

a. Ketoasidosis

  Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus terjadinya KAD (Soewondo, 2009).

  Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan gawat darurat akibat hiperglikemia dimana terbentuk banyak asam dalam darah. Hal ini terjadi akibat sel otot tidak mampu lagi membentuk energi sehingga dalam keadaan darurat ini tubuh akan memecah lemak dan terbentuklah asam yang bersifat racun dalam peredaran darah yang disebut keton (Suastika, 2008).

  Keluhan dan gejala KAD berupa pernafasan cepat dan dalam, turgor kulit berkurang, lidah dan bibir berkurang, kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.Keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD (Soewondo, 2009).

b. Non Ketotik Hiperosmolar (NKH) Mekanisme terjadinya NKH hampir sama dengan KAD.

  Pemeriksaan laboratorium sangat membantu untuk membedakannya dengan KAD. Hal yang membedakannya adalah bila pasien mempunyai positif lemah serta pemeriksaan aseton negatif. Secara klinis penderita dalam keadaan tanda-tanda dehidrasi (turgor menurun disertai tanda kelainan neurologis, hipotensi postoral, bibir dan lidah kering), tidak ada bau aseton yang tercium dari hawa napas dan tidak ada pernafasan kussmaul(Waspadji, dkk, 2007).

2.8.2 Komplikasi Kronik

  a. Kerusakan Mata (Retinopati Diabetika)

  Kerusakan mata akibat DM yang paling sering adalah Retinopati (Kerusakan Retina).Glukosa darah yang tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina bahkan dapat mengakibatkan kebocoran pembuluh darah kapiler.Darah yang keluar dari pembuluh darah inilah yang menutup sinar yang menuju ke retina sehingga penglihatan penderita DM menjadi kabur (Oawara, 2003).

  Retinopati Diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20-74 tahun. Resiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktudiagnosis DM tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik (Pandelaki, 2009).

  Pada DM tipe 2 ketika didiagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik nonproliferatif (background retinopathy).Setelah 20 diabetes memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes (Pandelaki, 2009).

  b. Kerusakan Saraf (Neuropati Diabetik)

  Neuropati Diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada DM.Resiko yang dihadapi pasien DM dengan neuropati antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya biaya pengobatan pasien DM dengan neuropati (Subekti, 2009).

  Manifestasi Neuropati Diabetik bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat.Keluhannya dapat berupa neuropati lokal atau sistemik, semua tergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.Pasien diabetes memiliki resiko 7 kali lebih mudah mengalami neuropati dibanding nondiabetes (Subekti, 2009).

c. Kerusakan Ginjal (Nefropati Diabetik)

  Hampir 20-30% penderita DM akan mengalami kelainan ginjal dalam perjalanan penyakitnya.Nefropati diabetik adalah komplikasi pada ginjal yang dapat berakibat dengan gagal ginjal.Kerusakan ginjal disebabkan oleh kadar glukosa dalam darah sangat tinggi, sehingga ginjal dipacu lebih berat akibatnya terjadi penyempitan pembuluh darah kapiler dalam darah. Pada saat terdiagnosis DM, khususnya bila kadar glukosa darah tinggi maka mekanisme Glomerular menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin (Sjaifoellah, 1996). Angka kejadian nefropatik diabetik pada DM tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar dari tipe 1 karena jumlah penderita DM tipe 2 lebih banyak dari DM tipe 1 (Hendromartono, 2009).

  d. Hipertensi

  Gagal ginjal merupakan komplikasi kronik DM yang diperburuk oleh adanya hipertensi. Pengontrolan kadar glukosa darah sebaik mungkin disertai pengontrolan tekanan darah. Pengelolaan hipertensi pada DM berguna untuk mencegah kematian dan disabilias akibat tekanan darah yang tinggi. Penderita hipertensi pada penderita DM ada dua yaitu hipertensi primer yang berkaitan dengan hipertensi endokrin dan hipertensi sekunder seperti Syndrome

  Cushing (Sjaifoellah, 1996).

  e. Penyakit Jantung Koroner

  Diabetes Mellitus (DM) merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah yang mengakibatkan suplai darah berkurang dan tekanan darah meningkat. Keluhan sakit jantung sangat bervariasi, biasanya tidak ada keluhan, tetapi selanjutnya akan timbul gejala akibat penyumbatan antara lain sesak nafas, nyeri dada, rasa lelah, sakit kepala, detak jantung cepat dan tidak teratur, banya berkeringat. Akan tetapi, kadang pada penderita diabetes keluhan sakit jantung rasa nyeri telah rusak (Tjokoprawiro, 2006).

  f. Ulkus/ Ganggren

  Diantara komplikasi kronik DM, kelainan makrovaskuler memberikan gambaran kelainan pada tungkai bawah berupa ulkus maupun gangren selanjutnya disebut kaki diabetik.Kaki diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati yang terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Hastuti, 2008).Data dari beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan angka amputasi dan angka kematian ulkus-ganggren sebesar 15%-30% dan 17%-32%. Penderita dengan ulkus-ganggren ditemukan sebesar 2,4%-14% pada penderita DM. Penderita DM mempunyai kecenderungan 5 kali mudah mengalami ulkus-ganggren (Sjaifoellah, 1996).

g. Dispepsia

  Dispepsia diakibatkan karena urat saraf yang memelihara lambung rusak sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan makanan menjadi lemah. Hal ini mengakibatkan proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama tinggal dalam lambung. Gangguan pada usus yang sering dialami oleh penderita DM adalah sukarbuang air besar, perut gembung, dan kotoran kerasdan kadang- kadang menunjukkan keluhan diare, kotoran banyak mengandung air tanparasa sakit perut (Tjokoprawiro, 2006).

2.9 Pencegahan Penyakit Diabetes Mellitus

   Kunci utama pencegahan DM terletak pada tiga titik yang saling berkaitan

  pengendalian ini dilakukan dengan menurunkan berat badan sekitar 5-7% dari total berat badan dengan 30 menit kegiatan fisik/olahraga 5 hari per minggu, dan makan secukupnya makanan sehat. Pencegahan DM diantaranya pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Bustan, 2007).

2.9.1 Pencegahan Primer

  Semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko mengidap DM atau pada populasi umum. Adapun pencegahan primer yaitu:

  a) Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai resiko

  DM dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan resiko terkena DM tipe 2.

  b) Diet Sehat. Dapat dilakukan dengan mengatur jumlah asupan kalori agar tercapai berat badan yang ideal. Mengatur makanan yang rendah lemak jenuh, rendah karbohidrat kompleks, dan tinggi serat dapat mencegah timbulnya puncak (peak) glukosa darah yang dapat meningkatkan resiko terkena DM (PERKENI, 2011).

  c) Latihan Jasmani (Olahraga). Olahraga yang teratur akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya glukosa dalam sel. Dalam melakukan latihan jasmani dianjurkan 3-4 kali setiap minggu selama kurang lebih ½ penderita DM memulai olah raga tanpa makan akan beresiko terjadinya starvasi sel dengan cepat dan akan berdampak pada nekrosis sel (hipoglikemia). Oleh karena itu, penderita harus makan sebelum olahraga dan harus didampingi orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia.

  (Riyadi dan Sukarmin, 2008) d) Penyuluhan. Melalui penyuluhan masyarakat dapat diberi pengetahuan tentang hidup sehat untuk mencegah penyakit DM sehingga masyarakat dapat dilibatkan dalam program skrining kasus baru terutama pada kelompok resiko tinggi untuk timbulnya penyakit DM (Subekti, 2007).

2.9.2 Pencegahan Sekunder

  Pencegahan sekunder adalah upaya deteksi dini penyandang DM. Maka dianjurkan pada mereka yang mempunyai resiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaring glukosa darah. Dengan demikian mereka yang mempunyai resiko tinggi DM dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai DM akan dapat ditindak lanjuti, sampai diyakini benar mereka mengidap DM. Jika mereka yang sudah didiagnosis menderita DM maka dilakukan pencegahan dan mnghambat penyakit penyulit lebih lanjut (Waspadji, dkk, 2007).

  Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan atau suntikan insulin(PERKENI, 2011).

  a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO) 1.

  Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.

  Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Sedangkan golongan

  glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.

  2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

  3. Penghambat gluko neogenesis: metformin Golongan metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.Terutama dipakai pada penyandang DM yang gemuk.

  4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.

  Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

  5. DPP-IV inhibitor DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetapdalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu glucagon (PERKENI, 2011).

  b) Insulin

  Terdapat 3 jenis insulin yang penting menurut cara kerjanya yaitu: a.

  Yang kerjanya cepat yaitu Regular Insulin (RI) dengan masa kerja 2-4 jam. b.

  Yang kerjanya sedang yaitu NPN dengan masa kerja 6-12 jam.

  c.

  Yang kerjanya lambat yaitu PZI (Protamme Zinc Insulin) dengan masa kerja 18-24 jam.

  Untuk pasien yang pertama kali akan dapat insulin, sebaiknya dimulai dengan dosis rendah (8-20 unit) disesuaikan dengan reduksi urin dan glukosa darah (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Pada penderita DM tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalamtubuhnya agar berjalan normal. Ini diakibatkan karena sel- sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak dapat memproduksi insulin (Depkes, 2005). Pada pasien DM tipe 2 dapatdimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosadarah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun dan penyandang DM lebih dari 10 tahun (PERKENI, 2008).

2.9.3 Pencegahan Tersier

  DM temasuk kedalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap yaitu: a.

  Mencegah komplikasi diabetes b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus ke penyakit organ. c.

  Mencegah terjadinya kecacatan yang disebabkan oleh kegagalan organ atau jaringan.

  Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya (Suyono, 2009).

2.10 Kerangka konsep

  Karakteristik Penderita DM dengan Komplikasi 1.

  Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Suku Pekerjaan Pendidikan Daerah Asal 2. Tipe DM 3. Jenis Komplikasi 4. Kategori Komplikasi 5. Pemeriksaan HbA1C 6. Kadar HbA1C 7. Pengobatan 8. Sumber Biaya 9. Lama Rawatan Rata-Rata 10.

  Keadaan sewaktu pulang

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Ekonomi Pembangunan - Analisis Evaluasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Kabupaten / Kota Pemekaran Di Sumatera Utara

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Evaluasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Kabupaten / Kota Pemekaran Di Sumatera Utara

0 4 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Nepenthes spp. - Studi Kantung Semar (Nepenthes Spp.) Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara

0 0 6

Karakteristik Perkembangan Anakan Kuntul Besar (Egretta alba) dan Kuntul Kecil (Egretta garzetta) Di Kawasan Tambak Tanjung Rejo Sumatera Utara

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul - Karakteristik Perkembangan Anakan Kuntul Besar (Egretta alba) dan Kuntul Kecil (Egretta garzetta) Di Kawasan Tambak Tanjung Rejo Sumatera Utara

1 4 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Daya Dukung Tiang Pancang Tunggal Diameter 0,6 Meter Berdasarkan Perhitungan Analitis dan Metode Elemen Hingga (Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu)

0 12 93

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo 2.1.1 Pola Perkampungan - Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo

1 9 39

Hubungan Karakteristik dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Bidan Desa dalam Pelayanan KB di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Mesjid Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten LabuhanBatu Utara Tahun 2015

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja - Hubungan Karakteristik dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Bidan Desa dalam Pelayanan KB di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Mesjid Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten LabuhanBatu Utara Tahun 2015

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karakteristik dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Bidan Desa dalam Pelayanan KB di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Mesjid Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten LabuhanBatu Utara Tahun 2015

0 2 9