BAB I PENDAHULUAN - Politik Anggaran Pembangunan Desa Di Desa Martoba Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Umumnya pemahaman kebanyakan orang terhadap desa adalah sebuah tempat atau

  daerah yang jauh dari perkotaan, sehingga anggapan terhadap desa merupakan daerah yang penuh dengan ketebelakangan dan kemiskinan, primitif dan merupakan kumpulan manusia yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan sejarah pemerintahan, pemahaman mengenai sosok desa dimaknai berbeda-beda . Secara sosiologi, desa dipahami sebagai daerah pedesaan (rural), kemudian administrasi negara memahami sebagai satuan pemerintahan (Pemerintahan Desa), secara historis dan politik adalah desa sebagai sumber kekuatan dan ketahanan bangsa di masa perjuangan merebut dan mempertahankan

   kemerdekaan.

  Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dalam UU No. 6 Tahun 2014 dijelaskan mengenai desa, yakni pada Pasal 1 dikatakan: Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa 1 masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem

  

Biro Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Provinsi SUMUT. 2001. Selayang Pandang Pemerintahan Desa

  

  pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia Pemerintahan Desa adala penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem

  

  pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ; Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggaraan

4 Pemerintahan Desa ; Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain

  adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil

   dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

  Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai badan jembatan penghubung antara Kepala Desa dengan masyarakat desa, juga dapat menjadi lembaga yang berperan sebagai lembaga representasi dari masyarakat. sehubungan dengan aspirasi yang datang dari masyarakat, namun tidak semua aspirasi dari masyarakat dapat ditetapkan dalam bentuk peraturan desa tapi harus melalui berbagai proses sebagai berikut: (1) artikulasi adalah penyerapan yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa; (2) agresi adalah proses pengumpulan, mengkaji Peraturan Desa; (3) formulasi adalah proses perumusan Rancangan Peraturan Desa yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa dan/atau Pemerintah Desa; (4) konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan Badan

   Permusyawaratan Desa dengan masyarakat.

  2 3 UU Nomor 6 Tahun 2014. Undang-Undang Tentang Desa. BAB I KETENTUAN UMUM. Ayat 1. 4 Ibid. Ayat 2. 5 Ibid. Ayat 3. 6 Ibid. Ayat 4.

  Sartika Putri Ngadi. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/viewFile/2323/1877 .

  Berangkat dari pengertian secara historis dan politik desa menjadi sebuah bagian dari perjuangan dalam menciptakan pembangunan di Indonesia. Tentunya pada masa-masa perebutan kemerdekaan, desa memberi sumbangsih tenaga dalam melawan penjajahan. Namun setelah itu, tentu kita harus menyadari bahwa perjuangan belum selesai. Kehidupan di desa masih perlu dibenahi dengan seksama, yakni dalam upaya pembangunan di desa.

  Kita harus mengerti betapa pentingnya gerakan untuk menyehatkan dan mentertibkan kehidupan kemasyarakatan bangsa kita, terutama terkait pada anggapan kita terhadap keterbelakangan baik sosial budaya maupun sosial ekonomi, yang sebagian besar hidup di masyarakat pedesaan dan umumnya masih hidup di dalam ikatan tradisi yang kuat. Dan itu masih berlaku hingga saat ini. Memang ada beberapa desa yang kita jumpai telah mengalami pembangunan yang baik, namun tidak sedikit pula desa yang masih butuh perhatian khusus dalam mendorong desa untuk melakukan pembangunan. Perhatian tersebut antara lain meliputi bidang suprastruktur yang terdiri atas pembangunan Pemerintahan Desa, mental spiritual dan sosial budaya maupun pembangunan infrastruktur antara lain pembangunan fisik seperti sekolah, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Pasar Tradisional, dan Kantor Pemerintahan Desa, dimana kebutuhan pembangunan dua hal tersebut ketika diselenggarakan dan dibangun dengan benar, tentu akan menciptakan kehidupan masyarakat yang merdeka, aman, baik, sehat dan sejahtera seperti ide daripada Good Governance.

  Hal tersebut dapat dipahami melalui UU Nomor 6 Tahun 2014, dimana pada BAB I KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 8 menyebutkan bahwa : “Pembangunan Desa adalah Masyarakat Desa”. Mensejahterakan masyarakat desa tentu harus melibatkan masyarakat desa pula, seperti yang dikatakan pada Ayat 12, yang menyebutkan bahwa : “Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan Masyarakat Desa”.

  Terkait pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014, diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, dimana dikatakan bahwa: “untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan Pemerintah Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan

   Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”.

  Good Governance menjadi gagasan untuk memperbaharui tata Pemerintahan Indonesia dimana terkait pada desentralisasi yang tak lain berdampak baik terhadap pembangunan di desa. Pertama, good governance adalah sebuah kerangka institusional untuk memperkuat otonomi desa, karena secara subtantif desentralisasi dan otonomi desa bukan hanya persoalan pembagian kewenangan antar level pemerintahan tetapi juga berkaitan terhadap kedekatan masyarakat terhadap negara. Good governance adalah basis 7 penyelenggaraan otonomi daerah (desa). Pemerintahan lokal yang kuat dan otonom tidak

  

Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 akan bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat lokal jika tidak ditompang oleh tranparansi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi masyarakat. Tanpa good governance, otonomi lokal sama saja memindahkan sentralisasi dan banyak hal yang jelek

   dari tingkat pusat ke tingkat lokal.

  Kedua, penerapan good governance di level desa merupakan sebuah solusi canggih terhadap bad governance yang sudah lama diwarisi oleh Orde Baru, yaitu sebuah pemerintahan desa yang didominasi oleh kepala desa beserta elite desa. Kurang berbasis pada partisipasi maysarakat serta tidak menjunjung tinggi pada prinsip transparansi,

  

  akuntabilitas dan responsivitas. Sehingga dalam upaya mewujudkan pembangunan di desa berjalan dengan baik, dengan terwujudnya beberapa prinsip tersebut.

  Ketiga, pandangan good governance sangat relevan untuk memilah secara tegas antara urusan privat dan publik. Di desa, antara urusan antara privat dan publik sangat kabur karena dibingkai oleh komunalisme. Pandangan good governance tentu tidak dimaksudkan untuk menghancurkan komunalisme di desa. Bagaimanapun komunlisme adalah sebuah identitas dan model pengelolaan relasi sosial antar personal. Tetapi dalam urusan publik (pemerintah), antara empat aktor utama dalam governance (pemerintahan desa, badan perwakilan desa, maysarakat sipil dan masyarakat ekonomi) harus berpilah karena masing-

   masing mempunyai peran dan kepentingan yang berbeda-beda.

  8 9 Sutoro Eko, dkk. 2002. Pembaharuan Pemerintahan Desa. Yogyakarta: IRE. Hal: 8.

  Ibid. Hal 9

  Keempat, konsep good governance sangat relevan dengan bangkitnya semangat demokrasi maupun tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa yang lebih baik, jujur, bersih, berbawa, bebas KKN, bertanggung jawab dengan praktik-praktik pemerintahan bergaya lama yang birokratis, menggurui, mendikte, tertutup, dan

  

  mengabaikan masayarakat. Sehingga dengan adanya kekuasaan sediri tanpa ada intervensi dari kekuasaan yang lebih tinggi, tentu pemerintahan desa dapat menyelenggarakan kekuasaanya demi kehidupan masyarakat desanya.

  Kelima, konsep good governance yang diterapkan secara institusional mampu mengatasi problem pengelolaan kekuasaan dan pemerintahan secara personal di tingkat desa. Pemerintahan desa selalu identik dengan kepala desa secara personal. Kekuasaan personal biasanya rentan manipulasi, korupsi dan tidak terkontrol. Konsep good governance tentu saja dimaksudkan untuk membangun sistem pemerintahan desa yang terlembaga secara impersonal. Kepada desa harus melakukan sharing kekuasaan dan tanggunjawab

   kepada elemen-elemen lainnya seperti BPD dan masyarakat desa.

  Mewujudkan pemerintahan good governance ditingkat pemerintahan desa merupakan tujuan dari pelaksanaan pembangunan di desa. Secara konsep terkait bagaimana good governance menjadi sebuah gagasan dalam melakukan pembangunan pemerintahan di desa telah diuraikan diatas. Tentu dalam pelaksanaan pembangunan di desa, Pemerintah Indonesia memberikan anggaran dalam pembangunan ditingkat lokal. Namun dalam 11 penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana desa sebagai pemerintahan yang terkecil Ibid. mengelola angaran-anggaran desa dalam melakukan pembangunan. Sehingga yang akan dilihat adalah politik anggaran di desa.

  Anggaran bukan sekedar masalah teknis, melainkan lebih merupakan alat politik. Karena anggaran disusun tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan teknis ataupun melalui hitungan-hitungan ekonomi semata, tetapi lebih dari itu anggaran disusun berdasarkan sebuah terjemahan dari visi dan misi Kepala Desa yang terpilih di desa dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan desa. Hal ini dilihat dari yang dikemukakan oleh Aaron Wildvsky (1961) yang menyatakan bahwa penganggaran lebih dari mengatasi sumber daya langka antara X dan Y, tetapi yang lebih penting adalah mempertemukan berbagai kebutuhan masyarakat yang saling berbenturan melalui proses kompromi dalam

   proses politik.

  Terkait mengenai sistem anggaran desa, dapat melihat Peraturan Pemerintah Nomor 43 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur bagaimana pengelolaan Keuangan Desa yakni penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa didanai oleh APB Desa; Penyelenggaraan keweangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud terhadap Penyelenggaraan kewenangan lokal berskala Desa selain didanai oleh APB Desa, juga dapat didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah; dana anggaran pendapatan dan belanja negara dialokasikan pada bagian anggaran 13 kementerian/lembaga dan disalurkan melalui satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota;

  

Agus Riyanto. 2012.”Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah: Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah

Tahun Anggaran 2008-2010”. Dalam SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional. Vol. 12 Nomor 2, penyelenggaraan kewenangan Desa yang ditugaskan oleh pemertintah daerah didanai oleh

   anggaran pendapatan daerah dan belanja daerah.

  Untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan Politik Anggaran dalam skala pemerintahan desa, maka peneliti mengambil lokasi Desa yakni di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan judul tentu dikarenakan adanya masalah, dimana peneliti melihat masalah pada Pembangunan di Desa Martoba. Dimana didapati bahwa Desa Martoba tidak memiliki Kantor Kepala Desa yang tetap/permanen, tentu ini menjadi sebuah masalah dalam pembangunan di desa. Menjadi daya tariknya adalah, desa merupakan pemerintahan dalam skala kecil di Negara Indonesia yang notabene merupakan sebuah sistem pemerintahan yang demokrasi layaknya negara, hanya saja desa lebih kecil dan lebih sederhana. Tentu dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintahan desa dimana pemimpinnya adalah Kepala Desa beserta perangkat desa bekerja dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya membutuhkan tempat/gedung sebagai penyelenggaraan birokrasi guna memenuhi kebutuhan administrasi masyarakat. Sehingga dengan masalah yang muncul tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana proses penganggaran di Desa Martoba sehingga penelitian ini dikaji berdasarkan Politik Anggaran di Desa tersebut.

  Adapun desa-desa yang ada di Kabupaten Samosir diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Desa Di Kecamatan 14 Simanindo, Sinajur Mula-Mula, Nainggolan, Palipi, Sitio-tio dan Kecamatan Harian.

  Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. BAB VI KEUANGAN DAN KEKAYAAN DESA Bagian Kesatu Keuangan Desa Paragraf 1 Umum

  Adapun bentuk dari struktur pemerintahan Desa adalah sebagai berikut:

  

Sumber: diolah dari berbagai sumber

B. Rumusan Masalah

  Penyelenggaraan Pemerintahan Desa tentu harus difasilitasi dengan perangkat- perangkat yang mendukung pelaksanaan pembangunan di desa, dengan ketidakadaannya Kantor Kepala Desa yang permanen, tentu menjadi masalah dalam pembangunan di desa. Maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah bagaimana Politik Anggaran di Desa Martoba dalam Pembangunan Desa terkait dalam ketidakpemilikan Kantor Kepala Desa yang tetap di Desa Martoba Kecamatan Simanindo?

  C. Batasan Masalah

  Penelitian ini membatasi masalah yakni dimana peneliti melihat indikator ketiadaan Kantor Kepala Desa yang tetap/permanen menjadi sebuah masalah pembangunan politik di Desa Martoba, dimana akan melihat bagaimana Politik Anggaran yang ada di Desa Martoba tersebut terkait Pembangunan di Desa, terkhususnya pada upaya dalam pengadaan Kantor Kepala Desa.

  D. Tujuan Penelitian

  Tujuan daripada penelitian ini adalah melihat bagaimana mekanisme politik dalam menentukan anggaran di Desa Martoba.

  E. Manfaat Penelitian 1.

  Secara Akademis, penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan di Bidang Ilmu Politik khususnya dalam kajian mengenai Pemerintahan di Desa.

  2. Secara Praktis, dapat menjadi bahan kajian dan literatur daftar kepustakaan yang hendak meneliti mengenai Pemerintahan di Desa, dan/atau sekedar menjadikan bahan bacaan dalam melaksanakan kegiatan di Pemerintahan di Desa .

  3. Bagi Penulis, sarana pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan melatih untuk menulis sebuah karya ilmiah yang penting bagi akademisi terkhususnya dalam

F. Kerangka Teori

  Teori dapat kita pahami sebagai generalisasi sebuah fenomena dari interaksi- interaksi yang muncul yang menarik untuk dipahami secara konsep yang terstruktur, menjadi sebuah alat kajian terhadap suatu peristiwa guna membantu kita dalam meliihat dan menganalisa sebuah fenomena, dimana akan dipahami sebagai sebuah sebab-akibat terhadap fenomena tersebut. Teori selalu memakai konsep-konsep, konsep lahir dari dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu

  

  loncatan. Tentunya teori sangat membantu peneliti dalam menganalisis masalah yang menjadi penelitiannya. Sehingga penelitian ini, teori-teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan yang diteliti oleh peneliti adalah:

  F.1 Good Governance (Pemerintahan Yang Baik)

  Good governance atau tata pemerintahan yang baik adalah sebuah perspektif yang relevan digunakan untuk menciptakan sebuah pembaharuan pemerintahan, termasuk juga pemerintahan desa. Governance merupakan cara pandang baru untuk menggantikan paradigma lama Goverment. Cara pandang Goverment secara konvensional memandang bahwa sebuah negara adalah segala-galanya atau lembaga yang sangat kuat, sentral dan superior. Sementara, Governance memandang bahwa negara (pemerintah) dan masyarakat berada dalam posisi sejajar yang secara bersama-sama dan belajar mengelola pemerintahan. Dimana perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di bawah batasan internal maupun eksternal yang merupakan jantung Governance. Dapat dipahami bahwa good governance adalah melibatkan masyarakat dalam

   proses pemerintah.

  Perhatian good governance adalah pengelolaan negara yang bersandar pada empat dimensi ganda:

  1. Kekuasaan-kewenangan.

  2. Pertukaran-resiprositas.

  3. Akuntabilitas-inovasi.

  4. Kepercayaan-kerelaan. Keempat dimensi ini tidak saja dimainkan sendiri oleh tangan-tangan negara, melainkan

   melibatkan elemen-elemen masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi.

  Pandangan good governance itu juga mengedepankan beberapa argumen yang meninjau ulang peran negara dalam mengelola masyarakat dan ekonomi. Pertama, negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara yang mempunyai kapasitas-kapasitas memadai untuk memoblisasi aktor- aktor masyarakat untuk mencapai tujuan besar.

  Kedua, negara bukan lagi sentrum kekuasaan formal tetapi sebagai sentrum kapasitas politik. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari “kekuasaan atas” (power over) menuju “kekuasaan untuk” (power to). Ketiga, negara harus berbagi kekuasaan dan

16 Sutoro Eko, dkk. Pembaharuan Pemerintahan Desa, op. Cit. Hal. 7-8.

  peran pada tiga level : “keatas” pada organisasi internasional; “kesamping” pada NGO dan swasta; “kebawah” pada dan masyarakat lokal.

  Keempat, negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom, dan dinamis. Kelima, negara harus melibatkan unsur- unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan pemberian pelayanan publik. Keenam, penyelenggara negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi

   dan akuntabilitas publik.

  Pandangan baru tentang peran dan kapasitas negara itu merupakan basis untuk

  

  memahami good governance. George Heyden (1992) , mengidentifikasikan tiga dimensi empirik good governance:

  1. Partisipasi warga negara dalam proses politik (partisipasi politik, agregasi politik dan akuntabilitas publik).

  2. Kepemimpinan yang responibel dan responsif (penghormatan terhadap warga, keterbukaan pembuatan keputusan dan menjunjung tinggi rule of law).

  3. Responsitas sosial masyarakat (kesetaraan politik, toleransi antar kelompok dan inklusivitas keanggotaan asosiasional).

  18 Sutoro Eko, dkk. Pembaharuan Pemerintahan Desa, op. Cit.

  Good governance lebih populer dipahami sebagai pengelolaan pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan responsivitas, rule of law, serta berbasis pada partisipasi masyarakat.

F. 2 Pembangunan Politik

  Beberapa pengertian mengenai pembangunan politik sebagai sebuah teori yang terus berkembang dimana merupakan pencapaian tujuan-tujuan kebijaksanaan umum. Pertama, pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi. Masalah- masalah pertumbuhan yang swasembada, ahli-ahli ekonomi dengan cepat menunjukkan bahwa kondisi-kondisi sosial dan politik dapat memainkan peranan penentu yang dapat menghalangi ataupun membantu peningkatan pendapatan per kapita. Sehingga pantaslah bila pembangunan politik dipandang sebagai keadaan masyarakat politik yang dapat

   membantu jalannya pertumbuhan ekonomi.

  Secara pelaksanaan pandangan pembangunan politik seperti itu dipandang negatif, sebab lebih mudah bagi kira untuk dengan mengetahui prestasi sistem politik yang mungkin menghalangi atau menggagalkan perkembangan ekonomi daripada menjelaskan bagaimana sistem politik itu membantu pertumbuhan ekonomi itu. Pertumbuhan ekonomi bisa terjadi dalam berbagai macam sistem politik dengan berbagai macam kebijaksanaan umum yang ditempuh.

  Kedua, pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat 20 industri. Dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi, menyangkut pandangan abstrak mengenai jenis khas kehidupan politik yang mendasari masyarakat industri maju. Asumsinya adalah bahwa kehidupan masyarakat industri menciptakan tipe kehidupan politik tertentu kurang lebih umum dan dapat ditiru oleh masyarakat maupun, baik yang sudah menjadi masyarakat industri atau belum. Menurut pandangan ini, masyarakat industri, baik yang demokratis atau bukan, menciptakan standar-standar tertentu mengenai tingkah laku dan prestasi politik yang dapat menghasilkan keadaan pembangunan politik dan yang merupakan contoh dari tujuan-tujuan pembangunan yang cocok bagi sistem politik. Dengan demikian beberapa khas pembangunan politik merupakan pola tertentu dari tingkah laku pemerintah yang rasionil dan bertanggung jawab, yaitu penghindaran dari tindakan yang dapat mengancam kepentingan dari golongan masyarakat yang penting, kesadaran akan batas-batas kedaulatan politik, penghargaan terhadap nilai-nilai administrasi yang teratur dan prosedur hukum, pengakuan bahwa politik adalah suatu mekanisme pemcahan masalah dan bukannya tujuan itu sendiri, penekanan pada program-program kemakmuran dan tentunya terhadap kesediaan

   menerima suatu bentuk partisipasi massa.

  Ketiga, pembangunan politik sebagai modernisasi politik. Pandangan bahwa kehidupan politik merupakan kehidupan politik yang khas dan ideal dari masyarakat industri berkaitan erat dengan pandangan bahwa pembangunan politik sama dengan modernisasi politik. Negara-negara maju adalah pembuat mode dan pelopor dalam hampir setiap segi kehidupan sosial dan ekonomi, karena itu dapat dimengerti bila banyak orang yang

   mengharapkan bahwa hal seperti itu terjadi juga dalam dunia politik.

21 Ibid.

  Keempat, pembangunan politik sebagai pembangunan adminstrasi dan hukum. Tentu saja tidak ada negara yang disebut maju, jika negara sama sekali tidak memiliki kesanggupan untuk menangani masalah-masalah masyarakat secara efektif. Sehingga tidak hanya perbaikan dari segi adminisrasi, dan apabila administrasi saja yang dianggap penting, tentu akan menimbulkan ketimpangan dalam kehidupan politik yang dapat menghalangi pembangunan politik. Pembangunan politik yang hanya diartikan sebagai perbaikan administrasi akan melupakan sama sekali pendidikan kewarganegaraan dan partisipasi

   masyarakat, dimana dua hal ini jelas merupakan segi-segi penting pembangunan politik.

  Keenam, pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi. Dimana dimaksudkan bahwa pembentukan lembaga-lemabaga dan praktek-praktek demokratis. Umumnya, asumsi bahwa satu-satunya bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan demokrasi. Bahkan ada orang yang menekankan pentingnya hubungan ini dan berpendapat bahwa pembangunan baru bermakna bila dikaitkan dengan suatu ideologi tertentu, apakah

   itu demokrasi, komunisme, ataupun totaliterisme.

  Ketujuh, pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan teratur. Pandangan ini dapat dibatasi terutama pada dunia politik sebab suatu masyarakat yang proses politiknya secara rasionil dan terarah mampu menyelenggarakan dan mengendalikan perubahan sosial, dan bukan hanya menanggapinya saja, jelas lebih maju dari pada masyarakat yang proses politiknya merupakan korban kekuatan sosial dan ekonomi yang mengendalikan nasib 23 rakyatnya. Kita dapat memandang pembangunan politik tergantung pada kesanggupan Ibid. Hal. 10. untuk mengendalikan atau dikendalikan oleh perubahan sosial. Tolak ukur untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan sosial itu adalah kesanggupan untuk memelihara

   ketertiban.

  Kedelapan, pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan. Pandangan ini membawa kita pada konsep bahwa sistem-sistem politik dapat dinilai dari sudut tingkat atau kadar kekuasaan yang dapat dimobilisir oleh sistem itu. Beberapa sistem yang bisa atau tidak bisa menciptakan kestabilan tampaknya akan berjalan dengan kadar kekuasaan yang amat kecil dan para pembuat keputusan yang berwenang hampir tak berdaya sama sekali untuk memprakarsai dan mencapai tujuan-tujian kebijaksanaan umum. Bila pembangunan politik diartikan sebagai mobilisasi dan peningkatan kekuasaan dalam masyarakat, dapatlah kita membedakan antara tujuan pembangunan kekuasaan dengan ciri-ciri yang biasanya diletakkan pada pembangunan. Ciri-ciri tersebut dapat diukur dan tentunya bisa disusun indeks-indeks pembangunan. Item-item dalam indeks seperti itu bisa meliputi: pengaruh dan penetrasi media massa yang diukur berdasar sirkulasi surat kabar dan distribusi pemilikan radio basis perpajakan masyarakat, proporsi orang yang duduk dalam pemerintahan dan distribusinya dalam berbagai kategori kegiatan, proporsi dari alokasi sumber-sumber untuk pendidikan, pertahanan, dan kesejahteraan sosial.

  Kesembilan, pembangunan politik sebagai suatu segi proses perubahan sosial yang multidimensi. Pandangan bahwa pembangunan politik bagaimanapun juga punya hubungan erat daris segi-segi perubahan sosial dan ekonomi yang lain. Setiap item yang mungkin relevan dalam menerangkan potensi kekuasaan suatu negara tentu juga akan mencerminkan keadaan ekonomi dan tatanan sosialnya. Selanjutnya bisa ditambahkan argumen bahwa tidak perlu dan tidak wajar untuk mencoba mengisolir sama sekali pembangunan politik dari bentuk pembangunan lainnya. Meskipun secara terbatas dunia politik hanya bisa dipisahkan dari masyarakat, namun pembangunan politik hanya bisa berjalan dalam konteks proses perubahan sosial yang multidimensi di mana tidak ada bagian atau sektor masyarakat yang

   terlalu jauh tertinggal.

  F.3 Politik Anggaran

  Menurut Mulyadi (1993), pengertian anggaran adalah suatu rencana kerja yang dinyatakan secara kuantitatif yang diukur dalam satuan moneter standar dan satuan lain

  

  yang mencakup jangka waktu satu tahun. Dan menurut Edwards (1959), istilah anggaran dalam Bahasa Inggris adalah budget berasal dari Bahasa Perancis “bougette” yang berarti tas kecil. Secara historis istilah itu muncul merujuk pada peristiwa tahun 1733 ketika Menteri Keuangan Inggris menyimpan proposal keuangan pemerintah yang akan dilaporkan kepada parlemen dalam sebuah tas kulit kecil. Anggaran umumnya dibuat dalam jangka pendek, yaitu dalam durasi waktu satu tahunan atau kurang. Namun tidak jarang juga dijumpai anggaran yang dibuat dalam jangka menengah (2-3 tahun) dan anggaran jangka

   panjang (3 tahun lebih).

  Politik berasal dari Bahasa Yunani “polis” berarti “kota” atau “negara kota”. Dari kata 26 ta-kata “polites” yakni “warga negara”, “politikos” yang 27 Ibid. Hal. 15.

  Nanda Hapsari A. R. 2011. Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial Dengan

Komitmen Organisasi Dan Locus Of Control Sebagai Variabel Moderating.

diakses tanggal 30 Mei 2014. Pukul : 19:59 WIB. Hal. iv. http://eprints.undip.ac.id/26440/2/jurnal.pdf

29 Berkaitan dengan Politik Anggaran terdapat beberapa definisi

  berarti “kewarganegaraan”.

  yaitu antara lain

   a.

  Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan didistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk peningkatan pelayanan publik.

  : b.

  Politik anggaran adalah proses saling mempengaruhi di antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam menentukan skala prioritas pembangunan akibat terbatasnya sumber dana yang tersedia.

  c.

  Politik anggaran adalah proses mempengaruhi kebijakan alokasi anggara yang dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan anggaran.

  d.

  Politik anggaran adalah proses penegasan kekuasaan atau kekuatan politik antara berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan maupun alokasi anggaran.

  Maka dalam hal melihat bagaimana politik anggaran, peneliti menggunakan pemahaman anggaran menurut Musgrave, dimana Ia telah menidentifikasikan tiga fungsi anggaran : 1.

  Pertama, fungsi alokasi. Anggaran merupakan instrumen pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa masyarakat, dalam konteks Indonesia fungsi alokasi 29 Rudi Salam Sinaga, S.Sos. M.Si. 2013. Pengantar Ilmu Politik Kerangka Berpikir Dalam Dimensi Arts, Praxis Dan Policy. Yogyakarta : Graha Ilmu. Hal. 1. 30 Agus Riyanto. 2012.”Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah: Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah

  

Tahun Anggaran 2008-2010”. Dalam SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional. Vol. 12 Nomor 2, sering disebut “belanja publik”, karena alokasi anggaran untuk memenuhi pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, perumahan.

  2. Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan instrumen untuk membagi sumberdaya dan pemanfaatannya kepada masyarakat secara adil. Fungsi ini bertujuan untuk menanggulangi kesenjangan sosial-ekonomi.

  3. Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran negara tentu akan mempengaruhi agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Anggaran menjadi instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi yaitu penciptaan lapangan pekerjaan.

   G. Metodologi Penelitian G.1 Metode Penelitian

  Dalam memahami permasalahan penelitian ini digunakan metodologis yang deskriptif (menggambarkan atau melukiskan). Penelitian deskriptif adalah cara dalam memelihat dan memecahkan masalah dengan melihat data dan fakta dari fenomena dimasa kekinian. Kemudian data dan fakta dianalisa dengan mendeskripsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena yang terjadi.

  G.2 Lokasi Peneltian

  Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.

31 Fathur Rahman, 2011, “Politik Anggaran Pendidikan Yang Minus Keberpihakan”, dalam Jurnal Studi

  G.3 Jenis Penelitian

  Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dimana peneliti berupaya menggambarkan data yang diperoleh berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan dan masalah penelelitian. Oleh karen itu dibutuhkan informan kunci (key informan) yakni Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Masyarakat, dengan wawancara dimana pertanyaan-pertanyaan wawancara yang telah disusun.

  G.4 Teknik Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

  a.

  Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan. Dilakukan dengan metode wawancara mendalam yang di pandu dengan pedoman wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masalah penelitian Kepala Desa : Bapak Nasib Silalahi Mantan Kepala Desa : Bapak Jaoloan Silalahi b. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh baik yang belum di olah maupun yang telah di olah baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, Undang-Undang, arsip dan sebagainya yang berupa dokumen.

  G. 5 Teknik Analisis Data

  Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan data penelitian ini adalah teknik analisa kualitatif, dimana hasil analisa berdasarkan data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder. Analisa yang dilakukan berdasarkan data deskriptif dari lapangan dimana data diperoleh kejelasan dan permasalahan telah dirumuskan sebelumnya, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

  H. Sistematikan Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang pemilihan

  judul dan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Pada bab ini akan menguraikan gambaran lokasi penelitian sebagai sumber

  penelitian studi analisis yaitu Desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.

  BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA Pada bab ini akan memuat data dan analisa data yang di dapat dari hasil

  penelitian yang dilakukan terkait permasalahan yang menjadi masalah penelitian.