Politik Anggaran Pembangunan Desa Di Desa Martoba Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

(1)

POLITIK ANGGARAN

Pembangunan Desa di Desa Martoba Kecamatan

Simanindo Kabupaten Samosir

Disusun Oleh: BASA SIALLAGAN

100906024

Dosen Pembimbing : Prof. Subhilhar, Ph. D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 1 4


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

BASA SIALLAGAN (100906024)

POLITIK ANGGARAN PEMBANGUNAN DI DESA MARTOBA KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR

Rincian isi skripsi 82 halaman, 13 buku, 4 Perundang-undangan, 1 jurnal, dan 2 situs internet.

ABSTRAK

Penulisan ini menguraikan tentang masalah pembangunan di pemerintahan desa dengan pengelolaan anggaran dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Politik anggaran menjadi kajian dalam melihat proses perencanaan anggaran, penggalokasian anggaran dan tentunya penggunaan angaran dalam hal pembangunan, dimana disini adalah pembangunan pemerintahan desa, yang merupakan struktur pemerintahan terendah yang terdapat di dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Anggaran merupakan perencanaan keuangan, dimana pengajuan terhadap masalah keuangan dalam menjalankan sebuah usaha, dalam konteks ini kita memahami usaha tersbut adalah kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintahan dalam mencapai tujuannya. Sehingga memahami politik anggaran merupakan kekuasaan dalam pengelolaan keuangan, mulai dari perencanaan keuangan, kemudian pendistribusian keuangan, dan pelaksanaan pengelolaan keuangan yang sumber dana berasal dari rakyat yang digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan infrastuktur dimana bertujuan untuk kesejahteraan umum.


(3)

Adanya perencanaan tentunya ada yang ingin dicapai, yakni pembangunan. Banyak hal yang menyangkut pembangunan dalam konteks politik, dari segi ekonomi, partisipasi, infrastruktur, sistem pemerintahan, dan birokrasi. Disini pembangunan menjadi output dari pada politik anggaran, bagaimana kekuasaan yang legitimasi melahirkan kebijakan-kebijakan yang mensejahterakan kehidupan rakyat dalam pengelolaan anggaran yang telah direncanakan benar-benar nyata dapat dirasakan oleh rakyat.

Desa Martoba, sebuah desa yang berda di Sumatera Utara, Kabupaten Samosir, Kecamatan Simanindo, yang berada disepenjang pinggiran Danau Toba dan perbukutan. Dimana pemerintahan desa ini tidak memiliki Kantor Kepala Desa yang permanen. Sehingga ingin diliihat bagaimana Kepala Desa sebagai aktor politik mengelola anggaran yang ada dan melakukan perencanaan anggaran terkait upaya-upaya yang telah dilakukan dan akan dilakukan dalam membangun Desa Martoba terkhusunya pengadaan pembangunan kantor kepala desa yang permanen bagi Desa Martoba.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

BASA SIALLAGAN (100906024)

POLITIK ANGGARAN PEMBANGUNAN DI DESA MARTOBA KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR

Details of the contents of the thesis 82 pages , 13 books , 4 Legislation , one journal , and 2 internet sites

This writing describes the problems of development in the village government budget management in planning and implementing development . Political budget to study in the budget planning process view , penggalokasian budget and of course the use of budgets in terms of construction , which here is the construction of the village administration , which is the lowest administrative structure contained within the government system in Indonesia .

A budget is a financial planning , where the submission of the financial problems in running a business , in this context we understand serve targeted business activities are organized by the government in achieving its objectives . So that the budget is a political understanding of power in financial management , ranging from financial planning , and financial distribution , and implementation of financial management that the source of funds comes from the people who used to finance the activities of government and infrastructure development which aims for the general welfare .

The presence there of course planning to be achieved , namely the construction . Many matters relating to development in the context of political , economic, participation ,


(5)

infrastructure , system of government , and bureaucracy . Here the output of the development into a political budget , how the legitimacy of power gave birth to policies that create welfare of the people in the management of the planned budget is real can be felt by people .

Martoba village , a village that is arriving in North Sumatra , Samosir , Simanindo District , which is disepenjang edge of Lake Toba and perbukutan . Where is this village administration does not have a permanent Village Head Office . So want diliihat how village chief as a political actor to manage the existing budget and related budgetary planning efforts that have been done and will be done in building construction procurement terkhusunya Martoba village head's office for the Village Martoba permanent .


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Dengan Judul: DISFUNGSI BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI DESA PAGARBATU, KECAMATAN SIPOHOLON, KABUPATEN TAPANULI UTARA.

Dilaksanakan pada :

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat :

Majelis Penguji : Ketua Penguji :

Nama ( )

NIP

Penguji Utama :

Nama ( )

NIP

Penguji Tamu :

Nama ( )


(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh : Halaman Persetujuan

Nama : Basa Siallagan

NIM : 100906024

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Politik Anggaran Pembangunan di Desa Martoba Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

Menyetujui :

Mengetahui : Dekan FISIP USU Ketua Departemen Ilmu Politik

(Dra. T. Irmayani, M. Si) NIP. 196806301994032001

Dosen Pembimbing

(Prof. Dr. Subhilhar, MA) NIP. 196207181987101001


(8)

NIP. 196805251992031002 (Prof. Dr. Badaruddin, M. Si)

Karya ini dipersembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda Tercinta


(9)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan, kiranya disetiap kehidupan ini senantiasa selalu bersyukur buat segala sesuatu apapun yang boleh dirasakan, baik ketika sukacita maupun dukacita. Memang layak kiranya Tuhan Yesus dipuji dan diangungkan, karena Kasihnya yang begitu besar dan nyata buat dunia ini. Bahkan yang boleh dirasakan penulis hingga dapat menyelesaikan tulisan ini dengan menghadapi berbagai tantangan yang tekadang membuat penulis merasa tak mampu. Sehingga skripsi ini dapat selesai sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera utara. Skripsi ini berjudul : “Politik Anggaran Pembangunan Desa Martoba Kecamatan

Simanindo Kabupaten Samosir”.

Proses penulisan skripsi ini ketika penulis berada pada smester kedelapan dan kesembilan. Tentunya karya ilmiah ini dapat terselaikan oleh berbagai pihak yang membantu dan mendukung. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si selaku Dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M. Selaku Ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik FISIP USU, Bapak Drs. P. Antonius Sitepu, M. Si selaki Sekretaris Departemen Ilmu Politik FISIP USU dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi dukungan dalam perkuliahan dan memberikan banyak bimbingan.


(10)

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Subhilhar, MA yang telah menjadi Dosen Pembimbing selama penulis menyelesaikan skripsi ini atas masukan-masukan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis. Penulus juga mengucapka terimakasih kepada seluruh Dosen Ilmu Politik FISIP USU yang telah berkontribusi terhadap ilmu yang boleh diterima oleh penulis. Terima kasih juga kepada seluruh staf Pegawai Departemen Ilmu Politik yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi kampus.

Penulis secara khusus menguncapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang selama ini mendidik dan membesarkan dengan kasih sayang, yaitu ayahanda L. Siallagan dan Ibunda L. Silalahi. Kepada saudari kami, Dormawati Siallagan, Sonni Fitri Siallagan, S.E dan Erita Lusiana Siallagan, S. Pd yang sudah mengingatkan penulis untuk terus melek dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada Pdt. P. Manurung, M. Min dan Pdt. L. Silalahi, S. Th yang sudah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan tentunya atas doa yang boleh diberikan kepada penulis., dan kepada abang kami Bripka J. Marpaung yang juga mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih kepada seluruh aparat pemerintahan Desa Martoba yang begitu baik menerima kehadiran penulis. Bagi teman-teman kami dari Departemen Ilmu Politik Stambuk 2010 yang telah memberi masukan bagi penulis untuk menulis skripsi ini. Richiyusa (Ria, Uchi, Ayu, Basa) kiranya terus berjaya dalam kehidupan rohaninya begitu juga dengan Kakak Maria Sagala, S. Sos. Tidak lupa untuk sekolah kami SMA Negeri 1 Sungai Penuh, Kerinci, Jambi, karena melalu Bimbingan Konseling saya dijembatani untuk menjadi Mahasiswa di FISIP USU.


(11)

Kiranya tulisan ini dapat memberikan informasi dan tentunya kami berharap kritik yang membangun guna untuk perbaikan-perbaikan hasil karya ilmiah ini, dimana penulis sadar bahwa masih banyak kekuarangan-kekurangan dalam skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Medan,

Basa Siallagan 100906024


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

Abstrak...i

Abstract...iii

Halaman Pengesahan...v

Halaman Persetujuan...vi

Lembar Persembahan...vii

Kata Pengantar...viii

Daftar Isi...xi

Daftat Tabel...xiv

Daftar Gambar...xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...11

C. Batasan Masalah...11

D. Tujuan Penelitian...11

E. Manfaat Penelitian...12


(13)

F. Kerangka Teori...12

F.1. Good Governance...12

F.2. Pembangunan Politik...15

F.3. Politik Anggaran...20

G. Metodologi Penelitian...23

G.1. Metode Penelitian...23

G.2. Lokasi Penelitian...23

G.3. Jenis Penelitian...23

G.4. Teknik Pengumpulan Data...24

G.5. Teknik Analisis Data...24

H. Sistematika Penulisan...25

BAB II : DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian...26

1. ... Kabupaten Samosir...27

2. ... Kecamatan Simanindo...28

3. ... Desa Martoba...30

a. .... Letak Geografis Desa Martoba...30

b. .... Karakteristik Desa Martoba...31

c. .... Kondisi Sosial Budaya Desa Martoba...34


(14)

A. Politik Anggaran Dalam Pembangunan Pemerintahan Desa...44 B. Pembangunan di Desa Martoba...60 C. Ketiadaan Kantor Kepala Desa Martoba...69

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan...77 B. Kritik dan Saran...81 DAFTAR PUSTAKA...83


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Desa Martoba...32

Tabel 2.2 Jumlah Berdasarkan Jenis kelamin...32

Tabel 2.3 Potensi Umum Desa Martoba...33

Tabel 2.4 Jumlah Berdasarkan Etnis...35


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Kabupaten Samosir...27

Gambar 3.1 Kantor Kepala Desa Periode 2004 – 2014...72

Gambar 3.3 Kantor Kepal Desa setelah tidak difungsikan lagi...73


(17)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

BASA SIALLAGAN (100906024)

POLITIK ANGGARAN PEMBANGUNAN DI DESA MARTOBA KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR

Rincian isi skripsi 82 halaman, 13 buku, 4 Perundang-undangan, 1 jurnal, dan 2 situs internet.

ABSTRAK

Penulisan ini menguraikan tentang masalah pembangunan di pemerintahan desa dengan pengelolaan anggaran dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Politik anggaran menjadi kajian dalam melihat proses perencanaan anggaran, penggalokasian anggaran dan tentunya penggunaan angaran dalam hal pembangunan, dimana disini adalah pembangunan pemerintahan desa, yang merupakan struktur pemerintahan terendah yang terdapat di dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Anggaran merupakan perencanaan keuangan, dimana pengajuan terhadap masalah keuangan dalam menjalankan sebuah usaha, dalam konteks ini kita memahami usaha tersbut adalah kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintahan dalam mencapai tujuannya. Sehingga memahami politik anggaran merupakan kekuasaan dalam pengelolaan keuangan, mulai dari perencanaan keuangan, kemudian pendistribusian keuangan, dan pelaksanaan pengelolaan keuangan yang sumber dana berasal dari rakyat yang digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan infrastuktur dimana bertujuan untuk kesejahteraan umum.


(18)

Adanya perencanaan tentunya ada yang ingin dicapai, yakni pembangunan. Banyak hal yang menyangkut pembangunan dalam konteks politik, dari segi ekonomi, partisipasi, infrastruktur, sistem pemerintahan, dan birokrasi. Disini pembangunan menjadi output dari pada politik anggaran, bagaimana kekuasaan yang legitimasi melahirkan kebijakan-kebijakan yang mensejahterakan kehidupan rakyat dalam pengelolaan anggaran yang telah direncanakan benar-benar nyata dapat dirasakan oleh rakyat.

Desa Martoba, sebuah desa yang berda di Sumatera Utara, Kabupaten Samosir, Kecamatan Simanindo, yang berada disepenjang pinggiran Danau Toba dan perbukutan. Dimana pemerintahan desa ini tidak memiliki Kantor Kepala Desa yang permanen. Sehingga ingin diliihat bagaimana Kepala Desa sebagai aktor politik mengelola anggaran yang ada dan melakukan perencanaan anggaran terkait upaya-upaya yang telah dilakukan dan akan dilakukan dalam membangun Desa Martoba terkhusunya pengadaan pembangunan kantor kepala desa yang permanen bagi Desa Martoba.


(19)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

BASA SIALLAGAN (100906024)

POLITIK ANGGARAN PEMBANGUNAN DI DESA MARTOBA KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR

Details of the contents of the thesis 82 pages , 13 books , 4 Legislation , one journal , and 2 internet sites

This writing describes the problems of development in the village government budget management in planning and implementing development . Political budget to study in the budget planning process view , penggalokasian budget and of course the use of budgets in terms of construction , which here is the construction of the village administration , which is the lowest administrative structure contained within the government system in Indonesia .

A budget is a financial planning , where the submission of the financial problems in running a business , in this context we understand serve targeted business activities are organized by the government in achieving its objectives . So that the budget is a political understanding of power in financial management , ranging from financial planning , and financial distribution , and implementation of financial management that the source of funds comes from the people who used to finance the activities of government and infrastructure development which aims for the general welfare .

The presence there of course planning to be achieved , namely the construction . Many matters relating to development in the context of political , economic, participation ,


(20)

infrastructure , system of government , and bureaucracy . Here the output of the development into a political budget , how the legitimacy of power gave birth to policies that create welfare of the people in the management of the planned budget is real can be felt by people .

Martoba village , a village that is arriving in North Sumatra , Samosir , Simanindo District , which is disepenjang edge of Lake Toba and perbukutan . Where is this village administration does not have a permanent Village Head Office . So want diliihat how village chief as a political actor to manage the existing budget and related budgetary planning efforts that have been done and will be done in building construction procurement terkhusunya Martoba village head's office for the Village Martoba permanent .


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Umumnya pemahaman kebanyakan orang terhadap desa adalah sebuah tempat atau daerah yang jauh dari perkotaan, sehingga anggapan terhadap desa merupakan daerah yang penuh dengan ketebelakangan dan kemiskinan, primitif dan merupakan kumpulan manusia yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan sejarah pemerintahan, pemahaman mengenai sosok desa dimaknai berbeda-beda . Secara sosiologi, desa dipahami sebagai daerah pedesaan (rural), kemudian administrasi negara memahami sebagai satuan pemerintahan (Pemerintahan Desa), secara historis dan politik adalah desa sebagai sumber kekuatan dan ketahanan bangsa di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.1

Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, dalam UU No. 6 Tahun 2014 dijelaskan mengenai desa, yakni pada Pasal 1 dikatakan: Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem

1

Biro Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Provinsi SUMUT. 2001. Selayang Pandang Pemerintahan Desa Di Sumatera Utara. Hal. 1.


(22)

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia2; Pemerintahan Desa adala penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia3; Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Desa4; Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.5

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai badan jembatan penghubung antara Kepala Desa dengan masyarakat desa, juga dapat menjadi lembaga yang berperan sebagai lembaga representasi dari masyarakat. sehubungan dengan aspirasi yang datang dari masyarakat, namun tidak semua aspirasi dari masyarakat dapat ditetapkan dalam bentuk peraturan desa tapi harus melalui berbagai proses sebagai berikut: (1) artikulasi adalah penyerapan yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa; (2) agresi adalah proses pengumpulan, mengkaji Peraturan Desa; (3) formulasi adalah proses perumusan Rancangan Peraturan Desa yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa dan/atau Pemerintah Desa; (4) konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dengan masyarakat.6

2

UU Nomor 6 Tahun 2014. Undang-Undang Tentang Desa. BAB I KETENTUAN UMUM. Ayat 1.

3

Ibid. Ayat 2.

4

Ibid. Ayat 3.

5

Ibid. Ayat 4.

6

Sartika Putri Ngadi. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/viewFile/2323/1877.


(23)

Berangkat dari pengertian secara historis dan politik desa menjadi sebuah bagian dari perjuangan dalam menciptakan pembangunan di Indonesia. Tentunya pada masa-masa perebutan kemerdekaan, desa memberi sumbangsih tenaga dalam melawan penjajahan. Namun setelah itu, tentu kita harus menyadari bahwa perjuangan belum selesai. Kehidupan di desa masih perlu dibenahi dengan seksama, yakni dalam upaya pembangunan di desa. Kita harus mengerti betapa pentingnya gerakan untuk menyehatkan dan mentertibkan kehidupan kemasyarakatan bangsa kita, terutama terkait pada anggapan kita terhadap keterbelakangan baik sosial budaya maupun sosial ekonomi, yang sebagian besar hidup di masyarakat pedesaan dan umumnya masih hidup di dalam ikatan tradisi yang kuat. Dan itu masih berlaku hingga saat ini. Memang ada beberapa desa yang kita jumpai telah mengalami pembangunan yang baik, namun tidak sedikit pula desa yang masih butuh perhatian khusus dalam mendorong desa untuk melakukan pembangunan. Perhatian tersebut antara lain meliputi bidang suprastruktur yang terdiri atas pembangunan Pemerintahan Desa, mental spiritual dan sosial budaya maupun pembangunan infrastruktur antara lain pembangunan fisik seperti sekolah, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Pasar Tradisional, dan Kantor Pemerintahan Desa, dimana kebutuhan pembangunan dua hal tersebut ketika diselenggarakan dan dibangun dengan benar, tentu akan menciptakan kehidupan masyarakat yang merdeka, aman, baik, sehat dan sejahtera seperti ide daripada Good Governance.

Hal tersebut dapat dipahami melalui UU Nomor 6 Tahun 2014, dimana pada BAB I KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 8 menyebutkan bahwa : “Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan


(24)

Masyarakat Desa”. Mensejahterakan masyarakat desa tentu harus melibatkan masyarakat desa pula, seperti yang dikatakan pada Ayat 12, yang menyebutkan bahwa : “Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan Masyarakat Desa”.

Terkait pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014, diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, dimana dikatakan bahwa: “untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan Pemerintah Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”.7

Good Governance menjadi gagasan untuk memperbaharui tata Pemerintahan Indonesia dimana terkait pada desentralisasi yang tak lain berdampak baik terhadap pembangunan di desa. Pertama, good governance adalah sebuah kerangka institusional untuk memperkuat otonomi desa, karena secara subtantif desentralisasi dan otonomi desa bukan hanya persoalan pembagian kewenangan antar level pemerintahan tetapi juga berkaitan terhadap kedekatan masyarakat terhadap negara. Good governance adalah basis penyelenggaraan otonomi daerah (desa). Pemerintahan lokal yang kuat dan otonom tidak

7

Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.


(25)

akan bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat lokal jika tidak ditompang oleh tranparansi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi masyarakat. Tanpa good governance, otonomi lokal sama saja memindahkan sentralisasi dan banyak hal yang jelek dari tingkat pusat ke tingkat lokal.8

Kedua, penerapan good governance di level desa merupakan sebuah solusi canggih terhadap bad governance yang sudah lama diwarisi oleh Orde Baru, yaitu sebuah pemerintahan desa yang didominasi oleh kepala desa beserta elite desa. Kurang berbasis pada partisipasi maysarakat serta tidak menjunjung tinggi pada prinsip transparansi, akuntabilitas dan responsivitas.9

Ketiga, pandangan good governance sangat relevan untuk memilah secara tegas antara urusan privat dan publik. Di desa, antara urusan antara privat dan publik sangat kabur karena dibingkai oleh komunalisme. Pandangan good governance tentu tidak dimaksudkan untuk menghancurkan komunalisme di desa. Bagaimanapun komunlisme adalah sebuah identitas dan model pengelolaan relasi sosial antar personal. Tetapi dalam urusan publik (pemerintah), antara empat aktor utama dalam governance (pemerintahan desa, badan perwakilan desa, maysarakat sipil dan masyarakat ekonomi) harus berpilah karena masing-masing mempunyai peran dan kepentingan yang berbeda-beda.

Sehingga dalam upaya mewujudkan pembangunan di desa berjalan dengan baik, dengan terwujudnya beberapa prinsip tersebut.

10

8

Sutoro Eko, dkk. 2002. Pembaharuan Pemerintahan Desa. Yogyakarta: IRE. Hal: 8.

9

Ibid. Hal 9

10


(26)

Keempat, konsep good governance sangat relevan dengan bangkitnya semangat demokrasi maupun tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa yang lebih baik, jujur, bersih, berbawa, bebas KKN, bertanggung jawab dengan praktik-praktik pemerintahan bergaya lama yang birokratis, menggurui, mendikte, tertutup, dan mengabaikan masayarakat.11

Kelima, konsep good governance yang diterapkan secara institusional mampu mengatasi problem pengelolaan kekuasaan dan pemerintahan secara personal di tingkat desa. Pemerintahan desa selalu identik dengan kepala desa secara personal. Kekuasaan personal biasanya rentan manipulasi, korupsi dan tidak terkontrol. Konsep good governance tentu saja dimaksudkan untuk membangun sistem pemerintahan desa yang terlembaga secara impersonal. Kepada desa harus melakukan sharing kekuasaan dan tanggunjawab kepada elemen-elemen lainnya seperti BPD dan masyarakat desa.

Sehingga dengan adanya kekuasaan sediri tanpa ada intervensi dari kekuasaan yang lebih tinggi, tentu pemerintahan desa dapat menyelenggarakan kekuasaanya demi kehidupan masyarakat desanya.

12

Mewujudkan pemerintahan good governance ditingkat pemerintahan desa merupakan tujuan dari pelaksanaan pembangunan di desa. Secara konsep terkait bagaimana good governance menjadi sebuah gagasan dalam melakukan pembangunan pemerintahan di desa telah diuraikan diatas. Tentu dalam pelaksanaan pembangunan di desa, Pemerintah Indonesia memberikan anggaran dalam pembangunan ditingkat lokal. Namun dalam penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana desa sebagai pemerintahan yang terkecil

11

Ibid.

12


(27)

mengelola angaran-anggaran desa dalam melakukan pembangunan. Sehingga yang akan dilihat adalah politik anggaran di desa.

Anggaran bukan sekedar masalah teknis, melainkan lebih merupakan alat politik. Karena anggaran disusun tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan teknis ataupun melalui hitungan-hitungan ekonomi semata, tetapi lebih dari itu anggaran disusun berdasarkan sebuah terjemahan dari visi dan misi Kepala Desa yang terpilih di desa dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan desa. Hal ini dilihat dari yang dikemukakan oleh Aaron Wildvsky (1961) yang menyatakan bahwa penganggaran lebih dari mengatasi sumber daya langka antara X dan Y, tetapi yang lebih penting adalah mempertemukan berbagai kebutuhan masyarakat yang saling berbenturan melalui proses kompromi dalam proses politik.13

Terkait mengenai sistem anggaran desa, dapat melihat Peraturan Pemerintah Nomor 43 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur bagaimana pengelolaan Keuangan Desa yakni penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa didanai oleh APB Desa; Penyelenggaraan keweangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud terhadap Penyelenggaraan kewenangan lokal berskala Desa selain didanai oleh APB Desa, juga dapat didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah; dana anggaran pendapatan dan belanja negara dialokasikan pada bagian anggaran kementerian/lembaga dan disalurkan melalui satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota;

13

Agus Riyanto. 2012.”Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah: Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008-2010”. Dalam SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional. Vol. 12 Nomor 2, Juli 2012. Hal. 5-6.


(28)

penyelenggaraan kewenangan Desa yang ditugaskan oleh pemertintah daerah didanai oleh anggaran pendapatan daerah dan belanja daerah.14

Untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan Politik Anggaran dalam skala pemerintahan desa, maka peneliti mengambil lokasi Desa yakni di Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan judul tentu dikarenakan adanya masalah, dimana peneliti melihat masalah pada Pembangunan di Desa Martoba. Dimana didapati bahwa Desa Martoba tidak memiliki Kantor Kepala Desa yang tetap/permanen, tentu ini menjadi sebuah masalah dalam pembangunan di desa. Menjadi daya tariknya adalah, desa merupakan pemerintahan dalam skala kecil di Negara Indonesia yang notabene merupakan sebuah sistem pemerintahan yang demokrasi layaknya negara, hanya saja desa lebih kecil dan lebih sederhana. Tentu dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintahan desa dimana pemimpinnya adalah Kepala Desa beserta perangkat desa bekerja dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya membutuhkan tempat/gedung sebagai penyelenggaraan birokrasi guna memenuhi kebutuhan administrasi masyarakat. Sehingga dengan masalah yang muncul tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana proses penganggaran di Desa Martoba sehingga penelitian ini dikaji berdasarkan Politik Anggaran di Desa tersebut.

Adapun desa-desa yang ada di Kabupaten Samosir diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Desa Di Kecamatan Simanindo, Sinajur Mula-Mula, Nainggolan, Palipi, Sitio-tio dan Kecamatan Harian.

14

Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. BAB VI KEUANGAN DAN KEKAYAAN DESA Bagian Kesatu Keuangan Desa Paragraf 1 Umum Pasal 90. Ayat 1-5.


(29)

Adapun bentuk dari struktur pemerintahan Desa adalah sebagai berikut:

Sumber: diolah dari berbagai sumber

B. Rumusan Masalah

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa tentu harus difasilitasi dengan perangkat-perangkat yang mendukung pelaksanaan pembangunan di desa, dengan ketidakadaannya Kantor Kepala Desa yang permanen, tentu menjadi masalah dalam pembangunan di desa.


(30)

Maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah bagaimana Politik Anggaran di Desa Martoba dalam Pembangunan Desa terkait dalam ketidakpemilikan Kantor Kepala Desa yang tetap di Desa Martoba Kecamatan Simanindo?

C. Batasan Masalah

Penelitian ini membatasi masalah yakni dimana peneliti melihat indikator ketiadaan Kantor Kepala Desa yang tetap/permanen menjadi sebuah masalah pembangunan politik di Desa Martoba, dimana akan melihat bagaimana Politik Anggaran yang ada di Desa Martoba tersebut terkait Pembangunan di Desa, terkhususnya pada upaya dalam pengadaan Kantor Kepala Desa.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan daripada penelitian ini adalah melihat bagaimana mekanisme politik dalam menentukan anggaran di Desa Martoba.

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Akademis, penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan di Bidang Ilmu Politik khususnya dalam kajian mengenai Pemerintahan di Desa.

2. Secara Praktis, dapat menjadi bahan kajian dan literatur daftar kepustakaan yang hendak meneliti mengenai Pemerintahan di Desa, dan/atau sekedar menjadikan bahan bacaan dalam melaksanakan kegiatan di Pemerintahan di Desa .

3. Bagi Penulis, sarana pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan melatih untuk menulis sebuah karya ilmiah yang penting bagi akademisi terkhususnya dalam bidang Ilmu politik.


(31)

F. Kerangka Teori

Teori dapat kita pahami sebagai generalisasi sebuah fenomena dari interaksi-interaksi yang muncul yang menarik untuk dipahami secara konsep yang terstruktur, menjadi sebuah alat kajian terhadap suatu peristiwa guna membantu kita dalam meliihat dan menganalisa sebuah fenomena, dimana akan dipahami sebagai sebuah sebab-akibat terhadap fenomena tersebut. Teori selalu memakai konsep-konsep, konsep lahir dari dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.15

F.1 Good Governance (Pemerintahan Yang Baik)

Tentunya teori sangat membantu peneliti dalam menganalisis masalah yang menjadi penelitiannya. Sehingga penelitian ini, teori-teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan yang diteliti oleh peneliti adalah:

Good governance atau tata pemerintahan yang baik adalah sebuah perspektif yang relevan digunakan untuk menciptakan sebuah pembaharuan pemerintahan, termasuk juga pemerintahan desa. Governance merupakan cara pandang baru untuk menggantikan paradigma lama Goverment. Cara pandang Goverment secara konvensional memandang bahwa sebuah negara adalah segala-galanya atau lembaga yang sangat kuat, sentral dan superior. Sementara, Governance memandang bahwa negara (pemerintah) dan masyarakat berada dalam posisi sejajar yang secara bersama-sama dan belajar mengelola pemerintahan. Dimana perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di bawah batasan internal maupun eksternal yang merupakan jantung

15


(32)

Governance. Dapat dipahami bahwa good governance adalah melibatkan masyarakat dalam proses pemerintah.16

Perhatian good governance adalah pengelolaan negara yang bersandar pada empat dimensi ganda:

1. Kekuasaan-kewenangan. 2. Pertukaran-resiprositas. 3. Akuntabilitas-inovasi. 4. Kepercayaan-kerelaan.

Keempat dimensi ini tidak saja dimainkan sendiri oleh tangan-tangan negara, melainkan melibatkan elemen-elemen masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi.17

Pandangan good governance itu juga mengedepankan beberapa argumen yang meninjau ulang peran negara dalam mengelola masyarakat dan ekonomi. Pertama, negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara yang mempunyai kapasitas-kapasitas memadai untuk memoblisasi aktor-aktor masyarakat untuk mencapai tujuan besar.

Kedua, negara bukan lagi sentrum kekuasaan formal tetapi sebagai sentrum kapasitas politik. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari “kekuasaan atas” (power over) menuju “kekuasaan untuk” (power to). Ketiga, negara harus berbagi kekuasaan dan

16

Sutoro Eko, dkk. Pembaharuan Pemerintahan Desa, op. Cit. Hal. 7-8.

17


(33)

peran pada tiga level : “keatas” pada organisasi internasional; “kesamping” pada NGO dan swasta; “kebawah” pada dan masyarakat lokal.

Keempat, negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom, dan dinamis. Kelima, negara harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan pemberian pelayanan publik. Keenam, penyelenggara negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas publik.18

Pandangan baru tentang peran dan kapasitas negara itu merupakan basis untuk memahami good governance. George Heyden (1992)19

1. Partisipasi warga negara dalam proses politik (partisipasi politik, agregasi politik dan akuntabilitas publik).

, mengidentifikasikan tiga dimensi empirik good governance:

2. Kepemimpinan yang responibel dan responsif (penghormatan terhadap warga, keterbukaan pembuatan keputusan dan menjunjung tinggi rule of law).

3. Responsitas sosial masyarakat (kesetaraan politik, toleransi antar kelompok dan inklusivitas keanggotaan asosiasional).

18

Sutoro Eko, dkk. Pembaharuan Pemerintahan Desa, op. Cit.

19


(34)

Good governance lebih populer dipahami sebagai pengelolaan pemerintahan yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan responsivitas, rule of law, serta berbasis pada partisipasi masyarakat.

F. 2 Pembangunan Politik

Beberapa pengertian mengenai pembangunan politik sebagai sebuah teori yang terus berkembang dimana merupakan pencapaian tujuan-tujuan kebijaksanaan umum. Pertama, pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi. Masalah-masalah pertumbuhan yang swasembada, ahli-ahli ekonomi dengan cepat menunjukkan bahwa kondisi-kondisi sosial dan politik dapat memainkan peranan penentu yang dapat menghalangi ataupun membantu peningkatan pendapatan per kapita. Sehingga pantaslah bila pembangunan politik dipandang sebagai keadaan masyarakat politik yang dapat membantu jalannya pertumbuhan ekonomi.20

Secara pelaksanaan pandangan pembangunan politik seperti itu dipandang negatif, sebab lebih mudah bagi kira untuk dengan mengetahui prestasi sistem politik yang mungkin menghalangi atau menggagalkan perkembangan ekonomi daripada menjelaskan bagaimana sistem politik itu membantu pertumbuhan ekonomi itu. Pertumbuhan ekonomi bisa terjadi dalam berbagai macam sistem politik dengan berbagai macam kebijaksanaan umum yang ditempuh.

Kedua, pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri. Dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi, menyangkut pandangan abstrak mengenai

20

DR. Yahya Muhaimin, DR. Colin MacAndrews. 1988. Masalah-Masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal: 5-6.


(35)

jenis khas kehidupan politik yang mendasari masyarakat industri maju. Asumsinya adalah bahwa kehidupan masyarakat industri menciptakan tipe kehidupan politik tertentu kurang lebih umum dan dapat ditiru oleh masyarakat maupun, baik yang sudah menjadi masyarakat industri atau belum. Menurut pandangan ini, masyarakat industri, baik yang demokratis atau bukan, menciptakan standar-standar tertentu mengenai tingkah laku dan prestasi politik yang dapat menghasilkan keadaan pembangunan politik dan yang merupakan contoh dari tujuan-tujuan pembangunan yang cocok bagi sistem politik. Dengan demikian beberapa khas pembangunan politik merupakan pola tertentu dari tingkah laku pemerintah yang rasionil dan bertanggung jawab, yaitu penghindaran dari tindakan yang dapat mengancam kepentingan dari golongan masyarakat yang penting, kesadaran akan batas-batas kedaulatan politik, penghargaan terhadap nilai-nilai administrasi yang teratur dan prosedur hukum, pengakuan bahwa politik adalah suatu mekanisme pemcahan masalah dan bukannya tujuan itu sendiri, penekanan pada program-program kemakmuran dan tentunya terhadap kesediaan menerima suatu bentuk partisipasi massa.21

Ketiga, pembangunan politik sebagai modernisasi politik. Pandangan bahwa kehidupan politik merupakan kehidupan politik yang khas dan ideal dari masyarakat industri berkaitan erat dengan pandangan bahwa pembangunan politik sama dengan modernisasi politik. Negara-negara maju adalah pembuat mode dan pelopor dalam hampir setiap segi kehidupan sosial dan ekonomi, karena itu dapat dimengerti bila banyak orang yang mengharapkan bahwa hal seperti itu terjadi juga dalam dunia politik.22

21

Ibid.

22


(36)

Keempat, pembangunan politik sebagai pembangunan adminstrasi dan hukum. Tentu saja tidak ada negara yang disebut maju, jika negara sama sekali tidak memiliki kesanggupan untuk menangani masalah-masalah masyarakat secara efektif. Sehingga tidak hanya perbaikan dari segi adminisrasi, dan apabila administrasi saja yang dianggap penting, tentu akan menimbulkan ketimpangan dalam kehidupan politik yang dapat menghalangi pembangunan politik. Pembangunan politik yang hanya diartikan sebagai perbaikan administrasi akan melupakan sama sekali pendidikan kewarganegaraan dan partisipasi masyarakat, dimana dua hal ini jelas merupakan segi-segi penting pembangunan politik.23

Keenam, pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi. Dimana dimaksudkan bahwa pembentukan lembaga-lemabaga dan praktek-praktek demokratis. Umumnya, asumsi bahwa satu-satunya bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan demokrasi. Bahkan ada orang yang menekankan pentingnya hubungan ini dan berpendapat bahwa pembangunan baru bermakna bila dikaitkan dengan suatu ideologi tertentu, apakah itu demokrasi, komunisme, ataupun totaliterisme.24

Ketujuh, pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan teratur. Pandangan ini dapat dibatasi terutama pada dunia politik sebab suatu masyarakat yang proses politiknya secara rasionil dan terarah mampu menyelenggarakan dan mengendalikan perubahan sosial, dan bukan hanya menanggapinya saja, jelas lebih maju dari pada masyarakat yang proses politiknya merupakan korban kekuatan sosial dan ekonomi yang mengendalikan nasib rakyatnya. Kita dapat memandang pembangunan politik tergantung pada kesanggupan

23

Ibid. Hal. 10.

24


(37)

untuk mengendalikan atau dikendalikan oleh perubahan sosial. Tolak ukur untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan sosial itu adalah kesanggupan untuk memelihara ketertiban.25

Kedelapan, pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan. Pandangan ini membawa kita pada konsep bahwa sistem-sistem politik dapat dinilai dari sudut tingkat atau kadar kekuasaan yang dapat dimobilisir oleh sistem itu. Beberapa sistem yang bisa atau tidak bisa menciptakan kestabilan tampaknya akan berjalan dengan kadar kekuasaan yang amat kecil dan para pembuat keputusan yang berwenang hampir tak berdaya sama sekali untuk memprakarsai dan mencapai tujuan-tujian kebijaksanaan umum. Bila pembangunan politik diartikan sebagai mobilisasi dan peningkatan kekuasaan dalam masyarakat, dapatlah kita membedakan antara tujuan pembangunan kekuasaan dengan ciri-ciri yang biasanya diletakkan pada pembangunan. Ciri-ciri tersebut dapat diukur dan tentunya bisa disusun indeks-indeks pembangunan. Item-item dalam indeks seperti itu bisa meliputi: pengaruh dan penetrasi media massa yang diukur berdasar sirkulasi surat kabar dan distribusi pemilikan radio basis perpajakan masyarakat, proporsi orang yang duduk dalam pemerintahan dan distribusinya dalam berbagai kategori kegiatan, proporsi dari alokasi sumber-sumber untuk pendidikan, pertahanan, dan kesejahteraan sosial.

Kesembilan, pembangunan politik sebagai suatu segi proses perubahan sosial yang multidimensi. Pandangan bahwa pembangunan politik bagaimanapun juga punya hubungan erat daris segi-segi perubahan sosial dan ekonomi yang lain. Setiap item yang mungkin relevan dalam menerangkan potensi kekuasaan suatu negara tentu juga akan mencerminkan

25


(38)

keadaan ekonomi dan tatanan sosialnya. Selanjutnya bisa ditambahkan argumen bahwa tidak perlu dan tidak wajar untuk mencoba mengisolir sama sekali pembangunan politik dari bentuk pembangunan lainnya. Meskipun secara terbatas dunia politik hanya bisa dipisahkan dari masyarakat, namun pembangunan politik hanya bisa berjalan dalam konteks proses perubahan sosial yang multidimensi di mana tidak ada bagian atau sektor masyarakat yang terlalu jauh tertinggal.26

F.3 Politik Anggaran

Menurut Mulyadi (1993), pengertian anggaran adalah suatu rencana kerja yang dinyatakan secara kuantitatif yang diukur dalam satuan moneter standar dan satuan lain yang mencakup jangka waktu satu tahun.27 Dan menurut Edwards (1959), istilah anggaran dalam Bahasa Inggris adalah budget berasal dari Bahasa Perancis “bougette” yang berarti tas kecil. Secara historis istilah itu muncul merujuk pada peristiwa tahun 1733 ketika Menteri Keuangan Inggris menyimpan proposal keuangan pemerintah yang akan dilaporkan kepada parlemen dalam sebuah tas kulit kecil. Anggaran umumnya dibuat dalam jangka pendek, yaitu dalam durasi waktu satu tahunan atau kurang. Namun tidak jarang juga dijumpai anggaran yang dibuat dalam jangka menengah (2-3 tahun) dan anggaran jangka panjang (3 tahun lebih).28

Politik berasal dari Bahasa Yunani “polis” berarti “kota” atau “negara kota”. Dari kata

26

Ibid. Hal. 15.

27

Nanda Hapsari A. R. 2011. Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Komitmen Organisasi Dan Locus Of Control Sebagai Variabel Moderating.

http://eprints.undip.ac.id/26440/2/jurnal.pdf diakses tanggal 30 Mei 2014. Pukul : 19:59 WIB. Hal. iv.

28


(39)

berarti “kewarganegaraan”.29 Berkaitan dengan Politik Anggaran terdapat beberapa definisi yaitu antara lain30

a. Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan didistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk peningkatan pelayanan publik.

:

b. Politik anggaran adalah proses saling mempengaruhi di antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam menentukan skala prioritas pembangunan akibat terbatasnya sumber dana yang tersedia.

c. Politik anggaran adalah proses mempengaruhi kebijakan alokasi anggara yang dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan anggaran.

d. Politik anggaran adalah proses penegasan kekuasaan atau kekuatan politik antara berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan maupun alokasi anggaran.

Maka dalam hal melihat bagaimana politik anggaran, peneliti menggunakan pemahaman anggaran menurut Musgrave, dimana Ia telah menidentifikasikan tiga fungsi anggaran :

1. Pertama, fungsi alokasi. Anggaran merupakan instrumen pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa masyarakat, dalam konteks Indonesia fungsi alokasi

29

Rudi Salam Sinaga, S.Sos. M.Si. 2013. Pengantar Ilmu Politik Kerangka Berpikir Dalam Dimensi Arts, Praxis Dan Policy. Yogyakarta : Graha Ilmu. Hal. 1.

30

Agus Riyanto. 2012.”Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah: Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008-2010”. Dalam SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional. Vol. 12 Nomor 2, Juli 2012. Hal. 4-5


(40)

sering disebut “belanja publik”, karena alokasi anggaran untuk memenuhi pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, perumahan.

2. Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan instrumen untuk membagi sumberdaya dan pemanfaatannya kepada masyarakat secara adil. Fungsi ini bertujuan untuk menanggulangi kesenjangan sosial-ekonomi.

3. Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran negara tentu akan mempengaruhi agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Anggaran menjadi instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi yaitu penciptaan lapangan pekerjaan.31

G. Metodologi Penelitian

G.1 Metode Penelitian

Dalam memahami permasalahan penelitian ini digunakan metodologis yang deskriptif (menggambarkan atau melukiskan). Penelitian deskriptif adalah cara dalam memelihat dan memecahkan masalah dengan melihat data dan fakta dari fenomena dimasa kekinian. Kemudian data dan fakta dianalisa dengan mendeskripsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fenomena yang terjadi.

G.2 Lokasi Peneltian

Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.

31

Fathur Rahman, 2011, “Politik Anggaran Pendidikan Yang Minus Keberpihakan”, dalam Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 2, Nomor 1, Februari 2011. Hal 4-5.


(41)

G.3 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dimana peneliti berupaya menggambarkan data yang diperoleh berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, dimana pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan dan masalah penelelitian. Oleh karen itu dibutuhkan informan kunci (key informan) yakni Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Masyarakat, dengan wawancara dimana pertanyaan-pertanyaan wawancara yang telah disusun.

G.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data Primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan. Dilakukan dengan metode wawancara mendalam yang di pandu dengan pedoman wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan masalah penelitian

Kepala Desa : Bapak Nasib Silalahi Mantan Kepala Desa : Bapak Jaoloan Silalahi

b. Data Sekunder, merupakan data yang diperoleh baik yang belum di olah maupun yang telah di olah baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, Undang-Undang, arsip dan sebagainya yang berupa dokumen.


(42)

G. 5 Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan data penelitian ini adalah teknik analisa kualitatif, dimana hasil analisa berdasarkan data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder. Analisa yang dilakukan berdasarkan data deskriptif dari lapangan dimana data diperoleh kejelasan dan permasalahan telah dirumuskan sebelumnya, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

H. Sistematikan Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang pemilihan judul dan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Pada bab ini akan menguraikan gambaran lokasi penelitian sebagai sumber penelitian studi analisis yaitu Desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Pada bab ini akan memuat data dan analisa data yang di dapat dari hasil penelitian yang dilakukan terkait permasalahan yang menjadi masalah penelitian.


(43)

BAB IV KESIMPULAN DAN PENUTUP

Pada bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.

BAB II

DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN


(44)

1. Kabupaten Samosir.

Letak Kabupaten Samosir secara geografis terletak pada 20,24 – 20,25 Lintang Utara dan 980,55 – 990,55 BT. Pada tahun 2005, jumlah penduduk Kabupaten Samosir sebanyak 130.568 jiwa32. Kabupaten Samosir adalah hasil pemekeran dari induknya Kabupaten Toba Samosir yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Berdagai di Provinsi Sumatera Utara yang diresmikan pada tanggal 7 Januari 2004. Kabupaten Samosir sebagai salah satu Kabupaten baru di Provinsi Sumatera Utara dengan wilayah administrasi pemerintahan sebanyak 9 Kecamatan, 111 Desa serta 6 Kelurahan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun. Sebelah Timur : Kabupaten Toba Samosir.

Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan.

Sebelah Barat : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

Luas wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha, dimana terdiri dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha dan batas di kawasan Danau toba secara proposional belum ada ketentuan yang pasti. Sebagian besar

penduduk Kabupaten Samosir menggant33

32

Pemerintahan Kabupaten Samosir melalui situs resmi www.samosirkab.go.id diakses pada 26 Agustus 2014 Pukul 09.58 WIB.

33


(45)

Gambar 2.1


(46)

Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Samosir

2. Kecamatan Simanindo

Kecamatan Simanindo berada di Tepi Danau Toba, dimana secara letak geografis Simanindo berada pada 2˚32’ - 2˚45’ Lintang Utara dan 98˚44’ - 98˚50’ Bujur Timur. Luas Kecamatan Simanindo 198,20 km², dengan 20 desa. Kecamatan Simanindo dapat dicapai dalam waktu 45 menit dengan menggunakan kapal Ferry dan 30 menit menggunakan kapal kecil dari Parapat menuju Tomok.


(47)

Sebelah Utara : Danau Toba, Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun

Sebelah Timur : Kota Pangururan, Kecamatan Palipi, Kabupaten Toba Samosir.

Sebelah Selatan : Onan Runggu, Balige, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan.

Sebelah Barat : Sianjur Mula-mula, Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat.

Kecamatan Simanindo merupkan kecamatan yang cukup penting di Samosir, dikarenakan melalui kecamatan inilah jalur lintas dari Parapat, beberapa desa yang berada di Kecamatan Simanindo merupakan desa yang menjadi tujuan para pengunjung untuk berwisata budaya, juga sebagai salah satu pasar yang menjadi tujuan Masyarakat Samosir untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian.


(48)

Struktur Organisasi Pemerintahan Kecamatan Simanindo

Kabupaten Samosir

Sumber : Profil Kecamatan Simindo

3. Desa Martoba

Penamaan Desa Martoba bukanlah karena desa ini terletak di tepi Danau Toba, melainkan desa ini merupakan penggabungan dari tiga desa, yakni Desa Martahan, Desa Tolping dan Desa Batu-batu. Singkatan nama Martoba merupakan penggalan dari tiap-tiap nama desa yang digabungkan tersebut (Martahan Tolping BAtu-batu). Sebelumnya Desa Martoba

C A M A T

V. SIDABUTAR, S.H

DESA KELURAHAN KASI PELAYANAN UMUM T. NAINGGOLAN KASI PMD/K KESRA E. MANURUNG TANTRIB - PEMERINTAHAN R.MANULLANG

SUB BAG PEP -

SUB BAG UMUM -

SEKRETARTIS CAMAT

H PURBA JABATAN


(49)

merupakan Desa Tolping yang menyebabkan hingga kini desa ini masih dikenal dan disebut dengan Tolping.

Pada Tahun 1994, Kepala Desa yang pada saat itu dipimpin oleh Bapak Silalahi bersama dengan aparat desa mengusulkan untuk dilakukannya penggabungan tiga desa tersebut (Desa Maertahan, Desa Tolping dan Desa Batu-batu). Sehingga, pada Tahun 1994 Pemerintahan Desa mulai dijalankan dengan nama Desa Martoba dibawah kekuasaan Bapak Silalahi. Hingga berakhir kekuasaanya diawal Tahun 2014, digantikan oleh Bapak Nasib Silalahi.

1. Letak Geografis Desa Martoba

Secara geografis, Desa Martoba terletak ditengah-tengah Kecamatan Simanindo, dengan luas wilayah 16,179 ha/m². Desa Martoba merupakan jalan lintas menuju Kota Pangururan yang merupakan ibukota dari Kabupaten Samosir, bila melewati pelabuhan Ajibata yang berada di Parapat, dan pelabuhan yang ada berada di Kecamatan Simanindo adalah pelabuhan Tomok. Rumah penduduk berdiri sepanjang jalan, sehingga kondisi Desa ini berada di pinggiran pantai Danau Toba dan pada pinggiran pegunungan.

Batas wilayah Desa Martoba:

Sebelah Utara : Desa Marlumba, Kecamatan Simanindo.

Sebelah Selatan : Desa Unjur, Kecamatan Simanindo.


(50)

Sebelah Barat : Kecamatan Ronggur Ni Huta.

2. Karakteristik Desa Martoba

Desa Martoba terdiri dari 3 (tiga) dusun, diantaranya Dusun 1 Holang-holang dengan jumlah penduduk 365 jiwa (198 KK), Dusun 2 Tolping dengan jumlah penduduk 379 jiwa (104 KK) dan Dusun 3 Lumban Pamonangan berpenduduk 170 jiwa (44 KK).

Jumlah Penduduk Desa Martoba berdasarkan jenis kelamin yang terdapat di tiap-tiap dusun.

Tabel 2.1

Jumlah Penduduk Desa Martoba

Jenis Kelamin

Nama Dusun

(1) Holang-holang (2) Tolping (3) Lumban Pamonangan

Laki-laki 167 177 88

Perempuan 198 202 82

Jumlah 375 389 184


(51)

Dilihat dari tabel diatas bahwa tiap-tiap dusun di Desa Martoba, sedikit di dominasi oleh banyaknya jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Namun, pada Dusun 3 Lumban Parmonangan dapat dilihat bahwa lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki.

Sehingga dapat diakumulasikan jumlah penduduk di Desa Martoba berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2

NO JENIS KELAMIN BANYAK JIWA

1 Laki-laki

465 2 Perempuan

492

3 Jumlah 948

Sumber: Profil Desa Martoba Tahun 2012

Sama seperti perbandingan di dua dusun, bahwa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki di Desa Martoba, dengan jumlah Kepala Keluaraga adalah 236 KK dan kepadatan penduduknya 2,25/km.

Secara geografis, kondisi letaknya Desa Martoba adalah berada diantara perbukitan dan Danau Toba yang menyebabkan aktivitas perekonomian di desa tersebut dengan mengelola sumber daya alam yang ada di desa. Sebagian besar penduduk desa mengelola tanah yang berada pada kaki bukit dengan bercocok tanam, karena sebagian besar masyarakat asli Desa Martoba memiliki lahan sendiri untuk mereka kelola. Berikut luas potensi umum yang dimiliki oleh Desa Martoba :


(52)

Tabel 2.3

NO POTENSI UMUM LUAS

1 Pemukiman 1,013 ha/m²

2 Persawahan 0,36 ha/m²

3 Kuburan 0,24 ha/m²

4 Pekarangan 3,006 ha/m²

5 Taman 0,001 ha/m²

6 Prasarana Umum Lainnya 0,68 ha/m²

7 Perkebunan 5,88 ha/m²

8 Luas Wilayah 16,179 ha/m²

Sumber : Profil Desa Martoba Tahun 2012

Bagian Timur Desa Martoba merupakan Danau Toba yang juga dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan sehari-hari dan juga dimanfaatkan sebagai mata pencaharian dengan membuat keramba dan menjala ikan yang ada di Danau Toba tersebut. Tapi secara umum, dapat dilihat bahwa penduduk lebih banyak bertani dibandingkan nelayan. Berdasarkan data dari Profil Desa Martoba Kecamatan Simanindo Pemerintahan Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang memiliki tanah pertanian adalah sebanyak 192 Keluarga. Pemilik tanah yang dimanfaatkan untuk bertani biasanya mereka kelola sendiri, pertanian itu biasanya berupa


(53)

kacang, jagung, bawang, padi dan ubi. Sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki tanah namun bertani adalah mereka yang diupah untuk mengelola tanah pertanian pemilik tanah dari masa pembibitan hingga masa panen.

3. Kondisi Sosial Budaya

Mayoritas penduduk di Desa Martoba adalah etnis Batak Toba, dimana merupakan penduduk asli dengan budaya Toba. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Batak, dan penduduk desa masih kesulitan untuk menggunakan Bahasa. Berikut beberapa etnis yang ada di Desa Martoba :

Tabel 2.4

NO ETNIS JENIS KELAMIN JUMLAH

LK Pr

1 Batak Toba 452 478 933

2 Nias 1 2 3

3 Jawa 9 6 15

TOTAL JUMLAH

948

Sumber : Profil Desa Martoba Tahun 2012

Demikian juga dengan agama, bahwa agama mayoritas di Desa Martoba adalah Kristen Protestan. Agama Kristen Protestan menjadi identitas kedua penduduk Desa Martoba setelah etnisnya. Berikut data jumlah pemeluk agama yang ada di Desa Martoba :


(54)

Tabel. 2.5

Jumlah Pemeluk Agama di Desa Martoba :

NO AGAMA JENIS KELAMIN JUMLAH

LK Pr

1 Kristen Protestan 453 454 852

2 Khatolik 8 10 18

3 Islam 10 13 23

TOTAL JUMLAH 948

Sumber : Profil Desa Martoba Tahun 2012

Berdasarkan data yang disajikan diatas, menunjukkan bahwa Desa Martoba memang masih di dominasi oleh penduduk yang beragama Kristen Protestan. Oleh karenanya, di Desa Martoba dan demikian juga dengan etnik Batak Toba yang sangat dikenal dengan penganut Kristen Protestan yang besar, dan tentunya agama dan budaya terlihat berdampingan, saling membangun kehiudupan di Desa Martoba yang mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik.

Penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintahan desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Sehingga dalam penyelenggaraannya terdapat dua lembaga yakni:


(55)

pemerintahan desa dan BPD. Dalam pelaksanaanya BPD berfungsi dalam menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, manampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.34

Adapun wewenang yang dimiliki oleh BPD adalah sebagai berikut:

a. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;

b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;

c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa; d. Membentuk panitia pemilihan kepala desa;

e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan

f. Menyusun tata tertib BPD.

Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa yang bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan sistem musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari katua rukun warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah selama 6 (enam) tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.35

34

Hanif Nurcholis. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 77.

35


(56)

Demikian pada Desa Martoba, terdapat 5 (lima) orang sebagai anggota BPD. Jumlah ganjil paling sedikit seperti yang telah ditetapkan untuk jumlah anggota BPD. Kelima orang tersebut adalah Bapak Sopar Rumahorbo, Bapak Aron Silalahi, Bapak Renson Samosir, Bapak Rijen Silalahi dan Bapak Horas Sihaloho.

Pimpinan BPD terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua dan 1 (satu) orang sekretaris. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat BPD uang diadakan secara khusus. Rapat pemilihan pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Dibawa ini merupakan struktur Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pemerintahan Desa Martoba :

Selain memiliki wewenang, tentunya BPD memiliki hak, dan hak anggota yang menjabat sebagai anggota BPD, diantaranya adalah sebagai berikut :

BPD mempunyai hak :

a. Meminta keterangan kepada pemerintahan desa; dan b. Menyatakan pendapat.

Anggota BPD mempunyai hak : a. Mengajukan rancangan peraturan desa; b. Mengajukan pertanyaan;

c. Menyampaikan usul dan pendapat; d. Memilih dan dipilih; dan


(57)

Berikut yang merupakan kewajiban yang dimiliki oleh setiap anggota BPD dalam menjalankan tugas, adalah sebagai berikut :

a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;

c. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatua Republik Indonesia;

d. Menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; e. Memproses pemilihan kepala desa;

f. Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; g. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat; dan

h. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.36

Keberadaan BPD tentunya merupakan parlemen bagi desa dan diharapkan menjadi wadah bagi masyarakat desa dalam kegiatan-kegiatan publik dan proses pemuatan kebijakan-kebijakan Pemerintahan Desa. Dalam perjalanannya, BPD dan Pemerintahan Desa tidak lepas dari konflik. Pertama, keberadaan BPD menjadi pembatas kekuasaan sentral kepala desa dimana pada masa Orde Baru, kepala desa memiliki kekuasaan yang sentral, sehingga ketika adanya BPD sebagai pengawas memiliki posisi yang saling berhadapan secara antagonis atau bertentangan. Kedua, karena BPD sebagai pengawas sehingga kepala desa yang dahulu memiliki kekuasaan yang sentral dan tidak dapat semena-mena, maka tidak jarang ditemui adanya kolusi atau kolaborasi yang melahirkan konsentrasi

36


(58)

kekuasaan politik. Ketiga, BPD dan kepala desa menjadi kekuasaan yang saling berkompromi, sehingga melahirkan perdamaian atas konflik dilapisan masyarakat.37

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

Martoba

37


(59)

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Badan Permusyawaratan


(60)

BAB III

POLITIK ANGGARAN DESA MARTOBA

Semenjak berdirinya Pemerintahan Desa Martoba, yakni pada Tahun 1994, dimana pertama kali diselenggarakannya Pemilu Kepala Desa. Secara adminstatif sebelum disahkannya desa ini menjadi Desa Martoba, dikenal dengan nama Desa Tolping. Berdasarkan usulan Bapak Jaoloan Silalahi, agar Desa Tolping digabungkan dengan Desa yang berada dekat atau bertetangga dengan Desa Tolping, yakni desa tersebut adalah Desa Martahan dan Desa Batu-batu.

Penggabungan desa-desa inilah yang menjadi cikal bakal nama Desa Martoba. Martahan, Tolping dan Batu-batu, desa-nya digabung, dengan penamaan desa baru yang digabung pula dari nama-nama desa sebelumnya. Oleh karena itu pula, pada Tahun 1994 dimulai anggaran desa yang baru.

Desa sebagai satuan pemerintah terendah yang kekuasaannya bersumber dari rakyat, untuk menjalankan dan menciptakan pemerintahan desa yang efisien, dimana diberikan tugas-tugas pembangunan yang merupakan prioritas dalam melaksanakan pemerintahan desa. Menjadi sorotan adalah, dalam pembangunan tentu kegiatan perencanaan menjadi angenda yang harus dikerjakan. Salah satunya yaitu perencanaan dalam hal keuangan, dimana anggaran merupakan salah satu tahap yang harus dilalui dalam perencanaan keuangan terutama sebagai pedoman dalam mengelola keuanggannya. Anggran dipahami sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu institusi atau lembaga tertentu untuk masa periode di waktu yang akan datang. Dalam pengertian


(61)

anggaran secara umum terdapat beberapa pengertian, salah satunya adalah anggaran negara. Anggaran negara adalah suatu pernyataan tentang perkiraan pengeluaran dan pendapatan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa akan datang, serta data dari pengeluaran dan pendapatan yang sesungguhnya sudah terjadi. Dalam hal yang sama untuk menjelaskan anggaran daerah dan desa, dimana daerah memuat ruang lingkup yang lebih kecil, begitu pula dengan desa tentunya ruang lingkupnya jauh lebih kecil dari negara dan daerah.

Oleh karena itu, pembagunan dapat kita lihat dari, bagaimana perencanaan anggaran di buat. Dalam hal ini, memahami kemampuan keuangan dan Sumber Daya Manusia dalam mengerjakan pembangunan tentunya menjadi aspek yang penting untuk melihat output daripada perencanaan yang sudah direncakan. Keseimbangan antara perencanaan anggaran dengan apa-apa saja yang akan menjadi perencanaan pembangunan.

Anggaran menjadi perihal yang penting dalam menjalankan pemerintahan, dimana anggaran digunakan untuk mengatur alokasi belanja pengadaan barang dan jasa publik. Berdasarkan skala priorita, pemerintah bisa mengalokasikan nilai-nilai tertentu untuk belanja tertentu. Kemudian dalam hal distribusi, melalui anggaran pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi kesenjangan antar wilayah, kelas sosial maupun sektoral. Anggaran juga berfungsi dalam menciptakan stabilitas, jika terjadi ketidakseimbangan yang ekstrem, misalnya harga pokok yang tinggi atau sangat rendah sehingga berpotensi merugikan satu lapisan masyarakat, pemerintah bisa melakukan intervensi melalui anggaran.


(62)

A. Politik Anggaran sebagai Pembangunan Pemerintahan Desa.

Pemerintah telah menyusun bagaimana keuangan diatur sendiri oleh pemerintah daerah hingga ke pemerintahan desa. Dilihat dari kebijakan politik desentralisasi, dimana daerah diberi hak otonomi dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dapat dilihat dari lahirnya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang ini berisi, antara lain mencabut UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang kemudian disempurnakan dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Daerah semua urusan pemerintah kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, pendidikan, moneter, fiskal dan agama.38

Selain itu, Pemerintah Pusat juga mengeluarkan kebijakan desentralisasi fiskal yang memberi kewengan kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri. Kebijakan ini diwujudkan dengan ditetapkannya UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian disempurnakan oleh UU No 3 Tahun 2004, kemudian disusul Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.39

38

Agus Riyanto. 2012.”Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah: Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008-2010”. Dalam SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional. Vol. 12 Nomor 2, Juli 2012. Hal. 1.

39


(63)

Seacara umum keuangan daerah sering diartikan dengan APBD (Anggaran Pendapatan Beanja Daerah). Menurut peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang dimaksud dengan pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.40

Kemudian, APBD dibagi ke setiap desa secara proposional yang merupakan alokasi dana desa dimana kabupaten/kota mengalokasikannya paling sedikit 10% dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh daerah.

Alokasi dana desa yang diterima oleh Pemerintahan Desa yang merupakan keuangan desa, adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut. Keuangan desa kemudian dikenal dengan APBDesa, sebagai dana penyelenggaraan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh pemerintahan desa didanai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan pusat yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara).41

Sumber Pendapatan desa berasal dari :

40

Lihat PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

41

Hanif Nurcholis. 2011. “Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa”. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 81.


(64)

a. Pendapatan asli desa yang berasal dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah.

b. Bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% untuk desa dan retribusi kabupaten/kota yang sebagian diperuntukan untuk desa.

c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% yang dibagi ke setiap desa secara proposional yang merupakan alokasi dana desa.

d. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan.

e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Sistem pengelolaan keuangan desa mengikuti sistem anggaran nasional dan daerah, yaitu mulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Oleh karena itu, kepala desa mempunyai wewenang sebagai berikut :

a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa. b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang desa. c. Menetapkan bendahara desa

d. Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa, dan e. Menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa.


(65)

Kepala desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa dibantu oleh pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa (PTPKD), yaitu sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa bertindak selaku koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan bertanggung jawab kepada kepala desa. Pemegang kas desa adalah bendahara desa. Kepala desa menetapkan bendahara desa dengan keputusan kepala desa.42

Pemerintahan desa setiap tahun wajib menyusun APBDesa yang merupakan pembiayaan program pembangunan desa dalam jangka tiap tahun yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Namun dalam program pembangunan tahunan desa harus di rencanakan dalam lima tahun kedepan oleh kepala desa dimana disebut dengan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa). Rancangan RPJMDesa didasarkan pada visi dan misi dari kepala desa, dimana ketika kepala desa baru menjabat. Maka, disaat baru mennjabat sebagai kepala desa, paling lambat 3 bulan kepala desa harus menyusun RPJMDesa.

RPJMDesa ditetapkan dengan peraturan desa, kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menyusun rencana kerja pemerintah desa (RKPDesa) yang merupakan penjabaran dari RPJMDesa berdasarkan hasil musyawarah rencana pembangunan desa. RKPDesa merupakan rencana kerja tahunan pemerintah desa dalam menyelenggarakan program pembangunan dan pelayanan di desanya. Penyelesaian RKPDesa diselesaikan paling lambat akhir bulan Januari tahun anggaran sebelumnya.

42


(66)

Sekretaris desa menyusun rancangan peraturan desa tentang APBDesa berdasarkan RKPDesa. Sekretaris desa menyampaikan rancangan peraturan desa tentang APBDesa kepada kepala desa untuk memperoleh persetujuan. Kemudian kepala desa menyampaikan rancangan peraturan desa kepada BPD untuk dibahas bersama dalam rangka memperoleh persetujuan bersama. Penyampaian rancangan peraturan desa tentang APBDesa paling lambat minggu pertama bulan November Tahun anggaran sebelumnya.

Rancangan peraturan desa tentang APBDesa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh kepala desa paling lambat 3 hari kerja disampaikan kepada bupati untuk dievaluasi dan bupati harus menetapkan evaluasi rancangan APBDesa paling lambat 20 hari kerja. Apabila hasil evaluasi batas waktu yang dimaksud, kepala desa dapat menetapkan rancangan peraturan desa tentang APBDesa menjadi peraturan desa.43

Apabila, bupati tidak menyetujui rancangan tersebut karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepala desa bersama BPD melakukan penyempurnaan paling lama 7 hari masa kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Namun, jika hasil evaluasi tidak ditindak lanjuti oleh kepala desa dan BPD, maka bupati membatalkan peraturan desa tersebut sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBDesa tahun anggaran sebelumnya, dan peraturan anggaran sebelumnya tetap harus ditetapkan oleh kepala desa.

Rancangan peraturan desa tentang APBDesa ditetapkan oleh desa paling lambat 1 bulan setelah APBD kabupaten/kota ditetapkan. Dengan ditetapkannya APBDesa,

43


(67)

pemerintahan menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan desa berdasarkan APBDes.

Dalam hal pelaksanaannya, program dan kegiatan yang masuk desa merupakan sumber penerimaan dan pendapatan desa dan wajib dicatat dalam APBDesa. Setiap pendapatan desa harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah. Kepala desa wajib melakukan pemungutan pendapatan desa, dan dilarang melakukan pemungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan desa. Pengembalian atas kelebihan pendapatan desa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada belanja tidak terduga. Pengembalian harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah. Tentunya dalam masalah pengeluaran belaja atas beban APBDesa harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah.

Untuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa, sekretaris desa menyusun rancangan peraturan desa tentang pertanggung jawaban kepala desa. Sekretaris menyampaikan kepada kepala desa untuk dibahas bersama BPD. Berdasarkan persetujuan kepala desa dengan BPD, maka rancangan peraturan desa tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa dapat ditetapkan menjadi peraturan desa.

Jangka waktu penyampaian dilakukan paling lama setelah 1 bulan setelah tahun anggaran berakhir, dan penyampaian pertanggungjawaban kepada bupati paling lama 7 hari setelah ditetapkannya rancangan peraturan desa tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa tersebut.

Demikian yang terjadi di Pemerintahan Desa Martoba, merekapun sedang gencar melakukan pembangunan di desanya. Mengikuti UU yang dikeluarkan pemerintah sebagai


(68)

arahan dan pedoman bagi Desa Martoba melakukan pembagunan. Mulai dari sistem, peraturan desa, dan pemangunan infrastruktur desa. Dalam hal ini, Desa Martoba tidak memiliki Kantor Pemerintah Desa yang permanen, alias Kantor Pemerintahan Desa Martoba dibangun diatas tanah milik masyarakat. Ungkapan bahwa “ganti kepala desa, ganti kantor kepala desa” menjadi istilah yang muncul di tengah masyarakat.

Dinamika yang ditemui di Desa Martoba sejauh ini, dalam masalah perencanaan anggarannya, tidak jauh beda dengan proses yang ada dalam Undang-Undang, hanya saja dalam mekanisme kerja, tentunya Kepala Desa Martoba mengalami kendala-kendala dikarenakan kondisi lingkungan dan keadaan kantor kepala desa. Pekerjaan setiap masa periode kepala desa yang baru dibebani dengan pencarian lokasi untuk dibangunnya kantor kepala desa, mencari lahan yang dapat disesuaikan dengan anggaran, bahkan ketika masa anggaran dalam proses pengaanggaran APBDesa sejalan disibukkannya dengan pencarian lokasi dan pembangunan fisik kantor kepala desa. Hal ini terbukti ketika ditanyakan masalah penerimaaan anggaran, kepala desa menuturkan bahwa belum menerima dana dari pemerintah daerah (masa penelitian di bulan September) sementara masa pemerintahan desa sudah berjalan dari akhir bulan Januari.

Mula-mula desa menunjukkan pertumbuhan yang bersifat egaliter di bawah seorang pemimpin yang dituakan dari kalangan mereka sendiri dan atas persetujuan semua warga desa. Kedudukan kepala desa adalah setara dengan hak dan kewajiban yang disepakati bersama. Kepala desa tidak dapat melakukan perintah sepihak kepada warga desa. Oleh karena itu, karena semua urusan umum diputuskan bersama. Desa di awal berdirinya umumnya berpijak pada ekonomi subsisten. Sistem ekonomi ini berangkat dari pemenuhan


(69)

kebutuhan dasar secara otonom. Bersamaan dengan pengembangan sistem ekonomi subsisten tersebut, warga desa mengembangkan sistem sosial politik, dan buadaya yang selaras dan mendukung sistem ekonominya

Pada awalnya desa tidak berinteraksi dengan kekuatan super desa. Desa mempunyai kedaulatannya sendiri. Desa mirip negara mini tradisional yang merdeka dan berdaulat seperti polis Yunani kuno. Menjadikan desa dengan desa yang lain memiliki hubungan yang konferedasi.44

Pada masa kekuasaan VOC desa tidak mengalami perubahan atas struktur pemerintahan pribumi, dimana dimulai dari kabupaten, kawedanan dan desa. Seperti struktur kelembagaan, manajemen, internal dan pola kerja, struktur hirarki dan sistem pengendalian maupun pertanggungjawabannya. Semuanya masih terikat pada adat istiadat yang turun temurun. Pembangunan desa pada di masa kekuasaan VOC masih seperti di masa sebelum Belanda masuk ke Indonesia, semua desa masih menyelenggarakan pemerintahan seperti sedia kala, yaitu berdasarkan adat istiadat yang dikembangkan sendiri.45

Setelah itu, masuk tentara Belanda yang loyal kepada Perancis yang masuk ke Indonesia yang bertujuan mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tentara ini dikenal dengan Daendels. Daendels memiliki peran dalam pembangunan desa, dimana kebijakan Daendels yang signifikan terhadap desa adalah menyewakan tanah kepada pengusaha swasta. Kebijakan ini mempunyai dampak langsung kepada kepala desa karena banyak

44

Ibid. Hal.163-164.

45


(70)

tanah orang-orang yang tinggal di suatu wilayah ikut dijual Daendels kepada pengusaha swasta. Sehingga mempengaruhi orang-orang desa ikut masuk dalam genggaman kekuasaan pengusaha swasta. Kemudian orang-orang membuat/membentuk komunitas di bawah kekuasaan pengusaha swasta tersebut. Meskipun komunitas tersebut mengembangkan sistem pemerintahan dan sosial budayanya tidak jauh berbeda dengan sistem sosial politik desa di luarnya, intervensi pemilik tanah sangat kental sehingga tidak bisa melaksanakan otonominya. Kebijakan lainnya yang juga berdampak pada otonomi desa adalah perubahan sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan gaya Eropa, ala Perancis. Gaya Eropa tersebut berupa pembagian atas profectuur-profectuur dan setiap profectuur dikepalai oleh seorang profect. Satu profecture meliputi beberapa kabupaten.46

Pembangunan Desa sempat terjadi pula akibat dari pengaruh Raflles (1811), dimana desa dijadikan basis administrasi pemerintahan terendah. Kepala desannya langsung dibawah pemerintahan pusat, tidak dibawah pemerintah penguasa pribumi. Pengisian kepala desa yang semula bervariasi, maksudnya ada yang dipilih dan ada yang turun temurun. Kemuadian diseragamkan dengan cara dipilih oleh kepala keluarga penggarap tanah komunal. Namun hal ini tidak didukung baik oleh masyarakat desa kala itu, dimana diakibatkan oleh pengetahuan dan keterampilan masyarakat desa, dan adanya anggapan bahwa tanah memiliki hubungan yang magis (ritual simbolik). Sehingga, masyarakat desa tidak mendukung kebijakan Raflles. Pada tahun 1816 kembali Belanda berkuasa maka kebijakan tersebut dicabut. Kelembagaan desa dan adat istiadat dikembalikan sebagaimana adat istiadatnya semula. Satu-satunya kebijakan Raflles yang diteruskan sampai sekarang

46


(1)

Sejauh ini, upaya yang dilakukan oleh kepala desa adalah dengan melakukan swasembada kepada masyarakat yang memiliki lahan untuk dijadikan sebagai kantor kepala desa. Demikian juga yang dituturkan oleh mantan kepala desa terkait ketiadaan kantor kepala desa, bahwasanya ketika masa pemerintahannya, di tahun 2011 pemerintahan daerah telah melakukan arahan kepada kepala desa, agar desa segera mendirikan bagunan fisik dengan anggaran yang telah ditentukan, hanya saja pemerintahan daerah memberikan anggaran hanya untuk pembangunan gedung saja, anggaran tersebut tidak masuk dengan pembelian tanah. Sementara, masyarakat yang mau menjual tanahnya dengan harga yang sangat tinggi. Menjadi kendala bagi pemerintahan desa dalam mengadakan bangunan kantor kepala desa tersebut.

Sejauh ini, masalah ini masih terus berjalan tidak hanya dari pemerintah daerah melainkan juga dari masyarakat desa sendiri. Dengan anggaran yang telah ditetapkan, kepala desa akan berupaya melakukan pendekatan kepada masyarakat agar memberikan lahannya dengan harga yang sesuai dengan yang telah dianggarkan oleh pemerintahan daerah. Jikalau masyarakat bertahan dengan harga yang tinggi, upaya lobi akan dilakukan kepala desa dalam melakukan perencanaan penganggaran terkait pengadaan kantor kepala desa yang tetap.

Berdasarkan penuturan dari Bapak Jaoloan Silalahi mantan Kepala Desa Martoba mengungkapkan bahwa, pada dasarnya masalah ini dalam masa perjuangan dimana upaya yang harus difokuskan oleh pemerintah desa sekarang ini pada pemerintahan kabupaten. Merekalah yang akan menyetujui rancangan anggaran yang akan diserahkan kepala desa sekarang ini. Kalau menyangkut masalah masyarakat, upaya kekeluargaan atau swasembada


(2)

dapat dilakukan, yang menjadi masalah merupakan persoalan harga yang ditawarkan oleh masyarakat tidak dapat disanggupi oleh keuangan pemerintahan desa saat ini. Oleh karena itu, bagaiamana menjalin hubungan dengan pemerintahan kabupaten, dengan rancangan anggaran dan upaya lobi akan menentukan pembangunan desa terkait pengadaan kantor kepala desa ini.

Namun, berdasarkan pendapat Bapak Nasib Silalahi yang merupakan Kepala Desa Martoba, ia akan melakukan upaya pendekatan kepada masyarakat saat ini, karena ketika masa penelitian. Pemerintahan Desa belum menerimana APBDesa, sehingga menjadi fokunya kepala desa adalah melakukan upaya-upaya di lingkungan masyarakat desa.

B. KRITIK DAN SARAN

Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan desa, dengan kekuasaan tersebut harusnya dapat bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa melakukan Politik Anggaran, dimana desa yang tidak memiliki Kantor Kepala Desa dalam rangka menjalankan pemrintahan. Upaya lobi merupakan usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintahan desa dalam mendapat dukungan dari pemerintahan kabupatennya. Harusnya dapat fokus kepada masalah anggaran dengan pokok masalah pengadaan kantor kepala desa, sehingga dengan demikian, persoalan ini menjadi bahan pertimbangan yang perlu diselesaikan dengan cepat dan tepat. Terhadap kondisi masyarakat, kepala desa bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa melakukan sosialisasi terkait masalah pembangunan.


(3)

Hendaknya pemerintahan desa melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat membangun pengetahuan masyarakat desa terkait dengan masalah yang sedang dihadapi oleh pemerintahan desa tentunya. Berdasarkan hasil wawancara, kepala desa akan melakukan pendekatan dengan masyarakat yang memiliki tanah untuk melakukan lobi terkait kesediaan masyarakat tersebut untuk memberi ataupun menjual tanahnya untuk kepentingan pemerintah dan kepentingan bersama masyarakat desa.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Biro Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Provinsi SUMUT. 2001. Selayang Pandang Pemerintahan Desa Di Sumatera Utara.

Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Eko, Sotoro, dkk. 2002. Pembaharuan Pemerintahan Desa. Yogyakarta: IRE.


(4)

Mashad, Dhurorudin, dkk. 2005. Konflik Elit Politik di Pedesaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaimin, DR. Yahya, DR. Colin MacAndrews. 1988. Masalah-Masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaran Pemerintahan Desa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Surbakti, Ramlan.1992.Memahami Ilmu Politik.Jakarta PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sinaga, Rudi Salam, S.Sos. M.Si. 2013. Pengantar Ilmu Politik Kerangka Berpikir Dalam Dimensi Arts, Praxis Dan Policy. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sitepu, P. Anthonius. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soekanto,Soerjono.2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sulistiyani, Ambar Teguh. 2011. Memahami Good Governance: Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

Thoha, Prof, DR, Miftah, MPA. 2003. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada.

Widjaja, HAW. Ed. 1, Cet Ke-5. 2010. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Press.


(5)

Yuwono, Sony, dkk. 2005. Penganggaran Sektor Publik. Malang: Bayumedia Publishing.

JURNAL :

Riyanto, Agus. 2012. ”Politik Anggaran Provinsi Jawa Tengah: Analisis Realisasi APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008 - 2010”. Dalam SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional. Vol. 12 Nomor 2, Juli 2012.

INTERNET :

A. R, Nanda Hapsari. 2011. Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajeri Moderating. http://eprints.undip.ac.id/26440/2/jurnal.pdf diakses tanggal 30 Mei 2014. Pukul : 19:59 WIB.

Ngadi, Sartika Putri. 2013. Peran Badan Permusyawaratan Desa Dalam Menjalankan Fungsi

Minahasa Selatan. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/viewFile/2323/1877.

diakses pada 18 Juni 2014. Pukul: 20:21 WIB.

Undang-Undang :


(6)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan-Peraturan

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Samosir Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Desa di Kecamatan Simanindo, Sianjur Mula-mula, Nainggolan, Palipi, Sitio-tio dan Kecamatan Harian.

Sumber Lain

Profil Pemerintahan Desa Martoba, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir Tahun 2010.