BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Tulisan ini mendeskripsikan mengenai Komodifikasi pada Tari Piring dan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya.

  Komodifikasi terjadi karena adanya pengaruh dari globalisasi. Globalisasi mengakibatkan semakin pudarnya batas-batas wilayah dalam konteks negara- bangsa yang akhirnya semakin menguatkan identitas. Saat ini dunia sedang berkembang dalam segala aspeknya, begitu juga dengan kebudayaan begitu mudah menjalar dan bercampur menembus batas wilayah, saat itulah identitas menjadi sesuatu yang paling dicari. Hal ini dapat dilihat bahwa Kota Medan memiliki beragam etnik. Salah satu etnik yang ada di Kota Medan yakni etnik Minangkabau. Etnik Minangkabau merupakan etnik yang secara administratif wilayah kulturalnya berada di Sumatera Barat. Meskipun sekarang zaman telah berubah, dan kebudayaan semakin universal dalam naungan dunia yang global, etnik Minangkabau tidak begitu saja melepaskan identitas budayanya, yang sekaligus sebagai jati diri mereka.

  Tari Piring merupakan salah satu kesenian yang menunjukkan identitas masyarakat Minangkabau. Di tengah kuatnya arus globalisasi agar bisa tetap bertahan tari piring mengalami banyak perubahan-perubahan yakni, dalam gerakan, pakaian, musik serta penggunaannya. Tari piring merupakan tarian tradisi yang berakar pada kebudayaan Minangkabau. Sekilas tari piring juga menggambarkan penggunaan material piring sebagai bagian dari gerakan dalam tarian. Dalam perkembangan saat ini, tari piring telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Perubahan dalam bentuk penyesuaian maupun perubahan secara keseluruhan yang bertujuan memberikan ruang bagi tari piring dalam kehidupan saat ini.

  Untuk dapat menjelaskan tari piring secara menyeluruh, maka perlu kiranya penjelasan mengenai tari piring dalam konteks sejarah dan bentuk serta kebudayaan yang menaunginya. Dalam hal ini penjelasan akan dimulai dengan sejarah tari piring yang disertai dengan bentuk dan nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terangkum dalam pertunjukan tari piring.

  Tari Piring atau dalam bahasa setempat disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu bentuk seni tari tradisonal di daerah Minangkabau yang dipercaya berasal dari Kota Solok, provinsi Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama, piring-piring tersebut dipergunakan dengan cara diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur pada tangan kiri dan kanan penari, gerakan tarian ini juga mensyaratkan piring tidak boleh terlepas dari genggaman tangan.

  Menurut wikipedia secara sejarah, tari piring dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan Pagaruyung, yang berkuasa di wilayah Minangkabau pada abad ke 14.

  Tari ini merupakan bentuk ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa yang dipengaruhi oleh bentuk kepercayaan lama atas hasil panen yang melimpah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring dan melangkah membawa piring tersebut

   dengan gerakan-gerakan tertentu .

  Setelah masuknya pengaruh agama Islam ke daerah Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi digunakan sebagai bentuk ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada bentuk acara-acara yang bersifat hiburan. Hal ini disebabkan pengaruh agama Islam yang kuat dan menghindari

   bentuk ritual yang dianggap tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam .

  Keterkaitan antara tari piring dalam kebudayaan Minangkabau dengan masuknya pengaruh agama Islam merupakan catatan penting tersendiri. Hal ini terdapat dalam pendapat Kartomi ( 1983 :116) yang menuliskan bahwa :

  “In addition to the pre-Muslim and Muslim strata, a third musical

  

layer is found in the Minangkabau area, especially along the coast;

it incorporates the partially Westernized Malay songs called lagu

Minang moderen ("modern Minangkabau songs"), set to poetic

texts and generally accompanied by biola (violins), guitars,

rabana, and drums. They are frequently used to accompany dances,

1

such as the happy tari lilin, the gay tari piring ("plate" or "saucer

2 “Tari Piring”(diakses pada

1 Juni)

  

dance," sometimes with candles attached to the plates), and the sad

love dance tari slendang ("scarf dance") .” (Selain strata pra-

  Muslim dan Muslim, lapisan musik ketiga ditemukan di daerah Minangkabau, terutama di sepanjang pantai; menggabungkan lagu- lagu Melayu sebagian kebarat-baratan yang disebut moderen lagu Minang ("Minangkabau lagu yang modern"), set ke teks puitis dan umumnya disertai oleh Biola (biola), gitar, Rabana, dan drum.

  Mereka sering digunakan untuk mengiringi tarian, seperti tari lilin bahagia, gay tari Piring ("piring" atau "tari piring," kadang-kadang dengan lilin yang melekat pada piring), dan sedih tari tarian cinta slendang ("syal tari").

  Gerakan tari piring secara umum adalah dengan meletakkan dua buah piring di atas dua telapak tangan yang kemudian diayun dan diikuti oleh gerakan- gerakan tangan dan kaki yang cepat, dan diselingi dentingan piring atau dentingan dua cincin di jari penari terhadap piring yang dibawanya. Pada akhir tarian, biasanya piring-piring yang dibawakan oleh para penari dilemparkan ke lantai dan kemudian para penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring tersebut. Tarian ini diiringi oleh kelompok musik yang memainkan alat musik ritmis Talempong dan alat musik melodis Saluang. Jumlah penari biasanya berjumlah ganjil yang terdiri dari tiga sampai tujuh orang.

  Tari piring juga merupakan bentuk yang merepresentasikan kebudayaan Minangkabau secara luas dan juga bentuk interkoneksi dalam tubuh manusia, setidaknya hal ini merunut pada pendapat Mason (2008:191) yang mengatakan bahwa :

  “Tari Piring, an iconic dance of the Minangkabau people from

  

West Sumatera, as an example to demonstrate how these diverse

art forms can provide doorways into how the processes of the

embodied brain are intertwined with society, culture and the

environment. (Tari Piring, tari ikon masyarakat Minangkabau dari

  Sumatera Barat, sebagai contoh untuk menunjukkan bagaimana bentuk seni yang beragam ini dapat memberikan pintu ke bagaimana proses otak diwujudkan terjalin dengan masyarakat, budaya dan lingkungan). Tari Piring merupakan sebuah simbol masyarakat Minangkabau. Gerak dalam tari piring didasarkan pada langkah-langkah yang terdapat pada gerakan

  

Silat atau Silek. Silek adalah seni bela diri yang dilatih oleh masyarakat

  Minangkabau. Langkah-langkah itu dikembangkan dengan menghiasi gerakan tangan menggunakan piring. Menurut masyarakat Minangkabau, berlatih keseimbangan tari piring sama dengan melatih tenaga dalam yang terdapat dalam Silat atau Silek.

  Tari piring dalam lintasan sejarah perkembangannya memiliki gerakan- gerakan yang bersifat tidak terbuka dalam artian gerakan tari piring tertutup bagi individu di luar Minangkabau. Hal ini dipengaruhi oleh gerakan tari piring yang berdasar pada gerak bela diri Silek. Sekarang ini tari piring sudah berkembang dalam beberapa jenis pertunjukan, sehingga gerakan-gerakan tari piring lebih terbuka. Gerakan-gerakan yang lebih terbuka ini juga bernilai sebagai aspek yang menarik dan hiburan bagi masyarakat. Selain itu, proses perubahan dalam tari piring juga terjadi pada musik yang mengiringinya, setidaknya hal ini semakin menambah kuat nilai hiburan yang terdapat dalam tari piring. Perubahan yang terjadi pada tari piring memberikan gambaran bahwa kedekatan secara hiburan telah membawa pengaruh yang besar dalam pertunjukan tari piring yang dipengaruhi gerak tari piring yang mengalami perubahan dan menjauh dari gerak

   dasar Silek . 3 Perubahan dalam konteks tari piring tidak hanya terjadi dalam bentuk “Tari Piring”, Op.Cit., hal. 2 hiburan lokal, melainkan juga bentuk perubahan yang disebabkan oleh perpindahan tempat, proses migrasi atau perpindahan masyarakat Minangkabau ke daerah lain turut serta membawa nilai adat budaya Minangkabau dan pada proses selanjutnya, migrasi tersebut juga merubah nilai adat budaya Minangkabau yang menyesuaikan bentuk dan fungsinya pada keadaan lingkungan setempat.

  Proses perubahan adalah bentuk yang umum terjadi pada kehidupan. Perubahan juga dapat dianggap sebagai bentuk dinamis dalam suatu kebudayaan. Dalam hal ini tari piring juga merupakan bentuk dinamis yang menyesuaikan bentuknya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

  Penelitian menjelaskan bagaimana proses komodifikasi yang dilakukan pada Tari Piring di Kota Medan agar tari piring yang merupakan kesenian bagi masyarakat Minangkabau dapat tetap bertahan di era globalisasi ini, serta bagaimana perubahan fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.2. Tinjauan Pustaka

  Proses perjalanan suatu penelitian memerlukan tinjauan pustaka sebagai hal yang membatasi penelitian terhadap fokus kajian penelitian agar tidak keluar dari tujuan awal. Dalam penelitian yang dilakukan tinjauan pustaka yang dipergunakan terbagi atas beberapa bagian, yaitu : kebudayaan, seni tari, perubahan (komodifikasi) dan pertunjukan sebagai interpretasi simbol.

1.2.1 Kebudayaan

  Konsepsi mengenai kebudayaan diperlukan untuk melihat penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari penelitian kebudayaan, dengan fokus pada bagian kebudayaan, yaitu kesenian yang secara khusus adalah seni tari.

  Kesenian secara sederhana merupakan simbol ekspresi manusia yang lazim disebut kebudayaan. Gambaran umum mengenai suatu kebudayaan selalu dilekatkan terhadap proses kesenian, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk perilaku.Untuk dapat melihat kesenian dalam lingkup yang luas, diperlukan adanya pemahaman mengenai kebudayaan sebagai akar dari kesenian tersebut. Merunut pada lintasan sejarah yang mengungkapkan mengenai kaitan antara kebudayaan dan kesenian, setidaknya dapat dilihat dari pendapat Malinowski (1944:36) yang mengatakan kebudayaan sebagai :

  “It obviously is the integral whole consisting of implements and

  

consumers good, of constitutional charters for the various social

groupings, of human ideas and crafts, belief and customs.” ( Ini

  jelas adalah seluruh integral yang terdiri dari alat-alat dan konsumen yang baik, piagam konstitusional untuk berbagai kelompok sosial, ide-ide manusia dan kerajinan, kepercayaan dan adat istiadat).

  Pendapat Malinowksi ini secara sederhana memberi pandangan mengenai kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral dan terdiri dari penerapan serta penggunaan yang terdiri dari kelompok sosial, ide pemikiran, materi atau hasil budaya, kepercayaan dan tradisi. Berdasarkan pendapat Malinowski tersebut dapat dikatakan bahwa kesenian dan seni tari termasuk dalam bentuk ide pemikiran, hasil budaya atau bentuk tari yang menentukan ekspresi kelompok sosial, dalam hal ini masyarakat Minangkabau.

  Kebudayaan yang dikonsepsikan sebagai kesatuan integral tersebut juga telah dikemukakan oleh E.B Tylor (1871:1) dan diterjemahkan secara khusus sebagai : “Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is

  

that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals,

law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man

as a member of society.” (Budaya atau peradaban, diambil dalam

  arti etnografis yang luas, adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, dan lain kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat).

  Kebudayaan menurut definisi E.B Tylor dipersepsikan sebagai bentuk peradaban kompleks yang didalamnya memuat pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum dan kemampuan lain yang dibutuhkan seorang manusia dalam kehidupannya.

  Kutipan dari Hatcher (1999:1-2) mengatakan bahwa budaya lebih berpengaruh dari seni, hal ini disebutkannya sebagai :

  

“Culture in anthropological sense means much more than the arts;

it is conceived as the sum of all the learned, shared behavior of

human beings: how they make a living, produce things, organize

their societies, and use languange and other symbolic forms.

Culture is the distinctively human means of survival. Each and

every society has a more or less consistent way of life, a

culture.” (Budaya dalam arti antropologis berarti lebih dari seni; itu

  dipahami sebagai jumlah dari semua dipelajari, berbagi perilaku manusia: bagaimana mereka mencari nafkah, menghasilkan hal-hal, mengatur masyarakat mereka, dan menggunakan bahasa dan bentuk simbolis lainnya. Budaya adalah cara khas manusia untuk bertahan hidup. Masing-masing dan setiap masyarakat memiliki cara yang lebih atau kurang konsisten dari kehidupan, budaya).

  Pendapat mengenai kebudayaan tersebut dalam konteks ini dilihat sebagai suatu usaha penjelasan secara keseluruhan mengenai fokus perhatian yang meliputi beragam aspek dalam kehidupan masyarakat dan kesenian.

1.2.2. Kesenian

  Salah satu bentuk kesenian tradisional adalah tarian, tarian secara sederhana merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia yang turut membawa nilai kebudayaan yang melingkupinya, tarian dapat juga dapat diartikan sebagai gerak berkesinambungan yang mewakili suatu nilai tertentu, hal ini juga terdapat dalam tarian piring yang lazim disebut dengan tari piring.

  Untuk memahami kesenian, maka definisi atas seni diperlukan agar kesenian yang dimaksudkan dalam penelitian ini sesuai dengan konsepsi kesenian itu sendiri. Pendapat Hatcher (1999:1) mendeskripsikan seni sebagai :

  “Art is something that human beings do in a great many ways, for

  

a great many reasons, and if one is curious about art or about

people it is natural to ask questions about the whole process and

the whole background or context of an art style. ” (Seni adalah

  sesuatu yang manusia lakukan dalam banyak cara yang besar, untuk banyak alasan yang besar, dan jika ada yang ingin tahu tentang seni atau tentang orang-orang adalah wajar untuk bertanya tentang seluruh proses dan seluruh latarbelakang atau konteks gaya seni). Sebagai proses memahami seni dalam kehidupan masa kini yang melebarkan definisi seni dari seni tradisi hingga seni modern, hal ini didesksripsikan oleh Hatcher (1999:8) sebagai :

  “In studying the art of a particular culture it would be ideal if we

  

could determine the way the people themselves distinguish artistic

work from the purrely utilitarian ... In actual modern usage, the

word “art” is no longer limited to sculpture and painting,

happenings, and whatever, so that the narrow definitions of the

past do not limit the cross-cultural view as they once did.” ( Dalam

  mempelajari seni budaya tertentu akan ideal jika kita bisa menentukan cara masyarakat sendiri membedakan karya artistik dari purrely utilitarian ... Dalam penggunaan modern yang sebenarnya, kata "seni" tidak lagi terbatas pada patung dan lukisan, kejadian, dan apa pun, sehingga definisi sempit masa lalu tidak membatasi pandangan lintas-budaya seperti yang pernah mereka lakukan).

1.2.3. Pertunjukan dan Interpretasi Simbol Tari

  Tari piring sering ditampilkan diberbagai pertunjukan yaitu pada acara pernikahan, acara adat Minangkabau, khitanan, serta untuk menyambut tamu- tamu penting. Pertunjukan dalam pembahasan ini mengutip pendapat Erving Goffman, dimana pendapatnya mengenai pertunjukan menjadi rujukan bagi definisi pertunjukan dalam ranah antropologi oleh Victor W. Tuner. Pendapat Goffman (1956:13) mengenai pertunjukan dalam bentuk kehidupan sehari-hari adalah :

  “the term 'performance' to refer to all the activity of an individual

  

which occurs during a period marked by his continuous presence

before a particular set of observers and which has some influence

on the observers.” ( pertunjukkan, istilah untuk mengacu pada

  semua aktivitas individu yang terjadi selama periode yang ditandai oleh kehadirannya terus menerus sebelum set tertentu dari pengamat dan yang memiliki beberapa pengaruh pada pengamat). Selain bentuk kegiatan pertunjukan dalam kehidupan sehari-hari, pertunjukan secara spesifik dalam bentuk pertunjukan seni tari diartikan oleh

  Mazzola (2011:14) sebagai : '”Performance is viewed as an exact expression of a work’s

  content, as a whole and in parts. Here appears for the first time the

idea of an individual and “autonomous” work character, which

requires a specific treatment in order to achieve adequate

expression of contents. ” (Pertunjukkan dipandang sebagai ekspresi

  yang tepat dari konten pekerjaan ini, secara keseluruhan dan di bagian. Berikut muncul untuk pertama kalinya gagasan individu dan "otonom" karakter kerja, yang membutuhkan perawatan khusus untuk mencapai ekspresi memadai isinya).

  Secara khusus, kaitan antara pertunjukan seni dan usaha interpretasi juga diungkapkan oleh Royce (2004:8) sebagai berikut : “Performance implies a certain level of competence. What happens

  

between that technical competence and interpretation has to do

  with style and with artistry. Here, we must shift from a codified to a

metaphorical vocaboluary. Style implies individual choices about

interpretation. We may speak of style in two ways. First, we can

identify style in the sense of those choices that make an individual

performer immediately recognizable. Second, we can speak of style

that tries to carry out the intention of the creator so that the

performer become simply the medium, although by no means a

passive one .” (Pertunjukan menunjukkan tingkat kompetensi

  tertentu. Apa yang terjadi antara kompetensi teknis dan interpretasi harus dilakukan dengan gaya dan dengan kesenian. Di sini, kita harus beralih dari kodifikasi ke kosakata penggambaran. gaya menunjukkan pilihan individu tentang interpretasi. Kita mungkin berbicara tentang gaya dalam dua cara. Pertama, kita dapat mengidentifikasi gaya dalam arti dari pilihan-pilihan yang membuat seorang pemain individu segera dikenali. Kedua, kita dapat berbicara tentang gaya yang mencoba untuk melaksanakan niat pencipta sehingga pelaku menjadi hanya media, meskipun tidak berarti pasif).

  Selanjutnya, selain bentuk usaha interpretasi dari pertunjukan seni juga terdapat fungsi dari usaha interpretasi pertunjukan seni yang dikemukakan Royce (2004:9) bahwa :

  “All performing arts share this interpretive function. Dances

  

interpret choreographers, musicians interpret composer, actors

interpret dramatists, or, in the case of the commedia dell'arte,

actors interpret commonly understood plots and stories adding the

spice of political satire .” (Semua seni pertunjukan membagi fungsi

  penafsiran ini. Tarian menginterpretasikan koreografer, musisi menginterpretasikan komposer, aktor menginterpretasikan dramawan, atau, dalam kasus komedi dell'arte, aktor menginterpretasikan plot umum dipahami dan cerita menambahkan bumbu sindiran politik). Menurut Saifudin (2005 : 289) Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Dalam hal ini penulis akan melihat simbol-simbol melalui gerakan- gerakan pada tari piring, pakaian yang digunakan, serta musik yang dilantunkan pada tari piring.

  Brunner (1986:23) mengatakan bahwa kegiatan seni memerlukan pertunjukan sebagai suatu bentuk usaha evaluasi terhadap kegiatan tersebut dan juga sebagai bentuk penyampaian atau komunikasi kepada masyarakat lainnya.

1.2.4. Globalisasi dan Perubahan

  Globalisasi adalah suatu kata yang lazim dipergunakan saat ini untuk mengatakan bentuk perubahan yang terjadi dalam hal menjadikan suatu budaya menjadi mendunia, atau dengan kata lain globalisasi adalah bentuk budaya yang dapat diterima secara umum didunia.

  Proses menuju global atau mendunia, setidaknya harus memenuhi beberapa unsur yang disebutkan oleh Appadurai (1996:33), yaitu :1. ethnoscapes, 2. mediascapes, 3. technoscapes, 4. financescapes dan 5. ideoscapes. Sehingga dalam hal ini suatu hal menjadi bentuk global ketika telah mencapai cakupan etno, media, teknik, keuangan dan ideologi.

  Dalam skala yang kecil, proses globalisasi setidaknya dapat ditandai dengan adanya usaha perpindahan masyarakat atau migrasi dari suatu wilayah menuju wilayah lain dan turut membawa serta nilai adat budayanya, proses perpindahan tersebut juga melakukan usaha penyesuaian nilai adat budaya pada daerah setempat.

  Rodriguez (2007:4) menyatakan bahwa : “there is a tight relationship between the symbolic dimension of

  

human displacement and the construction of a new political space

where transcultural interaction as a result of global movements

operates as a critical tool in regard to both migratory and

identitary politics .” (ada hubungan erat antara dimensi simbolik

  dari perpindahan manusia dan pembangunan ruang politik baru di mana interaksi lintas budaya sebagai akibat dari gerakan global yang beroperasi sebagai alat yang penting dalam hal politik baik bermigrasi dan identitas politik).

  Dalam konteks penelitian ini, tari piring merupakan bagian dari usaha global yang membawa dimensi simbolik masyarakat pendukungnya berupa nilai tradisi dan budaya Minangkabau pada daerah perantauannya dan membangun ruang identitas politis atas nilai tradisi budaya Minangkabau sebagai suatu usaha mempertahankan identitas dalam kompleksitas budaya.

  Secara lebih mendalam Mosquera (1994) mengatakan bahwa saat ini seluruh indvidu manusia hidup dalam dunia komunikasi dan pertukaran, dimana globalisasi merupakan bentuk imajiner yang menghubungkan antara satu hal dengan hal lain dalam satu kesatuan jaringan.

  Berbicara mengenai perubahan juga turut memperbincangkan mengenai otentikasi yang merujuk pada usaha menghadirkan suatu bentuk “keaslian” namun tidak dalam konteks waktu, tempat dan keadaan sesungguhnya, yang pada awalnya bertujuan menghindari benturan antara kegiatan ritual dan seni dengan kondisi sosial, kultural dan agama. Dalam perjalanan waktu, proses otentikasi terhadap nilai budaya tidak dapat menjadi suatu ukuran dalam melihat suatu bentuk kebudayaan yang berada diluar wilayah kebudayaannya, sehingga untuk melihat hal tersebut diperlukan pemahaman mengenai komodifikasi.

  Kahn (dalam Maunati, 2004:24) memberi gambaran mengenai konstruksi identitas menjadi suatu hal yang umum, identitas budaya dibangun berdasarkan seperangkat kepercayaan dan bersifat secara organik serta memiliki keterbatasan. Hal ini membuka ruang kebebasan dalam merefleksikan identitas yang disesuaikan dengan kondisi tertentu.

  Proses komodikasi terhadap keberadaan tari piring di Kota Medan juga sebagai bentuk usaha yang disebut Auge (1995:45) bahwa bahasa identitas (ekspresi seni) harus dipertahankan dari ancaman dari dalam maupun luar lingkaran etnik untuk menjadikannya tetap berarti dan memiliki nilai bagi masyarakat (etnik) tersebut. Dalam hal ini, penari atau pencipta tari di Kota Medan melakukan komodifikasi dalam bentuk gerakan, pakaian yang digunakan, serta musik yang dilantunkan agar tari piring tetap bertahan dan mengikuti pasar sehingga dapat menarik bagi penikmatnya (konsumen) yang merupakan etnis Minangkabau di Kota Medan sehingga budaya Minangkabau senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan globalisasi. Oleh karena itu saat ini keberadaan kesenian sebagai bagian dari kebudayaan masih tetap bertahan sebagai identitas budaya masyarakat atau suku bangsa Minangkabau di daerah rantau yaitu Kota Medan.

1.3. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana eksistensi tari piring dalam globalisasi di Kota Medan. Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian berikut : 1.

  Apa saja bentuk dan fungsi tari piring bagi masyarakat Minang di Kota Medan ?

2. Bagaimana perubahan bentuk dan penggunaan tari piring saat ini ? 3.

  Bagaimana proses komodifikasi pada tari piring di kota Medan ?

  1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring serta bagaimana proses komodifikasi pada Tari Piring di Kota Medan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya perhatian yang lebih besar terhadap seni tradisi yang semakin lama semakin di era globalisasi ini.

  Secara akademis penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dalam bidang Antropologi, khususnya dalam memperkaya literatur mengenai Komodifikasi pada Tari Piring di Kota Medan

  1.5. Sistematika Penulisan

  Untuk mempermudah pembahasan skripsi secara keseluruhan menjadi sitematis, penulis menyusun sedemikian rupa ke dalam sistematika penulisan.

  Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penyusunannya sebagai berikut:

  • BAB I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian sistematika penilisan dan pengalaman penelitian.
  • BAB II berisi gambaran singkat kota Medan, perantauan minangkabau di Kota Medan, dan organisasi sosial Minangkabau.

  • BAB III berisi jawaban dari rumusan masalah peneliti yakni tentang sejarah tari piring, makna gerak tari piring, fungsi dan penggunaan pada tari piring serta musik, pakaian dan peralatan pada tari piring.
  • BAB IV berisi jawaban dari rumusan masalah peneliti yakni tentang komodifikasi gerak, pakaian, musik dan pertunjukkan pada tari piring.
  • BAB V berisi kesimpulan dari hasil semua BAB yang berisi keseluruhan hasil penelitian dan saran penelitian.

1.6. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

   Peneliti mengungkapkan native’s point of view bagaimana komodifikasi pada tari

  piring di Kota Medan, bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring di Kota Medan, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Penelitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara.

1.6.1. Teknik Observasi

  Observasi yang penulis lakukan ialah obeservasi partisipasi yakni penulis ikut terlibat langsung dilapangan. Proses pengamatan dilakukan dengan cara mengamati ruang dan tempat, siapa pelaku yang terlibat, gerakan-gerakan dalam tari, pakaian dan instrumen yang digunakan dalam tarian, waktu, peristiwa serta aktivitas yang dilakukan oleh penari tari piring di Kota Medan. 4 Dalam kegiatan observasi partisipasi penulis juga ikut serta dalam

  Native’s point of view adalah mencoba menjelaskan fenomena-fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. melakukan aktivitas yaitu ikut mempelajari gerakan tari pada tari piring, . Tujuan penulis melakukan observasi partisipasi ini adalah untuk dapat mendekatkan diri lebih dalam pada objek penelitian sehingga data yang didapat menjadi lebih detail.

  Penulis mengamati bagaimana cara koreografer menciptakan gerak tari pada Tari Piring, penulis juga mengamati bagaimana proses belajar mengajar tari di sanggar tari Tri Arga, sanggar tari BM3 dan sanggar Latansa.

1.6.2. Teknik Wawancara

  Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dua orang yaitu pewawancara (interviewer) yang memberikan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan informasi atau jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 1991 : 135). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, yaitu penulis dan informan berinteraksi satu sama lain dalam waktu yang relatif lama sehingga penulis dapat membangun rapport dengan informan. Penulis membagi informan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : informan kunci dan informan biasa. Informan kunci ialah orang yang paham betul mengenai seluk beluk tari piring, sejarah perkembangan tari piring, gerakan tari piring, jenis tari piring, music tari piring, pakaian yang digunakan penari serta pemusik dan makna dari tiap gerakan pada tari piring. Wawancara khusus peneliti lakukan dengan informan kunci pada ketiga sanggar tari, yaitu informan selaku pelaku dan pencipta gerakan tari piring di sanggarnya, seperti penulis mewawancarai Iskandar di sanggar Tri Arga, Raihan di sanggar Latansa dan Hendri di sanggar BM3.

  Wawancara ini dilakukan dengan waktu dan tempat yang disepakati informan dan penulis, biasanya wawancara dilakukan di sanggar tari masing- masing sembari penulis belajar tari piring. Terkadang penulis juga mendatangi rumah informan kunci untuk melakukan wawancara yang lebih mendalam.

  Selanjutnya informan biasa, informan biasa adalah orang-orang yang terlibat dalam tari piring yaitu penari yang menarikan tari piring dan pemusik yang memainkan musik tari piring. Penulis juga mewawancari konsumen yang memesan tari piring untuk acaranya.

  Wawancara dilakukan secara langsung akan tetapi tidak menutup kemungkinan wawancara dilakukan melalui media elektronik seperti handphone dan e-mail. Untuk menjaga agar wawancara tetap pada fokus penelitian, penulis akan menggunakan interview guide sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tetap terarah dan tidak lari dari fokus penelitian.

  Selain menggunakan interview guide, penulis juga menggunakan recorder untuk merekam proses wawancara dengan informan sehingga dapat mencegah kelupaan dalam memperoleh data.

1.6.3. Analisis Data

  Analisis data dalam penelitian merupakan suatu pandangan mengenai penulis untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh dilapangan.

  Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan tersebut akan diteliti kembali atau diedit ulang, pada akhirnya kegiatan ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.

  Analisis data merupakan proses lanjutan dari bentuk catatan lapangan sebagaimana ditulis oleh Emerson (1995:4-5) sebagai : “Fieldnotes are accounts describing experiences and observations

  

the researcher has made while participating in an intense and

involved manner.” (Catatan lapangan yang menggambarkan

  kumpulan pengalaman dan pengamatan peneliti yang dicatat saat turut berpartisipasi secara intens dan terlibat).

  Penelitian antropologis dengan metode etnografi memberikan suatu bentuk analisis data lapangan berupa “ongoing analysis” yang berarti sebagai proses analisa berjalan terhadap kerja lapangan yang berdasarkan pada observasi dan wawancara terhadap informan.

  Langkah selanjutnya data-data ini dianalisa secara kualitatif melalui teknik taksonomi data, sehingga data yang diperoleh dapat dikategorikan berdasarkan jenisnya. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian.

1.7. Lokasi Penelitian

  Lokasi penelitian ini adalah di kota Medan Provinsi Sumatera Utara di Jalan Dolok Sanggul, kecamatan Medan Kota, sebuah rumah sebagai tempat aktivitas latihan menari dan bermusik yaitu sanggar tari Tri Arga. Jalan Adi Negoro , kecamatan Medan Timur, tempat berdirinya rumah gadang BM3 sekaligus tempat latihan menari, bermusik dan silat oleh kelompok kesenian IKSA (Ikatan Kesenian Sri Antokan). Dan di Jalan Darussalam, yang merupakan tempat berdirinya sanggar La Tansa.

1.8. Pengalaman Penelitian

  Penelitian ini penulis mulai pada 12 September sampai Januari 2013. Pada saat seminar proposal, penguji ujian seminar peneliti menyarankan untuk pergi ke Padang dan melihat bagaimana tari piring yang masih tradisi disana. Akan tetapi penulis tidak bisa pergi ke sana dikarenakan orangtua penulis pergi ke Eropa selama 3 bulan sehingga tidak ada yang menjaga adik-adik penulis di rumah. Jika penulis menunggu orangtua penulis kembali kemudian pergi ke Padang akan memakan waktu yang sangat lama dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengambil keputusan untuk mencari tari piring yang masih tradisi di Kota Medan ini saja.

  Pertama sekali penulis menjumpai Iskandar Muda yang merupakan ketua dari Sanggar Tari Tri Arga dan juga Dosen Seni Tari dan Musik di UNIMED (Universitas Negeri Medan). Penulis lalu meminta izin untuk belajar tari piring di sanggar tersebut sembari menyerahkan surat izin penelitian kepada Iskandar Muda atau yang biasa disapa dengan ‘Bang Is’. Bang Is pun merespon dengan baik tujuan penulis dan memberikan informasi mengenai sanggar tari Tri Arga.

  Melalui bang Is penulis mengetahui siapa-siapa saja yang akan menjadi informan peneliti yakni : penari di sanggar, pemusik serta penikmat tari piring yakni konsumen . Di sanggar Tri Arga, penulis diajarkan tari piring yang biasanya ditarikan oleh anggota sanggar tersebut. Bang Is mengatakan bahwa tari Piring yang ditarikan disanggar Tri Arga merupakan hasil kreasinya ketika ia menyelesaikan Program Magister di Kota Solo. Tari piring itu iya namai Tar i

  

Piring Lenggok Si Anak Dagang . Menurut bang Is, tari piring ini adalah hasil komodifikasi dari tari piring golek yang dulu ia pelajari di ASKI Padang Panjang. Bang Is juga menyarankan penulis untuk datang ke BM3 (Badan Musyawarah Masyarakat Minang) untuk melihat bagaimana bentuk tari piring yang menurutnya masih tradisi.

  Selanjutnya penulis pergi ke BM3 untuk melihat bagaimana bentuk tari piring yang diceritakan oleh bang Is. Penulis mendatangi BM3 pada siang hari, akan tetapi keadaan disana sangat sepi dan tidak ada kegiatan tari-menari, yang ada hanya petugas kebersihan yang sedang menyapu halaman BM3. Kemudian penulis bertanya “adakah kegiatan tari menari disini ?”, lalu ia menjawab bahwa ia tidak tahu apa-apa dan menyarankan penulis untuk menghubungi pengelola BM3 dan memberikan nomer handphone pengelola tersebut.

  Penulis kemudian menghubungi Pak Mayunas yang merupakan pengelola kelompok tari yang ada di BM3. Melalui Pak Mayunas penulis mendapatkan informasi bahwa kelompok tari di BM3 yang masih aktif ada 2 kelompok, yaitu Tuah Sakato dan IKSA (Ikatan Kesenian Sri Antokan). IKSA latihan menari pada setiap hari Rabu jam 9 malam, sedangkan Tuah Sakato latihan menari pada setiap hari Kamis jam 9 malam.

  Berbekalkan informasi yang diberikan Pak Mayunas, penulis kembali mendatangi BM3 pada hari Rabu tepat jam 9 malam, penulis membawa teman untuk menemani yaitu Bang Rholand dikarenakan penulis tidak berani keluar malam jika sendirian. Pada malam itu yang lagi latihan ialah IKSA, pertama sekali penulis hanya mengamati anggota-anggota IKSA latihan. Mereka menarikan beberapa jenis tarian Minangkabau yaitu : tari randai, tari persembahan, tari galombang, dan tari rantak. Akan tetapi penulis belum melihat mereka menarikan tari piring, penulis terus menunggu hingga waktu menunjukkan jam setengah 12 malam mereka baru menarikan tari piring diakhir latihan mereka. Setelah latihan penulis mendatangi pelatih tari di IKSA yaitu Henriri. Penulis mulai menanyakan mengenai kelompok tari mereka dan tari piring. Penulis pun menjelaskan maksud penulis datang kesana dan menanyakan izin untuk belajar tari piring disana. Hendri pun menyetujuinya dan mempersilahkan penulis untuk datang pada latihan minggu depannya.

  Keesokan harinya pada hari Kamis tepat jam 9 malam penulis datang lagi ke BM3 untuk melihat latihan tari kelompok tari Tuah Sakato. Disana penulis melihat tari-tarian yang ditarikan kelompok Tuah Sakato sama dengan IKSA, bedanya tari piring tidak ditarikan di akhir latihan. Oleh karena itu penulis memutuskan untuk melakukan penelitian pada kelompok tari IKSA saja.

  Kemudian minggu depannya penulis datang lagi ke IKSA, mereka menarikan tari piring golek, menurut ketua IKSA yaitu Pak Nazar tari piring golek ia pelajari di ASKI Padang Panjang dan menurutnya tari piring golek ini masih tradisi. Pada penelitian ini, penulis mempelajari 2 jenis yaitu : tari piring Lenggok

  

Si Anak Dagang sebagai hasil komodifikasi (sanggar Tri Arga) dan tari piring

golek (IKSA di BM3) sebagai bentuk tari piring yang masih tradisi. Sejauh ini

  tidak ada kesulitan yang serius dalam melakukan penelitian ini, hanya saja terkadang orangtua penulis cemas dikarenakan penulis selalu pulang malam setelah penelitian jam latihan IKSA yang terlampau malam.