Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan)

(1)

TARI PIRING

(Studi Etnografi Mengenai Komodikasi Tari Piring di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial

dalam bidang Antropologi

Oleh

Indah Fikria Aristy

090905039

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Indah Fikria Aristy

Nim : 090905039

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan)

Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen,

Dra. Nita Savitri, M.Hum Dr. Fikarwin Zuska NIP. 19610125 198803 2 001 NIP.19621220 198903 1 005

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

NIP. 19680525 199203 1 002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(3)

PERNYATAAN ORIGINALITAS

TARI PIRING (STUDI ETNOGRAFI MENGENAI KOMODIFIKASI TARI PIRING DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juni 2014


(4)

ABSTRAK

Indah Fikria Aristy, 2014. Judul skripsi : Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan). Skripsi terdiri dari 5 Bab, 111 halaman, 6 tabel, dan 17 gambar.

Tulisan ini berjudul Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses komodifikasi pada Tari Piring dan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara terhadap dua kategori informan yaitu informan yang merupakan pelaku komodifikasi tari piring di sanggar tari Tri Arga, Ikatan Kesenian Sri Antokan dan sanggar tari La Tansa, kategori kedua ialah informan yang merupakan penikmat (konsumen) yang memesan tari piring untuk pertunjukkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi tari piring di Kota Medan terjadi akibat dua hal, yakni komodifikasi secara internal dan komodifikasi eksternal. Komodifikasi tari piring di Kota Medan meliputi komodifikasi gerak tari piring, pakaian penari, musik pengiring pertunjukan tari piring hingga pada komodifikasi bentuk pertunjukan tari piring. Gerakan tari piring dalam pertunjukan di Kota Medan mengalami proses komodifikasi gerak yang dipengaruhi oleh beberapa alasan, diantaranya kebutuhan penari, permintaan atas pertunjukan dan penyesuaian penciptaan reka gerak tari.Komodifikasi pada pakaian penari tari piring terjadi dikarenakan adanya usaha interaksi antara tari piring dengan kondisi sosial kultural setempat, dan juga sebagai suatu bentuk usaha untuk membuat tampilan tari piring lebih menarik dari segi pakaian penari.

Komodifikasi terhadap musik pengiring pertunjukan tari piring terjadi dalam bentuk menggeser peran pemusik dengan kehadiran musik rekaman yang diputar sebagai pengiring pertunjukan. Bagi sebahagian individu dengan adanya kehadiran musik rekaman sebagai pengiring pertunjukan tari piring dianggap sebagai faktor efisiensi dan ringkas, sehingga sanggar tari yang melakukan pertunjukan tari tidak dibebani oleh kelengkapan pemusik.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirrahmanirrahim dengan kesungguhan hati dan segala rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa shalawat beriringkan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, rasul yang menjadi suri tauladan bagi umat manusia dan mampu membawa perubahan di dunia ini, insyaAllah syafa’at beliau masih kita nantikan sampai di ya’umil akhir kelak, Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Dalam proses pembuatan skripsi penulis mengalami pasang surut semangat. Namun berkat dukungan dan doa dari kedua orang tua yaitu Ibunda tercinta Dra. Aisyah, M.Ag dan Ayahanda tercinta Drs. Irwansyah M.Ag yang selalu memberikan motivasi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya dan tak bosan-bosan memberikan nasihat agar penulis menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan dan keikhlasan hati yang selama ini diberikan kepada penulis, semoga kelak penulis dapat memenuhi segala harapan Ibunda dan Ayahanda. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada adik-adik tersayang Ziyara Marwah, Ade Kisty, Muhammad Harsa, dan Dhara Vandini yang selalu mengisi hari-hari penulis dengan canda dan tawa. Pesan penulis kepada adik-adik untuk selalu rajin belajar, beribadah dan selalu mendoakan Ayah dan Mama.


(6)

Badaruddin M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, kepada Bapak Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial dan Bapak Agustrisno, M.SP selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang selalu memberikan ilmu dan arahan selama masa studi penulis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum selaku dosen pembimbing yang tidak bosan-bosannya mengingatkan penulis, memberikan ilmu, arahan, motivasi sekaligus menjadi tempat curahan hati penulis mulai dari awal penyusunan proposal hingga sekarang. Terima kasih juga penulis ucapakan kepada Kak Nur dan Kak Sofi yang telah membantu administrasi penulis dari masa perkuliahan sampai sekarang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kak Raihan, Rini, Bang Oyok, Bg Iskandar, Kak Ola, Baim, Bang Nathan, Bang Aan, si kecil shifwa dan semua penari serta pemusik di sanggar Tari Tri Arga yang sudah penulis anggap seperti keluarga sendiri. Begitu juga teman-teman yang di sanggar tari La Tansa dan IKSA, penulis ucapkan terima kasih.

Penulis juga merasa bangga dan bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang selalu disisi penulis dikala suka maupun duka, terima kasih banyak kepada Creyssant (ican), Yusfirza (mbak yus), Millatina Urfana dan Millatina Urfani. Dan terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan stambuk 2009, Lita, Intan, Yohana, Abdul, Zulfa, Rianda, Mbak Tere, Naya, Kiko, Imah, Alkindy dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu-persatu, semoga kita selalu sukses dan meraih apa yang kita cita-citakan selama ini. Dan tak lupa pula buat abangda Ibnu Avena, Siwa Kumar dan Gifari Azhari yang telah banyak membantu


(7)

dan membimbing penulis. Kepada seluruh pihak yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu sejak penulis memulai studi hingga sekarang, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan dan keikhlasan hati kita semua. Amin.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terkasih Rholand Muary, yang selalu ada menemani disaat suka maupun duka, memberi motivasi, serta nasihat agar penulis menjadi lebih baik lagi kedepannya. Semoga kelak kita dapat mencapai apa yang kita cita-citakan, Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengakui banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam skripsi ini. Penulis mohon maaf atas kekurangan tersebut. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Juni 2014


(8)

Riwayat Hidup

Nama : Indah Fikria Aristy

Alamat : Jalan Selamat No 77B Simp Limun Kecamatan Medan Amplas

Ema

Pendidikan :

• SD Swasta Eria Medan lulus tahun 2003

• SMP Al-Ulum lulus tahun 2006

• SMA Al Ulum lulus tahun 2009

• Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Sumatera Utara.

Kegiatan yang dilakukan dalam masa proses perkuliahan diantaranya :

• Interviewer dalam program “Analisis Mengenai Dampak TPA Terjun dan TPA Namo Bintang Terhadap Kesehatan Lingkungan Sekitar”. Pada tahun 2011.


(9)

• Peserta Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.

• Surveyor dalam Program “Survey Publik Mengukur Efektivitas Sosialisasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Tahun 2012” Oleh Cika Indonesia.

• Surveyor dalam program “Kesadaran Masyarakat terhadap Implementasi Nilai-Nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam Kerangka Kewarganegaraan”. Oleh Prisma Resource Centre LP3ES pada tahun 2012.

• Surveyor dalam program “Kesedian dan kepuasaan masyarakat terhadap Instalasi Pembuangan Air Limbah PDAM Tirtandi”. Pada tahun 2013

• Surveyor dalam program “Analisis Dampak Lingkungan Sosial dan Ekonomi Masyarakat atas Penanaman Pipa Air Limbah dan Penempatan Manhole di Wilayah Adminidtratif Kota Medan” oleh Lateral pada tahun 2013.

• Baseline Surveyor dalam program “Proyek Pembangunan Kapasitas Pemuda, Wartawan dan Masyarakat Sipil di Kota Medan” oleh ACTED pada tahun 2013. • Surveyor dalam program “Survey Brand and Reputasi BUMN 2013” oleh Cika

Indonesia pada tahun 2013.

• Surveyor dalam program “Survey Evaluasi Mengenai Sosialisasi Program Kependudukan & Keluarga Berencana”. Oleh Cika Indonesia pada tahun 2013.

• Surveyor dalam program “Studi Opini Publik tentang implementasi 4 pilar dan GBHN DALAM Rangka Integrasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan daerah”. Oleh CSRC ( Centre For The Study of Religion and Culture) pada tahun 2013.


(10)

• Surveyor dalam program “Survey Kepuasan Pelanggan terhadap Pelayanan PDAM”. Pada tahun 2014.

• Midterm Surveyor dalam program “Proyek Pembangunan Kapasitas Pemuda, Wartawan dan Masyarakat Sipil di Kota Medan” oleh ACTED pada tahun 2014.


(11)

KATA PENGANTAR

Judul skripsi adalah “TARI PIRING” (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan). Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berisi kajian berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada koreografer, penari, pemusik serta penikmat tari piring. Mengkaji bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya.

Penulis memahami masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, maka saran dan masukan pembaca sangat dibutuhkan guna penyempurnaan. Demikian pengantar dari saya, semoga skripsi ini bermanfaat memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2014

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

Halaman

PERNYATAAN ORIGINALITAS...i

ABSTRAK... ...ii

UCAPAN TERIMAKASIH...iii

RIWAYAT HIDUP...vi

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR...xiii

BAB I. PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2. Tinjauan Pustaka...6

1.2.1. Kebudayaan...7

1.2.2. Kesenian...9

1.2.3. Pertunjukkan dan Interpretasi Simbol Tari...10

1.2.4. Globalisasi dan Perubahan...12

1.3. Rumusan Masalah...14

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian...15

1.5. Sistematika Penulisan ...15

1.6. Metode Penelitian...16

1.6.1. Teknik Observasi...16

1.6.2. Teknik Wawancara...17

1.6.3. Analisis Data...18

1.7. Lokasi Penelitian...19

1.8. Pengalaman Penelitian...20

BAB II. ETNIK MINANGKABAU DI MEDAN...23

2.1. Deskripsi Kota Medan...23.

2.1.1. Kota Medan Secara Geografis...25

2.1.2. Kota Medan Secara Demografis...27

2.1.3. Kota Medan Secara Kultural...30


(13)

2.3. Organisasi Sosial Minangkabau di Kota Medan...34

2.3.1. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)...35

2.3.2. Ikatan Keluarga Bayur (IKB)………...36

2.3.3. Sulit Air Sepakat (SAS)………...37

2.4. Sanggar Tari Minangkabau di Kota Medan………37

2.4.1. Sanggar Tari Tri Arga………..37

2.4.2. Ikatan Kesenian Sri Antokan (IKSA)………..39

2.4.3. Sanggar Tari La Tansa……….40

BAB III. TARI PIRING...42

3.1. Sejarah Tari Piring...42

3.1.1. Tari piring di Kota Medan...49

3.2. Makna Gerak Tari Piring...50

3.3. Fungsi dan Penggunaan Tari Piring...62

3.4. Musik pada Tari Piring...70

3.4.1. Talempong...71

3.4.2. Pupuik Batang Padi...72

3.4.3. Tansa (Tasa)...73

3.4.4. Tambur (Tambua)...74

3.4.5. Saluang...76

3.5. Pakaian dan Peralatan Tari Piring...78

BAB IV. KOMODIFIKASI TARI PIRING DI KOTA MEDAN...82

4.1. Komodifikasi Gerak...83

4.2. Komodifikasi Pakaian...87

4.3. Komodifikasi Musik...90

4.4. Komodifikasi Pertunjukkan...94

4.4.1. Pertunjukkan...95

4.4.2. Pemasaran...98

4.4.3. Harga...99

4.4.4. Konsumen...101

BAB V PENUTUP...104

5.1. Kesimpulan...104

5.2. Saran...107

DAFTAR PUSTAKA……….108 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur 29

Tabel 2 Penduduk Kota Medan Menurut Junis Kelamin tahun 2000-2009

30 Tabel 3

Tabel 4 Tabel 5

Tabel 6

Gerak Dasar dalam Tari Piring

Gerakan Tari Piring Meniru Gerakan Ekologis (Hewan dan Tumbuhan).

Gerakan Tari Piring Berdasarkan Perilaku Sosial Manusia. Paket dan Harga Pertunjukkan Tari Piring di Kota Medan.

53 56 57 100


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Wilayah Kota Medan dan Persebaran Perantauan Minangkabau

33 Gambar 2 Kegiatan Latihan Menari IKSA di teras Gedung BM3. 40 Gambar 3 Iqbal sedang Memainkan Alat Musik Tansa 40 Gambar 4 Raihan sedang Mengajarkan Tari Saman 41

Gambar 5 Talempong dan Alat Pemukulnya 72

Gambar 6 Pupuik Batang Padi 73

Gambar 7 Tansa dan Alat Pemukulnya 74

Gambar 8 Tambur yang Tersusun di Depan Gedung BM3 75

Gambar 9 Saluang 76

Gambar 10 Penari IKSA menggunakan pakaian berwarna hitam dan merah.

79 Gambar 11 Dua Buah Piring yang digunakan pada tari piring 80 Gambar 12 Gerakam sambah pembuka yang diperagakan oleh penari Tri

Arga

83 Gambar 13 Gerakan sambah penutup yang diperagakan oleh penari Tri

Arga

84 Gambar 14 Pecahan botol kaca yang digunakan IKSA pada

pertunjukkan tari piring

86 Gambar 15 Pakaian penari sanggar tari Tri Arga 88 Gambar 16 Pemusik sanggar Tri Arga memaikan alat musik Tambur 92 Gambar 17 Penari Tri Arga berpose pada akhir pertunjukkan tari piring 96


(16)

ABSTRAK

Indah Fikria Aristy, 2014. Judul skripsi : Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan). Skripsi terdiri dari 5 Bab, 111 halaman, 6 tabel, dan 17 gambar.

Tulisan ini berjudul Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses komodifikasi pada Tari Piring dan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara terhadap dua kategori informan yaitu informan yang merupakan pelaku komodifikasi tari piring di sanggar tari Tri Arga, Ikatan Kesenian Sri Antokan dan sanggar tari La Tansa, kategori kedua ialah informan yang merupakan penikmat (konsumen) yang memesan tari piring untuk pertunjukkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi tari piring di Kota Medan terjadi akibat dua hal, yakni komodifikasi secara internal dan komodifikasi eksternal. Komodifikasi tari piring di Kota Medan meliputi komodifikasi gerak tari piring, pakaian penari, musik pengiring pertunjukan tari piring hingga pada komodifikasi bentuk pertunjukan tari piring. Gerakan tari piring dalam pertunjukan di Kota Medan mengalami proses komodifikasi gerak yang dipengaruhi oleh beberapa alasan, diantaranya kebutuhan penari, permintaan atas pertunjukan dan penyesuaian penciptaan reka gerak tari.Komodifikasi pada pakaian penari tari piring terjadi dikarenakan adanya usaha interaksi antara tari piring dengan kondisi sosial kultural setempat, dan juga sebagai suatu bentuk usaha untuk membuat tampilan tari piring lebih menarik dari segi pakaian penari.

Komodifikasi terhadap musik pengiring pertunjukan tari piring terjadi dalam bentuk menggeser peran pemusik dengan kehadiran musik rekaman yang diputar sebagai pengiring pertunjukan. Bagi sebahagian individu dengan adanya kehadiran musik rekaman sebagai pengiring pertunjukan tari piring dianggap sebagai faktor efisiensi dan ringkas, sehingga sanggar tari yang melakukan pertunjukan tari tidak dibebani oleh kelengkapan pemusik.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tulisan ini mendeskripsikan mengenai Komodifikasi pada Tari Piring dan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya.

Komodifikasi terjadi karena adanya pengaruh dari globalisasi. Globalisasi mengakibatkan semakin pudarnya batas-batas wilayah dalam konteks negara-bangsa yang akhirnya semakin menguatkan identitas. Saat ini dunia sedang berkembang dalam segala aspeknya, begitu juga dengan kebudayaan begitu mudah menjalar dan bercampur menembus batas wilayah, saat itulah identitas menjadi sesuatu yang paling dicari. Hal ini dapat dilihat bahwa Kota Medan memiliki beragam etnik. Salah satu etnik yang ada di Kota Medan yakni etnik Minangkabau. Etnik Minangkabau merupakan etnik yang secara administratif wilayah kulturalnya berada di Sumatera Barat. Meskipun sekarang zaman telah berubah, dan kebudayaan semakin universal dalam naungan dunia yang global, etnik Minangkabau tidak begitu saja melepaskan identitas budayanya, yang


(18)

sekaligus sebagai jati diri mereka.

Tari Piring merupakan salah satu kesenian yang menunjukkan identitas masyarakat Minangkabau. Di tengah kuatnya arus globalisasi agar bisa tetap bertahan tari piring mengalami banyak perubahan-perubahan yakni, dalam gerakan, pakaian, musik serta penggunaannya. Tari piring merupakan tarian tradisi yang berakar pada kebudayaan Minangkabau. Sekilas tari piring juga menggambarkan penggunaan material piring sebagai bagian dari gerakan dalam tarian. Dalam perkembangan saat ini, tari piring telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Perubahan dalam bentuk penyesuaian maupun perubahan secara keseluruhan yang bertujuan memberikan ruang bagi tari piring dalam kehidupan saat ini.

Untuk dapat menjelaskan tari piring secara menyeluruh, maka perlu kiranya penjelasan mengenai tari piring dalam konteks sejarah dan bentuk serta kebudayaan yang menaunginya. Dalam hal ini penjelasan akan dimulai dengan sejarah tari piring yang disertai dengan bentuk dan nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terangkum dalam pertunjukan tari piring.

Tari Piring atau dalam bahasa setempat disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu bentuk seni tari tradisonal di daerah Minangkabau yang dipercaya berasal dari Kota Solok, provinsi Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama, piring-piring tersebut dipergunakan dengan cara diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur pada tangan kiri dan kanan penari, gerakan tarian ini juga mensyaratkan piring tidak boleh terlepas dari genggaman tangan.


(19)

Menurut wikipedia secara sejarah, tari piring dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan Pagaruyung, yang berkuasa di wilayah Minangkabau pada abad ke 14. Tari ini merupakan bentuk ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa yang dipengaruhi oleh bentuk kepercayaan lama atas hasil panen yang melimpah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring dan melangkah membawa piring tersebut dengan gerakan-gerakan tertentu1

Setelah masuknya pengaruh agama Islam ke daerah Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi digunakan sebagai bentuk ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada bentuk acara-acara yang bersifat hiburan. Hal ini disebabkan pengaruh agama Islam yang kuat dan menghindari bentuk ritual yang dianggap tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam

.

2

“In addition to the pre-Muslim and Muslim strata, a third musical layer is found in the Minangkabau area, especially along the coast; it incorporates the partially Westernized Malay songs called lagu Minang moderen ("modern Minangkabau songs"), set to poetic texts and generally accompanied by biola (violins), guitars, rabana, and drums. They are frequently used to accompany dances, such as the happy tari lilin, the gay tari piring ("plate" or "saucer

.

Keterkaitan antara tari piring dalam kebudayaan Minangkabau dengan masuknya pengaruh agama Islam merupakan catatan penting tersendiri. Hal ini terdapat dalam pendapat Kartomi ( 1983 :116) yang menuliskan bahwa :

1

“Tari Piring”

2

“Etnis Minangkaba 1 Juni)


(20)

dance," sometimes with candles attached to the plates), and the sad love dance tari slendang ("scarf dance").” (Selain strata pra-Muslim dan pra-Muslim, lapisan musik ketiga ditemukan di daerah Minangkabau, terutama di sepanjang pantai; menggabungkan lagu-lagu Melayu sebagian kebarat-baratan yang disebut moderen lagu-lagu Minang ("Minangkabau lagu yang modern"), set ke teks puitis dan umumnya disertai oleh Biola (biola), gitar, Rabana, dan drum. Mereka sering digunakan untuk mengiringi tarian, seperti tari lilin bahagia, gay tari Piring ("piring" atau "tari piring," kadang-kadang dengan lilin yang melekat pada piring), dan sedih tari tarian cinta slendang ("syal tari").

Gerakan tari piring secara umum adalah dengan meletakkan dua buah piring di atas dua telapak tangan yang kemudian diayun dan diikuti oleh gerakan-gerakan tangan dan kaki yang cepat, dan diselingi dentingan piring atau dentingan dua cincin di jari penari terhadap piring yang dibawanya. Pada akhir tarian, biasanya piring-piring yang dibawakan oleh para penari dilemparkan ke lantai dan kemudian para penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring tersebut. Tarian ini diiringi oleh kelompok musik yang memainkan alat musik ritmis Talempong dan alat musik melodis Saluang. Jumlah penari biasanya berjumlah ganjil yang terdiri dari tiga sampai tujuh orang.

Tari piring juga merupakan bentuk yang merepresentasikan kebudayaan Minangkabau secara luas dan juga bentuk interkoneksi dalam tubuh manusia, setidaknya hal ini merunut pada pendapat Mason (2008:191) yang mengatakan bahwa :

“Tari Piring, an iconic dance of the Minangkabau people from West Sumatera, as an example to demonstrate how these diverse art forms can provide doorways into how the processes of the embodied brain are intertwined with society, culture and the environment. (Tari Piring, tari ikon masyarakat Minangkabau dari Sumatera Barat, sebagai contoh untuk menunjukkan bagaimana bentuk seni yang beragam ini dapat memberikan pintu ke bagaimana proses otak diwujudkan terjalin dengan masyarakat,


(21)

budaya dan lingkungan).

Tari Piring merupakan sebuah simbol masyarakat Minangkabau. Gerak dalam tari piring didasarkan pada langkah-langkah yang terdapat pada gerakan Silat atau Silek. Silek adalah seni bela diri yang dilatih oleh masyarakat Minangkabau. Langkah-langkah itu dikembangkan dengan menghiasi gerakan tangan menggunakan piring. Menurut masyarakat Minangkabau, berlatih keseimbangan tari piring sama dengan melatih tenaga dalam yang terdapat dalam Silat atau Silek.

Tari piring dalam lintasan sejarah perkembangannya memiliki gerakan-gerakan yang bersifat tidak terbuka dalam artian gerakan-gerakan tari piring tertutup bagi individu di luar Minangkabau. Hal ini dipengaruhi oleh gerakan tari piring yang berdasar pada gerak bela diri Silek. Sekarang ini tari piring sudah berkembang dalam beberapa jenis pertunjukan, sehingga gerakan-gerakan tari piring lebih terbuka. Gerakan-gerakan yang lebih terbuka ini juga bernilai sebagai aspek yang menarik dan hiburan bagi masyarakat. Selain itu, proses perubahan dalam tari piring juga terjadi pada musik yang mengiringinya, setidaknya hal ini semakin menambah kuat nilai hiburan yang terdapat dalam tari piring. Perubahan yang terjadi pada tari piring memberikan gambaran bahwa kedekatan secara hiburan telah membawa pengaruh yang besar dalam pertunjukan tari piring yang dipengaruhi gerak tari piring yang mengalami perubahan dan menjauh dari gerak dasar Silek3

Perubahan dalam konteks tari piring tidak hanya terjadi dalam bentuk .

3


(22)

hiburan lokal, melainkan juga bentuk perubahan yang disebabkan oleh perpindahan tempat, proses migrasi atau perpindahan masyarakat Minangkabau ke daerah lain turut serta membawa nilai adat budaya Minangkabau dan pada proses selanjutnya, migrasi tersebut juga merubah nilai adat budaya Minangkabau yang menyesuaikan bentuk dan fungsinya pada keadaan lingkungan setempat.

Proses perubahan adalah bentuk yang umum terjadi pada kehidupan. Perubahan juga dapat dianggap sebagai bentuk dinamis dalam suatu kebudayaan. Dalam hal ini tari piring juga merupakan bentuk dinamis yang menyesuaikan bentuknya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

Penelitian menjelaskan bagaimana proses komodifikasi yang dilakukan pada Tari Piring di Kota Medan agar tari piring yang merupakan kesenian bagi masyarakat Minangkabau dapat tetap bertahan di era globalisasi ini, serta bagaimana perubahan fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.2. Tinjauan Pustaka

Proses perjalanan suatu penelitian memerlukan tinjauan pustaka sebagai hal yang membatasi penelitian terhadap fokus kajian penelitian agar tidak keluar dari tujuan awal. Dalam penelitian yang dilakukan tinjauan pustaka yang dipergunakan terbagi atas beberapa bagian, yaitu : kebudayaan, seni tari, perubahan (komodifikasi) dan pertunjukan sebagai interpretasi simbol.


(23)

1.2.1 Kebudayaan

Konsepsi mengenai kebudayaan diperlukan untuk melihat penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari penelitian kebudayaan, dengan fokus pada bagian kebudayaan, yaitu kesenian yang secara khusus adalah seni tari.

Kesenian secara sederhana merupakan simbol ekspresi manusia yang lazim disebut kebudayaan. Gambaran umum mengenai suatu kebudayaan selalu dilekatkan terhadap proses kesenian, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk perilaku.Untuk dapat melihat kesenian dalam lingkup yang luas, diperlukan adanya pemahaman mengenai kebudayaan sebagai akar dari kesenian tersebut. Merunut pada lintasan sejarah yang mengungkapkan mengenai kaitan antara kebudayaan dan kesenian, setidaknya dapat dilihat dari pendapat Malinowski (1944:36) yang mengatakan kebudayaan sebagai :

“It obviously is the integral whole consisting of implements and consumers good, of constitutional charters for the various social groupings, of human ideas and crafts, belief and customs.”(Ini jelas adalah seluruh integral yang terdiri dari alat-alat dan konsumen yang baik, piagam konstitusional untuk berbagai kelompok sosial, ide-ide manusia dan kerajinan, kepercayaan dan adat istiadat).

Pendapat Malinowksi ini secara sederhana memberi pandangan mengenai kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral dan terdiri dari penerapan serta penggunaan yang terdiri dari kelompok sosial, ide pemikiran, materi atau hasil budaya, kepercayaan dan tradisi. Berdasarkan pendapat Malinowski tersebut dapat dikatakan bahwa kesenian dan seni tari termasuk dalam bentuk ide pemikiran, hasil budaya atau bentuk tari yang menentukan ekspresi kelompok sosial, dalam hal ini masyarakat Minangkabau.


(24)

telah dikemukakan oleh E.B Tylor (1871:1) dan diterjemahkan secara khusus sebagai :

“Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” (Budaya atau peradaban, diambil dalam arti etnografis yang luas, adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, dan lain kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat).

Kebudayaan menurut definisi E.B Tylor dipersepsikan sebagai bentuk peradaban kompleks yang didalamnya memuat pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum dan kemampuan lain yang dibutuhkan seorang manusia dalam kehidupannya.

Kutipan dari Hatcher (1999:1-2) mengatakan bahwa budaya lebih berpengaruh dari seni, hal ini disebutkannya sebagai :

“Culture in anthropological sense means much more than the arts; it is conceived as the sum of all the learned, shared behavior of human beings: how they make a living, produce things, organize their societies, and use languange and other symbolic forms. Culture is the distinctively human means of survival. Each and every society has a more or less consistent way of life, a culture.”(Budaya dalam arti antropologis berarti lebih dari seni; itu dipahami sebagai jumlah dari semua dipelajari, berbagi perilaku manusia: bagaimana mereka mencari nafkah, menghasilkan hal-hal, mengatur masyarakat mereka, dan menggunakan bahasa dan bentuk simbolis lainnya. Budaya adalah cara khas manusia untuk bertahan hidup. Masing-masing dan setiap masyarakat memiliki cara yang lebih atau kurang konsisten dari kehidupan, budaya).

Pendapat mengenai kebudayaan tersebut dalam konteks ini dilihat sebagai suatu usaha penjelasan secara keseluruhan mengenai fokus perhatian yang meliputi beragam aspek dalam kehidupan masyarakat dan kesenian.


(25)

1.2.2. Kesenian

Salah satu bentuk kesenian tradisional adalah tarian, tarian secara sederhana merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia yang turut membawa nilai kebudayaan yang melingkupinya, tarian dapat juga dapat diartikan sebagai gerak berkesinambungan yang mewakili suatu nilai tertentu, hal ini juga terdapat dalam tarian piring yang lazim disebut dengan tari piring.

Untuk memahami kesenian, maka definisi atas seni diperlukan agar kesenian yang dimaksudkan dalam penelitian ini sesuai dengan konsepsi kesenian itu sendiri. Pendapat Hatcher (1999:1) mendeskripsikan seni sebagai :

“Art is something that human beings do in a great many ways, for a great many reasons, and if one is curious about art or about people it is natural to ask questions about the whole process and the whole background or context of an art style.” (Seni adalah sesuatu yang manusia lakukan dalam banyak cara yang besar, untuk banyak alasan yang besar, dan jika ada yang ingin tahu tentang seni atau tentang orang-orang adalah wajar untuk bertanya tentang seluruh proses dan seluruh latarbelakang atau konteks gaya seni).

Sebagai proses memahami seni dalam kehidupan masa kini yang melebarkan definisi seni dari seni tradisi hingga seni modern, hal ini didesksripsikan oleh Hatcher (1999:8) sebagai :

“In studying the art of a particular culture it would be ideal if we could determine the way the people themselves distinguish artistic work from the purrely utilitarian ... In actual modern usage, the word “art” is no longer limited to sculpture and painting, happenings, and whatever, so that the narrow definitions of the past do not limit the cross-cultural view as they once did.”(Dalam mempelajari seni budaya tertentu akan ideal jika kita bisa menentukan cara masyarakat sendiri membedakan karya artistik dari purrely utilitarian ... Dalam penggunaan modern yang sebenarnya, kata "seni" tidak lagi terbatas pada patung dan lukisan, kejadian, dan apa pun, sehingga definisi sempit masa lalu tidak membatasi pandangan lintas-budaya seperti yang pernah mereka lakukan).


(26)

1.2.3. Pertunjukan dan Interpretasi Simbol Tari

Tari piring sering ditampilkan diberbagai pertunjukan yaitu pada acara pernikahan, acara adat Minangkabau, khitanan, serta untuk menyambut tamu-tamu penting. Pertunjukan dalam pembahasan ini mengutip pendapat Erving Goffman, dimana pendapatnya mengenai pertunjukan menjadi rujukan bagi definisi pertunjukan dalam ranah antropologi oleh Victor W. Tuner. Pendapat Goffman (1956:13) mengenai pertunjukan dalam bentuk kehidupan sehari-hari adalah :

“the term 'performance' to refer to all the activity of an individual which occurs during a period marked by his continuous presence before a particular set of observers and which has some influence on the observers.”( pertunjukkan, istilah untuk mengacu pada semua aktivitas individu yang terjadi selama periode yang ditandai oleh kehadirannya terus menerus sebelum set tertentu dari pengamat dan yang memiliki beberapa pengaruh pada pengamat).

Selain bentuk kegiatan pertunjukan dalam kehidupan sehari-hari, pertunjukan secara spesifik dalam bentuk pertunjukan seni tari diartikan oleh Mazzola (2011:14) sebagai :

'”Performance is viewed as an exact expression of a work’s content, as a whole and in parts. Here appears for the first time the idea of an individual and “autonomous” work character, which requires a specific treatment in order to achieve adequate expression of contents.” (Pertunjukkan dipandang sebagai ekspresi yang tepat dari konten pekerjaan ini, secara keseluruhan dan di bagian. Berikut muncul untuk pertama kalinya gagasan individu dan "otonom" karakter kerja, yang membutuhkan perawatan khusus untuk mencapai ekspresi memadai isinya).

Secara khusus, kaitan antara pertunjukan seni dan usaha interpretasi juga diungkapkan oleh Royce (2004:8) sebagai berikut :

“Performance implies a certain level of competence. What happens between that technical competence and interpretation has to do


(27)

with style and with artistry. Here, we must shift from a codified to a metaphorical vocaboluary. Style implies individual choices about interpretation. We may speak of style in two ways. First, we can identify style in the sense of those choices that make an individual performer immediately recognizable. Second, we can speak of style that tries to carry out the intention of the creator so that the performer become simply the medium, although by no means a passive one.” (Pertunjukan menunjukkan tingkat kompetensi tertentu. Apa yang terjadi antara kompetensi teknis dan interpretasi harus dilakukan dengan gaya dan dengan kesenian. Di sini, kita harus beralih dari kodifikasi ke kosakata penggambaran. gaya menunjukkan pilihan individu tentang interpretasi. Kita mungkin berbicara tentang gaya dalam dua cara. Pertama, kita dapat mengidentifikasi gaya dalam arti dari pilihan-pilihan yang membuat seorang pemain individu segera dikenali. Kedua, kita dapat berbicara tentang gaya yang mencoba untuk melaksanakan niat pencipta sehingga pelaku menjadi hanya media, meskipun tidak berarti pasif).

Selanjutnya, selain bentuk usaha interpretasi dari pertunjukan seni juga terdapat fungsi dari usaha interpretasi pertunjukan seni yang dikemukakan Royce (2004:9) bahwa :

“All performing arts share this interpretive function. Dances interpret choreographers, musicians interpret composer, actors interpret dramatists, or, in the case of the commedia dell'arte, actors interpret commonly understood plots and stories adding the spice of political satire.” (Semua seni pertunjukan membagi fungsi penafsiran ini. Tarian menginterpretasikan koreografer, musisi menginterpretasikan komposer, aktor menginterpretasikan dramawan, atau, dalam kasus komedi dell'arte, aktor menginterpretasikan plot umum dipahami dan cerita menambahkan bumbu sindiran politik).

Menurut Saifudin (2005 : 289) Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak


(28)

lagi lainnya. Dalam hal ini penulis akan melihat simbol-simbol melalui gerakan-gerakan pada tari piring, pakaian yang digunakan, serta musik yang dilantunkan pada tari piring.

Brunner (1986:23) mengatakan bahwa kegiatan seni memerlukan pertunjukan sebagai suatu bentuk usaha evaluasi terhadap kegiatan tersebut dan juga sebagai bentuk penyampaian atau komunikasi kepada masyarakat lainnya.

1.2.4. Globalisasi dan Perubahan

Globalisasi adalah suatu kata yang lazim dipergunakan saat ini untuk mengatakan bentuk perubahan yang terjadi dalam hal menjadikan suatu budaya menjadi mendunia, atau dengan kata lain globalisasi adalah bentuk budaya yang dapat diterima secara umum didunia.

Proses menuju global atau mendunia, setidaknya harus memenuhi beberapa unsur yang disebutkan oleh Appadurai (1996:33), yaitu :1. ethnoscapes, 2. mediascapes, 3. technoscapes, 4. financescapes dan 5. ideoscapes. Sehingga dalam hal ini suatu hal menjadi bentuk global ketika telah mencapai cakupan etno, media, teknik, keuangan dan ideologi.

Dalam skala yang kecil, proses globalisasi setidaknya dapat ditandai dengan adanya usaha perpindahan masyarakat atau migrasi dari suatu wilayah menuju wilayah lain dan turut membawa serta nilai adat budayanya, proses perpindahan tersebut juga melakukan usaha penyesuaian nilai adat budaya pada daerah setempat.

Rodriguez (2007:4) menyatakan bahwa :


(29)

human displacement and the construction of a new political space where transcultural interaction as a result of global movements operates as a critical tool in regard to both migratory and identitary politics.” (ada hubungan erat antara dimensi simbolik dari perpindahan manusia dan pembangunan ruang politik baru di mana interaksi lintas budaya sebagai akibat dari gerakan global yang beroperasi sebagai alat yang penting dalam hal politik baik bermigrasi dan identitas politik).

Dalam konteks penelitian ini, tari piring merupakan bagian dari usaha global yang membawa dimensi simbolik masyarakat pendukungnya berupa nilai tradisi dan budaya Minangkabau pada daerah perantauannya dan membangun ruang identitas politis atas nilai tradisi budaya Minangkabau sebagai suatu usaha mempertahankan identitas dalam kompleksitas budaya.

Secara lebih mendalam Mosquera (1994) mengatakan bahwa saat ini seluruh indvidu manusia hidup dalam dunia komunikasi dan pertukaran, dimana globalisasi merupakan bentuk imajiner yang menghubungkan antara satu hal dengan hal lain dalam satu kesatuan jaringan.

Berbicara mengenai perubahan juga turut memperbincangkan mengenai otentikasi yang merujuk pada usaha menghadirkan suatu bentuk “keaslian” namun tidak dalam konteks waktu, tempat dan keadaan sesungguhnya, yang pada awalnya bertujuan menghindari benturan antara kegiatan ritual dan seni dengan kondisi sosial, kultural dan agama. Dalam perjalanan waktu, proses otentikasi terhadap nilai budaya tidak dapat menjadi suatu ukuran dalam melihat suatu bentuk kebudayaan yang berada diluar wilayah kebudayaannya, sehingga untuk melihat hal tersebut diperlukan pemahaman mengenai komodifikasi.

Kahn (dalam Maunati, 2004:24) memberi gambaran mengenai konstruksi identitas menjadi suatu hal yang umum, identitas budaya dibangun berdasarkan


(30)

seperangkat kepercayaan dan bersifat secara organik serta memiliki keterbatasan. Hal ini membuka ruang kebebasan dalam merefleksikan identitas yang disesuaikan dengan kondisi tertentu.

Proses komodikasi terhadap keberadaan tari piring di Kota Medan juga sebagai bentuk usaha yang disebut Auge (1995:45) bahwa bahasa identitas (ekspresi seni) harus dipertahankan dari ancaman dari dalam maupun luar lingkaran etnik untuk menjadikannya tetap berarti dan memiliki nilai bagi masyarakat (etnik) tersebut. Dalam hal ini, penari atau pencipta tari di Kota Medan melakukan komodifikasi dalam bentuk gerakan, pakaian yang digunakan, serta musik yang dilantunkan agar tari piring tetap bertahan dan mengikuti pasar sehingga dapat menarik bagi penikmatnya (konsumen) yang merupakan etnis Minangkabau di Kota Medan sehingga budaya Minangkabau senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan globalisasi. Oleh karena itu saat ini keberadaan kesenian sebagai bagian dari kebudayaan masih tetap bertahan sebagai identitas budaya masyarakat atau suku bangsa Minangkabau di daerah rantau yaitu Kota Medan.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana eksistensi tari piring dalam globalisasi di Kota Medan. Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian berikut :

1. Apa saja bentuk dan fungsi tari piring bagi masyarakat Minang di Kota Medan ?


(31)

2. Bagaimana perubahan bentuk dan penggunaan tari piring saat ini ? 3. Bagaimana proses komodifikasi pada tari piring di kota Medan ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring serta bagaimana proses komodifikasi pada Tari Piring di Kota Medan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya perhatian yang lebih besar terhadap seni tradisi yang semakin lama semakin di era globalisasi ini.

Secara akademis penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dalam bidang Antropologi, khususnya dalam memperkaya literatur mengenai Komodifikasi pada Tari Piring di Kota Medan

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan skripsi secara keseluruhan menjadi sitematis, penulis menyusun sedemikian rupa ke dalam sistematika penulisan. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penyusunannya sebagai berikut:

• BAB I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian sistematika penilisan dan pengalaman penelitian.

• BAB II berisi gambaran singkat kota Medan, perantauan minangkabau di Kota Medan, dan organisasi sosial Minangkabau.


(32)

• BAB III berisi jawaban dari rumusan masalah peneliti yakni tentang sejarah tari piring, makna gerak tari piring, fungsi dan penggunaan pada tari piring serta musik, pakaian dan peralatan pada tari piring.

• BAB IV berisi jawaban dari rumusan masalah peneliti yakni tentang komodifikasi gerak, pakaian, musik dan pertunjukkan pada tari piring.

• BAB V berisi kesimpulan dari hasil semua BAB yang berisi keseluruhan hasil penelitian dan saran penelitian.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Peneliti mengungkapkan native’s point of view4

Dalam kegiatan observasi partisipasi penulis juga ikut serta dalam bagaimana komodifikasi pada tari piring di Kota Medan, bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring di Kota Medan, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Penelitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara.

1.6.1. Teknik Observasi

Observasi yang penulis lakukan ialah obeservasi partisipasi yakni penulis ikut terlibat langsung dilapangan. Proses pengamatan dilakukan dengan cara mengamati ruang dan tempat, siapa pelaku yang terlibat, gerakan-gerakan dalam tari, pakaian dan instrumen yang digunakan dalam tarian, waktu, peristiwa serta aktivitas yang dilakukan oleh penari tari piring di Kota Medan.

4

Native’s point of view adalah mencoba menjelaskan fenomena-fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.


(33)

melakukan aktivitas yaitu ikut mempelajari gerakan tari pada tari piring, . Tujuan penulis melakukan observasi partisipasi ini adalah untuk dapat mendekatkan diri lebih dalam pada objek penelitian sehingga data yang didapat menjadi lebih detail. Penulis mengamati bagaimana cara koreografer menciptakan gerak tari pada Tari Piring, penulis juga mengamati bagaimana proses belajar mengajar tari di sanggar tari Tri Arga, sanggar tari BM3 dan sanggar Latansa.

1.6.2. Teknik Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dua orang yaitu pewawancara (interviewer) yang memberikan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan informasi atau jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 1991 : 135). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, yaitu penulis dan informan berinteraksi satu sama lain dalam waktu yang relatif lama sehingga penulis dapat membangun rapport dengan informan. Penulis membagi informan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : informan kunci dan informan biasa. Informan kunci ialah orang yang paham betul mengenai seluk beluk tari piring, sejarah perkembangan tari piring, gerakan tari piring, jenis tari piring, music tari piring, pakaian yang digunakan penari serta pemusik dan makna dari tiap gerakan pada tari piring. Wawancara khusus peneliti lakukan dengan informan kunci pada ketiga sanggar tari, yaitu informan selaku pelaku dan pencipta gerakan tari piring di sanggarnya, seperti penulis mewawancarai Iskandar di sanggar Tri Arga, Raihan di sanggar Latansa dan Hendri di sanggar BM3.


(34)

Wawancara ini dilakukan dengan waktu dan tempat yang disepakati informan dan penulis, biasanya wawancara dilakukan di sanggar tari masing-masing sembari penulis belajar tari piring. Terkadang penulis juga mendatangi rumah informan kunci untuk melakukan wawancara yang lebih mendalam.

Selanjutnya informan biasa, informan biasa adalah orang-orang yang terlibat dalam tari piring yaitu penari yang menarikan tari piring dan pemusik yang memainkan musik tari piring. Penulis juga mewawancari konsumen yang memesan tari piring untuk acaranya.

Wawancara dilakukan secara langsung akan tetapi tidak menutup kemungkinan wawancara dilakukan melalui media elektronik seperti handphone dan e-mail. Untuk menjaga agar wawancara tetap pada fokus penelitian, penulis akan menggunakan interview guide sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tetap terarah dan tidak lari dari fokus penelitian.

Selain menggunakan interview guide, penulis juga menggunakan recorder untuk merekam proses wawancara dengan informan sehingga dapat mencegah kelupaan dalam memperoleh data.

1.6.3. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian merupakan suatu pandangan mengenai penulis untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh dilapangan. Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan tersebut akan diteliti kembali atau diedit ulang, pada akhirnya kegiatan ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.


(35)

sebagaimana ditulis oleh Emerson (1995:4-5) sebagai :

“Fieldnotes are accounts describing experiences and observations the researcher has made while participating in an intense and involved manner.”(Catatan lapangan yang menggambarkan kumpulan pengalaman dan pengamatan peneliti yang dicatat saat turut berpartisipasi secara intens dan terlibat).

Penelitian antropologis dengan metode etnografi memberikan suatu bentuk analisis data lapangan berupa “ongoing analysis” yang berarti sebagai proses analisa berjalan terhadap kerja lapangan yang berdasarkan pada observasi dan wawancara terhadap informan.

Langkah selanjutnya data-data ini dianalisa secara kualitatif melalui teknik taksonomi data, sehingga data yang diperoleh dapat dikategorikan berdasarkan jenisnya. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian.

1.7. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di kota Medan Provinsi Sumatera Utara di Jalan Dolok Sanggul, kecamatan Medan Kota, sebuah rumah sebagai tempat aktivitas latihan menari dan bermusik yaitu sanggar tari Tri Arga. Jalan Adi Negoro , kecamatan Medan Timur, tempat berdirinya rumah gadang BM3 sekaligus tempat latihan menari, bermusik dan silat oleh kelompok kesenian IKSA (Ikatan Kesenian Sri Antokan). Dan di Jalan Darussalam, yang merupakan tempat berdirinya sanggar La Tansa.


(36)

1.8. Pengalaman Penelitian

Penelitian ini penulis mulai pada 12 September sampai Januari 2013. Pada saat seminar proposal, penguji ujian seminar peneliti menyarankan untuk pergi ke Padang dan melihat bagaimana tari piring yang masih tradisi disana. Akan tetapi penulis tidak bisa pergi ke sana dikarenakan orangtua penulis pergi ke Eropa selama 3 bulan sehingga tidak ada yang menjaga adik-adik penulis di rumah. Jika penulis menunggu orangtua penulis kembali kemudian pergi ke Padang akan memakan waktu yang sangat lama dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengambil keputusan untuk mencari tari piring yang masih tradisi di Kota Medan ini saja.

Pertama sekali penulis menjumpai Iskandar Muda yang merupakan ketua dari Sanggar Tari Tri Arga dan juga Dosen Seni Tari dan Musik di UNIMED (Universitas Negeri Medan). Penulis lalu meminta izin untuk belajar tari piring di sanggar tersebut sembari menyerahkan surat izin penelitian kepada Iskandar Muda atau yang biasa disapa dengan ‘Bang Is’. Bang Is pun merespon dengan baik tujuan penulis dan memberikan informasi mengenai sanggar tari Tri Arga.

Melalui bang Is penulis mengetahui siapa-siapa saja yang akan menjadi informan peneliti yakni : penari di sanggar, pemusik serta penikmat tari piring yakni konsumen . Di sanggar Tri Arga, penulis diajarkan tari piring yang biasanya ditarikan oleh anggota sanggar tersebut. Bang Is mengatakan bahwa tari Piring yang ditarikan disanggar Tri Arga merupakan hasil kreasinya ketika ia menyelesaikan Program Magister di Kota Solo. Tari piring itu iya namai Tar i Piring Lenggok Si Anak Dagang. Menurut bang Is, tari piring ini adalah hasil


(37)

komodifikasi dari tari piring golek yang dulu ia pelajari di ASKI Padang Panjang. Bang Is juga menyarankan penulis untuk datang ke BM3 (Badan Musyawarah Masyarakat Minang) untuk melihat bagaimana bentuk tari piring yang menurutnya masih tradisi.

Selanjutnya penulis pergi ke BM3 untuk melihat bagaimana bentuk tari piring yang diceritakan oleh bang Is. Penulis mendatangi BM3 pada siang hari, akan tetapi keadaan disana sangat sepi dan tidak ada kegiatan tari-menari, yang ada hanya petugas kebersihan yang sedang menyapu halaman BM3. Kemudian penulis bertanya “adakah kegiatan tari menari disini ?”, lalu ia menjawab bahwa ia tidak tahu apa-apa dan menyarankan penulis untuk menghubungi pengelola BM3 dan memberikan nomer handphone pengelola tersebut.

Penulis kemudian menghubungi Pak Mayunas yang merupakan pengelola kelompok tari yang ada di BM3. Melalui Pak Mayunas penulis mendapatkan informasi bahwa kelompok tari di BM3 yang masih aktif ada 2 kelompok, yaitu Tuah Sakato dan IKSA (Ikatan Kesenian Sri Antokan). IKSA latihan menari pada setiap hari Rabu jam 9 malam, sedangkan Tuah Sakato latihan menari pada setiap hari Kamis jam 9 malam.

Berbekalkan informasi yang diberikan Pak Mayunas, penulis kembali mendatangi BM3 pada hari Rabu tepat jam 9 malam, penulis membawa teman untuk menemani yaitu Bang Rholand dikarenakan penulis tidak berani keluar malam jika sendirian. Pada malam itu yang lagi latihan ialah IKSA, pertama sekali penulis hanya mengamati anggota-anggota IKSA latihan. Mereka menarikan beberapa jenis tarian Minangkabau yaitu : tari randai, tari


(38)

persembahan, tari galombang, dan tari rantak. Akan tetapi penulis belum melihat mereka menarikan tari piring, penulis terus menunggu hingga waktu menunjukkan jam setengah 12 malam mereka baru menarikan tari piring diakhir latihan mereka. Setelah latihan penulis mendatangi pelatih tari di IKSA yaitu Henriri. Penulis mulai menanyakan mengenai kelompok tari mereka dan tari piring. Penulis pun menjelaskan maksud penulis datang kesana dan menanyakan izin untuk belajar tari piring disana. Hendri pun menyetujuinya dan mempersilahkan penulis untuk datang pada latihan minggu depannya.

Keesokan harinya pada hari Kamis tepat jam 9 malam penulis datang lagi ke BM3 untuk melihat latihan tari kelompok tari Tuah Sakato. Disana penulis melihat tari-tarian yang ditarikan kelompok Tuah Sakato sama dengan IKSA, bedanya tari piring tidak ditarikan di akhir latihan. Oleh karena itu penulis memutuskan untuk melakukan penelitian pada kelompok tari IKSA saja.

Kemudian minggu depannya penulis datang lagi ke IKSA, mereka menarikan tari piring golek, menurut ketua IKSA yaitu Pak Nazar tari piring golek ia pelajari di ASKI Padang Panjang dan menurutnya tari piring golek ini masih tradisi. Pada penelitian ini, penulis mempelajari 2 jenis yaitu : tari piring Lenggok Si Anak Dagang sebagai hasil komodifikasi (sanggar Tri Arga) dan tari piring golek (IKSA di BM3) sebagai bentuk tari piring yang masih tradisi. Sejauh ini tidak ada kesulitan yang serius dalam melakukan penelitian ini, hanya saja terkadang orangtua penulis cemas dikarenakan penulis selalu pulang malam setelah penelitian jam latihan IKSA yang terlampau malam.


(39)

BAB II

ETNIK MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

2.1 Deskripsi Kota Medan

Kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara, hal ini didasarkan atas faktor sejarah terbentuknya Kota Medan yang memiliki cikal bakal dari wilayah kekuasaan Kesultanan Deli pada waktu itu (BPS, 2010:xxxv). Secara spesifik pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa. Terdapat beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Babura, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Pada awal perkembangannya Kota Medan merupakan sebuah kampung kecil yang bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di jalur pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Deli dan sungai Babura. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota


(40)

Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri" sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah kota juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu.

Usaha perkebunan berkaitan erat dengan pembukaan lahan bagi perkebunan tembakau yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys dan berpusat di pertemuan dua alur sungai (sungai Babura dan sungai Deli) yaitu suatu wilayah yang disebut sebagai Medan Putri.

Tujuan Nienhuys datang ke Deli adalah sebagai rangkaian perjalanan mencari lahan untuk perkebunan tembakau sebagai tugas dari perusahaan dagang Pieter van den Arend & Consortium (Pelzer, 1951).

Pada perkembangan lanjutan, cikal-bakal Kota Medan ditentukan oleh pemberian konsesi tanah oleh Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang turut menyeret pengakuan atas hak tanah-tanah rakyat yang termasuk dalam konsesi tanah tersebut (Said, 1977:36-37). Konsesi tanah tersebut yang meliputi Kampung Baru dan Deli menjadi lahan bagi tanaman tembakau dan pala pada masa itu, menurut Said (1977:37-38) pada tahun 1870 kegiatan perkebunan atas konsesi tanah tersebut atau disebut juga perkebunan Deli Mij telah menjadi luas.

Kota Medan sebagai sebentuk wilayah perkotaan memiliki penduduk yang dapat digolongkan pada kategori masyarakat heterogen, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis suku, agama, ras dan golongan. Komposisi masyarakat Kota Medan terdiri atas Melayu, Batak (Mandailing, Toba, Karo, Pak-pak,


(41)

Simalungun, Angkola), Jawa, Aceh, Minangkabau, Tionghoa, India (Tamil, Sikh). Komposisi masyarakat Kota Medan yang heterogen terbagi-bagi atas beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut merupakan daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Kota Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di Kota Medan.

2.1.1 Kota Medan Secara Geografis

Kota Medan secara geografis menurut data Badan Pusat Statisitik (2010: 3) terletak antara 3°,27' - 3°,47' Lintang Utara dan 98°,35' - 98°,44' Bujur Timur dengan ketinggian 2,5 – 37,5 Meter di atas permukaan laut. Selain itu, Kota Medan memiliki batas-batas wilayah yang dikelilingi oleh Kabupaten Deli Serdang dari batas sebelah Utara, Selatan, Timur dan Barat.

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang


(42)

sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administrative ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Secara administratif , wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat


(43)

dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

2.1.2. Kota Medan Secara Demografis

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adapt istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan social ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan


(44)

oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi.

Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika social yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.


(45)

Tabel 1

Jumlah Penduduk Meneurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009

Golongan Umur Laki Laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4)

0-4 85 479 92 031 177 510

5-9 92 938 95 831 188 769

10-14 93 816 101 718 195 534

15-19 112 384 102 112 214 496

20-24 118 376 123 835 242 211

25-29 101 077 105 293 206 370

30-34 85 089 72 358 157 447

35-39 75 751 88 369 164 120

40-44 77 067 77 986 155 053

45-49 57 601 51 876 109 477

50-54 47 369 52 936 100 305

55-59 36 150 38 715 74 865

60-64 27 363 23 351 50 714

65-69 21 220 19 092 40 312

70-74 11 793 13 230 25 023

75+ 5 984 12 863 18 847

Jumlah/Total 1 049 457 1 071 596 2 121 053


(46)

Tabel 2

Penduduk Kota Medan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2000-2009

Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4)

2000 945.847 958.426 1.904.273

2001 960.477 966.043 1.926.520

2002 979.106 984.776 1.963.882

2003 990.216 1.003.386 1.993.602

2004 995.968 1.010.174 2.006.142

2005 1.012.040 1.024.145 2.036.185

2006 1.027.607 1.039.681 2.067.288

2007 1.034.696 1.048.460 2.083.156

2008 1.039.707 1.062.398 2.102.105

2009 1.049.457 1.071.596 2.121.053

Sumber BPS Kota Medan

2.1.3. Kota Medan secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.


(47)

2.2 Perantauan Minangkabau di Kota Medan

Masyarakat perantauan Minangkabau di Kota Medan telah ada sejak sekitar tahun 1840-an saat dibukanya perkebunan di wilayah Kesultanan Deli pada masa itu, masyarakat perantauan Minangkabau yang turut dalam pembukaan perkebunan tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pengusaha ataupun usaha kecil-kecilan, diantaranya pedagang, saudagar dan pengrajin.

Mengutip Pelly (1994: 55) yang mengatakan bahwa bagi masyarakat perantauan Minangkabau yang memiliki kemampuan akademis dan pendidikan tinggi pada umumnya akan memilih pekerjaan secara profesional dengan semangat wiraswasta.

Komposisi penduduk Sumatera Timur berdasarkan etnis pada tahun 1920 seperti yang dikutip Pelly (1994:57) terdapat keberadaan etnis Minangkabau sebagai bagian dari komposisi masyarakat Sumatera Timur pada masa itu dengan jumlah penduduk 15.002 Jiwa dan pada tahun 1930 jumlah penduduk Kota Medan berjumlah 41.270 Jiwa dengan 5.590 diantaranya merupakan etnik Minangkabau.

Pelly (1994:8) mengatakan bahwa etnik Minangkabau yang melakukan perpindahan dari daerah asal menuju daerah lain merupakan bagian dari kegiatan migrasi yang secara umum disebut dengan istilah merantau.

Kato (dalam Pelly, 1994:9) mengatakan bahwa kegiatan merantau yang dilakoni oleh masyarakat Minangkabau merupakan bentuk perpindahan beredar dengan bentuk konsekuensi siklus hidup yang memiliki dampak membawa kekayaan, kekuasaan, serta prestise baru, selain gagasan-gagasan dan praktik-praktik baru dari dunia luar ke desa asal mereka nantinya.


(48)

Perkembangan perantauan etnik Minangkabau di Kota Medan semakin menunjukkan eksistensi keberadaannya dengan turut menciptakan suasana tersendiri melalui dibukanya pusat perbelanjaan di luar pusat Kota Medan, yaitu di wilayah Sukaramai pada tahun 1955. Kondisi ini juga menciptakan wilayah bagi masyarakat Minangkabau di Kota Medan dengan memiliki usaha di wilayah Sukaramai dan juga menjadikan wilayah tersebut sebagai daerah tempat tinggal, sehingga secara umum dapat dikatakan bahawa daerah Sukaramai merupakan basis masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

Setelah masa kemerdekaan menurut Pelly (1994:94) pemukiman orang Minangkabau juga turut berpindah menuju pusat perbelanjaan yang telah dibangun seperti di wilayah Sukaramai dan hal ini juga ditandai dengan banyaknya kerumunan kampung etnik Minangkabau di sekitar pusat perbelanjaan tersebut.


(49)

Gambar 1

Peta Wilayah Kota Medan dan Persebaran Perantauan Minangkabau Sumber : Googlemaps/diakses pada 13 Maret 2014 (data diolah penulis)

Pemukiman masyarakat Minangkabau dianggap memiliki posisi mapan ketika pada wilayah pemukiman tersebut terdapat adanya pembangunan tempat ibadah (surau dan mesjid), hal ini menjadi simbol dari kemapanan perantauan Minangkabau di Kota Medan.

Pemukiman perantauan Minangkabau di Kota Medan secara umum menempati beberapa wilayah, yaitu wilayah Medan Timur, Medan Barat, Medan Kota dan Medan Denai. Walaupun terdapat wilayah pemukiman perantauan Minangkabau lainnya namun wilayah tersebut tidak memiliki jumlah perantauan Minangkabau sebanyak di wilayah Medan Timur, Medan Barat, Medan Kota dan Medan Denai.


(50)

Perantauan Minangkabau di Kota Medan selain berprofesi dalam dunia usaha, juga turut membawa nilai budaya tradisi dalam kegiatan merantau tersebut hal ini sebagai bentuk menjaga dan memelihara nilai-nilai budaya tradisi kepada generasi selanjutnya dan juga sebagai bentuk eksistensi nilai budaya tradisi pada kompetisi kehidupan di Kota Medan yang juga diisi oleh beragam latar belakang etnik.

Dalam konteks ini, bentuk nilai budaya tradisi perantauan Minangkabau di Kota Medan salah satunya adalah bentuk kesenian tari piring, yang dianggap merepresentasikan kekuatan, keindahan dan ketangguhan masyarakat Minangkabau dalam menghadapi kehidupan.

2.3 Organisasi Sosial Minangkabau di Kota Medan

Keberadaan perantauan Minangkabau di Kota Medan juga tidak lepas dari adanya organisasi sosial yang dibentuk oleh individu-individu Minangkabau sebagai suatu bentuk sarana komunikasi antar perantauan Minangkabau di Kota Medan.

Organisasi sosial masyarakat Minangkabau di Kota Medan tidak hanya sebagai suatu institusi yang menawarkan romantisme melainkan berfungsi sebagai perekat diantara individu Minangkabau di perantauan, sebagai institusi yang menolong individu Minangkabau bahkan secara luas juga berkontribusi terhadap etnik lainnya, serta sebagai institusi yang menjaga nilai budaya tradisi Minangkabau terhadap generasi Minangkabau yang berada di perantauan.


(51)

persatuan masyarakat Minangkabau berdasarkan klan (marga), berdasarkan wilayah asal, berdasarkan mata pencaharian dan aspek lainnya.

2.3.1. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)

Penelitian terhadap tari piring di Kota Medan berkaitan dengan keberadaan organisasi sosial masyarakat Minangkabau di Kota Medan, yaitu Badan Musyawarah Masyarakat Minang atau disingkat dengan BM3.

Keberadaan organisasi masyarakat seperti BM3 bagi masyarakat Minangkabau di Kota Medan memegang peranan penting, diantaranya sebagai lembaga yang menyatukan antara individu Minangkabau di daerah perantauan; sarana komunikasi diantara individu yang meliputi sikap saling tolong-menolong.

Mengutip Dewi (2007:97) yang menuliskan bahwa :

“Lebih lanjut, munculnya berbagai organisasi sosial di daerah-daerah perantauan ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang positif. Dengan hal tersebut, maka pengenalan antarbudaya sekaligus interaksi di antara suku bangsa segera dapat diwujudkan.”

Pendapat tersebut menegaskan akan pentingnya kehadiran organisasi masyarakat di daerah perantauan dan juga sebagai representasi etnik di daerah perantauan dalam lingkup interaksi dengan etnik lainnya di Kota Medan sebagai suatu wujud ekspresi etnik.

Catatan Dewi (2007:98) menuliskan bahwa terbentuknya BM3 di Kota Medan secara historis dimulai pada tahun 1965 atas prakarsa Walikota Medan pada masa itu, yaitu Drs. Surkani. Pada tahun tersebut dikumpulkan beberapa organisasi Minangkabau di Kota Medan untuk mengadakan dialog dan menyatukan beragam organisasi Minangkabau tersebut dibawah satu atap.


(52)

Pada perkembangannya, di tahun 1971 atas kesepakatan yang tercapai diantara anggota masyarakat dan beragam organisasi sosial-masyarakat Minangkabau maka terbentuk Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3), kehadiran Badan Musyawarah Masyarakat Minang kemudian disepakati sebagai lembaga yang menaungi masyarakat perantauan Minangkabau di Kota Medan.

Keberadaan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) sebagai sarana mempersatukan masyarakat Minangkabau di daerah perantauan Kota Medan dan juga sebagai sarana pelestarian nilai budaya Minangkabau di Kota Medan.

2.3.2. Ikatan Keluarga Bayur (IKB)

Ikatan Keluarga Bayur merupakan organisasi kedaerahan Minangkabau yang ada di Medan. Bayur sendiri ialah nagari (kelurahan) yang berada di sekitar Danau Maninjau Kecamatan Tanjung Raya Propinsi Sumatra Barat. IKB ini beranggotakan sekitar 1000 orang dan IKB bukan hanya suatu himpunan untuk menghimpun IKB saja tetapi juga untuk melestarikan kebudayaan Minang di perantauan. Di Medan IKB berlokasi di Jalan Utama No.135/71.

Maksud dan tujuan organisasi ini adalah memupuk rasa cinta kampung halaman yang merupakan bagian dari cinta tanah air, mengamalkan ajaran islam dan menyatu padukan kegiatan warga bayur menuju kemaslahatan fastabiqul khairut untuk mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat dengan tidak melupakan adat lamo pusako using, adat nan basandi syara’,syara’ basandi kitabullah. Organisasi ini mengupayakan partisipasi aktif warga bayur dalam


(53)

menggalakkan pembangunan bangsa dan Negara5

Salah satu perhimpunan warga Minang yang paling terkenal dan terorganisasi dengan baik adalah Sulit Air Sepakat atau SAS. Sulit Air Sepakat adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh masyarakat perantauan Sulit Air, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Organisasi ini berpusat di Jakarta dan memiliki tidak kurang dari 80 Dewan Perwakilan Cabang (DPC) di seluruh Indonesia serta 4 DPC di luar negeri, seperti di Malaysia, Sydney dan Melbourne, Australia serta Washington DC, Amerika Serikat. SAS dianggap sebagai organisasi masyarakat perantauan Minangkabau yang tersukses di antara organisasi sejenis lainnya yang ada dalam masyarakat Minangkabau perantauan.

. 2.3.3. Sulit Air Sepakat

6

Sanggar tari Tri Arga ialah sanggar tari yang berdiri sejak tahun 1997, yang didirikan oleh Buk Herna, Pak Mus, dan Pak Khairul dan di ketuai oleh Buk 2.4. Sanggar Tari Minangkabau di Kota Medan

Tari piring sebagai salah satu kesenian khas Minangkabau yang dikembangkan melalui sanggar sebagai sarana komodifikasi. Pada penelitian ini penulis mengkaji beberapa sanggar tari minangkabau di Kota Medan yang melakukan komodifikasi pada tari piring.

Adapun sanggar-sanggar tersebut ialah sanggar tari Tri Arga, Ikatan Kesenian Sri Antokan, dan sanggar Tari La Tansa.

2.4.1. Sanggar Tari Tri Arga

5

“Ikatan Keluarga Bayur”

6


(54)

Herna sendiri. Pada awalnya sanggar tri arga berlokasi di Komplek Tasbih Blok 5, yang merupakan tempat latihan menari sekaligus latihan bermusik. Akan tetapi seiiring berjalannya waktu sanggar Tri Arga berganti kepengurusan dengan Pak Khairul sebagai ketuanya dan menunjuk Bang Is sebagai pengurus sanggar. Saat ini sanggar Tri Arga berlokasi di Jalan Dolok Sanggul No. 3 Medan yang merupakan rumah dari Pak Khairul.

Sanggar Tri Arga ialah sanggar tari berbasis minang, hal ini dapat dilihat bahwa sanggar ini mengutamakan tari-tarian minang sebagai produk utama sanggar untuk ditawarkan kepada konsumennya, seperti tari piring, tari persembahan, tari galombang, tari payung, tari rantak, tari bagurau dsb. Akan tetapi, sanggar Tri Arga juga menawarkan tari-tarian daerah lainnya seperti Melayu, Batak, Mandailing, Jawa, Sunda dsb. Selain tari-tarian, sanggar ini juga menawarkan live musik daerah Minangkabau, misalnya pada arak-arakan pengantin dan juga musik mengiringi tari.

Sanggar Tri Arga ini beranggotakan 27 orang yang aktif termasuk penari dan pemusik. Kegiatan latihan menari dan latihan bermusik dilakukan setiap Rabu dan Sabtu sore. Sanggar Tri Arga mengutamakan job oriented, yaitu mempelajari tari dan musik daerah untuk kepentingan pertunjukkan. Secara lebih lengkap Bang Is mengungkapkan :

“Kalau disini kita belajar materi-materi yang paling sering di-order sama konsumen misalnya : tari pasambahan, tari galombang, dan tari piring. Jadi kita latihan sesuai pesanan karena sanggar ini job oriented.


(55)

2.4.2. IKSA (Ikatan Kesenian Sri Antokan)

Ikatan Kesenian Sri Antokan (IKSA) ialah salah satu grup kesenian di BM3. IKSA sudah berdiri sejak tahun 1966, nama IKSA sendiri berasal dari nama sungai Sri Antokan di Kecamatan Lubuk Pasung Sumatera Barat. Saat ini IKSA diketuai Mayunas Pilliang yang sudah menjabat sejak 2004 sampai sekarang, dengan Ramadian Putra sebagai sekretaris, Herison Chaniago sebagai Bendahara, Hendri sebagai Humas.

IKSA beranggotakan 30 orang yang aktif yang terdiri dari 10 orang penari dan 20 orang pemusik dari semua kelompok umur, ada anak-anak, remaja, dewasa dan juga orang tua. Seperti halnya Iqbal yang berumur 10 tahun, ia sudah belajar musik dan tari di IKSA sejak berumur 7 tahun dan saat ini ia adalah anggota termuda di IKSA. Ia sudah bisa memainkan semua alat music Minangkabau seperti tambur, tansa, talempong dan pupuik. Selain memainkan alat musik Iqbal juga sudah menguasai tari piring, silat galombang dan tari randai. Kegiatan yang dilakukan di-IKSA berupa menari, memainkan alat musik khas Minangkabau, dan basilek.

Kegiatan latihan dilakukan setiap Rabu jam 21:00 sampai jam 23:00 di teras gedung BM3. Setiap latihan tampak banyak orang tua mengantarkan anaknya dan menunggu hingga latihan selesai. Menurut salah seorang orang tua, ia memasukkan anaknya ke IKSA bertujuan agar anaknya dapat mengenal kebudayaan Minangkabau sejak dini sehingga ketika besar nanti tidak lupa adat kebudayaannya.


(56)

Gambar 2

Kegiatan Latihan Menari IKSA di teras Gedung BM3

Gambar 3 : Iqbal sedang memainkan alat musik tansa

2.4.3. Sanggar Tari La Tansa

Sanggar Tari La Tansa didirikan pada tahun 2010 oleh Raihan Rizki yang merupakan salah satu penari di sanggar Tri Arga. Sanggar La Tansa berlokasi di sekolah MTS Miftahussalam Jalan Darussalam Kecamatan Medan Baru yang


(57)

merupakan tempat Raihan mengajar ektrakulikular tari. La Tansa beranggotakan 15 orang yang terdiri dari murid-murid MTS Miftahussalam. Ide mendirikan sanggar muncul ketika ada yang meminta Raihan untuk menari di salah satu acara perkawinan, lebih lengkap Raihan mengatakan :

“pertama kali buat sanggar karena dulu ada yang minta buat nari, kakak kan ngajar eskul nari disini, jadi kakak ambil anak-anak yang bagus narinya untuk nge-job. Awalnya sih cuma kecil-kecilan aja, lama-lama banyak dapat tawaran nari jadi Alhamdulillah kakak buat sanggar”.

Gambar 4


(58)

BAB III TARI PIRING

3.1 Sejarah Tari Piring

Secara sederhana, istilah tari piring ini berasal dari bahasa Minangkabau. Dalam bahasa Minangkabau ini, tari piring juga disebut dengan Tari Piriang. Tari piring ini merupakan salah satu tarian tradisional yang bernilai seni. Tari piring7

• Zaman Kerajaan Minangkabau berpusat di Pagaruyung (sekitar tahun 1350 -1800 M);

ini berasal dari provinsi Sumatera Barat.

Nama tari piring ini identik dengan adanya piring yang dibawa oleh para penarinya. Tentulah dapat disimpulkan bahwa pemberian nama tari piring ini adalah penggabungan dari unsur tari dan piring sebagai material yang menjadi pembentuk dasar gerak tari tersebut.

Daerah penyebaran tari piring di Minangkabau meliputi hampir semua unit wilayah budaya dan proses penyebaran ini dilakukan seiring dengan pembentukan wilayah-wilayah baru dan pengangkatan penghulu-penghulu baru pada masing-masing wilayah tersebut. Sedangkan pertumbuhan dan penyebarannya sudah berlangsung sejak lama, mengutip Jamal (1992:24) yang menyatakan bahwa hal ini tidak terlepas dari zaman masa dan perjalanan sejarah Minangkabau itu sendiri seperti :

• Masa gerakan/perang Paderi (tahun 1803-1837 M);

7 Pada kenyataannya terdapat beragam jenis tari piring dengan varian gerak dasar yang sama, pada umumnya perbedaan gerak dalam tari piring dipengaruhi oleh kondisi geografis dimana tari piring berkembang (seperti Padang Panjang, Solok, Pariaman dan lain sebagainya).


(1)

Giurchescu, Anna. 2001. The Power of Dance and its Social and Political Uses. Dalam Yearbook for Traditional Music Vol. XXXIII – 2001. The International Council For Traditional Music (ICTM). p.109-122.

Goffman, Erving. 1956. The Presentation of Self in Everyday Life. University of Edinburgh Social Sciences Research Centre 39 George Square, Edinburgh 8 Monograph No. 2

Hatcher, Evelyn Payne. 1999. Art as Culture; An Introduction to the Anthropology of Art Second Edition. Bergin and Garvey – Greenwood Publishing Group, Inc.

Jamal, M.I.D. 1992. Penyajian Tari Piring Tradisional Minangkabau; Suatu Studi Deskriptif Interpretatif. Laporan Penelitian Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) – Padang Panjang, Sumatera Barat.

Kaeppler, Adrienne L. 1990. Structured Movement System in Tonga. Dalam Paul Spencer (ed) Society and the Dance; The Social Anthropology of Process and Performance. Cambridge: Cambridge University Press. p.92-114. Kaeppler, Adrienne L. 2001. Dance and the Concept of Style. Dalam Yearbook for

Traditional Music Vol. XXXIII – 2001. The International Council For Traditional Music (ICTM). p.49-64.

Kapferer, Bruce. 1986. Performance and the Structuring of Meaning and Experience. Dalam Victor W Turner and Edward M, Bruner (Eds) : The Anthropology of Experience. Urbana and Chicago. University of Illinois Press

Kartomi, Margaret J. 1983. Musical Strata in Sumatra, Java, and Bali. Dalam Elizabeth May (Ed) Musics of Many Cultures: An Introduction Elizabeth May. Berkeley: University of California Press.

Langer, Suzane K. 1988. Problem of Art (Fx. Widaryanto, alih bahasa). Akademi Seni Tari Indonesia, Bandung.

Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat. 1987. Adat Minangkabau (Sejarah dan Budaya). Padang: Tropic Offset Printing. Malinowski, Bronislaw. 1944. A Scientific Theory of Culture. Chapel Hill:

University of North Carolina Press.

Mason, Paul. 2008. Alam, Otak Dan Kebudayaan: Neuroantropologi Dengan Penari Minangkabau. Jati, Vol. 13, December 2008. p191-204

Maunati. Yekti. 2004. Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Lkis.


(2)

Mazzola, Guerino. 2011. Musical Performance; A Comprehensive approach: Theory, Analytical Tools, and Case Studies. London New York. Springer Heidelberg Dordrech.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston: North Western University Press.

Meuraxa, Dada. 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Firma Hasmar. Mosquera, Regardo. 1994. 1994, “Some Problems in Transcultural Curating” en:

Fisher, (ed.), Global Visions: A New Internationalism in the Visual Art, Londres, Kala Press.

Murgiyanto, Sal. 1986. Dasar-dasar Koreografi Tari. Dalam Fx. Sutopo Cokrohamijoyo (ed). Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tar i, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. p. 121-148.

Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta. LP3S

Pelzer, Karl. J. 1951. Toean Keboen dan Petani; Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Penerbit Sinar Harapan.

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1690. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Rodriguez, Joaquin Barriendos. Global Art And Politics Of Mobility: (Trans)Cultural Shifts in the international contemporary art-system. ASCA.

Royce, Anya Peterson. 2004. Anthropology of the performing arts : Artistry, Virtuosity, and Interpretation in a Cross-Cultural Perspective. UK. AltaMira Press.

Said, H Mohammad. 1977. Suatu Zaman Gelap di Deli; Koeli Kontrak Tempoe Doele Dengan Derita Dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada. Saifudin, Ahmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar

Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta : Kencana,

Soedarsono. 1989. Tayub; asal-usul dan liku-liku fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ceramah dalam Dies Natalis XIX, Akademi Kepariwisataan Indonesia, Semarang.


(3)

Kerja dalam Temu Wicara Etnomusikologi III di Medan, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Sutton, R Anderson. 2013. Pakkuru Sumange’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ininnawa: Makassar.

Tylor, Sir Edward Burnett. 1871. Primitive Culture. London: John Murray Sumber Internet :

• “Alat Musik Tans

• “Etnis Minangkabau”

• “Ikatan Keluarga Bayur”

• “Pupuik Batang P

Mei 2014)

• “Sulit Air Sepakat”

(diakses pada 10 Mei 2014)

• “Tari Piring”


(4)

Riwayat Hidup

Nama : Indah Fikria Aristy

Alamat : Jalan Selamat No 77B Simp Limun Kecamatan Medan Amplas

Ema

Pendidikan :

• SD Swasta Eria Medan lulus tahun 2003 • SMP Al-Ulum lulus tahun 2006 • SMA Al Ulum lulus tahun 2009

• Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Sumatera Utara.

Kegiatan yang dilakukan dalam masa proses perkuliahan diantaranya :

• Interviewer dalam program “Analisis Mengenai Dampak TPA Terjun dan TPA Namo Bintang Terhadap Kesehatan Lingkungan Sekitar”. Pada tahun 2011.


(5)

• Peserta Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.

• Surveyor dalam Program “Survey Publik Mengukur Efektivitas Sosialisasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Tahun 2012” Oleh Cika Indonesia.

• Surveyor dalam program “Kesadaran Masyarakat terhadap Implementasi Nilai-Nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam Kerangka Kewarganegaraan”. Oleh Prisma Resource Centre LP3ES pada tahun 2012.

• Surveyor dalam program “Kesedian dan kepuasaan masyarakat terhadap Instalasi Pembuangan Air Limbah PDAM Tirtandi”. Pada tahun 2013

• Surveyor dalam program “Analisis Dampak Lingkungan Sosial dan Ekonomi Masyarakat atas Penanaman Pipa Air Limbah dan Penempatan Manhole di Wilayah Adminidtratif Kota Medan” oleh Lateral pada tahun 2013.

• Baseline Surveyor dalam program “Proyek Pembangunan Kapasitas Pemuda, Wartawan dan Masyarakat Sipil di Kota Medan” oleh ACTED pada tahun 2013.

• Surveyor dalam program “Survey Brand and Reputasi BUMN 2013” oleh Cika Indonesia pada tahun 2013.

• Surveyor dalam program “Survey Evaluasi Mengenai Sosialisasi Program Kependudukan & Keluarga Berencana”. Oleh Cika Indonesia pada tahun 2013. • Surveyor dalam program “Studi Opini Publik tentang implementasi 4 pilar dan

GBHN DALAM Rangka Integrasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan daerah”. Oleh CSRC ( Centre For The Study of Religion and Culture) pada tahun 2013.


(6)

• Surveyor dalam program “Survey Kepuasan Pelanggan terhadap Pelayanan PDAM”. Pada tahun 2014.

• Midterm Surveyor dalam program “Proyek Pembangunan Kapasitas Pemuda, Wartawan dan Masyarakat Sipil di Kota Medan” oleh ACTED pada tahun 2014. • Volunteer Community TB Care Aisyiyah Sumut pada tahun 2014.