BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi
ius ” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen
perekat” tersebut adalah hukum.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Berangkat dari pandangan tersebut, terdapat beberapa penggolongan hukum dari berbagai kriteria yang dipahami oleh para sarjana. Salah satunya adalah hukum berdasarkan sumbernya. Hukum berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasi atas undang – undang, hukum kebiasaan dan hukum adat, hukum yurisprudensi, hukum traktat, dan hukum doktrin. Dari empat klasifikasi tersebut, hukum adatlah yang menjadi salah satu sorotan dalam pembahasan skripsi ini.
Istilah hukum adat (adatrecht) pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya 1
(diakses pada tanggal 4 Januari 2015) 2
(diakses pada tanggal 4 Januari 2015) yang berjudul De Atjehers. Pada awalnya, tidak banyak orang yang mengenal istilah ini. Namun, sejak van Vollenhoven mempopulerkan adatrecht dalam
bukunya Het Adatrecht van Nederland – Indie.
Prof. Bushar Muhammad dalam bukunya menyunting pendapat – pendapat para ahli tentang definisi hukum adat dan menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar – benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota – anggota masyarakat adat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan – peraturan yang mengenal sanksi atas
pelanggaran dan ditetapkan dalam keputusan – keputusan para penguasa adat.
Pembahasan mengenai hukum adat tidak akan terlepas dari istilah masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat. Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (yang selanjutnya disebut AMAN) merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.
Secara umum, pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban. Dalam 3
van Vollenhoven, 1931, Het Adatrech van Nederland – Indie: Tweede Deel, Cetakan Kedua, Leiden. dalam Yanis Maladi, 2009, Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made Law) , Mahkota Kata, Yogyakarta, hlm. 22. 4 Bushar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006),
Cet. 13. hlm. 19 5 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 75. pengertian tanah dalam lingkungan wilayahnya, itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh – tumbuhan dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Pemahaman ini penting karena pada umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya difokuskan pada hubungan
hukum dengan tanahnya saja.
Keberadaan berbagai praktek pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat Peminggir di
Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara. Praktek – praktek
tersebut membuktikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan pengelolaan sumber daya alam secara turun – temurun.
Seiring berkembangnya zaman, yang dahulu tanah ulayat yang di atasnya terdapat hak ulayat adalah milik sepenuhnya masyarakat hukum adat kini pemerintah turut campur didalamnya. Landasan yuridis utama dari hal tersebut sebagai bentuk dari perwujudan pembukaan konstitusi adalah Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar – besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
6 Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta : Kompas, 2008), hlm, 170. 7 Berkas permohonan pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU- X/2012.
Dalam menjalankan mandat tersebut, maka pada sektor kehutanan sebagai salah satu kekayaan sumber daya alam yang ada, pemerintah menyusun Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut Undang – Undang Kehutanan). Bagian dasar pertimbangan undang – undang kehutanan menggambarkan adanya kemajuan, yakni perlunya suatu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia sehingga mampu menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, dan budaya serta tata nilai kemasyarakatan. Namun, apabila ditelaah lebih dalam maka akan terungkap kontradiksi antara “adat dan budaya serta nilai – nilai kemasyarakatan” di satu sisi berhadapan dengan “norma hukum nasional” disisi yang lain.
Undang – undang kehutanan telah dijadikan alat oleh negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adat atau tanah ulayatnya untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara, yang selanjutnya justru atas nama negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Undang
- – undang tersebut juga menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun – temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim negara atas kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih daripada klaim masyarakat hukum adat. Padahal hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat yang sebagian besar
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata – nyata masih masih ada didaerah yang bersangkutan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak – hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria. Kebijaksaan tersebut meliputi : a.
Kriteria dan penentuan masih adanya Hak Ulayat hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5), b.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 2 dan Pasal 4).
Undang – undang kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, sehingga masyarakat hukum adat secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam kehidupannya. Bahkan, seringkali hilangnya hak – hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang – wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa pasal yang terdapat di dalam Undang – undang kehutanan antara lain Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang status dan penetapan hutan adat serta Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 67 ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat.
Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus – menerus, maka tanah tersebut dapat menjadi Hak
8 Milik secara individual. Hal ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini
merupakan Hak Pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan dengan syarat – syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal
tersebut.
Keberlakuan undang – undang kehutanan berdampak pada kerugian konstitusional bagi masyarakat hukum adat. Kerugian tersebut membangkitkan semangat beberapa komunitas dan kesatuan masyarakat hutan yang tergabung dalam AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu untuk melakukan judicial review terhadap pasal – pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Dari judicial review yang dilakukan, maka lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara” 8 Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pendaftaran Hak – Hak atas Tanah di
Indonesia : Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm 7. 9 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas – Azas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), hlm. 201 - 202.dalam Pasal 1 angka 6 sehingga hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, dan hapusnya penjelasan Pasal 5 ayat (1), serta beberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya Putusan ini maka terbentuklah kembali keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam hal kepemilikan hutan adat.
Pada sisi lain, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan sumber – sumber kehidupan. Hak ulayat yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat hukum adat menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan sumber kehidupan itu, meraka melakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan ini akan sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.
B. Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka dapat diturunkan beberapa permasalahan yang menjadi kajian dalam skripsi ini, yaitu : 1.
Bagaimana perkembangan hak ulayat sebelum dan sesudah lahirnya PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 2. Bagaimana dampak Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap keberadaan masyarakat hukum adat ?
3. Apakah upaya yang dapat dilakukan atas penguasaan tanah adat oleh masyarakat hukum adat pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Secara umum tujuan sebuah penelitian adalah untuk mencari atau
menemukan kebenaran atau pengetahuan yang benar. Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan Masyarakat Hukum Adat dalam hukum adat Indonesia serta hak – hak tradisional yang melekat pada Masyarakat Hukum Adat tersebut.
2. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan perkembangan Masyarakat Hukum Adat sebagai pendukung Hak Ulayat dewasa ini.
Disamping itu, penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu
1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya teori hukum yang sudah ada, khususnya dalam bidang ilmu hukum agraria dan hukum adat.
2. Kegunaan Praktis
10 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Metode Penelitian Hukum (Medan : Program Strata 1, Fakultas Hukum USU, 2010), hlm. 24. Hasil penelitian ini ditujukan untuk memberikan kegunaan praktis baik bagi masyarakat hukum adat maupun pemerintah sebagai acuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam keterlibatan masyarakat hukum adat dalam penyelesaian masalah hak ulayat.
D. Keaslian Penulisan
Dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis, maka penulis menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan
Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan
Ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”. Untuk mengetahui keaslian penulisan,
setelah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada katalog skripsi departemen hukum agraria Fakultas Hukum USU, tidak menemukan judul yang sama. Melalui surat tertanggal 11 September 2014 yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa terdapat satu judul yang berkaitan, yakni “Keberadaan Hak Ulayat di Daerah Tingkat II Kabupaten Dairi
dalam Perkembangannya Dewasa Ini dan Kaitannya dengan UU Nomor 5
Tahun 1960”. Meskipun sama – sama membahas mengenai Hukum Adat namun
fokus pada skripsi tersebut adalah tentang wewenang masyarakat hukum adat di Daerah Tingkat II Kabupaten Dairi dalam mengelola masalah – masalah perrtanahan, sedangkan fokus penulisan skripsi ini adalah tentang hak – hak masyarakat hukum adat atas tanah berdasarkan peraturan perundang – undangan.
Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan – bahan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat, hak ulayat dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, baik melalui literatur yang diperoleh dari pemikiran para praktisi, refrensi buku-buku, makalah, hasil seminar, media cetak, media elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak yang berdasarkan pada asas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Bila dikemudian dari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta pertanggungjawabannya.
E. Tinjauan Perpustakaan
Tinjauan kepustakaan pada umumnya merupakan kumpulan teori yang dijadikan dasar dalam membuat karya tulis ilmiah. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta –fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau per
Masalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
Berikut beberapa teori yang berkaitan dengan pembahasan :
11 Sukiran, “Kajian Yuridis tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia ”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana USU, 2010), hlm. 34 . 12 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80
1. Hak atas Tanah Secara etimologis, hak berasal dari bahasa arab yaitu haqq. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata huquq yang diambil dari kata haqqa, yahiqqu,
haqqan yang artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Berdasarkan
pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Tanah adalah permukaan bumi, demikian dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA. Dengan demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Hak atas tanah dengan demikian mengandung kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah tertentu yang dihaki. Pemakaiannya mengandung kewajiban untuk memelihara kelestarian kemampuannya dan mencegah kerusakannya, sesuai tujuan pemberian dan isi haknya serta peruntukan tanahnya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah daerah yang bersangkutan.
Arie Sukanti Hutagalung yang menjelaskan bahwa : Tanah adalah asset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek 13 spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html (diakses pada
15 Januari 2015) 14 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya , (Jakarta : Djambatan, 2005), hlm. 63 terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
15 Indonesia Tahun 1945.
Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16 dibedakan menjadi : a.
Hak Milik b.
Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d.
Hak Pakai e. Hak Sewa f. Hak Membuka Hutan g.
Hak Memungut Hasil Hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut : a.
Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
b.
Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
15 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan , (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 83.
2. Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli, Soerjono Soekanto dalam bukunya menyimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang
cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Soerjono Soekanto, dalam Kamus Hukum masyarakat diartikan sebagai setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas – batas yang dirumuskan dengan
jelas.
Dari pengertian masyarakat maka kita akan beralih pada pengertian masyarakat hukum adat. Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en
Stelsel van het Adatrecht, merumuskan masyarakat hukum adat sebagai kelompok
- – kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki
benda – benda materil dan immaterial.
Bila merujuk pada peraturan perundang – undangan, tidak sedikit pula yang memberikan pengertian terhadap masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1 ayat (3) diatur bahwa pengertian masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu 16 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1983), hlm. 91. 17 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition (Surabaya : Reality Publisher, 2009), hlm. 423. 18 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 93. persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.
Secara internasional sudah cukup populer digunakan istilah Indigenous
Peoples , yang diterjemahkan sebagai masyarakat adat untuk menyebutkan
subjek hak atas tanah adat. Sementara itu, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula istilah masyarakat hukum adat. Rumusan pengertian tentang masyarakat adat itu sendiri tidaklah tunggal. Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara – Negara Merdeka merumuskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di
negara - negara yang merdeka dimana kondisi kondisi sosial, kultural dan
ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara
tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan
tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.
21 World Bank sendiri memberikan pengertian tentang masyarakat adat itu: the
term indigenous peoples, indigenous ethnic minorites, tribal groups, and
scheduled tribes describe social groups with a social and cultural identity distinct
from the dominant society that makes them vulnerable to being disadvantage in
the development process.
Menurut Surojo Wignjodipuro, hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut ‘beschikkingsrecht’. Istilah ini 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 20 Abdurahman, Hak Masyarakat Adat atas Tanah di Kalimantan Timur, makalah
disampaikan pada Semiloka Tanah Adat di Indonesia dan Permasalahannya, Pusat Penelitian Unika Atma Jaya dan Puslitbang BPN, Jakarta, 1996 21 Myrna Safitri, Pengelolaan Hutan, Akses Masyarakat Lokal dan Perkembangan Gagasannya dalam Kebijakan dan Perdebatan Internasional , P3AE-UI, Depok, 1997, hlm. 14. 22 Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 3 dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertain yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) istilah yang dipergunakan semuanya pengertiannya adalah lingkungan kekuasaan, sedangkan ‘beschickkingsrecht’ itu menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah ‘hak ulayat’ sebagai terjemahannya ‘beschikkingsrecht’. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah a.l. ‘patuanan’ (Ambon), ‘panyampeto’ (Kalimantan), ‘wewengkon’ (Jawa), ‘prabumian’ (Bali), ‘pawatasan’ (Kalimantan), ‘totabuan’ (Bolaang Mangondow), ‘limpo’ (Sulawesi Selatan),
‘nuru’ (Buru), ‘ulayat’ (Minangkabau).
Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan – kawan dalam bukunya hukum tanah, jaminan UUPA bagi keberhasilan pendayagunaan tanah, menyatakan bahwa :
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin keterlibatan pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) terssebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanannya diatur oleh ketua persekutuan
(kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.
F. Metode Penulisan
Terry Hutchison menulis pengertian penelitian seperti dikemukakan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), menurut 23 Bachtiar Abna dan Dt. Rajo Sulaiman, Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat,
Lokakarya Regional BPPN Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Padang, 2007, hlm. 5. 24 G. Kertasapoetra, dkk, Hukum Tanah, Jaminan Undang – Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah , (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm. 88.
organisasi tersebut, Research and Experimental Development as creativity,
origanality, and systematic activity that increases the world’s stock of
knowledge . Pernyataan ini menjadi pendorong pentingnya melakukan penelitian
ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam melakukan penelitian tersebut dibutuhkan metodelogi penelitian yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing –
masing, sehingga pasti akan ada pelbagai perbedaan Oleh karena penelitian yang dilakukan adalah mengenai permasalahan hukum, maka skripsi ini akan menggunakan metode penelitian hukum, Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.
1. Jenis Penelitian Dalam literatur – literatur hukum tentang penelitian hukum banyak ditemukan variasi tentang pembagian jenis atau tipe penelitian hukum. Namun, meskipun demikian pengklasifikasian tipe penelitian hukum yang secara umum
adalah sebagai berikut : a.
Penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap asas – asas hukum, inventarisasi hukum positif, sistematika hukum,
25 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. 4. Hlm. 30. 26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , (Jakarta : Cet. 2, CV. Rajawali, 1982), hlm. 1 27 28 Ibid, hlm. 46 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Op. Cit., hlm. 51 sinkronisasi vertikal dan horizontal, hukum inkonkrito, hukum klinis, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.
b.
Penelitian hukum sosiologis atau empiris yang mencakup penelitian hukum sosiologis, identifikasi hukum tidak tertulis, dan tentang efektifitas hukum. Dari judul skripsi ini yaitu, “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat
Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012” dapat dikatakan bahwa jenis penelitian ini adalah hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai norma atau kaidah yang otonom terlepas dari hubungan hukum
tersebut dengan masyarakat. Jenis penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsi kan secara sistematis, faktual dan akurat terjadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dari sudut normatif inilah skripsi ini membahas mengenai peraturan hak- hak masyarakat hukum adat atas tanah serta putusan mahkamah konstitusi terkait dengan masyarakat hukum adat.
2. Data Penelitian Sumber data dalam penelitian ini keseluruhan merupakan data sekunder yang terdiri atas : a.
Bahan Hukum Primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak 29 yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Undang – Undang Ibid .
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan peraturan –peraturan lainnya.
b.
Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang masyarakat hukum adat dan masalah hak ulayat seperti buku – buku, seminar – seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.
c.
Bahan Hukum Tersier Yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep – konsep dan keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan mengananlisis data secara sistematis melalui buku – buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang – undangan, dan bahan – bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas skripsi ini.
4. Analisis Data Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifa deskriptif, yaitu data – data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi inii dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing – masing bab terbagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematik, dan saling berkaitan antara satu sama lain. Urutan singkat atas bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang perlunya pembahasan mengenai hak - hak masyarakat hukum adat atas tanah serta lahirnya putusan mahkamah konstitusi nomor 35/PUU-X/2012, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT Bab ini menguraikan tentang pengertian dan sejarah masyarakat hukum adat, hak – hak tradisional masyarakat hukum adat baik hak atas tanah masyarakat hukum adat maupun hak lain diluar hak atas tanah, pengakuan keberadaan dan perkembangan masyarakat hukum adat di Indonesia.
BAB III TINJAUAN UMUM HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH Bab ini menguraikan tentang hak ulayat sebagai sumber hak perseorangan atas tanah dimulai dari pengertian hak ulayat, hak ulayat dalam UUPA dan ciri – ciri hak ulayat, dasar hak penguasaan atas hutan masyarakat hukum adat, terjadinya hak milik menurut hukum adat dan UUPA.
BAB IV HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN PMNA/KBPN NO. 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK NOMOR 35/PUU- X/2012 Dalam bab ini diuraikan mengenai perkembangan hak ulayat sebelum dan sesudah lahirnya PMNA/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, dampak Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, upaya yang dapat dilakukan atas penguasaan tanah adat oleh masyarakat hukum adat pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap bab – bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dengan mencoba memberikan saran – saran yang penulis anggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut.