Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

(1)

1

TINJAUAN YURIDIS HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN PMNA/KEPALA BPN NOMOR 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK NOMOR

35/PUU-X/2012

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas - Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

CHOKY APRIANDA LUBIS NIM 110200400

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

2

TINJAUAN YURIDIS HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM

ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN

PMNA/KEPALA BPN NOMOR 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN

DENGAN PUTUSAN MK NOMOR 35/PUU-X/2012

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas - Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat - Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

CHOKY APRIANDA LUBIS NIM 110200400

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

Suria Ningsih, S.H., M.Hum. (NIP. 19600214 198703 2002)

Pembimbing I Pembimbing II

Affan Mukti, S.H., M.S Mariati Zendrato, S.H., M.H NIP. 19571120 198601 002 NIP. 19570323 198703 001


(3)

3

ABSTRAK

Choky Aprianda Lubis* Affan Mukti** Mariati Zendrato***

Masyarakat hukum adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan unsur terpenting dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian dari Pemerintah secara khusus. Akan tetapi dalam kenyataannya luas wilayah hak ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak – hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Undang – Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Mengingat bahwa kebijakan pertanahan tersebut bersifat pedoman, dan hak ulayat masing-masing daerah mempunyai sifat dan karakteristiknya yang khas, maka pelaksanaan kebijakan hak ulayat tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah masing-masing daerah, dengan mempertimbangkan unsur-unsur lokal dan budaya yang ada dan hidup dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara” dalam Pasal 1 angka 6 dan hapusnya penjelasan Pasal 5 ayat (1), sertabeberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data tersusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.

Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan hak derogable rights yang diberikan oleh konstitusi kepada masyarakat hukum adat di daerah belum memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara, karena kewenangan daerah tidak sepenuhnya diberikan oleh pemerintah pusat. Pengakuan itu bila dilihat dari peraturan perundang – undangan terdapat perbedaan - perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan.

Kata kunci : Masyarakat Hukum Adat, Pengakuan Hukum, Hak – Hak Tradisional *Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU ***Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(4)

4

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur penulis hadiahkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan nikmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, yaitu ayahanda tercinta THAMRINSYAH LUBIS dan ibunda tercinta MARLINA SIREGAR, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan Ketentuan PMNA/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 Dikaitkan dengan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut :

1. Orang tua saya Ayahanda Thamrinsyah Lubis dan Ibunda Marlina Siregar yang saya cintai, yang selalu mendoakan saya dan menjadi teladan bagi saya serta menjadi motivasi yang sangat besar untuk bisa meraih kesuksesan. Kalian adalah inspirasi dan motivasiku untuk melakukan yang terbaik (You’re my inspiration and motivation doing the best).


(5)

5 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M, Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin, S.H,. M.H., D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Suryaningsih, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., CN selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 8. Bapak Affan Mukti, S.H, M.S. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk segala dukungan, nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.

9. Ibu Mariati Zendrato, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk segala dukungan, nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.

10. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum selaku penasehat akademik saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa


(6)

6 perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta seluruh pegawai dan stake holder di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 12. Uwak Saya Iriana Siregar alias uwak ana dan Atah Lat yang selalu

mendoakan saya dan memberikan motivasi serta wejangan - wejangan bagi saya untuk meraih kesuksesan.

13. Adikku tersayang Martha Julisa Lubis dan Keponakanku Silvia Adrian yang menjadi semangat tersendiri untuk penulis agar bisa menyelesaikan skripsi ini, semoga abang bisa menjadi abang yang baik bagi kalian.

14. Nek Iyem dan Kek Sorman yang telah memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis saat ngekost di Karjo dan tetangga2 disekitar tempat penulis ngekost. Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih. Suatu saat penulis pasti akan membalasnya.

15. Teman-teman presidium H.M.I Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (kabinet Gagak Hitam) Stambuk 011 Pak Fairuz Selow, Tulang Parholong, Pak Rizky PA, Pak Imam T, Pak Sukri Sahaja, Pak Jepri Galau, Pak Imam Mafia, Arif Purbo, Ara G, Imron, Mas Deni, Bang Liezer dll yang banyak membantu saya selama masa perkuliahan dan selalu memotivasi saya untuk menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas dukungan semangatnya dan semoga kita tetap terus menjalin ukhuwah islamiyah.

16. Adik-adik presidium dan pengurus Gagak Hitam H.M.I Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumtera Utara baik stambuk 012, 013 dan 014, cholidin, benk2, bagas, bahrin, fearly, sutan, icha dkk beserta anggota genggonk gina, amoy dan rina terima kasih atas atensinya yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.


(7)

7 17. Organisasi H.M.I Komisariat Fakultas Universitas Sumtera Utara yang telah

menjadi wadah saya dalam menuntut ilmu diluar perkuliahan, yang banyak menyimpan kenangan baik suka ataupun duka dan semoga kita selalu tetap dijalan benar dan teguh memegang amanah laksana Si Gagak Hitam.

18. Teman-teman Departemen HAN PK Hukum Agraria (depri, ali, puput, moti, wira, hlebert, liezer, kia, imelda, suenta, reza, seila, novan), grup B serta seluruh stambuk 2011 (suwito, vincent, rizal, tyan dll) yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dan della rispita, mentari, lisa, bunga, sonya, fitri yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelasaikan skripsi ini.

19. Adik-adik yang tergabung dalam playgroup Ki Hajar Cilik pimpinan bang rahmad yang telah mewarnai hari – hariku dengan canda dan tawa, terima kasih atas dukungan semangat dan doanya, semoga kita dapat terus menjadi menjalin silaturahmi dan semoga kalian tidak lupa dengan abang.

20. Adinda Desi, Uci dan Esti (Cabe) dan Nela (Bijik Cabe) yang selalu memberikan semangat, motivasi dan doanya untuk saya. Maaf selalu ngusilin kalian. Semoga kita dapat menjadi orang yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Amin.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapat ridho dan mendapat balasan kebaikan dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Amin

Penulis memohon maaf kepada kedua Bapak dan Ibu dosen pembimbing, serta seluruh dosen penguji apabila ada sikap maupun kata yang tidak berkenan di hati selama penulisan dan penyajian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini


(8)

8 penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masi jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis akan sangat berterimakasih jika ada kritik dan saran membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi masyarakat banyak.

Medan, Maret 2015 Penulis,


(9)

9

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan penulisan dan Manfaat ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penulisan ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT A. Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat ... 21

B. Hak – Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat ... 31

1. Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat ... 39

2. Hak lain Diluar Hak Atas Tanah ... 42

C. Pengakuan Keberadaan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia ... 42

1. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat ... 42

a. Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945 ... 42

b. Menurut TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ... 46

c. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria ... 48

d. Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ... 54

e. Menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ... 55


(10)

10

2. Perkembangan Masyarakat Hukum Adat ... 60

BAB III TINJAUAN HUKUM MENGENAI HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH A. Hak Ulayat Sebagai Sumber Hak Perseorangan atas Tanah ... 67

1. Pengertian Hak Ulayat ... 67

2. Hak Ulayat Dalam UUPA ... 71

3. Ciri – Ciri Hak Ulayat ... 74

B. Dasar Hak Penguasaan atas Hutan Masyarakat Hukum Adat ... 76

1. Hak Menguasai Sumber Daya Hutan ... 78

2. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Hutan (UU No. 41 Tahun 1999) ... 80

C. Terjadinya Hak Milik Menurut Hukum Adat dan UUPA ... 84

1. Hak Milik Berdasarkan Hukum Adat ... 84

2. Hak Milik Berdasarkan UUPA ... 86

BAB IV HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN PMNA/KEPALA BPN NO. 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK. 35/PUU-X/2012 A. Perkembangan Hak Ulayat Sebelum dan Sesudah Lahirnya PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 ... 92

B. Dampak Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat ... 104

C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan atas Penguasaan Tanah Adat oleh Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 ... 108

1. Langkah Strategis Pasca Putusan ... 109


(11)

11

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 113 B. Saran ... 115


(12)

3

ABSTRAK

Choky Aprianda Lubis* Affan Mukti** Mariati Zendrato***

Masyarakat hukum adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan unsur terpenting dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian dari Pemerintah secara khusus. Akan tetapi dalam kenyataannya luas wilayah hak ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak – hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Undang – Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Mengingat bahwa kebijakan pertanahan tersebut bersifat pedoman, dan hak ulayat masing-masing daerah mempunyai sifat dan karakteristiknya yang khas, maka pelaksanaan kebijakan hak ulayat tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah masing-masing daerah, dengan mempertimbangkan unsur-unsur lokal dan budaya yang ada dan hidup dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara” dalam Pasal 1 angka 6 dan hapusnya penjelasan Pasal 5 ayat (1), sertabeberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data tersusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.

Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat serta hak – hak tradisionalnya merupakan hak derogable rights yang diberikan oleh konstitusi kepada masyarakat hukum adat di daerah belum memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara, karena kewenangan daerah tidak sepenuhnya diberikan oleh pemerintah pusat. Pengakuan itu bila dilihat dari peraturan perundang – undangan terdapat perbedaan - perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan.

Kata kunci : Masyarakat Hukum Adat, Pengakuan Hukum, Hak – Hak Tradisional *Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU ***Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(13)

12

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.1

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.2

Istilah hukum adat (adatrecht) pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya Berangkat dari pandangan tersebut, terdapat beberapa penggolongan hukum dari berbagai kriteria yang dipahami oleh para sarjana. Salah satunya adalah hukum berdasarkan sumbernya. Hukum berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasi atas undang – undang, hukum kebiasaan dan hukum adat, hukum yurisprudensi, hukum traktat, dan hukum doktrin. Dari empat klasifikasi tersebut, hukum adatlah yang menjadi salah satu sorotan dalam pembahasan skripsi ini.

(diakses pada tanggal 4 Januari 2015)


(14)

13 yang berjudul De Atjehers. Pada awalnya, tidak banyak orang yang mengenal istilah ini. Namun, sejak van Vollenhoven mempopulerkan adatrecht dalam bukunya Het Adatrecht van Nederland – Indie.3

Prof. Bushar Muhammad dalam bukunya menyunting pendapat – pendapat para ahli tentang definisi hukum adat dan menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar – benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota – anggota masyarakat adat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan – peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan ditetapkan dalam keputusan – keputusan para penguasa adat.4 Pembahasan mengenai hukum adat tidak akan terlepas dari istilah masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat. Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (yang selanjutnya disebut AMAN) merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.5

Secara umum, pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban. Dalam

3

van Vollenhoven, 1931, Het Adatrech van Nederland – Indie: Tweede Deel, Cetakan Kedua, Leiden. dalam Yanis Maladi, 2009, Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim (Judge Made Law), Mahkota Kata, Yogyakarta, hlm. 22.

4

Bushar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet. 13. hlm. 19

5 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 75.


(15)

14 pengertian tanah dalam lingkungan wilayahnya, itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh – tumbuhan dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya. Pemahaman ini penting karena pada umumnya pembicaraan mengenai hak ulayat hanya difokuskan pada hubungan hukum dengan tanahnya saja.6

Keberadaan berbagai praktek pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada Masyarakat Peminggir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara.7

6 Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, (Jakarta : Kompas, 2008), hlm, 170.

7

Berkas permohonan pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

Praktek – praktek tersebut membuktikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan pengelolaan sumber daya alam secara turun – temurun.

Seiring berkembangnya zaman, yang dahulu tanah ulayat yang di atasnya terdapat hak ulayat adalah milik sepenuhnya masyarakat hukum adat kini pemerintah turut campur didalamnya. Landasan yuridis utama dari hal tersebut sebagai bentuk dari perwujudan pembukaan konstitusi adalah Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar – besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.


(16)

15 Dalam menjalankan mandat tersebut, maka pada sektor kehutanan sebagai salah satu kekayaan sumber daya alam yang ada, pemerintah menyusun Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut Undang – Undang Kehutanan). Bagian dasar pertimbangan undang – undang kehutanan menggambarkan adanya kemajuan, yakni perlunya suatu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia sehingga mampu menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, dan budaya serta tata nilai kemasyarakatan. Namun, apabila ditelaah lebih dalam maka akan terungkap kontradiksi antara “adat dan budaya serta nilai – nilai kemasyarakatan” di satu sisi berhadapan dengan “norma hukum nasional” disisi yang lain.

Undang – undang kehutanan telah dijadikan alat oleh negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adat atau tanah ulayatnya untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara, yang selanjutnya justru atas nama negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Undang – undang tersebut juga menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun – temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim negara atas kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih daripada klaim masyarakat hukum adat. Padahal hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat yang sebagian besar


(17)

16 diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara, selalu jauh lebih dahulu adanya dari hak negara.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata – nyata masih masih ada didaerah yang bersangkutan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak – hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria. Kebijaksaan tersebut meliputi :

a. Kriteria dan penentuan masih adanya Hak Ulayat hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5),

b. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 2 dan Pasal 4).

Undang – undang kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, sehingga masyarakat hukum adat secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam kehidupannya. Bahkan, seringkali hilangnya hak – hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang – wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa pasal yang terdapat di dalam Undang – undang kehutanan antara lain Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang status dan penetapan hutan adat


(18)

17 serta Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 67 ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat.

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus – menerus, maka tanah tersebut dapat menjadi Hak Milik secara individual.8 Hal ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan Hak Pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan dengan syarat – syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.9

Dari judicial review yang dilakukan, maka lahirlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara” Keberlakuan undang – undang kehutanan berdampak pada kerugian konstitusional bagi masyarakat hukum adat. Kerugian tersebut membangkitkan semangat beberapa komunitas dan kesatuan masyarakat hutan yang tergabung dalam AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu untuk melakukan judicial review terhadap pasal – pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

8 Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pendaftaran Hak – Hak atas Tanah di Indonesia : Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm 7.

9

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas – Azas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), hlm. 201 - 202.


(19)

18 dalam Pasal 1 angka 6 sehingga hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, dan hapusnya penjelasan Pasal 5 ayat (1), serta beberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya Putusan ini maka terbentuklah kembali keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam hal kepemilikan hutan adat.

Pada sisi lain, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan sumber – sumber kehidupan. Hak ulayat yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat hukum adat menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan sumber kehidupan itu, meraka melakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan ini akan sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

B. Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka dapat diturunkan beberapa permasalahan yang menjadi kajian dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana perkembangan hak ulayat sebelum dan sesudah lahirnya PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999

2. Bagaimana dampak Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap keberadaan masyarakat hukum adat ?


(20)

19 3. Apakah upaya yang dapat dilakukan atas penguasaan tanah adat oleh

masyarakat hukum adat pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Secara umum tujuan sebuah penelitian adalah untuk mencari atau menemukan kebenaran atau pengetahuan yang benar.10

1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan Masyarakat Hukum Adat dalam hukum adat Indonesia serta hak – hak tradisional yang melekat pada Masyarakat Hukum Adat tersebut.

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

2. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan perkembangan Masyarakat Hukum Adat sebagai pendukung Hak Ulayat dewasa ini.

Disamping itu, penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya teori hukum yang sudah ada, khususnya dalam bidang ilmu hukum agraria dan hukum adat.

2. Kegunaan Praktis

10 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Metode Penelitian Hukum (Medan : Program Strata 1, Fakultas Hukum USU, 2010), hlm. 24.


(21)

20 Hasil penelitian ini ditujukan untuk memberikan kegunaan praktis baik bagi masyarakat hukum adat maupun pemerintah sebagai acuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam keterlibatan masyarakat hukum adat dalam penyelesaian masalah hak ulayat.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis, maka penulis menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”. Untuk mengetahui keaslian penulisan, setelah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada katalog skripsi departemen hukum agraria Fakultas Hukum USU, tidak menemukan judul yang sama. Melalui surat tertanggal 11 September 2014 yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa terdapat satu judul yang berkaitan, yakni “Keberadaan Hak Ulayat di Daerah Tingkat II Kabupaten Dairi dalam Perkembangannya Dewasa Ini dan Kaitannya dengan UU Nomor 5 Tahun 1960”. Meskipun sama – sama membahas mengenai Hukum Adat namun fokus pada skripsi tersebut adalah tentang wewenang masyarakat hukum adat di Daerah Tingkat II Kabupaten Dairi dalam mengelola masalah – masalah


(22)

21 perrtanahan, sedangkan fokus penulisan skripsi ini adalah tentang hak – hak masyarakat hukum adat atas tanah berdasarkan peraturan perundang – undangan. Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan – bahan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat, hak ulayat dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, baik melalui literatur yang diperoleh dari pemikiran para praktisi, refrensi buku-buku, makalah, hasil seminar, media cetak, media elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak yang berdasarkan pada asas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Bila dikemudian dari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta pertanggungjawabannya.

E. Tinjauan Perpustakaan

Tinjauan kepustakaan pada umumnya merupakan kumpulan teori yang dijadikan dasar dalam membuat karya tulis ilmiah. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta –fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir – butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau per Masalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 12

11 Sukiran, “Kajian Yuridis tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana USU, 2010), hlm. 34.

12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80 Berikut beberapa teori yang berkaitan dengan pembahasan :


(23)

22 1. Hak atas Tanah

Secara etimologis, hak berasal dari bahasa arab yaitu haqq. Kata haqq adalah bentuk tunggal dari kata huquq yang diambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqan yang artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Berdasarkan pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.13

Tanah adalah permukaan bumi, demikian dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA. Dengan demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.14

Tanah adalah asset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang Hak atas tanah dengan demikian mengandung kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah tertentu yang dihaki. Pemakaiannya mengandung kewajiban untuk memelihara kelestarian kemampuannya dan mencegah kerusakannya, sesuai tujuan pemberian dan isi haknya serta peruntukan tanahnya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah daerah yang bersangkutan.

Arie Sukanti Hutagalung yang menjelaskan bahwa :

13 http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html (diakses pada 15 Januari 2015)

14

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2005), hlm. 63


(24)

23 terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.15

a. Hak Milik

Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16 dibedakan menjadi :

b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak Membuka Hutan g. Hak Memungut Hasil Hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut :

a. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.

b. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

15 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 83.


(25)

24 2. Masyarakat Hukum Adat

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli, Soerjono Soekanto dalam bukunya menyimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan.16 Tidak jauh berbeda dengan pendapat Soerjono Soekanto, dalam Kamus Hukum masyarakat diartikan sebagai setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas – batas yang dirumuskan dengan jelas.17

Dari pengertian masyarakat maka kita akan beralih pada pengertian masyarakat hukum adat. Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, merumuskan masyarakat hukum adat sebagai kelompok – kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda – benda materil dan immaterial.18

Bila merujuk pada peraturan perundang – undangan, tidak sedikit pula yang memberikan pengertian terhadap masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1 ayat (3) diatur bahwa pengertian masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu

16Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1983), hlm. 91.

17 M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition (Surabaya : Reality Publisher, 2009), hlm. 423.


(26)

25 persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.19

Secara internasional sudah cukup populer digunakan istilah Indigenous Peoples, yang diterjemahkan sebagai masyarakat adat20 untuk menyebutkan subjek hak atas tanah adat. Sementara itu, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula istilah masyarakat hukum adat. Rumusan pengertian tentang masyarakat adat itu sendiri tidaklah tunggal. Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara – Negara Merdeka merumuskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara - negara yang merdeka dimana kondisi kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan khusus.

21

World Bank sendiri memberikan pengertian tentang masyarakat adat itu: the term indigenous peoples, indigenous ethnic minorites, tribal groups, and scheduled tribes describe social groups with a social and cultural identity distinct from the dominant society that makes them vulnerable to being disadvantage in the development process.22

Menurut Surojo Wignjodipuro, hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut ‘beschikkingsrecht’. Istilah ini

19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

20 Abdurahman, Hak Masyarakat Adat atas Tanah di Kalimantan Timur, makalah disampaikan pada Semiloka Tanah Adat di Indonesia dan Permasalahannya, Pusat Penelitian Unika Atma Jaya dan Puslitbang BPN, Jakarta, 1996

21

Myrna Safitri, Pengelolaan Hutan, Akses Masyarakat Lokal dan Perkembangan Gagasannya dalam Kebijakan dan Perdebatan Internasional, P3AE-UI, Depok, 1997, hlm. 14.

22


(27)

26 dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertain yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) istilah yang dipergunakan semuanya pengertiannya adalah lingkungan kekuasaan, sedangkan ‘beschickkingsrecht’ itu menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah ‘hak ulayat’ sebagai terjemahannya ‘beschikkingsrecht’. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah a.l. ‘patuanan’ (Ambon), ‘panyampeto’ (Kalimantan), ‘wewengkon’ (Jawa), ‘prabumian’ (Bali), ‘pawatasan’ (Kalimantan), ‘totabuan’ (Bolaang Mangondow), ‘limpo’ (Sulawesi Selatan), ‘nuru’ (Buru), ‘ulayat’ (Minangkabau).23

“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin keterlibatan pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) terssebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.

Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan – kawan dalam bukunya hukum tanah, jaminan UUPA bagi keberhasilan pendayagunaan tanah, menyatakan bahwa :

24

Terry Hutchison menulis pengertian penelitian seperti dikemukakan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), menurut

F. Metode Penulisan

23

Bachtiar Abna dan Dt. Rajo Sulaiman, Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat, Lokakarya Regional BPPN Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Padang, 2007, hlm. 5.

24 G. Kertasapoetra, dkk, Hukum Tanah, Jaminan Undang – Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm. 88.


(28)

27 organisasi tersebut, Research and Experimental Development as creativity, origanality, and systematic activity that increases the world’s stock of knowledge.25 Pernyataan ini menjadi pendorong pentingnya melakukan penelitian ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam melakukan penelitian tersebut dibutuhkan metodelogi penelitian yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing – masing, sehingga pasti akan ada pelbagai perbedaan26

Oleh karena penelitian yang dilakukan adalah mengenai permasalahan hukum, maka skripsi ini akan menggunakan metode penelitian hukum, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.27

Dalam literatur – literatur hukum tentang penelitian hukum banyak ditemukan variasi tentang pembagian jenis atau tipe penelitian hukum. Namun, meskipun demikian pengklasifikasian tipe penelitian hukum yang secara umum adalah sebagai berikut

1. Jenis Penelitian

28

a. Penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap asas – asas hukum, inventarisasi hukum positif, sistematika hukum,

:

25Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. 4. Hlm. 30.

26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Cet. 2, CV. Rajawali, 1982), hlm. 1

27

Ibid, hlm. 46


(29)

28 sinkronisasi vertikal dan horizontal, hukum inkonkrito, hukum klinis, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.

b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris yang mencakup penelitian hukum sosiologis, identifikasi hukum tidak tertulis, dan tentang efektifitas hukum.

Dari judul skripsi ini yaitu, “Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012” dapat dikatakan bahwa jenis penelitian ini adalah hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai norma atau kaidah yang otonom terlepas dari hubungan hukum tersebut dengan masyarakat.29

a. Bahan Hukum Primer

Jenis penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsi kan secara sistematis, faktual dan akurat terjadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dari sudut normatif inilah skripsi ini membahas mengenai peraturan hak- hak masyarakat hukum adat atas tanah serta putusan mahkamah konstitusi terkait dengan masyarakat hukum adat.

2. Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini keseluruhan merupakan data sekunder yang terdiri atas :

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Undang – Undang

29


(30)

29 Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dan peraturan –peraturan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang masyarakat hukum adat dan masalah hak ulayat seperti buku – buku, seminar – seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep – konsep dan keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan mengananlisis data secara sistematis melalui buku – buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang – undangan, dan bahan – bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas skripsi ini.


(31)

30 4. Analisis Data

Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifa deskriptif, yaitu data – data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi inii dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing – masing bab terbagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematik, dan saling berkaitan antara satu sama lain. Urutan singkat atas bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang perlunya pembahasan mengenai hak - hak masyarakat hukum adat atas tanah serta lahirnya putusan mahkamah konstitusi nomor 35/PUU-X/2012, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT

Bab ini menguraikan tentang pengertian dan sejarah masyarakat hukum adat, hak – hak tradisional masyarakat hukum adat baik hak atas tanah masyarakat hukum adat maupun hak lain diluar hak atas


(32)

31 tanah, pengakuan keberadaan dan perkembangan masyarakat hukum adat di Indonesia.

BAB III TINJAUAN UMUM HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH

Bab ini menguraikan tentang hak ulayat sebagai sumber hak perseorangan atas tanah dimulai dari pengertian hak ulayat, hak ulayat dalam UUPA dan ciri – ciri hak ulayat, dasar hak penguasaan atas hutan masyarakat hukum adat, terjadinya hak milik menurut hukum adat dan UUPA.

BAB IV HAK – HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH BERDASARKAN KETENTUAN PMNA/KBPN NO. 5 TAHUN 1999 DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MK NOMOR 35/PUU-X/2012

Dalam bab ini diuraikan mengenai perkembangan hak ulayat sebelum dan sesudah lahirnya PMNA/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, dampak Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, upaya yang dapat dilakukan atas penguasaan tanah adat oleh masyarakat hukum adat pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap bab – bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dengan mencoba memberikan saran – saran yang penulis anggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut.


(33)

32

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT

A.Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik - akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional.30

Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu : Convention of International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi Cari- Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi

30

Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hlm. 36.


(34)

33 PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007.

Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.31

berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya.

Dalam skripsi ini, masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat, sebagaimana lazimnya ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.

Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan - kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing - masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak

32

Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah

31

Ibid.

32


(35)

34 kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama – lamanya.33

Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.34

Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota – anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.35

33

Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hlm. 30

34

Husen Alting, Op. Cit., hlm. 31.

35

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar Maju, 2003), hlm. 108.

Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang


(36)

35 sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat.36

Definisi lain tentang masyarakat adat juga dikemukakan oleh Maria Rita Ruwiastuti,37

Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut

bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat. Dalam kesadaran mereka, sumber – sumber agraria selain merupakan sumber ekonomi, juga adalah perpangkalan budaya. Artinya, kalau sumber – sumber tersebut lenyap (atau berpindah penguasaan kepada kelompok lain), maka yang ikut lenyap bukan saja kekuatan ekonomi mereka, melainkan juga identitas kultural.

38

1) Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada

:

36

Ibid. hlm. 109.

37

Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 177.

38


(37)

36 Tuhan. Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahan.

2) Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.

3) Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.

4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.

H.M. Koesnoe39

1. Apakah dalam territori yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan satu kesatuan yang terorganisir.

menyatakan bahwa masyarakat adat hendaknya memperhatikan hal – hal yang menjadi pertanyaan yang jawabannya akan menjadi kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut :

2. Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya.

3. Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (seperti sudah berapa generasi)

39

H. M. Koesnoe, Prinsip – prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Ubaya Press, Surabaya, 2000, hlm. 34.


(38)

37 4. Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang hegemony dalam

kehidupannya sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum.

5. Bagaimana menurut tradisinya asal – usul kelompok itu sehingga merupakan satu kesatuan dalam lingkungan tanahnya.

Pengertian masyarakat adat secara konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.40

Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di kepulauan Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah sangat tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara. Secara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang melingkupinya, sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di Asia Tenggara. Secara kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu budaya petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Dalam kehidupan politik, beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya, dan

40


(39)

38 membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang berukuran lokal maupun berukuran regional.41

Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga saat ini. Ada beragam istilah yang digunakan, bahkan di dalam peraturan perundang-undangan pun digunakan berbagai istilah untuk merujuk sesuatu yang sama atau yang hampir sama itu. Mulai dari istilah masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai pada istilah desa atau nama lainnya.42

Selanjutnya dalam Penjelasan Bab VI UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Persekutuan hukum adat di Aceh disebut dengan gampong.43

41

Saafroedin Bahar, Seri Hak Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta : 2005, Hal. 76-77.

42

Yance Arizona, “Mendefinisikan Indegenous Peoples di Indonesia” https://www.yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/ (diakses tanggal 24 Januari 2015).

43

Ter Haar, Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta : 1960, hlm. 17.

Daerah – daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenaya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah – daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengeanai daerah – daerah itu akan mengingat hak – hak asal usul daerah tersebut.


(40)

39 Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat di Indonesia dinyatakan dalam beberapa pustaka antara lain : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh van Vollenhoven yang dilakukan antara tahun 1906 sampai dengan tahun 1918. Dalam karyanya Adatrecht van Nederlandsch-Indie, van Vollenhoven menyimpulkan bahwa di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hukum adat, yaitu daerah (1) Aceh meliputi; Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Siemelu. (2) Gayo, Alas, Batak, meliputi; Gayo luwes, Tanah Alas, Tanah Batak; Tapanuli Utara (Batak Pak-pak/Barus, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Toba), Tapanuli Selatan (Padang Lawas, Angkola, Mandailing) dan Nias. (3) Minangkabau (Padang Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Tanah Kampar, dan Korintji, dan Mentawai. (4) Sumatera Selatan meliputi; Bengkulu (Redjang), Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang), Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Samendo), Djambi (Batin dan Penghulu). (5) Melayu, meliputi; Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur. (6) Bangka, Belitung, (7) Kalimantan, meliputi; Dayak, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tajan, Dayak Lawangan, Lepo-Alim, Lepo-Timai, Long Glat, Dayak Maanjai Patai, Dayak Maanjai Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung Punan. (8) Minahasa, Manado. (9) Gorontalo, meliputi; Bolaang, Mongondow, Boalemo. (10) Tana Toraja, meliputi; Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai (11) Sulawesi Selatan, meliputi; Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salaisar, Muna. (12) Kepulauan Ternate, meliputi; Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula. (13) Maluku, Ambon, meliputi; Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliaasar,


(41)

40 Saparna, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar. (14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, meliputi; Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Rote, Savu, Bima. (16) Bali dan Lombok, meliputi; Tanganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng. Djembrana, Lombok, Sumbawa. (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, meliputi; Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura. (18) Daerah kerajaan (Solo dan Yogyakarta). (19) Jawa Barat, meliputi; Priangan Sunda, Jakarta dan Banten.44

Di Provinsi Lampung saja, misalnya, terdapat sebanyak 76 kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut marga. Keberadaan marga – marga tersebut diakui oleh Gubernur melalui SK No. G/362/B.II/HK/96. Dasar keputusan Gubernur Lampung dalam mengesahkan 76 masyarakat hukum adat di Lampung adalah hasil – hasil penelitian pakar – pakar dalam adat dan kebudayaan Lampung.45 Sedangkan di Provinsi NAD, jika mukim dan gampong dikategorikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, maka pada tahun 2006 terdapat 669 mukim dan 5958 gampong.46

44

Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Rangkaian Publikasi Hukum Adat dan Etnografi, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961. Hlm. 89-91.

45

Martua Sirait, Chip Fay dan A. Kusworo, Bagaimana Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, ICRAF Southeast Asia Policy Research Working Paper, Bogor, 2002.

46

Aceh Dalam Rangka 2006, kerjasama BPS dan BAPPEDA NAD, Banda Aceh, 2007, hlm. 13.

Keberadaan mukim dan gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, telah di tetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi NAD dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi NAD.


(42)

41 Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka akan dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut47

1. Terdapat masyarakat yang teratur;

:

2. Menempati suatu tempat tertentu; 3. Ada kelembagaan;

4. Memiliki kekayaan bersama;

5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah;

6. Hidup secara komunal dan gotong royong.

Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan- hubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan tersebut terwujud.48

Di Indonesia, menurut Sandra Moniaga, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat –masyarakat adat yang jumlahnya lebih dari seribu komunitas. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa, karena ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Dan, ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu

47

Syarifah M, “Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”(Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2010), hlm. 21.

48


(43)

42 pengembangan khasanah Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal – hak lain yang mereka sumbangkan.49

B.Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat

Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun 1986 meliputi50

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri; :

2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;

3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi; 4. Hak atas pendidikan;

5. Hak atas pekerjaan; 6. Hak anak;

7. Hak pekerja;

8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat; 9. Hak atas tanah;

10. Hak atas persamaan;

11. Hak atas perlindungan lingkungan;

12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik; 13. Hak atas penegakan hukum yang adil.

49

Sandra Moniaga, Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup, Wacana HAM, Jakarta, No, 10/Tahun II/12 Juni 2002.

50

Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.,Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat (MHA): Perspektif Hukum dan Keadilan terkait dengan status MHA dan Hak-Hak Konstitusionalnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral MahkamahKonstitusiRepublikIndonesia2012.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/contet infoumum/penelitian/pdf/2-Penelitian%20MHA-upload.pdf (diakses tanggal 1 Februari 2015).


(44)

43 Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu ukuran keberadaaan suatu komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, di dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, persoalan hak atas tanah dan sumber daya alam ini diatur :

Pasal 26 ayat (1)

“Mayarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan (Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)”

Pasal 26 ayat (2)

“Mayarakat adat memiliki hak

yang berhubungan dengan masyarakat adat, setidaknya ada empat hak masyarakat adat yang paling sering disuarakan, antara lain

untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya sumber daya yang dimiliki dengan cara lain (Pasal 26 ayat 2 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)”

Sedangkan Abdon Nababan menyebutkan dari sekian banyak kategori hak

51

51

Yance Arizona., Satu Dekade Legislasi Masyarakat adat. http://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Working_Paper_Epistema_Institute_07-2010.pdf (diakses pada 08 Februari 2015)


(45)

44 1. Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) dan mengelola (menjaga,

memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;

2. Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat;

3. Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan/kelembagaan adat;

4. Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim pengetahuan (kearifan) dan bahasa asli.

Tabel 1. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang

No. Peraturan Hak – Hak Masyarakat Adat

1. Undang – Undang Pemerintahan Daerah

Hak-hak trasisional masyarakat hukum adat

2. Undang – Undang Hak Asasi Manusia

a. Pengakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. b. Identitas budaya masyarakat hukum

adat, termasuk hak atas tanah ulayat. 3. Undang – Undang Kehutanan a. Hak atas hutan adat

b. Mengelola kawasan untuk tujuan khusus

c. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan


(46)

45 d. Melakukan kegiatan pengelolaan

hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang undang

e. Mendapatkan pemberdayaan salam rangka meningkatkan kesejahteraannya

4. Undang - Undang Sumber Daya Air

Hak Ulayat. Hak ulayat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur:

a. Unsur masyarakat adat b. Unsur wilayah

c. Unsur hubungan antara

masyarakat tersebut dengan wilayahnya

5. Undang – Undang Perkebunan Masyarakat adat berhak memperoleh ganti rugi hak atas tanah mereka yang digunakan untuk konsesi perkebunan 6. Undang-Undang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Diberikan dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3)


(47)

46 7. Undang-Undang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Keberadaan masyarakat adat, kearifan lokal, dan hak-hak masyarakat adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Mengenai fungsi hak-hak tradisional H.M. Koesnoe mengemukakan terdapat empat fungsi yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam persekutuan masyarakat hukum pedesan (adat) berkenaan dengan menjaga tata harmoni antara masyarakat dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan, Fungsi pemeliharaan roh, Fungsi pemeliharaan agama, dan Fungsi pembinaan hukum adat.52

Mahyuni berpendapat hak-hak tradisional adalah hak-hak yang tercipta dari, oleh dan untuk masyarakat dalam lingkup dan batas kehidupan masyarakat yang bersangkutan sebagai warisan dari para leluhur mereka guna mempertahankan kehidupan secara alami dan berkesinambungan. Prinsip yang

Konstitusi tidak menjelaskan hak-hak apa saja yang harus dipenuhi negara terhadap masyarakat adat. Di dalam konstitusi hak tersebut diistilahkan dengan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Sampai saat ini belum ada penjelasan yang memadai untuk menjelaskan apa saja yang digolongkan menjadi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Diseluruh peraturan perundang-undang yang ada hanya menyalin saja rumusan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di dalam konstitusi tanpa memberikan penjelasan.

52

Irfan Nur Rahman, et.al., Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011), hlm. 4.


(48)

47 terkandung di dalam hak-hak tradisional dimaksud adalah hak untuk mempertahankan hidup secara biologis, sosial, nilai-nilai budaya maupun kepercayaan mereka.53 Sedangkan Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian hak-hak tradisional sebagai hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal – usul (geneologis), kesamaan wilayah, dan obyek-obyek adat lainnya, hak atas tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya.54

Hak-hak tradisional yang merupakan hak derogable rights yang diberikan oleh konstitusi kepada masyarakat hukum adat di daerah belum memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara, karena kewenangan daerah tidak sepenuhnya diberikan oleh pemerintah pusat. Berikut ini adalah beberapa hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di Indonesia yang keberadaannya ditetapkan dalam beberapa peraturan perundangan55

1. Hak pengelolaan dan pemanfaatan hutan :

Terkait dengan masalah hutan adat di dalam undang-undang kehutanan dijelaskan bahwa Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi

53

Mahyuni, “Pengakuan Dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan”. Makalah.

tanggal 11 Februari 2015)

54

Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia., Loc.Cit

55


(49)

48 keluasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan.

2. Hak ulayat dan penguasaan tanah ulayat

Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam Pasal 6 ayat (3) tetap diakui sepanjang masih ada dimana penguasaan negara atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan mengormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak-hak yang serupa dengan itu, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Hak pengelolaan atas ladang atau perkebunan

Pengelolaan hak atas tanah untuk usaha perkebunan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan tetap harus memperhatikan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi serta kepentingan nasional.

4. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 63 ayat (1) huruf t yang berbunyi Pemerintah bertugas san berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat


(50)

49 hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian di dalam Pasal 63 ayat (2) huruf n juga dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Di tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Di tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 ayat (3) huruf k bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat Kabupaten/Kota.

5. Pengelolaan wilayah pesisir

Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.

Hak-hak tradisional sebagaimana diatur dalam beberapa undang-undang sejatinya adalah merupakan hak konstitusional juga karena pengakuan terhadap hak-hak tradisional itu disebutkan dalam konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya…”. Oleh karena itu semua hak tradisional masyarakat hukum adat sekaligus merupakan hak konstutusional.


(51)

50 Dalam perkembangannya, hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang ada berpotensi dilanggar. Oleh karena itu, kesatuan masyarakat hukum adat dapat menjadi Pemohon sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun undang-undang lain. Selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum ada beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu :

a. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-perundangan.

Berikut akan dipaparkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang dikelompokaan atas dua, yakni hak atas tanah masyarakat hukum adat dan hak diluar hak atas tanah masyarakat hukum adat :

1. Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersumber pada pandangan yang bersifat religius magis. Hubungan yang bersifat religius magis ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di situ. Hak masyarakat hukum adat atas tanah itu disebut hak pertuanan atau hak


(1)

Suharjito, Didik dkk., 2000, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Jakarta : Pustaka Kehutanan Masyarakat

Parlindungan, A. P., 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung : Mandar Maju

---, 1998, Komentar atas UUPA, Bandung : Mandar Maju

Rita Ruwiastuti, Maria, 2000, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Ruchiyat, Eddy, 1984, Politik Nasional Sampai Orde Baru, Bandung : Alumni Bandung

Safitri, Myrna, 1997, Pengelolaan Hutan, Akses Masyarakat Lokal dan Perkembangan Gagasannya dalam Kebijakan dan Perdebatan Internasional, Depok : P3AE-UI Santoso, Urip, 1996, Hukum Agraria (Kajian Komprehansif), Jakarta : Perdana Media

Grup

Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Ketertiban, Jakarta : UKI Press

Setiady, Tolib, 2008, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung : Alfabeta

Simarmata, Rikardo, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta : UNP Regional Centre in Bangkok

Sirait, Martua, Chip Fay dan A. Kusworo, 2002, Bagaimana Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, Bogor : ICRAF Southeast Asia Policy Research Working Paper

Siregar, Tampil Ansari, 2005, Mempertahankan Hak atas Tanah, Medan : Multi Grafika Medan

Soekanto, Soerjono, 1983, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

---, dan Sri Mamudji, 1982, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : CV. Rajawali

Sudiyat, Imam, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta : Liberty

Sukanti Hutagalung, Arie dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Jakarta : RajaGrafindo Persada


(2)

Sumardjono, Maria S.W., 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta : Kompas

---, 2005, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Kompas

---, 1982, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, Yogyakarta : Andi Offset

Wignjodipoero, Soerojo, 1984, Pengantar dan Azas – Azas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung

Yamin, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah Bandung : Mandar Maju

B.Karya Ilmiah, Makalah dan Paper

Abdurahman, Hak Masyarakat Adat atas Tanah di Kalimantan Timur, makalah disampaikan pada Semiloka Tanah Adat di Indonesia dan Permasalahannya, Pusat Penelitian Unika Atma Jaya dan Puslitbang BPN, Jakarta, 1996

A. Latief Fariqun, 2007, “Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya)

Arie Sukanti Hutagalung, “Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional”, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: 2003

Bachtiar Abna dan Dt. Rajo Sulaiman, Pengelolaan Tanah Negara dan Tanah Ulayat, Lokakarya Regional BPPN Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Padang, 2007

Berto Nababan , Lokakarya “Membangun kesepahaman para pihak dalam menyikapi dan \ menindaklanjuti Putusan MK No.35/2012 pada Tataran Nasional dan Daerah, Jakarta pada tanggal 11 & 12 Agustus 2014

Hasanu Simon, Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prosiding Lokakarya Reformasi Hukum di bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, ICEL, Jakarta, 1999

I Nyoman Nurjaya, “Antropologi Hukum: Tema Kajian, Metodologi, Dan Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum Di Indonesia”, Makalah. Dipresentasikandalam Serial Kuliah Tamu dengan Tema: Kajian Hukum, Politik dan Organisasi Sosial dalam Tinjauan Antropologi, diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya pada tanggal 6 April 2013


(3)

Jurnal Konstitusi LK SPs Universitas Sumatera Utara, Vol. I, No. 2, November 2009 “Politik Agraria dalam Menyahuti Perkembangan Otonomi Daerah” oleh Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Jurnal Kemenhut Vol. 7, No. 2, Tahun 2013 “Dampak Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 Terhadap Pengurusan dan Pengelolaan Hutan oleh Subarudi, M. WoodSc

Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Pemerintah Kabupaten Manggarai Dengan Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, 2001, Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak Ulayat atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Rangka Otonomi Daerah di Desa Colol Kecamatan Pocoranaka Timur Kabupaten Manggarai Timur, Kupang

Mas Achmad Santosa, dalam papernya Reformasi Hukum dan kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, ICEL, Jakarta, 1999

Maria S. W. Sumardjono, Diabaikan, Hak Ulayat Sakai Payung Hukum Sebenarnya Ada, Tergantung Niat Baik Pemda, Kompas, 26 Maret 2007. Mia Siscawati, Ph.D. Sajogyo, Institute Pelatihan awal REDD, Tindak Lanjut

Putusan MK Nomor 35, MRV dan Pemanfaatan CLAS Lite untuk Analisis Deforestasi Bali, tanggal 18-22 September 2013

Sandra Moniaga, Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup, Wacana HAM, Jakarta, No, 10/Tahun II/12 Juni 2002 Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Pembinaan

Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yogyakarta, 1975.

Sukiran, “Kajian Yuridis tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana USU, 2010)

Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi dalam Pendaftaran Hak – Hak atas Tanah di Indonesia : Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006

Syarifah M, “Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”(Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2010)

Tan Kamelo, Eksistensi Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Eks Konsesi dan Perusahaan Lainnya Dalam Perspektif Hukum Perdata, Seminar Nasional Pemberdayaan Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mendukung Pembangunan Jati Diri Bangsa tanggal 7 Juli 2012, Medan


(4)

Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010)

Yunidur Usman, Pengelolaan Hutan oleh Rakyat, makalah dipresentasikan pada Diskusi Rancangan untuk Kebijakan Hutan Aceh, BRR, 12 Maret 2008

C. Peraturan Perundang - Undangan

Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara – Negara Merdeka

Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun 1986

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 59/K/SIP/1958 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


(5)

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok – Pokok Agraria

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok – Pokok Kehutanan

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

D. Internet

Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional, http://www.ymp.or.id/content/view/107/35, (diakses pada tanggal 08 februari 2015)

http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html (diakses pada 15 Januari 2015)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/contetinfoumum/penelitian/pdf/2-Penelitian%20MHA-upload.pdf (diakses tanggal 1 Februari 2015).


(6)

html (diakses tanggal 11 Februari 2015)

Yance Arizona, “Mendefinisikan Indegenous Peoples di Indonesia” https://www.yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/ (diakses tanggal 24 Januari 2015)

Yance Arizona., Satu Dekade Legislasi Masyarakat adat. http://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Working_Paper_Epistema_I nstitute_07-2010.pdf (diakses pada 08 Februari 2015)

Yayasan Merah Putih,”Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum Nasional, http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/ (diakses pada tanggal 14 februari 2015)

Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan

Hukum


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

7 185 136

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

2 73 96

Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dikaitkan Dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

2 35 114

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Di Atas Tanah Register 40 Pasca Putusan Pidana No.2642 K/PID/2006 AN.Terpidana D.L Sitorus

2 52 119

Tinjauan Yuridis Atas Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Yang Telah Bersertifikat Hak Milik (Study Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2725 K/Pdt/2008)

1 55 132

Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

0 10 149

Tinjauan Hukum Atas Perkawinan Beda Agama (Islam dan Kristen)Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Juncto Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

0 3 1

Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

0 1 8

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT A. Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat - Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/20

2 2 46

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

0 1 20