Case Study Report Sebuah Paradoks Ketera
CASE STUDY REPORT
SEBUAH PARADOKS KETERANGAN SAKSI DI SIDANG PENGADILAN
SEBAGAI KEKUATAN PEMBUKTIAN
R.M. AGUNG PUTRANTO
1206209684
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2015
1. Pendahuluan
Pengamatan untuk Case Study Report kali ini dilakukan pada tanggal 11 Maret 2015,
pukul 13.20 WIB bertempat di Ruang Mr. Kusuma Atmadja, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Jl. Ampera Raya No. 133, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Adapun di dalam ruangan
tersebut sedang berlangsung sidang dengan Nomor 49/PID.B/2015/PN/JKT.SEL yang
memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan Terdakwa Yaqub Sugiarto Sutrisno, S.H.
Sidang yang penulis hadiri sudah mencapai tahap pembuktian, dengan saksi yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum yakni saudara Timotius Tumbur Simbolon, S.H.
Terdakwa Yaqub Sugiarto didakwa dengan dakwaan alternatif. Dakwaan alternatif
pertama menggunakan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang
sekiranya berbunyi “…sebagai yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta
melakukan perbuatan dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolaholah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian,…” Sementara dakwaan
alternatif kedua menggunakan Pasal 167 ayat (1) KUHP jo. Pasal 4 KUHP jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP, yang sekiranya berbunyi “…sebagai yang melakukan, yang menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan perbuatan memaksa masuk ke dalam rumah atau
ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau
berada di situ dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya
tidak pergi dengan segera, dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,…”
Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam
dakwaan, bersama-sama dengan Saksi Timotius Tumbur Simbolon, S.H. dan P.S. Jemmy
Mokolengsng, S.H., dimana kedua saksi tersebut disidangkan dalam berkas perkara terpisah.
2. Ketentuan Hukum
Yang dimaksud dengan saksi, menurut Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Sementara Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan bahwa “keterangan saksi adalah
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari perbuatannya itu.”
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan pada Pasal
184 ayat (1) KUHAP. Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa “keterangan saksi sebagai alat
bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Selain itu, Pasal 185 ayat (5)
menegaskan bahwa “baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan saksi.”
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan
saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1
butir 27 KUHAP. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi yang
dianggap bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana ialah keterangan saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang:
a. Saksi lihat sendiri
b. Saksi dengar sendiri
c. Saksi alami sendiri
d. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu
Dari penegasan bunyi Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan bunyi penjelasan
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu:
a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa
pidana yang terjadi atau di luar apa yang dilihat atau dialaminya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran,
penglihatan atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang
terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Adapun keterangan
semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil
pendengaran dari orang lain, tidaklah mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang
didengarnya dari orang lain, sehingga keterangan saksi semacam ini tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan merupakan
keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 185 ayat (5)
KUHAP. Oleh sebab itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil
pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan
pemikiran pribadi saksi, tidaklah dapat dinilai sebagai alat bukti. Hal seperti ini
misalnya dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tertanggal 15 Maret 1984
Nomor 20/PK/Pid/1983. Dalam putusan ini ditegaskan bahwa orang tua terdakwa,
polisi dan jaksa hanya menduga, tetapi dugaan itu semua hanyalah merupakan
kesimpulan sendiri-sendiri yang tidak didasarkan dengan alat bukti yang sah.1
Saat ini, untuk kepentingan pembuktian, terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah menurut
KUHAP guna proses pembuktian acara pidana sebagai suatu proses mencari suatu kebenaran
materiil, yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat-alat bukti yang sah tersebut antara lain:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Berdasarkan kelima alat bukti tersebut dapat dilihat bahwa keterangan saksi berada
pada urutan pertama sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Hal itu mengartikan
bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat penting dalam proses
pembuktian perkara pidana.
Namun pada tahun 2011, Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 melalui putusan nomor 65/PUU-VIII/2010 membuat suatu pembaharuan
dengan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka 26 dan 27 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam amar putusannya yang dibacakan pada tanggal 8 Agustus 2011 tersebut, MK
menyatakan bahwa “Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)
sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal tersebut tidak dimaknai orang yang selalu
mendengar, melihat, serta mengalami suatu peristiwa.2
Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan yang cukup jelas mengenai sejauh
mana nilai keterangan seseorang dapat dijadikan sebagai saksi. Pertimbangan hakim yang
diberikan oleh majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa
nilai kesaksian saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri
1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1986), hlm. 809.
2 Agus Sahbani, “MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e400c35027d0/mk-definisi-saksi-dalam-kuhap--, diakses 25 April
2014.
suatu peristiwa. Namun terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang diberikan
terhadap perkara yang sedang berjalan.
Mengenai relevansi terhadap alat bukti saksi, menurut M. Yahya Harahap mencari
relevansi haruslah diujikan cara pemeriksaannya kepada landasan hukum, agar dalam
mencari dan mengarahkan keterangan saksi dalam pemeriksaan, benar-benar tertuju kepada
urgensi sesuai dengan yang dikehendaki ketentuan hukum itu sendiri.3
Relevansi alat bukti secara sederhana dapat diukur dari apakah alat bukti tersebut
sesuai dengan fakta yang dibuktikan. Relevansi sangat penting dalam hal pembuktian perkara
pidana. Pentingnya makna relevansi ini dijelaskan oleh Eddy O.S Hiraej dalam pembuktian
perkara pidana adalah sebagai berikut:4
a. Bukti harus relevan atau berhubungan
b. Bukti harus dapat dipercaya, maksudnya bukti tersebut dapat diandalkan sehingga
untuk memperkuat bukti harus didukung oleh bukti lainnya
c. Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya, bukti
tersebut haruslah bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu
fakta
Relevansi seorang saksi juga dapat didukung oleh alasan “pengetahuannya”. Tegasnya
harus mempunyai “sumber pengetahuan” yang logis atau masuk akal. Misalnya, saksi
katakan melihat sendiri peristiwa tindak pidana penganiayaan di rumahnya sewaktu ia masih
berada di kantor. Hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai kesaksian yang relevan. Jadi, setiap
unsur keterangan harus diuji dengan sumber pengetahuan saksi, dan setelah diuji dengan
sumber pengetahuan, benar terdapat ketepatan keterangan yang masuk akal, antara
keterangan saksi dengan sumber pengetahuannya harus benar-benar konsisten antara yang
satu dengan yang lain.5
Sehingga dapat disimpulkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010 tersebut, ketentuan saksi dan keterangan saksi yang berada didalam
KUHAP telah diperluas maknanya menjadi keterangan dari orang yang tidak harus melihat,
mendengar, atau mengalami suatu peristiwa pidana sepanjang keterangan yang diucapkan
relevan dengan peristiwa pidana yang sedang berlangsung dan menjelaskan alasan
pengetahuannya itu.
3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 144.
4 Eddy O.S Hiraej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 13.
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
Op.cit, hlm. 145.
3. Hasil Pengamatan
Berdasarkan pada pengamatan di lapangan, saksi di sidang pengadilan dengan Nomor
49/PID.B/2015/PN/JKT.SEL yakni saudara saksi Timotius Tumbur Simbolon, memberikan
keterangan di sidang pengadilan yang didasari atas pendapat maupun rekaan.
Hal ini membuat jaksa penuntut umum, majelis hakim bahkan penasehat hukum
terdakwa terlihat tampak kebingungan dengan kesaksian yang diberikan oleh saudara saksi
Timotius Simbolon. Meskipun pengertian saksi telah dirombak melalui putusan nomor
65/PUU-VIII/2010 oleh Mahkamah Konstitusi menjadi tidaklah harus selalu orang yang
mendengar, melihat dan mengalami sendiri peristiwa pidana, akan tetapi kesaksian yang
diberikan tetap harus menunjukan adanya relevansi dengan perkara a quo.
Bahwa saksi Timotius Tumbur Simbolon seolah memberikan kesaksian yang tidak
menguntungkan ataupun memberatkan Terdakwa sehingga tidaklah jelas kehadiran beliau di
sidang pengadilan sebagai saksi a charge atau saksi a de charge. Keterangan saksi
sebagaimana berdasarkan hasil pengamatan, lebih kepada keterangan yang menguntungkan
atau dalam hal ini membela kepentingan diri pribadi saksi yang dalam perkara a quo tertuduh
ikut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa secara bersama-sama.
Di atas, penulis sudah kemukakan betapa pentingnya relevansi bukti yang dihadirkan
di muka persidangan dengan perkara pidana yang tengah diadili. Namun praktek di lapangan,
saksi Timotius malah memberikan bukti kepada majelis hakim yang dianggap kurang
penting. Adapun saksi memberikan dokumen yang menyatakan dirinya sebagai seorang
advokat yang mana hal tersebut sama sekali tidak ada relevansinya dengan perkara yang
tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain itu berulang kali saksi berkata di
sidang pengadilan “...saya ini advokat lho, saya penegak hukum yang dilindungi oleh
undang-undang...” yang mana menurut majelis hakim, hal tersebut sangat tidak relevan
dengan tujuan saksi dihadirkan di sidang pengadilan.
Jaksa penuntut umum berdasarkan hasil pengamatan, berpendapat bahwa saksi
dihadirkan guna menyelaraskan petunjuk-petunjuk yang muncul pada rangkaian peristiwa
pidana perkara a quo, sehingga yang semestinya dilakukan saksi di sidang pengadilan adalah
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya demi terwujudnya suatu kebenaran materiil,
bukan malah memberikan keterangan yang seolah-olah dilakukan untuk kepentingan
pembelaan terhadap diri sendiri. Maka tidak heran beberapa kali majelis hakim menegur
saksi agar memberikan keterangan yang sesuai.
4. Penutup
Implikasi yuridis dari lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman Republik Indonesia melalui putusan nomor 65/PUU-VIII/2010
mengenai saksi dan keterangan saksi dalam perkara pidana adalah bahwa setelah adanya
putusan tersebut definisi saksi dan keterangan saksi menjadi orang yang tidak harus
mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi. Pun dapat
diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk
pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari
orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana.
Keterangan dari orang yang meskipun tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu
peristiwa dapat menjadi saksi dan dapat pula bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi
apabila keterangan yang diberikan relevan dengan perkara yang tengah berlangsung.
Setelah adanya putusan ini penegak hukum diharapkan lebih teliti untuk
menghadirkan saksi dalam rangka pembuktian terhadap perkara pidana terlebih setelah
diperluasnya definisi saksi dan keterangan saksi dalam KUHAP. Terhadap kriteria saksi yang
telah diperluas oleh Mahkamah Konstitusi, hendaknya penegak hukum dapat menarik
kesimpulan secara tepat untuk menilai relevansi keterangan saksi yang tidak melihat,
mendengar dan mengalami secara langsung tindak pidana yang terjadi, agar pembuktian
dalam perkara pidana dapat berjalan secara tepat demi terwujudnya suatu kebenaran materiil.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Harahap, M. Yahya. 1986. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II.
Jakarta: Pustaka Kartini.
______. 2003. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Hiraej, Eddy O.S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
______. Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun
1981.
INTERNET
Sahbani,
Agus.
“MK
‘Rombak’
Definisi
Saksi
dalam
KUHAP”.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e400c35027d0/mk-definisi-saksidalam-kuhap--. diakses 25 April 2014.
SEBUAH PARADOKS KETERANGAN SAKSI DI SIDANG PENGADILAN
SEBAGAI KEKUATAN PEMBUKTIAN
R.M. AGUNG PUTRANTO
1206209684
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2015
1. Pendahuluan
Pengamatan untuk Case Study Report kali ini dilakukan pada tanggal 11 Maret 2015,
pukul 13.20 WIB bertempat di Ruang Mr. Kusuma Atmadja, Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Jl. Ampera Raya No. 133, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Adapun di dalam ruangan
tersebut sedang berlangsung sidang dengan Nomor 49/PID.B/2015/PN/JKT.SEL yang
memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan Terdakwa Yaqub Sugiarto Sutrisno, S.H.
Sidang yang penulis hadiri sudah mencapai tahap pembuktian, dengan saksi yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum yakni saudara Timotius Tumbur Simbolon, S.H.
Terdakwa Yaqub Sugiarto didakwa dengan dakwaan alternatif. Dakwaan alternatif
pertama menggunakan Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang
sekiranya berbunyi “…sebagai yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta
melakukan perbuatan dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolaholah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian,…” Sementara dakwaan
alternatif kedua menggunakan Pasal 167 ayat (1) KUHP jo. Pasal 4 KUHP jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP, yang sekiranya berbunyi “…sebagai yang melakukan, yang menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan perbuatan memaksa masuk ke dalam rumah atau
ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau
berada di situ dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya
tidak pergi dengan segera, dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,…”
Terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam
dakwaan, bersama-sama dengan Saksi Timotius Tumbur Simbolon, S.H. dan P.S. Jemmy
Mokolengsng, S.H., dimana kedua saksi tersebut disidangkan dalam berkas perkara terpisah.
2. Ketentuan Hukum
Yang dimaksud dengan saksi, menurut Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Sementara Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan bahwa “keterangan saksi adalah
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari perbuatannya itu.”
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan pada Pasal
184 ayat (1) KUHAP. Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa “keterangan saksi sebagai alat
bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Selain itu, Pasal 185 ayat (5)
menegaskan bahwa “baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan saksi.”
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan
saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1
butir 27 KUHAP. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi yang
dianggap bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana ialah keterangan saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang:
a. Saksi lihat sendiri
b. Saksi dengar sendiri
c. Saksi alami sendiri
d. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu
Dari penegasan bunyi Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan bunyi penjelasan
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu:
a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa
pidana yang terjadi atau di luar apa yang dilihat atau dialaminya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran,
penglihatan atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang
terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Adapun keterangan
semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil
pendengaran dari orang lain, tidaklah mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang
didengarnya dari orang lain, sehingga keterangan saksi semacam ini tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan merupakan
keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 185 ayat (5)
KUHAP. Oleh sebab itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil
pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan
pemikiran pribadi saksi, tidaklah dapat dinilai sebagai alat bukti. Hal seperti ini
misalnya dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tertanggal 15 Maret 1984
Nomor 20/PK/Pid/1983. Dalam putusan ini ditegaskan bahwa orang tua terdakwa,
polisi dan jaksa hanya menduga, tetapi dugaan itu semua hanyalah merupakan
kesimpulan sendiri-sendiri yang tidak didasarkan dengan alat bukti yang sah.1
Saat ini, untuk kepentingan pembuktian, terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah menurut
KUHAP guna proses pembuktian acara pidana sebagai suatu proses mencari suatu kebenaran
materiil, yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat-alat bukti yang sah tersebut antara lain:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Berdasarkan kelima alat bukti tersebut dapat dilihat bahwa keterangan saksi berada
pada urutan pertama sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Hal itu mengartikan
bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat penting dalam proses
pembuktian perkara pidana.
Namun pada tahun 2011, Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 melalui putusan nomor 65/PUU-VIII/2010 membuat suatu pembaharuan
dengan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka 26 dan 27 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam amar putusannya yang dibacakan pada tanggal 8 Agustus 2011 tersebut, MK
menyatakan bahwa “Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)
sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal tersebut tidak dimaknai orang yang selalu
mendengar, melihat, serta mengalami suatu peristiwa.2
Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan yang cukup jelas mengenai sejauh
mana nilai keterangan seseorang dapat dijadikan sebagai saksi. Pertimbangan hakim yang
diberikan oleh majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa
nilai kesaksian saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri
1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1986), hlm. 809.
2 Agus Sahbani, “MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e400c35027d0/mk-definisi-saksi-dalam-kuhap--, diakses 25 April
2014.
suatu peristiwa. Namun terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang diberikan
terhadap perkara yang sedang berjalan.
Mengenai relevansi terhadap alat bukti saksi, menurut M. Yahya Harahap mencari
relevansi haruslah diujikan cara pemeriksaannya kepada landasan hukum, agar dalam
mencari dan mengarahkan keterangan saksi dalam pemeriksaan, benar-benar tertuju kepada
urgensi sesuai dengan yang dikehendaki ketentuan hukum itu sendiri.3
Relevansi alat bukti secara sederhana dapat diukur dari apakah alat bukti tersebut
sesuai dengan fakta yang dibuktikan. Relevansi sangat penting dalam hal pembuktian perkara
pidana. Pentingnya makna relevansi ini dijelaskan oleh Eddy O.S Hiraej dalam pembuktian
perkara pidana adalah sebagai berikut:4
a. Bukti harus relevan atau berhubungan
b. Bukti harus dapat dipercaya, maksudnya bukti tersebut dapat diandalkan sehingga
untuk memperkuat bukti harus didukung oleh bukti lainnya
c. Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya, bukti
tersebut haruslah bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu
fakta
Relevansi seorang saksi juga dapat didukung oleh alasan “pengetahuannya”. Tegasnya
harus mempunyai “sumber pengetahuan” yang logis atau masuk akal. Misalnya, saksi
katakan melihat sendiri peristiwa tindak pidana penganiayaan di rumahnya sewaktu ia masih
berada di kantor. Hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai kesaksian yang relevan. Jadi, setiap
unsur keterangan harus diuji dengan sumber pengetahuan saksi, dan setelah diuji dengan
sumber pengetahuan, benar terdapat ketepatan keterangan yang masuk akal, antara
keterangan saksi dengan sumber pengetahuannya harus benar-benar konsisten antara yang
satu dengan yang lain.5
Sehingga dapat disimpulkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010 tersebut, ketentuan saksi dan keterangan saksi yang berada didalam
KUHAP telah diperluas maknanya menjadi keterangan dari orang yang tidak harus melihat,
mendengar, atau mengalami suatu peristiwa pidana sepanjang keterangan yang diucapkan
relevan dengan peristiwa pidana yang sedang berlangsung dan menjelaskan alasan
pengetahuannya itu.
3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 144.
4 Eddy O.S Hiraej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 13.
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
Op.cit, hlm. 145.
3. Hasil Pengamatan
Berdasarkan pada pengamatan di lapangan, saksi di sidang pengadilan dengan Nomor
49/PID.B/2015/PN/JKT.SEL yakni saudara saksi Timotius Tumbur Simbolon, memberikan
keterangan di sidang pengadilan yang didasari atas pendapat maupun rekaan.
Hal ini membuat jaksa penuntut umum, majelis hakim bahkan penasehat hukum
terdakwa terlihat tampak kebingungan dengan kesaksian yang diberikan oleh saudara saksi
Timotius Simbolon. Meskipun pengertian saksi telah dirombak melalui putusan nomor
65/PUU-VIII/2010 oleh Mahkamah Konstitusi menjadi tidaklah harus selalu orang yang
mendengar, melihat dan mengalami sendiri peristiwa pidana, akan tetapi kesaksian yang
diberikan tetap harus menunjukan adanya relevansi dengan perkara a quo.
Bahwa saksi Timotius Tumbur Simbolon seolah memberikan kesaksian yang tidak
menguntungkan ataupun memberatkan Terdakwa sehingga tidaklah jelas kehadiran beliau di
sidang pengadilan sebagai saksi a charge atau saksi a de charge. Keterangan saksi
sebagaimana berdasarkan hasil pengamatan, lebih kepada keterangan yang menguntungkan
atau dalam hal ini membela kepentingan diri pribadi saksi yang dalam perkara a quo tertuduh
ikut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa secara bersama-sama.
Di atas, penulis sudah kemukakan betapa pentingnya relevansi bukti yang dihadirkan
di muka persidangan dengan perkara pidana yang tengah diadili. Namun praktek di lapangan,
saksi Timotius malah memberikan bukti kepada majelis hakim yang dianggap kurang
penting. Adapun saksi memberikan dokumen yang menyatakan dirinya sebagai seorang
advokat yang mana hal tersebut sama sekali tidak ada relevansinya dengan perkara yang
tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain itu berulang kali saksi berkata di
sidang pengadilan “...saya ini advokat lho, saya penegak hukum yang dilindungi oleh
undang-undang...” yang mana menurut majelis hakim, hal tersebut sangat tidak relevan
dengan tujuan saksi dihadirkan di sidang pengadilan.
Jaksa penuntut umum berdasarkan hasil pengamatan, berpendapat bahwa saksi
dihadirkan guna menyelaraskan petunjuk-petunjuk yang muncul pada rangkaian peristiwa
pidana perkara a quo, sehingga yang semestinya dilakukan saksi di sidang pengadilan adalah
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya demi terwujudnya suatu kebenaran materiil,
bukan malah memberikan keterangan yang seolah-olah dilakukan untuk kepentingan
pembelaan terhadap diri sendiri. Maka tidak heran beberapa kali majelis hakim menegur
saksi agar memberikan keterangan yang sesuai.
4. Penutup
Implikasi yuridis dari lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman Republik Indonesia melalui putusan nomor 65/PUU-VIII/2010
mengenai saksi dan keterangan saksi dalam perkara pidana adalah bahwa setelah adanya
putusan tersebut definisi saksi dan keterangan saksi menjadi orang yang tidak harus
mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi. Pun dapat
diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk
pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari
orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana.
Keterangan dari orang yang meskipun tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu
peristiwa dapat menjadi saksi dan dapat pula bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi
apabila keterangan yang diberikan relevan dengan perkara yang tengah berlangsung.
Setelah adanya putusan ini penegak hukum diharapkan lebih teliti untuk
menghadirkan saksi dalam rangka pembuktian terhadap perkara pidana terlebih setelah
diperluasnya definisi saksi dan keterangan saksi dalam KUHAP. Terhadap kriteria saksi yang
telah diperluas oleh Mahkamah Konstitusi, hendaknya penegak hukum dapat menarik
kesimpulan secara tepat untuk menilai relevansi keterangan saksi yang tidak melihat,
mendengar dan mengalami secara langsung tindak pidana yang terjadi, agar pembuktian
dalam perkara pidana dapat berjalan secara tepat demi terwujudnya suatu kebenaran materiil.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Harahap, M. Yahya. 1986. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II.
Jakarta: Pustaka Kartini.
______. 2003. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Hiraej, Eddy O.S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
______. Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun
1981.
INTERNET
Sahbani,
Agus.
“MK
‘Rombak’
Definisi
Saksi
dalam
KUHAP”.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e400c35027d0/mk-definisi-saksidalam-kuhap--. diakses 25 April 2014.