PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN KOPI instant

PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN KOPI
DI INDONESIA

PAPER

Disusun oleh:
(Kelompok II R.53)
Andri ‘Ubi’
Brilia Wulantika
Eman Wisnu Putra
Dadang Wahyu Juniarwoko
Harts Muhasibi
Nidya Harahap
Robi
Shanti Agustina
Yuki
Winda Victoria

MAGISTER MANAJEMEN BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kopi, dalam perdagangan internasional, merupakan komoditas ekspor terpenting kedua
setelah minyak mentah (Gregory and Featherstone, 2008). Komoditas ini diperdagangkan
hampir oleh seluruh negara di dunia (ITC, 2011). Kopi diproduksi oleh lebih dari 70 negara yang
45 diantaranya merupakan negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang tersebut
menyuplai 97 persen dari total produksi kopi dunia.

Alasan lain yang menyebabkan kopi

menjadi komoditas penting, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia, karena
perkebunan kopi menyerap banyak tenaga kerja. Teknik budidaya kopi yang membutuhkan
banyak tenaga kerja khususnya dalam proses produksi dan panennya membuat perkebunan
kopi menjadi salah satu pendorong pembangunan di daerah pedesaan (ICO, 2009).
Industri kopi Indonesia mempunyai kontribusi penting dalam perekonomian nasional.
Produk kopi biji dan kopi olahan berkontribusi sebesar 0,22 persen dari total pendapatan
domestik bruto (PDB) Indonesia atau kurang lebih 2,8 triliun rupiah. Kontribusi tersebut akan
terus meningkat karena industri kopi Indonesia mengalami pertumbuhan sekitar 3 persen tiap

tahunnya. Selain itu, Indonesia juga

merupakan produsen kopi terbesar keempat di dunia

setelah Brasil, Kolombia, dan Vietnam , dengan luas perkebunan kopi sebesar 1,26 juta hektar.
Sebagian besar perkebunan tersebut merupakan perkebunan rakyat (96 persen) dan hanya
empat persennya yang dijalankan oleh perusahaan besar (Deperin, 2009).
Keunggulan produksi kopi yang dimiliki Indonesia ternyata belum dibarengi oleh industri
pengolahannya. Sebanyak 80 persen dari produk kopi yang diekspor adalah kopi biji dan hanya
20 persennya yang diproses menjadi kopi bubuk, kopi instan, dan mixed coffe. Banyak faktor
yang diduga menyebabkan kurang berkembangnya industri kopi Indonesia, diantaranya adalah
belum begitu baiknya kontrol kualitas terutama untuk biji kopi yang dihasilkan oleh perkebunan
rakyat yang merupakan kontributor terbesar produksi kopi nasional. Selain itu faktor-faktor lain
seperti faktor teknis, infrastruktur yang belum memadai, regulasi, kondisi sosial ekonomi, serta
keterbatasan teknologi juga diduga menjadi kendala dalam pengembangan industri pengolahan
kopi (Deperin, 2009).

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dilakukannya analisa ini maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah antara lain:

a) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kurang berkembangnya industri pengolahan
kopi di Indonesia ?
b) Bagaimana solusi untuk mengatasi faktor-faktor penghambat perkembangan industri
pengolahan kopi tersebut ?
1.3 Tujuan
a. Merumuskan permasalahan industri pengolahan kopi arabica di Indonesia
b. Menemukan solusi dari permasalahan yang menghambat berkembangnya pengolahan
industri kopi Arabica di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Permasalahan
2.2.3

Aspek kelembagaan

Belum optimalnya perkembangan industri hilir kopi Indonesia tidak sama sekali
berarti masalahnya hanya ada pada bagian hilir dari industri kopi saja. Seluruh
kelembagaan yang terlibat di dalam industri ini mempunyai tanggung jawab terhadap
perkembangan industri hilir dan peningkatan daya saing kopi Indonesia dalam

kapasitasnya masing-masing. Menurut Deperin (2009), belum terjadi kemitraaan
strategis yang optimal dari setiap stakeholders, mulai dari petani, kelompok petani,
perkebunan besar, pengumpul, eksportir, lembaga penelitian, coffehouses, dan
pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Kelembagaan pertama yang bertanggung jawab terhadap mutu kopi yang akan
dihasilkan nantinya adalah petani atau petani-petani yang tergabung dalam kelompok
tani dan koperasi petani. Petani-petani skala kecil berperan signifikan terhadap mutu
produksi kopi yang dihasilkan karena mereka bertanggung jawab atas lebih dari 90
persen produksi kopi Indonesia Mutu kopi yang dihasilkan para petani Indonesia masih
didominasi oleh kopi bermutu rendah dan sedang (Deperin, 2009). Hal ini dikarenakan
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh petani atau kelembagaan petani tersebut
terutama dalam pengolahan pasca panen (USAID, 2007).

Pengolahan pasca panen hampir tidak mungkin dimiliki oleh petani kecil karena
alat pengolahan pasca panen yang cukup mahal dan tentu tidak efisien bila digunakan
untuk usahatani skala kecil. Para petani perlu bergabung dalam kelompok tani atau
koperasi agar bisa mengumpulkan modal dan melakukan pengolahan bersama agar
lebih efisien. Masalah lainnya adalah “sifat” petani kecil biasanya perlu dana secepat
mungkin setelah melakukan panen atau mungkin bahkan sebelum panen. Peran
tengkulak dimulai dari tahap ini, mereka membeli hasil panen atau meminjamkan uang

kepada para petani sebelum panen dengan syarat petani harus menjual panennya
kepada tengkulak. Sayangnya sebagian tengkulak tidak terlalu peduli terhadap kondisi
kualitas dari kopi yang dikumpulkannya. karena setiap tingkat kualitas kopi ternyata
mempunyai pasar masing-masing. Hal ini menyebabkan petani terjebak dalam siklus
yang menjadikan petani kehilangan motivasi untuk meningkatkan produktivitas maupun
kualitas kopinya. Siklus ini, dalam jargon pemasaran, dikenal dengan dengan istilah
interlocked market (Susila, 2005).
Saat ini, sebagian petani sadar akan pentingnya bergabung ke dalam organisasi
petnai baik itu koperasi atau kelompok tani. Namun, menurut USAID (2007) ternyata,
walaupun para petani telah bergabung ke kelompok tani atau koperasi masih juga
terdapat kendala-kendala terkait modal, konsistensi produksi, dan konsistensi kualitas.
USAID (2007) mengungkapkan bahwa kendala-kendala tersebut saling berkaitan.
Sebagai gambaran, organisasi petani yang tidak memiliki kapasitas mesin pulping atau
mesin pengering kopi menyebabkan tidak mampu terpenuhinya pesanan pengolah atau
eksportir kopi. Gambaran lainnya, beragamnya teknik budidaya dan teknik pasca panen
yang dilakukan oleh masing-masing panen akan menghasilkan hasil panen yang
beragam dan kualitas yang beragam pula (Saragih, 2013).
Kelembagaan tahap selanjutnya setelah pasca panen adalah para prosesor.
Kelembagaan ini bertanggung jawab menambah nilai produk melalui pengolahan seperti
roasting dan milling. Namun, industri pengolahan kopi di Indonesia belum berkembang

secara optimal melihat masih terdapatnya praktek ekspor biji kopi yang akan diolah di
luar negeri (CBI, 2013). Hal ini dikarenakan rendahnya minat investasi di dalam negeri
untuk pengolahan kopi (Deperin, 2009). Selain itu, minat para prosesor untuk melakukan
investasi penelitian dan pengembangan untuk memenuhi keinginan pasar cenderung
rendah. Tingginya resiko akibat fluktuasi harga, kuantitas dan kualitas produksi menjadi
penyebab rendahnya minat investasi di bidang pengolahan kopi (Saragih,2005).

Kelembagaan hilir terakhir menuju ekspor dan pasar dalam negeri adalah para
eksportir dan perusahaan pemasar dalam negeri. Rendahnya kualitas kopi yang
dihasilkan pada tahap usahatani terus berdampak sampai ke tahap ini. Akibatnya label
kopi berkualitas rendah tertempel pada sebagian besar kopi produksi Indonesia,
terutama untuk jenis kopi robusta (CBI, 2013). Selain itu, ketidakkonsitenan kuantitas
yang berkaitan dengan kualitas produksi kopi menyebabkan rendahnya posisi tawar kopi
indonesia di dunia (USAID, 2007).
Rendahnya pengenalan pasar terhadap kopi-kopi unik Indonesia serta informasi
yang kurang sempurna mengenai keinginan pasar membuat peluang eksportir Indonesia
untuk menjual produk yang benar-benar diinginkan pasar menjadi lebih kecil. Peluang
tersebut akhirnya direnggut oleh perusahaan-perusahaan luar negeri yang mengetahui
selera pasar. Sebagai gambaran, sebagian pasar eropa menginginkan kopi arabika yang
light roasted dan tersertifikasi, pasartimr tengah dan eropa bagian selatan membutuhkan

kopi robusta yang dark roasted dan juga tersertifikasi (CBI, 2007).
2.3 Solusi
2.3.3 Solusi untuk Aspek Kelembagaan
Garis besar dari solusi kendala-kendala yang terdapat pada setiap kelembagaan
dapat dirangkum ke dalam dua aspek solusi yaitu:
1. Mengoptimalkan kerjasama kemitraan strategis antara stakeholders yaitu petani
dan kelembagaannya, processors, pedagang dan eksportir, dan coffehouses.
2. Mengoptimalkan koordinasi antara pemerintah dan dunia usaha.
Kerjasama dilakukan secara vertikal antar pelaku usaha, seperti terlihat pada
Gambar

1.

Kerjasama tersebut

meliputi

penyaluran

modal,


transfer

teknologi,

pembimbingan, dan pelatihan. Petani memperoleh berbagai manfaat dengan bergabung
atau membentuk organisasi petani. Organisasi petani akan menyediakan akses terhadap
teknologi budidaya dan alat pasca panen yang lebih baik dan tadinya tidak terjangkau
oleh petani skala kecil. Efisiensi petani akan meningkat karena biaya input dan
pengolahan ditanggung bersama dalam organisasi. Posisi tawar petani akan meningkat
karena posisi tawar yang ada kini adalah posisi tawar organisasi petani yang mempunyai
kuantitas produksi lebih banyak.

Petani
Lembaga Penelitian

Organisasi Petani
Lembaga Keuangan
Processors
Traders/Exporters


Keterangan:

Pembiayaan dan Pelatihan
Pembiayaan
Informasi Inovasi
Informasi dan Kerjasama

Konsumen Luar Negeri

:
:
:
:

Pemerintah

Users/Coffe Houses

Gambar 1. Peranan Setiap Kelembagaan Industri Kopi


Organisasi petani juga mencegah terjadinya Interlock market karena peran
pedagang perantara dipegang oleh organisasi petani. Kebutuhan petani akan dana cepat
dapat terpenuhi oleh pembiayaan berbunga rendah yang disediakan oleh koperasi. Petani
tidak akan lagi terdesak oleh pembayaran utang lewat hasil panen sebagaimana yang
dialaminya dengan tengkulak. Petani juga menjadi lebih peduli terhadap kualitas hasil
panennya terutama bila dikaitkan dengan pendidikan dan pelatihan yang disediakan oleh
organisasi petani (Susila, 2013)
.Processors, traders, dan industrial Firm juga dapat mendukung organisasi petani
lewat penyaluran modal dan pendidikan petani (Gambar 1). Seperti yang dilakukan oleh
PT Toarco Jaya di Toraja dan Nestle pada organisasi petani di Lampung, organisasi petani
memperoleh

pinjaman

modal

lunak

dari


perusahaan

tersebut

disertai

pembimbingandalam hal teknik budidaya dan pasca panen. Nestle juga melakukan
praktek “memotivasi” petani dengan menjanjikan harga yang lebih tinggi untuk kualitas biji
kopi yang lebih tinggi dan dengan melakukan kampanye tersebut Nestle berhasil
meningkatkan kualitas kopi yang diproduksi petani di Lampung. Konsep sustainable
agribusiness yang menjadi salah satu tolak ukur penting terutama di eropa juga mulai
dikenalkan kepada petani agar kelak isu ini bukan lagi menjadi momok bagi produk kopi
Indonesia (UNDP, 2011 dan Susila, 2005).
Kegiatan pendanaan selain bisa dilakukan antar pelaku usaha, utamanya tentu
dipegang oleh lembaga-lembaga keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah. Pendanaan
yang menjadi fokus khusus tentu kepada petani. Petani yang berskala kecil dan
menanggung resiko relatif paling besar dari seluruh pelaku usaha di industri kopi
diistimewakan dengan pemberian pinjaman lunak berbunga rendah. Teknis pembiayaan
dapat dilaksanakan langsung oleh lembaga keuangan yang bersangutan atau disalurkan
terlebih dahulu ke koperasi petani.
Peran utama bidang penelitian dan pengembangan hasil panen dan pasca panen
kopi dilakukan oleh lembaga penelitian pemerintah. Indonesian Coffee and Cocoa
Research Institute (ICCRI) dan Agribusiness Market and Support Activity (AMARTA)
merupkan beberapa institusi penelitian di industri kopi. Lembaga tersebut bertanggung
jawab terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas kopi melalui bahan tanaman, teknik
budidaya, dan teknik pasca panen yang lebih baik (Carlos et al, 2011). Informasi inovasi
tersebut akan disampaikan kepada petani lewat seminar atau penyuluhan yang
diorganisasi oleh organisasi petani.
Seluruh kerjasama yang telah diuraikan di atas beserta kegiatan usaha industri kopi
tidak akan berjalan lancar tanpa adanya iklim usaha yang kondusif dan infrastruktur yang

memadai. Pemerintah bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Iklim politik yang tidak
kondusif, ketidak terjaminan keamanan, atau ketegangan sosial di masyarakat dapat
menghambat terbentuknya iklim investasi yang baik. Tanpa adanya investasi yang cukup
industri akan berjalan lambat bahkan mandeg. Begitu pula dengan kondisi infrastruktur
yang baik sangat erat kaitannya dengan efisiensi biaya usaha. Kondisi jalan yang rusak,
tidak memadainya jaringan internet, banyaknya pungutan liar, akan meningkatkan biaya
usaha sekaligus meningkatkan resiko dan menyebabkan harga produk menjadi tidak
bersaing di pasar dunia.
Pemerintah juga berkewajiban untuk mengenalkan produk kopi Indonesia beserta
kekhasannya dan menjalin kerjasama dengan luar negeri baik yang berkaitan dengan
kegiatan pemasaran ataupun pertukaran informasi. Seperti yang diungkapkan oleh Carlos
et al (2014) bahwa seharusnya negara-negara penghasil kopi di ASEAN saling bekerja
sama dalam hal berbagi informasi seputar industri kopi maupun upaya peningkatan posisi
tawar produk kopi negara-negara ASEAN. Pengenalan produk kopi Indonesia juga dapat
dilakukan dengan pameran produk di luar negeri atau diagendakan dalam misi dagang
luar negeri. Selain itu pemerintah juga berkewajiban untuk terus mengingatkan kepada
setiap Stakeholers bahwa peningkatan kualitas produk kopi merupakan isu nasional dan
dikomunikasikan lewat seminar, workshop, pertemuan-pertemuan, dan publikasi di media
masa (Carlos et al, 2011)

DAFTAR PUSTAKA
Carlos et al. 2011. ASEAN Coffe Industry: Brewing Sustainability Through Differentiated
Coffees. Learning Team Project For ABS. 25 November 2013.
CBI. 2013. Tailored Market Intelligence: Market Insights For Sustainably-Sourced Coffee From
Indonesia.

Departemen Perindustrian. 2009. Peran Industri Kopi Bagi Peningkatan Kontribusi GDP
Indonesia. Temu Karya Kopi VI. 16 November 2009. Jakarta.
Gregory, A, dan Featherstone, A. M. 2008. Nonparametric Efficiency Analysis For Coffee Farms
In Puerto Rico, Selected Paper Prepared For Presentation At The Southern Agricultural
Economics Association Annual Meeting, Dallas.
ICO. 2009. Opportunities And Challenges For The World Coffee Sector, Multi-stakeholder
Consultation on Coffee of the Secretary-General of UNCTAD, Geneva: International
Coffee Organisation.
ITC. 2011. Trends In The Trade Of Certified Coffees Technical Paper, Geneva: International
Trade Centre.
Saragih, J. R. .2013. Socioeconomic and Ecological Dimension of Certified and Conventional
Arabica Coffee Production in North Sumatra, Indonesia. Asian Journal of Agriculture and
Rural Development. Vol. 3. No. 3. pp. 93-107.
Susila, W. R. 2005. Targeted Investigation of Robusta Coffee Processing and Marketing Chain
in Lampung. Food And Agriculture Organization United Nations: Jakarta
United Nation Development Programme. 2011. Key Coffe: Establishing Specialty Coffe Toarco
Toraja by Building Capacity of Middlemen. New York: USA

United States Agency for International Development. 2007. A Rapid
Assessment of the Specialty Coffee Value Chain in Indonesia. Michigan
State University: USA