Ijtihad Politik Perempuan Transformasi P (1)

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN: TRANSFORMASI PERAN
MAJELIS TAKLIM DALAM KONSTELASI POLITIK LOKAL1
Khaerul Umam Noer2

Abstrak
Sebagai sebuah organisasi yang seringkali tidak resmi, majelis taklim perempuan
tidak mendapat perhatian serius dalam berbagai kajian, bahkan dalam kajian
perempuan sekalipun. Hal ini tentu saja merupakan gambaran betapa
terpinggirkannya majelis taklim perempuan, baik dalam peran maupun posisi
majelis taklim itu sendiri. Tulisan ini mencoba melihat adanya perubahan peran
yang signifikan dari majelis taklim perempuan, dan elite agama perempuan,
terutama pergeseran peran dalam dunia politik. Mengambil latar di Kabupaten dan
Kota Bekasi, penelitian mengenai majelis taklim perempuan memberikan gambaran
yang lebih nyata, betapa majelis taklim tidak dapat melepaskan diri dari hingarbingar dunia politik. Adanya basis massa yang jelas, di mana setengah dari
penduduk Bekasi adalah perempuan adalah sebuah keuntungan tersendiri bagi
majelis taklim. Adalah satu fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa perempuan,
terutama yang ‘berprofesi’ sebagai ibu rumah tangga, adalah anggota terbesar dari
majelis taklim, dan hal ini membuat majelis taklim memiliki posisi tawar yang
tinggi dalam konstelasi politik lokal di Bekasi. Perebutan dukungan di kalangan
majelis taklim justru menjadikan majelis taklim sekaligus elite agama perempuan
yang berkecimpung di dalamnya seakan menjadi rebutan banyak pihak. Baik partai

politik maupun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah misalnya, selalu
menjadikan elite agama perempuan dan majelis taklim sebagai target kampanye
sekaligus partner yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Adanya perubahan
peran majelis taklim, dari hanya sebuah ajang untuk menuntut ilmu agama dan tidak
berpolitik, hingga mengalami transformasi dengan terlibatnya majelis taklim di
dunia politik memperlihatkan fakta dinamis majelis taklim perempuan. Tidak lah
mengherankan, jika ijtihad politik perempuan justru bergema dari balik tembok
pengajian dan perlahan mengubah peta politik lokal di Bekasi selamanya.
Kata kunci: majelis taklim, elite agama perempuan, Bekasi, politik lokal
1

Disampaikan dalam 1st International Conference on Gender and Politics, Pusat Studi Wanita dan
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 23-24 Januari 2009.
2

Penulis adalah Koordinator Kajian Sejarah dan Sosial, Social Research Center Nuruttaqwa
Foundation Bekasi. Anda dapat melihat langsung website penulis di http://www.umamnoer.co.cc. Sebagian
bahan tulisan ini adalah riset pribadi penulis dalam rangka mendapatkan gelar master ilmu sosial di Program
Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya.
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:

Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

1

Senandung wirid dari balik tembok pengajian, pendahuluan
Ingatkah anda pada pemilihan gubernur di Jawa Timur, di mana pasangan
Soekarwo-Saifullah Yusuf (KARSA) dimenangkan oleh KPU dengan selisih 60.223 suara
dari pasangan Khofifah-Mudjiono (KAJI)? Meskipun keputusan MK memerintahkan
penghitungan ulang di Pamekasan dan pencoblosan ulang di Bangkalan dan Sampang. Satu
hal yang sering terlupakan, suara luar biasa yang di dapat oleh Khofifah tidak terlepas dari
posisinya sebagai pimpinan Muslimat NU, sebuah organisasi massa keagamaan dengan
latar belakang khusus: majelis taklim. Kemenangan Khofifah yang mengalahkan dengan
telak pasangan Sunaryo-Ali Maschan (SALAM), meskipun sama-sama mengklaim
didukung oleh NU, membuka perhatian yang lebih pada majelis taklim, atau secara lebih
spesifik majelis taklim perempuan. Makalah ini tidak berbicara dalam konteks Jawa Timur,
namun memfokuskan dalam konteks Jawa Barat.
Majelis taklim, merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang bersifat nonformal, terbuka bagi semua orang tanpa memperhatikan gender, usia, status, maupun
kedudukan di masyarakat. Majelis taklim didefinisikan sebagai “lembaga atau organisasi
sebagai wadah pengajian” dan “sidang pengajian” atau “tempat pengajian” (KBBI,
2005:699). Majelis taklim dapat didefinisikan sebagai tempat untuk melaksanakan

pengajaran atau pengajian agama Islam. Majelis taklim pada dasarnya berfungsi sebagai
lembaga pendidikan nonformal yang memiliki kedudukan penting di masyarakat (Weix
1999). Sekurangnya terdapat empat fungsi penting majelis taklim, yaitu: (1) sebagai wadah
untuk membina dan mengembangkan kehidupan beragama di masyarakat dan bertujuan
untuk membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah, (2) sebagai wahana wisata
rohani, (3) sebagai wadah silaturrahmi, dan (4) sebagai medium penyampaian gagasan yang
bermanfaat bagi pembangunan ummat dan bangsa (Ensiklopedi Islam, 1994 3:120). Tidak
hanya sebatas berfungsi untuk pengajaran agama Islam, majelis taklim pun menggunakan
metode pengajaran yang tidak berbeda dengan dilakukan dalam lembaga pendidikan Islam
formal seperti pondok pesantren. Majelis taklim banyak mempergunakan metode
pengajaran berupa ceramah maupun halaqah, yakni membacakan suatu kitab sekaligus
menterjemahkan dan menjelaskan makna kitab tersebut.
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

2

Majelis taklim pada dasarnya tidak lah ditujukan bagi jenis kelamin tertentu
(Ensiklopedi Islam 1994 3:120), hanya saja, terutama di Bekasi, majelis taklim terbagi
dalam dua kategori: majelis taklim laki-laki dan majelis taklim perempuan. Berbeda dengan

majelis taklim yang berkembang secara umum, majelis taklim laki-laki dan perempuan
terpisah secara struktur organisasi maupun pengajaran. Majelis taklim yang semula dapat
dipergunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk mempelajari agama lambat-laun
mengalami perubahan dengan adanya pemisahan antara majelis taklim laki-laki dan majelis
taklim perempuan.3 Dengan adanya pemisahan tersebut, hal ini membawa satu konsekuensi
yang lebih mendasar: adanya pembedaan pada pengajar dan tema yang diajarkan. Meskipun
demikian, baik majelis taklim laki-laki maupun majelis taklim perempuan pada dasarnya
berbagi kesamaan yang khusus: keduanya bertujuan untuk mengajarkan sekaligus
menyebarluaskan ajaran agama Islam di masyarakat.

Majelis taklim perempuan dan kebangkitan elite agama perempuan
Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan yang berarti antara majelis taklim
perempuan di Jawa Timur dengan yang terdapat di Jawa Barat. Keduanya beranggotakan
perempuan, mengajarkan ajaran agama Islam, dan keduanya sama-sama merupakan semi
organisasi dengan basis massa yang luar biasa. Perbedaan yang mungkin paling terlihat
adalah tenaga pengajar di majelis taklim tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa
hampir semua majelis taklim perempuan yang ada di Kabupaten Bekasi menggunakan
tenaga pengajar perempuan atau para ustazah. Sedangkan kiai atau ustaz lebih banyak
digunakan dalam majelis taklim laki-laki, meskipun tidak menutup kemungkinan para kiai
dan ustaz mengajar di majelis taklim perempuan meskipun sangat sedikit.4

3

Keberadaan majelis taklim perempuan barangkali membawa agenda lain dalam tujuannya, yakni
membawa diskursus ajaran agama Islam yang selama ini berada di ruang privat ke ruang publik yang lebih
terbuka bagi siapa saja, termasuk perempuan (lihat Arimbi 2004).
4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kiai memiliki arti sebagai “sebutan bagi alim ulama”
atau “cerdik pandai di agama Islam” (KBBI, 2005:565), sedangkan istilah ulama sendiri diterjemahkan
sebagai “orang yang ahli di hal atau di pengetahuan agama Islam,” meskipun KBBI sendiri membedakan
antara ulama khalaf atau “ulama yang hidup pada masa sekarang”, dan ulama salaf atau “ulama yang
mendasarkan pandangannya pada paham kemurnian ortodoks” (KBBI, 2005:1239). Istilah ustaz merujuk pada
“guru agama atau guru besar (laki-laki)” dan sebagai sebutan “tuan” (KBBI, 2005:1255), sedangkan ustazah
merujuk pada ustaz dengan jenis kelamin perempuan. Dalam konteks sosial di mana penelitian dilaksanakan,
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

3

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, majelis taklim perempuan adalah

sebuah organisasi keagamaan dengan jumlah anggota yang sangat signifikan. Majelis
taklim perempuan, yang berada di Kabupaten Bekasi, dapat dikatakan ada pada setiap
musalla yang berdiri di setiap desa dan kecamatan. Sebagai gambaran umum, di Kabupaten
bekasi terdapat 23 kecamatan dan memiliki 95 desa, jika setiap desa memiliki satu masjid
utama dan lima musalla, setidaknya di Kabupaten Bekasi terdapat tidak kurang dari 570
majelis taklim perempuan. Jumlah majelis taklim perempuan yang begitu besar tentu saja
membutuhkan jumlah tenaga pengajar yang signifikan. Jika setiap majelis taklim
mempergunakan seorang ustazah sebagai mentor mereka, maka dibutuhkan, sekurangnya,
570 orang ustazah untuk mengajar dalam majelis taklim tersebut. Hal ini tentu saja akan
membawa pada angka yang lebih besar jika mempertimbangkan jumlah anggota majelis
taklim. Lebih dari itu, jika setiap majelis taklim memiliki anggota aktif sebanyak 50 orang,
maka jumlah anggota aktif seluruh majelis taklim di Kabupaten Bekasi, sekurangnya,
mencapai 28.500 orang. Tentu saja jumlah ini akan semakin bertambah jika melihat data
faktual jumlah majelis taklim di setiap desa dan jumlah anggota yang aktif mau pun yang
pasif.
Jumlah yang sangat signifikan dari majelis taklim perempuan menjadikan para
ustazah sebagai elite agama dengan jumlah massa yang juga signifikan. Keberadaan para
elite agama perempuan dapat dikatakan membawa pengaruh yang begitu berbeda dalam
dinamika kultural di masyarakat, hal ini tentu saja memberikan gambaran yang sangat
kiai menempati posisi hierarkis yang paling atas, setelah itu terdapat ustazah, dan terakhir ustaz. Meskipun

demikian, patut untuk dicatat, bahwa hierarki tersebut tidak lah bersifat kaku, namun dapat terjadi perubahan
kedudukan, dan hal ini sangat dimungkinkan berdasarkan popularitas seseorang di masyarakat. Dalam
konteks yang berbeda, posisi hierarkis ini juga sangat bergantung pada tingkat keilmuan seseorang, di mana
tingkat keilmuan ini seringkali ditentukan dengan seberapa banyak orang tersebut memiliki ‘jam terbang’
dalam mengajar. Konsekuensinya jelas: sosok kiai yang menempati posisi teratas adalah elite agama laki-laki
yang rata-rata berusia lanjut dan telah mengajar lebih dari tiga puluh tahun, hal ini tentu saja berbeda dengan
para ‘kiai baru’, yang mendapatkan status kiai dari orang tuanya yang telah meninggal. Hal yang sama juga
terjadi di kalangan ustazah dan ustaz, di mana status mereka ditentukan oleh usia dan ‘jam terbang’ mereka.
Dalam banyak kesempatan, seorang kiai yang berusia lebih muda sering kali mendapatkan posisi yang lebih
rendah ketimbang para ustazah yang lebih senior. Satu hal penting yang harus digarisbawahi, bahwa para
ustazah tidak sama dengan sebutan “ibu nyai” sebagaimana yang berlaku di kalangan pesantren di Jawa
Timur. Para ustazah umumnya adalah sosok yang mendapatkan statusnya berdasarkan kemampuan keilmuan
yang ia miliki. Sedikit sekali para ustazah yang merupakan keturunan langsung dari kiai yang dihormati,
dalam banyak kejadian, tidak sedikit para anak perempuan dari kiai, bahkan istri kiai itu sendiri yang justru
tidak menjadi para ustazah. Hal ini tentu saja berbeda dengan para ibu nyai, yang secara langsung
mendapatkan statusnya dari kiai yang menjadi suaminya.
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

4


berbeda dengan yang selama ini dikenal, bahwa dimensi agama tidak hanya dimonopoli
oleh elite agama laki-laki. Tidak adanya dominasi kiai menjadikan para ustazah sebagai
elite agama yang mampu mensejajarkan diri mereka dengan para kiai, sekaligus
menciptakan posisi yang unik dalam struktur kehidupan bermasyarakat untuk diri mereka
sendiri.
Jumlah elite agama perempuan yang terus bertambah, seiring dengan pertambahan
majelis taklim perempuan, menjadikan elite agama perempuan sebagai sosok yang tidak
dapat dipandang sebelah mata dalam proses pengajaran dan penafsiran ajaran agama Islam.
Lebih jauh lagi, elite agama perempuan menjadikan diri mereka sebagai sosok dengan
posisi tawar tinggi ketika berhadapan dengan elite politik. Dinamika politik lokal di Bekasi
secara tidak langsung terikat dengan keberadaan elite agama perempuan, sebab jika
dibandingkan dengan para kiai dan ustaz, para ustazah jelas memiliki lebih banyak majelis
taklim yang dibinanya, sekaligus menjadikan para ustazah sebagai “pemegang kontrol” di
tingkat akar rumput.

Ustazah, majelis taklim, dan politik lokal: Pemilu Bupati Bekasi
Pada pemilihan Bupati Bekasi, yang dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2007,
tercatat enam pasang kandidat bakal calon bupati dan wakil bupati, mereka adalah:
Wikanda Darmawijaya - Daeng Muhammad, Saleh Manaf - Omin Basyuni, Memet

Rochamat - Jejen Sayuti, Sa'duddin - Darip Mulyana, Munawar Fuad - Adhi Firdaus,
Nachrowi Solihin - Solihin Sari. Dalam pemilihan bupati dan wakil bupati tersebut,
pasangan Sa’duddin-Darip Mulyana yang didukung oleh PKS menang dengan perolehan
195.857 suara; pasangan Memet Rohamat-Jejen Sayuti (PDIP) memperoleh 144.181 suara;
pasangan Saleh Manaf-Omin Basuki (PPP) memperoleh 143.248 suara; pasangan Nachrowi
Solihin-Solihin Sari (Golkar) memperoleh 113.056 suara; pasangan Munnawar Fuad-Adhy
Firdaus (PD dan PKB) memperoleh 98.080 suara; dan pasangan Wikanda DarmawijayaDaeng Muhammad (PAN) memperoleh 87.313 suara (lihat Wikipedia t.t.).

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

5

Satu hal yang tidak terlihat secara jelas adalah dukungan para elite agama
perempuan dengan majelis taklim yang dipimpinnya. Majelis taklim perempuan, dengan
cepat mengubah dirinya sendiri, dari yang semula hanya berkutat pada persoalan
pengajaran ajaran agama Islam hingga berkubang dalam hingar-bingar dunia politik. Dapat
dikatakan bahwa majelis taklim perempuan dan elite agama perempuan cukup banyak
mendapat “perhatian” dari para kandidat bakal calon bupati dan wakil bupati. Adanya
kedekatan maupun afiliasi partai politik tertentu menyebabkan para elite agama perempuan

menjadi pemain penting namun memiliki peran yang paling tidak terlihat. Majelis taklim
sebagai sebuah kendaraan politik boleh jadi mendapatkan momentumnya dalam proses
pemilihan kepala daerah, baik itu tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga
nasional. Kemenangan pasangan Ahmad Heriawan-Dede Yusuf misalnya, boleh jadi
mendapatkan sumbangsih yang tidak sedikit dari kalangan majelis taklim perempuan.
Pada pemilihan bupati dan wakil bupati bekasi terlihat jelas betapa mobilisasi massa
perempuan tidak melepaskan diri dari struktur keanggotan majelis taklim dan afiliasi politik
para elite agama perempuan yang memimpin majelis taklim tersebut. Para ustazah yang
secara terang-terangan berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan secara terangterangan pula mendukung pasangan Saleh Manaf-Omin Basuki yang didukung oleh PPP,
demikian pula para ustazah yang berafiliasi dengan Partai Bulan Bintang. Tidak mau
ketinggalan adalah yang dilakukan oleh para ustazah yang berafiliasi dengan Partai
Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional.
Meskipun demikian, sangat menarik untuk melihat bahwa cukup banyak para
ustazah yang menolak untuk berafiliasi dengan partai politik tertentu, terutama setelah
Rusydatul Ummah, sebuah organisasi majelis taklim yang menaungi hampir semua majelis
taklim di Kabupaten dan Kota Bekasi, Jakarta Utara dan Timur, menolak untuk mendukung
salah satu kandidat bupati dan wakil bupati. Penolakan dukungan yang diberikan oleh
organisasi Rusydatul Ummah justru membawa konsekuensi yang lebih luas: memberikan
otonomi yang seluas-luasnya bagi setiap majelis taklim perempuan yang bernaung di
bawahnya untuk mengambil keputusan politik secara independen. Penolakan dukungan

yang dilakukan oleh organisasi tidak berarti menyebabkan tertutupnya dukungan dari
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

6

tingkat majelis taklim di tingkat komunitas, hal ini lah yang menyebabkan para kandidat
justru semakin gencar dalam melancarkan kampanye di tiap-tiap majelis taklim di tingkat
komunitas, baik oleh mereka langsung maupun oleh para ustazah yang secara khusus
mereka minta untuk berkampanye untuk dan atas nama mereka. Tentu saja hal ini lah yang
menyebabkan setiap majelis taklim untuk secara mandiri menentukan afiliasi politik
mereka. Hal ini tentu membawa “efek samping” yang, barangkali, tidak disadari: otonomi
yang diberikan justru memberikan porsi yang lebih besar pada para ustazah, terutama yang
sepuh.
Tradisi patron-klien, sebagaimana tradisi pesantren, menyebabkan para ustazah
sepuh, sebagai patron, memiliki posisi yang sangat penting dalam pengambilan keputusan.
Adanya otonomi yang diberikan kepada setiap majelis taklim justru menjadi kegamangan
di tingkat lokal majelis taklim itu sendiri. Hal ini mendorong para majelis taklim, yang
sejatinya otonom, tetap membutuhkan “saran” dan “nasehat” dari ustazah sepuh untuk
menentukan sikap politik mereka. Keberadaan elite agama perempuan, terutama para
ustazah sepuh yang aktif mengajar di berbagai majelis taklim, menjadi sangat penting, di
mana restu mereka atas salah satu kandidat memberikan “jaminan tidak tertulis” akan
dukungan dari para anggota majelis taklim perempuan yang dipimpinnya. Perang klaim
dukungan dari majelis taklim perempuan, demikian pula tarik-menarik dukungan yang
terjadi menggambarkan betapa keberadaan majelis taklim perempuan menjadi point penting
dalam politik lokal di Bekasi.
Tidak hanya tarik-menarik kekuatan yang terlihat, yang juga terlihat jelas adalah
upaya para kandidat pasangan yang memberikan sejumlah uang yang diberikan pada
majelis taklim yang secara terbuka memberikan dukungannya pada salah satu kandidat
pasangan. Persaingan dalam merebut simpati dari majelis taklim dirasakan sangat krusial,
mengingat jumlah majelis taklim perempuan yang sangat besar, hal ini tentu saja
menjadikan majelis taklim perempuan sebagai basis dukungan dengan jumlah massa yang
luar biasa.

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

7

Kiai, Elite Perempuan, dan Majelis Taklim Perempuan
Pertanyaan yang muncul adalah, di mana posisi kiai dalam percaturan politik lokal?
Rasanya tidak berlebihan jika kiai, sebagai elite agama laki-laki, dianggap mampu
memberikan pengaruh besar di masyarakat, terutama dalam kancah politik lokal.5
Secara umum dapat dikatakan bahwa kiai di wilayah Bekasi memang memiliki
pengaruh untuk menggulirkan opini di masyarakat, hanya saja opini yang bergulir di
masyarakat lebih pada tingkat elite masyarakat, bukan pada komunitas. Persoalannya
sebenarnya mudah dipahami, mengingat di antara sejumlah kiai yang ada, sangat sedikit
yang masih terjun dalam pengajian yang dilaksanakan di tingkat komunitas. Beberapa kiai
justru melepaskan pengaruhnya di tingkat komunitas dengan bergabung dengan institusi
pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia. Kooptasi pemerintah terhadap sejumlah kiai,
menjadikan para kiai hanya memiliki posisi di sebagian kecil masyarakat, kalau tidak mau
dikatakan hanya sebatas elite. Barangkali hanya para kiai yang masih membaktikan hidup
mereka pada dunia pendidikan pesantren dan pengajian di tingkat lokal yang masih
memiliki pengaruh besar, namun jumlahnya sangat sedikit.
Berbeda dengan sebagian kiai yang cenderung “melepaskan” posisi mereka di
masyarakat dengan terlibat penuh di institusi pemerintah dan partai politik, para ustazah
justru menguatkan posisi mereka di masyarakat, di mana sebagian besar dari mereka justru
menolak untuk turut aktif dalam institusi pemerintah dan partai politik. Keterikatan pada
pemerintah dan partai politik justru membawa implikasi yang lebih luas: semakin
longgarnya ikatan dengan masyarakat ditandai dengan semakin lunturnya kharisma yang
dimiliki. Implikasi ini terjadi ketika para kiai, juga para ustazah, yang terlalu terikat pada
struktur politik menjadikan diri mereka, sebagian tanpa disadari, terkotak-kotakkan dalam
basis politik tertentu. Munculnya sebutan kiai PKB, ustaz PPP, atau ustazah PBB
menjadikan diri mereka tidak lagi “tersedia bagi semua orang”.
Kritik ini lah yang muncul di kalangan masyarakat luas, bahwa pengkotak-kotakan
yang terjadi berdasarkan partai politik, menjadikan kepercayaan dan kesetiaan terhadap
5

Pandangan ini tentu saja dapat dilihat dalam berbagai kajian yang melihat posisi kiai, atau elite
agama laki-laki, dalam dunia politik, seperti yang dilakukan oleh Bruinessen (2008), Fealy (2003), Feillard
(2008), Hidayat dan Haryono (2004), Moesa (2007), Mulkhan (1999), Tanthowi (2005), dan Turmudi (2004).
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

8

para kiai dan ustazah tersebut memudar. Hal ini juga membawa pada konsekuensi lain,
yakni menjadikan para ustazah yang secara tegas menyatakan tidak berpartai menjadi pusat
perhatian masyarakat, terutama para ustazah senior. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa para ustazah ini lah yang mampu mengubah iklim politik yang terjadi hanya dengan
sedikit ucapan ditambah sedikit testimoni dari orang-orang yang disekitarnya. Tidak hanya
di tingkat komunitas, pada tingkat elite politik pun melihat dengan seksama setiap tindakan
para ustazah ini, terutama jika menyangkut posisi mereka. Tidak jarang kunjungan
mendadak dari para kandidat ke kediaman pribadi para ustazah tersebut, di mana hal ini
pula yang menjadi sorotan, yakni sejauh mana para ustazah ini mempertahankan sikap
nonpartisan yang selama ini mereka pegang.
Para ustazah yang lebih muda, boleh jadi, dengan senang hati akan ikut dalam
hingar-bingar dunia politik, bahkan menjadikan diri dan majelis taklim yang mereka pimpin
sebagai kendaraan politik. Akibatnya pun mudah terlihat: selama masa kampanye
pemilihan bupati dan wakil bupati Bekasi, hampir semua majelis taklim penuh dengan
nuansa politik, terutama dalam majelis taklim perempuan. Hal ini tentu saja akan membawa
suatu kondisi yang, mengutip salah satu informan penelitian, “tidak kondusif untuk
mengajar maupun belajar”, sebab setiap ucapan yang keluar, baik disadari maupun tidak,
“dapat disalahartikan sebagai bentuk dukungan atau tuduhan”.

Majelis taklim dan Pemilihan Umum
Salah satu topik yang cukup hangat dibicarakan di kalangan majelis taklim
perempuan saat ini adalah bagaimana majelis taklim perempuan bersikap dalam pemilihan
umum legislatif yang akan digelar pada tahun 2009. Di satu sisi, akan selalu ada
kemungkinan terulangnya kembali tarik-menarik dukungan politik dari berbagai kandidat
yang ingin menjadikan majelis taklim perempuan sebagai kendaraan politik, namun di sisi
yang lain, jumlah para ustazah, yang umumnya adalah ustazah muda, yang terjun ke dunia
politik relatif bertambah. Persoalan ini tidak lah sesederhana yang terlihat, sebab para
ustazah yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, tidak lah berasal dari partai
yang sama, meskipun sebagian besar berasal dari partai yang mengusung ideologi Islam.
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

9

Hal ini tentu saja akan membawa dilema tersendiri bagi majelis taklim. Di satu sisi,
perlahan muncul kesadaran di anggota majelis taklim tentang hak politik mereka, di sisi
yang lain, terdapat kemungkinan, yang sangat besar, bahwa para ustazah itu akan
menggunakan majelis taklim sebagai kendaraan mereka sekaligus menuntut kesetiaan dari
anggota majelis taklim yang dipimpinnya.
Hal ini tentu saja menarik untuk diperhatikan lebih seksama. Para anggota majelis
taklim sendiri, yang sebagian besar ibu rumah tangga, perlahan menyadari (atau barangkali
sudah lelah?) dengan adanya konflik antarelite dalam memperebutkan suara mereka.
Bagaimana majelis taklim yang mereka ikuti berubah dengan cepat, dari hanya ajang
mempelajari ilmu dan ajaran agama Islam menjadi ladang kampanye caleg dan partai, dan
hal ini terus berulang. Hal ini tentu saja harus juga dilihat kemungkinan lain, bahwa
anggota majelis taklim barangkali telah menjadi pemilih yang cerdas, bahwa mereka hanya
memilih orang yang mereka anggap layak, terlepas apakah orang itu merupakan para
ustazah atau bukan. Jika hal ini yang terjadi, sangat logis kiranya jika para ustazah yang
terjun ke dunia politik harus berpikir ulang mengenai pondasi basis massa mereka, terutama
kesetiaan basis massa tersebut.
Ada pula kemungkinan lainnya: bahwa diamnya para ustazah senior menjadi
penentu utama dalam pemilihan legislatif mendatang. Boleh jadi diamnya para ustazah
tersebut menjadi fatwa yang mendorong terjadinya golongan putih, mengingat ucapan salah
satu ustazah yang mengatakan “golput sendiri adalah sikap politik”, namun hal ini lah yang
harus dilihat ke depan. Bagaimana majelis taklim perempuan dapat bersikap sekaligus
mengambil posisi dalam percaturan politik lokal di Bekasi.
Dalam pemilihan bupati dan wakil bupati misalnya, majelis taklim perempuan
cukup banyak memberikan bantuan kemenangan dalam pemilihan bupati dan wakil bupati
Bekasi bagi pasangan Sa’duddin-Darip Mulyana, demikian pula pada pemilihan gubernur
dan wakil gubernur Jawa Barat bagi pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf. Barangkali
pada pemilihan legislatif mendatang, posisi majelis taklim perempuan akan kembali
dipertanyakan. Akan kah majelis taklim perempuan menempatkan wakilnya di dalam
anggota legislatif DPRD Kabupaten Bekasi seperti periode saat ini, atau justru terpecahnya
IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

10

majelis taklim perempuan dalam berbagai faksi menyebabkan tak satu pun di antara
wakilnya yang berhasil duduk di kursi legislatif. Kiranya waktu kan menjawab.

Kepustakaan:
Arimbi, Diah Ariani. 2004. “When Private Becomes Public: The Case of Islamic Prayer
Groups in Indonesia”, Mozaik 2(2):33-42
van Bruinessen, Martin. 2008. NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Cetakan kelima. Yogyakarta: LkiS
Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Fealy, Greg. 2003. Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS
Feillard, Andrée. 2008. NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Cetakan
kedua. Yogyakarta: LkiS
Hidayat, Komaruddin dan M. Yudhie Haryono. 2004. Manuver Politik Ulama, Tafsir
Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama-Negara. Yogyakarta: Jalasutra
Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama.
Yogyakarta: LKiS
Mulkhan, Abdul Munir. 1999. Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan Dalam
Dakwah Islam. cetakan kedua. Yogyakarta: Sipress
Tanthowi, Pramono U. 2005. Kebangkitan Politik Kaum Santri: Islam dan Demokratisasi
di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: PSAP
Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS
Weix, G.G. 1998. “Islamic Prayer Groups in Indonesia: Local Forum and Gender
Responses” Critique of Anthropology 18(4):405-420
Wikipedia.
t.t.
dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Kepala_Daerah_Bekasi_2007_(Bupati))

IJTIHAD POLITIK PEREMPUAN:
Transformasi Peran Majelis Taklim dalam Konstelasi Politik Lokal

11