Kemunculan Bioskop dan Gaya Hidup (1)
BAB I
PENDAHULUAN
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar
(paying audiences) berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris,
Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film
dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awalawal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun
usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh
sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia
internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai
lahirnya film pertama di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere
Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954).
Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April
1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin
pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang
diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula
di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea
(1903) dan di Italia (1905). Di Indonesia sendiri, film pertamakali diperkenalkan
pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop
pertama lahir di Perancis.(Jauhari, 1992:11-13).
Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Dalam iklan suratkabar Bintang
Betawi (4 Desember 1900) tertulis: "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan
Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae
(menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas
doewa f1, klas tiga f0,50." Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film
dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Belanda dan Raja Hertog
Hendrik di kota Den Haag.
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili
realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk
imajinasi ataupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukan pada kita
jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini
dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam
perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan "citra bergerak"
(moving images), namun juga telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan
tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.
Hadirnya bioskop pada awal abad ke-20 ke Hindia Belanda, bukan saja
menambah atau menarik penduduk Indonesia ke arah modernitas, tetapi juga
timbul satu fenomena baru, yaitu tentang gaya hidup masyarakat Eropa yang
ditransformasikan dari tayangan film pada bioskop. Bioskop juga semakin
mempertajam dikotomi kelas sosial dan komunitas di Hindia Belanda.
Gaya hidup dipahami David Chaney sebagai proyek refleksif dan penggunaan
fasilitas konsumen secara sangat kreatif. Menurut Chaney, Bioskop adalah
istana impian dan melalui bentuk-bentuk baru pameran dengan menggunakan
fasilitas layar kaca, pencahayaan elektris, konstruksi baja dan beton, serta
segenap sumber daya tontonan arsitektural untuk mentransformasikan ruang
public (Chaney, 1996:58).
Penulis akan membahas mengenai kehadiran bioskop di masyarakat terjajah
(penduduk Hindia Belanda) dan proses transformasi gaya hidup Eropa ke dalam
alam pemikiran penduduk Hindia Belanda serta semakin tajamnya stratifikasi
sosial yang ada di masyarakat Hindia Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
KEHADIRAN BIOSKOP DAN PERKEMBANGAN
INDUSTRI FILM DI HINDIA BELANDA
(1900-1942)
Menurut Asrul Sani, Bioskop adalah gedung di mana alat proyeksi
ditempatkan dan di mana orang banyak dapat menonton gambar bergerak di
atas sebidang layar putih. Penemuan tekhnik untuk memproyeksikan gambar
kesebuah layar hingga dapat oleh banyak orang sekaligus, merupakan
matarantai terakhir dan satu rentetan usaha penemuan yang menghasilkan
gambar hidup seperti yang dikenal penduduk Hindia Belanda awal abad ke-20.
(Jauhari, 1992: i).
Pertamakalinya bioskop diperkenalkan pada tahun 1895, oleh Auguste dan Louis
Lumiere di Grand Café, Boulevard des Capucines, Paris. Ini merupakan hari
kelahiran bioskop di dunia, hingga dibawa ke berbagai negara, termasuk ke
Hindia Belanda. Sejak pemberitaan di surat kabar Bintang Betawi, tanggal 5
Desember 1900 masyarakat Hindia Belanda mulai mengenal seni pertunjukan
yang kelak dikenal sebagai film, yang dirintis oleh orang Eropa, tetapi pada
perkembangan selanjutnya lebih banyak dilakukan oleh penduduk asing
keturunan Cina.
Pada tahun-tahun awal pemutaran film belum memiliki tempat yang tetap.
Gedung manege di Kebon Jahe, Tanah Abang adalah salah satu gedung di
Batavia yang paling sering diadakan pemutaran film. Tempat lainnya adalah
gedung milik Kapten Cina Tan Boen Koei. Terkadang pemutaran film juga
diadakan di tanah lapang, seperti lapangan Boes Kota, lapangan Mangga Besar,
dan los pasar Tanah Abang.
Sejak dibukanya gedung bioskop di daerah Tanah Abang pada awal abad ke-20,
maka dalam waktu beberapa tahun kemudian di Batavia dapat dijumpai
sejumlah tempat yang merupakan bioskop, dan bioskop-bioskop tersebut
berupaya menarik masyarakat melalui iklan-iklan di suratkabar pada masa itu.
Dengan demikian, bioskop sebagai sarana hiburan masyarakat, hanya dalam
beberapa tahun telah menjadi salah satu komoditas perdagangan. Tampaknya
bukan hanya di Batavia gedung bioskop didirikan, di kota Surabaya juga
terdapat gedung pertunjukan seperti itu, begitu juga kota-kota besar lainnya
(Sakti, 1999: 1-2).
Menurut Victor C.Mambor, Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada
tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke
dalam bahasa Melayu. Sementara film-film produksi pemerintah kolonial saat
itu masih berupa film dokumenter. Di negara-negara lain (barat) film cerita
sendiri sudah mulai diproduksi antara tahun 1902-1903. The Life an American
Fireman (1903) adalah film cerita Amerika pertama yang dibuat oleh Edwin S.
Porter (1869-1941). La Presa di Roma dibuat di Itali oleh Filateo Alberini tahun
1905. Kemudian India juga membuat film cerita pertama mereka yaitu Rajah
Harisandra tahun 1913. Film cerita impor ini cukup laku di Hindia Belanda.
Jumlah bioskop jadi semakin meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata
mengagumkan. Di Medan pun kemudian muncul bioskop yang pertama di luar
pulau Jawa. Surat kabar Keng Po memuat sebuah iklan yang menyebutkan
bahwa pada tanggal 10 September 1923 akan diputar film penerangan tentang
pos dan telegraf di kota Medan.
Pada masa ini, bioskop-bioskop terbuka lebih memiliki daya tarik tersendiri.
Biasanya terletak di lokasi-lokasi pasar malam. Daya tarik film dan bioskop ini
mulai dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan sosial. Centrale Bioskop di
Mester Cornelis (Jatinegara) pada tahun 1923 menyumbangkan 25% dari
penjualan karcis untuk pensiunan militer.
Pada tahun ini juga mulai masuk film-film dari Cina melalui China Moving
Picture. Dua film Tiongkok pertama adalah Li Ting Lang yang bercerita tentang
revolusi di Cina dan Satoe Perempoean Yang Berboedi. Film-film dari Cina ini
mulai dibanding-bandingkan dengan film produksi Amerika (Hollywood). Satu
hal yang agak unik adalah usaha promosi film yang dilakukan oleh pemilik
bioskop melalui surat kabar seringkali lebih menonjolkan kemajuan-kemajuan
fasilitas bioskop tempat film itu diputar. Seluruh film yang diputar hingga tahun
tersebut masih berupa film bisu.
Film lokal (Indonesia) pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film
cerita yang masih bisu. Film cerita lokal pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng
(film berbasis legenda masyarakat pribumi), ini merupakan hasil karya
L.Heuveldorp dan G.Krugers lewat NV Java Film Company.
De Locomotief no. 70 (30 Agustus-1 September 1926) menulis,"Pemain-pemain
pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priyayi yang berpendidikan.
Pengambilan film dilakukan di suatu tempat yang dipilih dengan cermat, kirakira dua kilometer sebelah barat kota Padalarang". Kemudian dalam edisi no.
71 (2-4 September 1926) ditulis, "Film ini, tonggak pertama dalam industri
sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian".
Film Loetoeng Kasaroeng ini diputar di Elite dan Oriental Bioskop (Majestic)
Bandung, dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. Terwujudnya
film Loetoeng Kasaroeng, didukungan oleh Bupati Bandung saat itu, R.A.A.
Wiranatakusumah V, dan Raja bioskop Bandung, Buse. Awalnya, Heuveldorp
tertarik dengan pertunjukan sandiwara tentang legenda tersebut, yang
diprakarsai Bupati Wiranatakusumah V. Ia kemudian berhasrat untuk
mengalihkannya ke layar lebar, dan langsung didukung oleh bupati. Dukungan
dari bupati, bagi Heuveldorp dianggap menguntungkan, sebab ia bisa
mendapatkan fasilitas shooting dan pemain-pemain "mojang Priangan".
Kehadiran Buse memudahkan untuk memutar film tersebut di dua bioskop kelas
atas di Bandung. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh
perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul
perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang
membuat Lily van Java dan Central Java Film Co (Semarang) yang
memproduksi Setangan Berlumur Darah. Kemudian muncul berbagai judul film
berikutnya, seperti Naik Djadi Dewa (1927) dan Si Tjonat produksi Motion
Picture, Rampok Preanger, Lari ke Arab, Atma de Visser (1929), dan Amat
Tangkap Kodok (1930) produksi Krugers Film Bedrijf, Resia Borobudur (1929)
produksi Nancing Film Corp, Nyai Dasima (1929), Nyai Dasima II (1930),
produksi Tan's Film.
Pada tahun 1927, film-film bersuara mulai beredar di Indonesia. Bahkan film
dari Hollywood sudah menggunakan teks melayu. Di tatar Sunda, di
pertengahan dekade 1930, ada film yang cukup fenomenal berjudul Pareh, hasil
garapan Mannus Franken (produksi Albert Balink dan Wong Bersaudara). Hanya,
film ini tak sukses di pasaran. Ongkos pembuatan film yang terlampau mahal
tidak kembali, akibatnya Balink dan Wong terancam bangkrut. Pada tahun
1937, bersama Wong Bersaudara, Balink (yang bergabung dalam Aglemeene
Nederland Indie Film Synd) meluncurkan film berjudul Terang Boelan.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931.
Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film
Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu
(1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah
bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada
tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan
bahwa bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga dikota-kota
kecil seperti Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.
Produksi film Indonesia mengalami “masa panen” pertama kali pada tahun
1941. Di tahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yang diproduksi. Terdiri dari
30 film cerita dan 11 film yang bersifat dokumenter. Nama-nama Roekiah, Rd
Mochtar dan Fifi Young sangat populer pada masa itu. Film-film yang diproduksi
ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan
sedikit laga.
Sayangnya, di tahun 1942, produksi film anjlok. Hanya 3 judul film yang
diproduksi. Hal ini tentunya berkaitan dengan masuknya pendudukan Jepang di
Indonesia yang melarang aktivitas pembuatan film.Pendudukan Jepang
mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidhoso) yang di dalamnya ada
Nippon Eiga Sha yang mengurusi bagian film.
Selama masa pendudukan Jepang inilah, film mulai secara terang-terangan
digunakan sebagai alat propaganda politik. Film yang diputar, selain film
dokumenter Jepang yang menonjolkan "kegagahan" Jepang, juga film-film
Jerman yang adalah sekutu Jepang. Jepang hanya memperkenankan produksi
film yang berkaitan langsung dengan upaya propaganda, seperti Berdjoeang,
Habis Hoedjan, Mimpikoe, Ke Seberang, Amat Heiho, dan Tonari Kumi. Film
Amerika dilarang beredar. Nama-nama Bioskop pun diganti ke bahasa Jepang
dan Indonesia.
Namun pendudukan Jepang masih sedikit berbaik hati dengan memberikan
kesempatan kepada kaum pribumi untuk mempelajari teknik pembuatan film.
Dari tabel mengenai jumlah bioskop di Indonesia pada masa kolinial Belanda
dan pada masa pendudukan Jepang, terlihat jelas bagaimana jumlah bioskop
menurun drastis, karena pada masa Jepang, bioskop banyak yang ditutup dan
dijadikan gudang-gudang.
Jumlah bioskop di Indonesia pada tahun 1937 dan 1943
Kota
Surabaya
Jakarta
Malang
Semarang
Bandung
Yogyakarta
(Sakti, 1999: 45).
1937
22
19
12
9
8
4
1943
12
13
6
7
7
3
STRATIFIKASI SOSIAL DAN TRANSFORMASI GAYA HIDUP EROPA MELALUI
BIOSKOP
Kehadiran bioskop di Hindia Belanda, tidak hanya berfungsi sebagai tempat
menonton pertunjukan film, tetapi juga dimaknai sebagai tempat yang dapat
memberi sebuah identitas dan prestise sosial tertentu, yaitu identitas dan
prestise, gaya hidup tuan dan nyonye di gedongan. Jika disebut film sebagai
sesuatu yang di dalamnya memasukan apa yang disebut dengan dokumen sosial
suatu masyarakat, maka demikian pula dengan bioskop.
Bioskop dengan keberadaan dan berbagai penanda yang menyertainya, juga
merepresentasikan sebuah perkembangan dan realitas fenomena sosial yang
tengah terjadi pada waktu itu. Bioskop dengan berbagai perkembangannya,
lebih jauh, juga merepresentasikan seluruh gejala perubahan yang terjadi
dengan masyarakat penontonnya dalam memahami perubahan yang terjadi
dalam fenomena identitas dan prestise kelas-kelas sosial.
Sejak awal kehadirannya di Hindia Belanda (5 Desember 1900), bioskop telah
dimaknai bukan saja sebagai ruang fungsional untuk menyaksikan pertunjukan
film, tetapi juga membayangkan bagaimana ruang itu dimaknai dengan
sejumlah kategori prestise sosial tertentu. Di bawah ini akan dibahas mengenai
dampak bioskop terhadap semakin rentannya pembagian kelas dalam
masyarakat Hindia Belanda dan transformasi gaya hidup akibat kehadiran
bioskop.
Transformasi Gaya Hidup Eropa Melalui Media Bioskop
Media film sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku warga Hindia Belanda.
Lagu, mode pakaian, cara berdandan dan merias wajah dari para bintang yang
memerankan satu film dalam bioskop sering ditiru orang (menjadi semacam
transformasi budaya atau gaya hidup). Awal kehadirannya di Hindia Belanda,
bioskop merupakan jenis “barang” tontonan mewah dan bergengsi.
Penontonnya terbatas, terutama orang-orang Eropa, Cina, dan kalangan
pribumi yang berduit, yaitu golongan priyayi dan ningrat, atau pun ada juga
masyarakat biasa yang tempatnya saling dibeda-bedakan (kebanyakan
masyarakat ini masih buta huruf).
Lapisan-lapisan atas yang menghabiskan waktunya di bioskop makin lama makin
meluas, hingga menjelang tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai
merasakan adanya gejala pengaruh bioskop terhadap penontonnya. Film yang
didatangkan dari Eropa dan Amerika, dianggap mempertontonkan hal-hal yang
berpengaruh buruk bagi kaum pribumi, dan mengubah pandangan mereka
terhadap bangsa kulit putih.
Penonton pribumi (kebanyakan buta huruf) banyak melihat gambaran tentang
kekerasan, perceraian yang merupakan kezaliman, dan perilaku lain yang
menggugah penilaian mereka terhadap budaya mereka sendiri. Hal ini sedikit
banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat pribumi. Film yang mereka
tonton adalah gambaran tentang budaya asing yang lebih unggul, yang telah
berhasil melebarkan sayap dan menjajah Hindia Belanda. Kenyataan ini
membuat cemas pemerintah, karena dikhawatirkan akan merubah perilaku
penduduk pribumi (Jauhari, 1992: 15-16).
Selain itu, pemerintah jajahan tampaknya mengkhawatirkan pandangan
masyarakat terhadap diri mereka. Bioskop secara tidak langsung telah
membuka mata penonton pribumi tentang sifat-sifat asli bangsa kulit putih.
Ada juga masyarakat pribumi yang mengikuti kehidupan yang mereka tonton
dalam bioskop itu. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah mengeluarkan
undang-undang tentang pengaturan film dan bioskop melalui Ordonansi
Bioscoope (hampir sama dengan lembaga sensor film sekarang) di tahun 1916.
Bioskop makin membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia
Belanda, peraturan yang dibuat secara longgar oleh pemerintah kolonial,
mengakibatkan banyak orang menganggap bioskop telah membawa pengaruh
buruk bagi rakyat, termasuk mengubah pandangan inlanders terhadap bangsa
kulit putih yang berkuasa.
Ordonansi 1916 berkali-kali mengalami perubahan, guna menangkal pandangan
dan merubah gaya hidup masyarakat pribumi secara psikologis. Ordonansi itu
melakukan perubahan dan final diberlakukan Ordonansi Film 1925, yang
diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1926.
Tahun 1923, muncul mode baru di kalngan masyarakat Eropa di Hindia Belanda.
Film diputar di bioskop “kagetan”, seperti di tempat pertemuan perkumpulanperkumpulan di perkebunan tebu, teh, kopi, dan tembakau. Perkumpulan ini
disebut societeit, seperti Societeit de Club di Banyuwangi, Societeit Parapatan
di Berau, Kalimantan, Officer Societeit di Cimahi, dan lain sebagainya. Para
mandor yang notabene kebanyakan dari mereka adalah orang pribumi mulai
mengikuti gaya hidup layaknya orang Eropa di perkebunan-perkebunan
tersebut.
Pada tahun 1920-an, Zigomar film buatan Perancis adalah salah satu film yang
banyak ditiru dalam hal gaya berpakaian (topi dan busana), seperti sosok
Zigomar, oleh pria-pria pribumi. Mode pakaian Triko a la Zigomar dan Topi
Zigomar yang bentuknya seperti topi filt, yang sering dikenakan para bandit,
pernah menjadi semacam gaya hidup penduduk Hindia Belanda, terutama di
Bandung, sehingga pemerintah kolonial sempat melarang pemutaran film seri
itu.
Tokoh Eddie Polo dalam film seri Broken Coin, yang mempunyai ciri khas
bentuk kumis dan potongan rambutnya, pernah menjadi mode di kalangan
penduduk. Bentuk kumis gaya Hitler yang dipopulerkan oleh Charles Chaplin
pada tahun 1938 juga sempat menjadi mode di kalangan masyarakat. Lagu yang
mengiringi pemutaran film di bioskop juga ikut mempengaruhi jenis musik
daerah yang telah ada di masyarakat Hindia Belanda. Masyarakat Hindia
Belanda mulai mengenal musik-musik dari barat (Eropa), dan semakin lama
musik-musik daerah mengalami proses akulturasi kebudayaan.
Status Sosial dan Stratifikasi Kelas dalam Bioskop
Nonton bioskop termasuk bergengsi, terutama karena ini jenis hiburan baru dan
menjadi konsumsi orang berduit. Dengan nonton bioskop, para inlander merasa
naik harga karena bisa duduk bersama dengan para sinyo dan noni-noni yang
waktu itu mempunyai kedudukan paling tinggi dalam strata sosial masyarakat
Hindia Belanda. Menyadari pembagian kelas ini bermanfaat untuk menjaring
penonton pribumi yang merupakan pasar paling potensial, Pemerintah Kolonial
kemudian memapankannya dengan asumsi penonton dapat memilih tanda
masuk yang sesuai kemampuan daya belinya.
Pembagian kelas ini membuat pengusaha bioskop sedikit kelawahan, karena
banyak penonton yang memilih kelas yang lebih murah. Setelah berjalan
beberapa lama, baru ditemukan jalan keluarnya. Keluarlah iklan The Royal
Bioscope disuratkabar Bintang Betawi tahun 1903, pembagian kelas bertambah,
mulai loge f 2, kelas satu f 1, kelas dua f 0.50, dan kelas tiga (untuk orang
Islam dan Jawa saja) f 0.25.
Dengan pembagian kelas yang bersifat rasial ini, pengusaha memastikan tak
ada lagi penduduk yang bukan orang Islam dan Jawa atau pribumi yang duduk
di kelas terendah. Kelas dalam masyarakat pribumi disebut sebagai bioskop
kelas “kambing”, sedangkan bagi kelas orang-orang Eropa dan Timur Asing
disebut kelas elite.
Orang Cina, Eropa, dan India, berdasar ketentuan ini harus masuk di kelas dua
ke atas. Dengan demikian, mereka yang berstatus sosial dan pendapatan lebih
tinggi, tentu akan memilih kelas yang lebih atas. Ketentuan dalam pembagian
kelas dan harga tanda masuk baru ini, menambah pendapatan bioskop. Namun,
bagi para kolonial, pembagian kelas tersebut mereka restui tampaknya bukan
semata-mata karena alasan ekonomi, lebih jauh pembagian kelas tersebut
mencerminkan usaha mereka memapankan susunan masyarakat zaman ini.
Yaitu, dengan meletakkan masyarakat Belanda dan Eropa di puncaknya,
kemudian masyarakat Timur Asing, dan bumiputra di posisi paling bawah.
Golongan Timur Asing, terutama Cina, pada waktu itu memang telah memiliki
daya beli yang lebih baik dibanding bumiputra. Karena itu, dalam pembagian
kelas di bioskop, kaum Timur Asing tak masuk kategori yang patut disebut
secara khusus, justru mereka harus membayar tiket yang lebih mahal dari kaum
pribumi.
Setahun kemudian, American Animatograph hadir di Gedung Kapitein Tan Boen
Koei di Kongsi Besar, harga tanda masuk ditentukan f 0,25 untuk orang Cina dan
f 0,10 untuk orang Islam. Bioskop ini menjanjikan tidak mencampur tempat
duduk perempuan dan laki-laki.
Pemisahan tempat duduk ini memenuhi asumsi bioskop sepi karena penonton
pribumi yang menjalankan ajaran Islam dengan ketat enggan datang ke tempat
yang mencampurkan lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya. Bukan rahasia
umum lagi, waktu itu bioskop dianggap tempat maksiat, karena pria dan wanita
duduk berdampingan di dalam gelap.
Pada tahun 1905, dimana telah diperkenalkan Gambar Idoep yang bisa bicara
(mengisi suara langsung dari orang), telah terjadi perkembangan pembagian
kelas hingga ada kelas empat, yang khusus untuk orang Islam atau pribumi saja,
seharga f 0,25. Dalam hal tanda masuk, sudah jelas adanya pembagian kelas di
sini, di mana mereka yang berasal dari golongan Eropa, Timur Asing ataupun
pribumi dibeda-bedakan, apalagi bagi masyarakat pribumi masih ada lagi
stratifikasi sosialnya.
Pada tahun 1927, muncul bioskop kelas atas, seperti Cinema Palace di Krekot,
Globe Bioscope di Pasar Baru, Elita di Pintu Air, Decca Park di Gambir, dan
Dierentuin di Cikini. Di bioskop kelas atas ini, penontonnya orang Eropa dan
kalangan pamongpraja yang berpakaian a la kolonial. Berbeda dengan penonton
di bioskop kelas bawah seperti Rialto, yang berpakaian sembarangan. Di
Bandung, berdiri pula bioskop bergengsi khusus orang Belanda, Concordia.
Perhitungan keadaan ekonomi dan status sosial, telah menjadi lazim bagi
mereka yang menikmati pertunjukkan bioskop.
BAB III
KESIMPULAN
Sejak dibukanya gedung bioskop di Tanah Abang pada awal abad ke-20, sejarah
perfilman di negeri ini telah dimulai. Pada tahun 1910 orang-orang Eropa telah
merintis pembuatan film dokumenter tentang Hindia Belanda. Seni
pertunjukkan film lewat media bioskop berkembang seiring berjalannya waktu.
Orang-orang dari Eropa, Cina dan pribumi sendiri berlomba-lomba untuk
membuat film, guna diputar di bioskop-bioskop.
Hingga akhirnya bioskop mengalami penurunan dalam hal jumlahnya, karena
masuknya Jepang ke Indonesia, bioskop banyak yang beralih fungsi menjadi
gudang-gudang, dan sebagian besar film yang diputar di bioskop adalah
propaganda film Jepang. Bioskop juga menimbulkan perubahan besar dalam
masyarakat Hindia Belanda saat itu. Pengaruh westernisasi menyebar melalui
penayangan film di bioskop (Wertheim, 1999: 250).
Transformasi gaya hidup Eropa (cara berpakaian, moralitas, musik, dan
perbedaan status sosial yang maikn mencolok) perlahan-lahan masuk ke dalam
alam pikiran masyarakat pribumi. Kehadiran bioskop menjelaskan bagaimana
perkembangannya itu telah melakukan korelasi dengan apa yang terjadi dalam
perubahan sosio-kultural masyarakatnya. Bioskop tidak lagi hanya dibaca
dengan pemaknaan prestise tempat, melainkan dengan prestise gaya hidup
yang menyertainya, yang mendasar pula pada kelas-kelas sosial.
Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah SosialEkonomi di Jurusan Sejarah Unpad, pada 2005 lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chaney, David. 1996. Lifestyle; Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.).
Yogyakarta: Jalasutra.
Jauhari, Haris (ed.). 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia.
Jakarta: Dewan Film Nasional dan Gramedia Pustaka Utama.
Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: Gramedia
Bandung.
Pane, Armijn. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja
Sebagai Alat Masjarakat. Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan
Nasional.
Sakti, Gaman. 1999. Perfilman Indonesia 1900-1960; Lahirnya Perfilman di
Indonesia Hingga Berdiri dan Berkembangnya Perfini Serta Peranannya
dalam Perkembangan Film Indonesia (Skripsi). Bandung: Fakultas
Sastra Unpad.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Wertheim. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Situs-situs Internet
http://66.218.69.11/search/cache?
p=bioskop+dan+gaya+hidup&prssweb=Search&ei=UTF-8&fr=FP-tab-webt&x=wrt&u=www.pikiran
rakyat.com/cetak/0504/30/khazanah/lainnya04.htm&w=bioskop+dan+gaya+hid
up&d=NCB-gDmtMvTv&icp=1&.intl=us
http://66.218.69.11/search/cache?
p=bioskop+di+batavia&prssweb=Search&ei=UTF-8&fr=FP-tab-webt&x=wrt&u=www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/03/31/0069.html&w=
bioskop+di+batavia&d=Hm9XszmtMux4&icp=1&.intl=us
http://72.14.203.104/search?
q=cache:mouafvEDHWoJ:www.pphui.or.id/perfiki/
+gambar+idoep&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=11
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=242009&kat_id=84
http://72.14.203.104/search?
q=cache:mouafvEDHWoJ:www.pphui.or.id/perfiki/
+gambar+idoep&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=11
PENDAHULUAN
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar
(paying audiences) berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris,
Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film
dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awalawal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun
usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh
sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia
internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai
lahirnya film pertama di dunia. Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere
Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954).
Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April
1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin
pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang
diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula
di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea
(1903) dan di Italia (1905). Di Indonesia sendiri, film pertamakali diperkenalkan
pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop
pertama lahir di Perancis.(Jauhari, 1992:11-13).
Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Dalam iklan suratkabar Bintang
Betawi (4 Desember 1900) tertulis: "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan
Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae
(menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas
doewa f1, klas tiga f0,50." Film pertama di Indonesia ini adalah sebuah film
dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Belanda dan Raja Hertog
Hendrik di kota Den Haag.
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili
realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk
imajinasi ataupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukan pada kita
jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini
dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam
perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan "citra bergerak"
(moving images), namun juga telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan
tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.
Hadirnya bioskop pada awal abad ke-20 ke Hindia Belanda, bukan saja
menambah atau menarik penduduk Indonesia ke arah modernitas, tetapi juga
timbul satu fenomena baru, yaitu tentang gaya hidup masyarakat Eropa yang
ditransformasikan dari tayangan film pada bioskop. Bioskop juga semakin
mempertajam dikotomi kelas sosial dan komunitas di Hindia Belanda.
Gaya hidup dipahami David Chaney sebagai proyek refleksif dan penggunaan
fasilitas konsumen secara sangat kreatif. Menurut Chaney, Bioskop adalah
istana impian dan melalui bentuk-bentuk baru pameran dengan menggunakan
fasilitas layar kaca, pencahayaan elektris, konstruksi baja dan beton, serta
segenap sumber daya tontonan arsitektural untuk mentransformasikan ruang
public (Chaney, 1996:58).
Penulis akan membahas mengenai kehadiran bioskop di masyarakat terjajah
(penduduk Hindia Belanda) dan proses transformasi gaya hidup Eropa ke dalam
alam pemikiran penduduk Hindia Belanda serta semakin tajamnya stratifikasi
sosial yang ada di masyarakat Hindia Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
KEHADIRAN BIOSKOP DAN PERKEMBANGAN
INDUSTRI FILM DI HINDIA BELANDA
(1900-1942)
Menurut Asrul Sani, Bioskop adalah gedung di mana alat proyeksi
ditempatkan dan di mana orang banyak dapat menonton gambar bergerak di
atas sebidang layar putih. Penemuan tekhnik untuk memproyeksikan gambar
kesebuah layar hingga dapat oleh banyak orang sekaligus, merupakan
matarantai terakhir dan satu rentetan usaha penemuan yang menghasilkan
gambar hidup seperti yang dikenal penduduk Hindia Belanda awal abad ke-20.
(Jauhari, 1992: i).
Pertamakalinya bioskop diperkenalkan pada tahun 1895, oleh Auguste dan Louis
Lumiere di Grand Café, Boulevard des Capucines, Paris. Ini merupakan hari
kelahiran bioskop di dunia, hingga dibawa ke berbagai negara, termasuk ke
Hindia Belanda. Sejak pemberitaan di surat kabar Bintang Betawi, tanggal 5
Desember 1900 masyarakat Hindia Belanda mulai mengenal seni pertunjukan
yang kelak dikenal sebagai film, yang dirintis oleh orang Eropa, tetapi pada
perkembangan selanjutnya lebih banyak dilakukan oleh penduduk asing
keturunan Cina.
Pada tahun-tahun awal pemutaran film belum memiliki tempat yang tetap.
Gedung manege di Kebon Jahe, Tanah Abang adalah salah satu gedung di
Batavia yang paling sering diadakan pemutaran film. Tempat lainnya adalah
gedung milik Kapten Cina Tan Boen Koei. Terkadang pemutaran film juga
diadakan di tanah lapang, seperti lapangan Boes Kota, lapangan Mangga Besar,
dan los pasar Tanah Abang.
Sejak dibukanya gedung bioskop di daerah Tanah Abang pada awal abad ke-20,
maka dalam waktu beberapa tahun kemudian di Batavia dapat dijumpai
sejumlah tempat yang merupakan bioskop, dan bioskop-bioskop tersebut
berupaya menarik masyarakat melalui iklan-iklan di suratkabar pada masa itu.
Dengan demikian, bioskop sebagai sarana hiburan masyarakat, hanya dalam
beberapa tahun telah menjadi salah satu komoditas perdagangan. Tampaknya
bukan hanya di Batavia gedung bioskop didirikan, di kota Surabaya juga
terdapat gedung pertunjukan seperti itu, begitu juga kota-kota besar lainnya
(Sakti, 1999: 1-2).
Menurut Victor C.Mambor, Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada
tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke
dalam bahasa Melayu. Sementara film-film produksi pemerintah kolonial saat
itu masih berupa film dokumenter. Di negara-negara lain (barat) film cerita
sendiri sudah mulai diproduksi antara tahun 1902-1903. The Life an American
Fireman (1903) adalah film cerita Amerika pertama yang dibuat oleh Edwin S.
Porter (1869-1941). La Presa di Roma dibuat di Itali oleh Filateo Alberini tahun
1905. Kemudian India juga membuat film cerita pertama mereka yaitu Rajah
Harisandra tahun 1913. Film cerita impor ini cukup laku di Hindia Belanda.
Jumlah bioskop jadi semakin meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata
mengagumkan. Di Medan pun kemudian muncul bioskop yang pertama di luar
pulau Jawa. Surat kabar Keng Po memuat sebuah iklan yang menyebutkan
bahwa pada tanggal 10 September 1923 akan diputar film penerangan tentang
pos dan telegraf di kota Medan.
Pada masa ini, bioskop-bioskop terbuka lebih memiliki daya tarik tersendiri.
Biasanya terletak di lokasi-lokasi pasar malam. Daya tarik film dan bioskop ini
mulai dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan sosial. Centrale Bioskop di
Mester Cornelis (Jatinegara) pada tahun 1923 menyumbangkan 25% dari
penjualan karcis untuk pensiunan militer.
Pada tahun ini juga mulai masuk film-film dari Cina melalui China Moving
Picture. Dua film Tiongkok pertama adalah Li Ting Lang yang bercerita tentang
revolusi di Cina dan Satoe Perempoean Yang Berboedi. Film-film dari Cina ini
mulai dibanding-bandingkan dengan film produksi Amerika (Hollywood). Satu
hal yang agak unik adalah usaha promosi film yang dilakukan oleh pemilik
bioskop melalui surat kabar seringkali lebih menonjolkan kemajuan-kemajuan
fasilitas bioskop tempat film itu diputar. Seluruh film yang diputar hingga tahun
tersebut masih berupa film bisu.
Film lokal (Indonesia) pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film
cerita yang masih bisu. Film cerita lokal pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng
(film berbasis legenda masyarakat pribumi), ini merupakan hasil karya
L.Heuveldorp dan G.Krugers lewat NV Java Film Company.
De Locomotief no. 70 (30 Agustus-1 September 1926) menulis,"Pemain-pemain
pribumi dipilih dengan seksama dari golongan priyayi yang berpendidikan.
Pengambilan film dilakukan di suatu tempat yang dipilih dengan cermat, kirakira dua kilometer sebelah barat kota Padalarang". Kemudian dalam edisi no.
71 (2-4 September 1926) ditulis, "Film ini, tonggak pertama dalam industri
sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian".
Film Loetoeng Kasaroeng ini diputar di Elite dan Oriental Bioskop (Majestic)
Bandung, dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. Terwujudnya
film Loetoeng Kasaroeng, didukungan oleh Bupati Bandung saat itu, R.A.A.
Wiranatakusumah V, dan Raja bioskop Bandung, Buse. Awalnya, Heuveldorp
tertarik dengan pertunjukan sandiwara tentang legenda tersebut, yang
diprakarsai Bupati Wiranatakusumah V. Ia kemudian berhasrat untuk
mengalihkannya ke layar lebar, dan langsung didukung oleh bupati. Dukungan
dari bupati, bagi Heuveldorp dianggap menguntungkan, sebab ia bisa
mendapatkan fasilitas shooting dan pemain-pemain "mojang Priangan".
Kehadiran Buse memudahkan untuk memutar film tersebut di dua bioskop kelas
atas di Bandung. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh
perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul
perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang
membuat Lily van Java dan Central Java Film Co (Semarang) yang
memproduksi Setangan Berlumur Darah. Kemudian muncul berbagai judul film
berikutnya, seperti Naik Djadi Dewa (1927) dan Si Tjonat produksi Motion
Picture, Rampok Preanger, Lari ke Arab, Atma de Visser (1929), dan Amat
Tangkap Kodok (1930) produksi Krugers Film Bedrijf, Resia Borobudur (1929)
produksi Nancing Film Corp, Nyai Dasima (1929), Nyai Dasima II (1930),
produksi Tan's Film.
Pada tahun 1927, film-film bersuara mulai beredar di Indonesia. Bahkan film
dari Hollywood sudah menggunakan teks melayu. Di tatar Sunda, di
pertengahan dekade 1930, ada film yang cukup fenomenal berjudul Pareh, hasil
garapan Mannus Franken (produksi Albert Balink dan Wong Bersaudara). Hanya,
film ini tak sukses di pasaran. Ongkos pembuatan film yang terlampau mahal
tidak kembali, akibatnya Balink dan Wong terancam bangkrut. Pada tahun
1937, bersama Wong Bersaudara, Balink (yang bergabung dalam Aglemeene
Nederland Indie Film Synd) meluncurkan film berjudul Terang Boelan.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931.
Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film
Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu
(1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah
bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada
tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan
bahwa bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga dikota-kota
kecil seperti Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.
Produksi film Indonesia mengalami “masa panen” pertama kali pada tahun
1941. Di tahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yang diproduksi. Terdiri dari
30 film cerita dan 11 film yang bersifat dokumenter. Nama-nama Roekiah, Rd
Mochtar dan Fifi Young sangat populer pada masa itu. Film-film yang diproduksi
ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan
sedikit laga.
Sayangnya, di tahun 1942, produksi film anjlok. Hanya 3 judul film yang
diproduksi. Hal ini tentunya berkaitan dengan masuknya pendudukan Jepang di
Indonesia yang melarang aktivitas pembuatan film.Pendudukan Jepang
mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidhoso) yang di dalamnya ada
Nippon Eiga Sha yang mengurusi bagian film.
Selama masa pendudukan Jepang inilah, film mulai secara terang-terangan
digunakan sebagai alat propaganda politik. Film yang diputar, selain film
dokumenter Jepang yang menonjolkan "kegagahan" Jepang, juga film-film
Jerman yang adalah sekutu Jepang. Jepang hanya memperkenankan produksi
film yang berkaitan langsung dengan upaya propaganda, seperti Berdjoeang,
Habis Hoedjan, Mimpikoe, Ke Seberang, Amat Heiho, dan Tonari Kumi. Film
Amerika dilarang beredar. Nama-nama Bioskop pun diganti ke bahasa Jepang
dan Indonesia.
Namun pendudukan Jepang masih sedikit berbaik hati dengan memberikan
kesempatan kepada kaum pribumi untuk mempelajari teknik pembuatan film.
Dari tabel mengenai jumlah bioskop di Indonesia pada masa kolinial Belanda
dan pada masa pendudukan Jepang, terlihat jelas bagaimana jumlah bioskop
menurun drastis, karena pada masa Jepang, bioskop banyak yang ditutup dan
dijadikan gudang-gudang.
Jumlah bioskop di Indonesia pada tahun 1937 dan 1943
Kota
Surabaya
Jakarta
Malang
Semarang
Bandung
Yogyakarta
(Sakti, 1999: 45).
1937
22
19
12
9
8
4
1943
12
13
6
7
7
3
STRATIFIKASI SOSIAL DAN TRANSFORMASI GAYA HIDUP EROPA MELALUI
BIOSKOP
Kehadiran bioskop di Hindia Belanda, tidak hanya berfungsi sebagai tempat
menonton pertunjukan film, tetapi juga dimaknai sebagai tempat yang dapat
memberi sebuah identitas dan prestise sosial tertentu, yaitu identitas dan
prestise, gaya hidup tuan dan nyonye di gedongan. Jika disebut film sebagai
sesuatu yang di dalamnya memasukan apa yang disebut dengan dokumen sosial
suatu masyarakat, maka demikian pula dengan bioskop.
Bioskop dengan keberadaan dan berbagai penanda yang menyertainya, juga
merepresentasikan sebuah perkembangan dan realitas fenomena sosial yang
tengah terjadi pada waktu itu. Bioskop dengan berbagai perkembangannya,
lebih jauh, juga merepresentasikan seluruh gejala perubahan yang terjadi
dengan masyarakat penontonnya dalam memahami perubahan yang terjadi
dalam fenomena identitas dan prestise kelas-kelas sosial.
Sejak awal kehadirannya di Hindia Belanda (5 Desember 1900), bioskop telah
dimaknai bukan saja sebagai ruang fungsional untuk menyaksikan pertunjukan
film, tetapi juga membayangkan bagaimana ruang itu dimaknai dengan
sejumlah kategori prestise sosial tertentu. Di bawah ini akan dibahas mengenai
dampak bioskop terhadap semakin rentannya pembagian kelas dalam
masyarakat Hindia Belanda dan transformasi gaya hidup akibat kehadiran
bioskop.
Transformasi Gaya Hidup Eropa Melalui Media Bioskop
Media film sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku warga Hindia Belanda.
Lagu, mode pakaian, cara berdandan dan merias wajah dari para bintang yang
memerankan satu film dalam bioskop sering ditiru orang (menjadi semacam
transformasi budaya atau gaya hidup). Awal kehadirannya di Hindia Belanda,
bioskop merupakan jenis “barang” tontonan mewah dan bergengsi.
Penontonnya terbatas, terutama orang-orang Eropa, Cina, dan kalangan
pribumi yang berduit, yaitu golongan priyayi dan ningrat, atau pun ada juga
masyarakat biasa yang tempatnya saling dibeda-bedakan (kebanyakan
masyarakat ini masih buta huruf).
Lapisan-lapisan atas yang menghabiskan waktunya di bioskop makin lama makin
meluas, hingga menjelang tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mulai
merasakan adanya gejala pengaruh bioskop terhadap penontonnya. Film yang
didatangkan dari Eropa dan Amerika, dianggap mempertontonkan hal-hal yang
berpengaruh buruk bagi kaum pribumi, dan mengubah pandangan mereka
terhadap bangsa kulit putih.
Penonton pribumi (kebanyakan buta huruf) banyak melihat gambaran tentang
kekerasan, perceraian yang merupakan kezaliman, dan perilaku lain yang
menggugah penilaian mereka terhadap budaya mereka sendiri. Hal ini sedikit
banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat pribumi. Film yang mereka
tonton adalah gambaran tentang budaya asing yang lebih unggul, yang telah
berhasil melebarkan sayap dan menjajah Hindia Belanda. Kenyataan ini
membuat cemas pemerintah, karena dikhawatirkan akan merubah perilaku
penduduk pribumi (Jauhari, 1992: 15-16).
Selain itu, pemerintah jajahan tampaknya mengkhawatirkan pandangan
masyarakat terhadap diri mereka. Bioskop secara tidak langsung telah
membuka mata penonton pribumi tentang sifat-sifat asli bangsa kulit putih.
Ada juga masyarakat pribumi yang mengikuti kehidupan yang mereka tonton
dalam bioskop itu. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah mengeluarkan
undang-undang tentang pengaturan film dan bioskop melalui Ordonansi
Bioscoope (hampir sama dengan lembaga sensor film sekarang) di tahun 1916.
Bioskop makin membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia
Belanda, peraturan yang dibuat secara longgar oleh pemerintah kolonial,
mengakibatkan banyak orang menganggap bioskop telah membawa pengaruh
buruk bagi rakyat, termasuk mengubah pandangan inlanders terhadap bangsa
kulit putih yang berkuasa.
Ordonansi 1916 berkali-kali mengalami perubahan, guna menangkal pandangan
dan merubah gaya hidup masyarakat pribumi secara psikologis. Ordonansi itu
melakukan perubahan dan final diberlakukan Ordonansi Film 1925, yang
diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1926.
Tahun 1923, muncul mode baru di kalngan masyarakat Eropa di Hindia Belanda.
Film diputar di bioskop “kagetan”, seperti di tempat pertemuan perkumpulanperkumpulan di perkebunan tebu, teh, kopi, dan tembakau. Perkumpulan ini
disebut societeit, seperti Societeit de Club di Banyuwangi, Societeit Parapatan
di Berau, Kalimantan, Officer Societeit di Cimahi, dan lain sebagainya. Para
mandor yang notabene kebanyakan dari mereka adalah orang pribumi mulai
mengikuti gaya hidup layaknya orang Eropa di perkebunan-perkebunan
tersebut.
Pada tahun 1920-an, Zigomar film buatan Perancis adalah salah satu film yang
banyak ditiru dalam hal gaya berpakaian (topi dan busana), seperti sosok
Zigomar, oleh pria-pria pribumi. Mode pakaian Triko a la Zigomar dan Topi
Zigomar yang bentuknya seperti topi filt, yang sering dikenakan para bandit,
pernah menjadi semacam gaya hidup penduduk Hindia Belanda, terutama di
Bandung, sehingga pemerintah kolonial sempat melarang pemutaran film seri
itu.
Tokoh Eddie Polo dalam film seri Broken Coin, yang mempunyai ciri khas
bentuk kumis dan potongan rambutnya, pernah menjadi mode di kalangan
penduduk. Bentuk kumis gaya Hitler yang dipopulerkan oleh Charles Chaplin
pada tahun 1938 juga sempat menjadi mode di kalangan masyarakat. Lagu yang
mengiringi pemutaran film di bioskop juga ikut mempengaruhi jenis musik
daerah yang telah ada di masyarakat Hindia Belanda. Masyarakat Hindia
Belanda mulai mengenal musik-musik dari barat (Eropa), dan semakin lama
musik-musik daerah mengalami proses akulturasi kebudayaan.
Status Sosial dan Stratifikasi Kelas dalam Bioskop
Nonton bioskop termasuk bergengsi, terutama karena ini jenis hiburan baru dan
menjadi konsumsi orang berduit. Dengan nonton bioskop, para inlander merasa
naik harga karena bisa duduk bersama dengan para sinyo dan noni-noni yang
waktu itu mempunyai kedudukan paling tinggi dalam strata sosial masyarakat
Hindia Belanda. Menyadari pembagian kelas ini bermanfaat untuk menjaring
penonton pribumi yang merupakan pasar paling potensial, Pemerintah Kolonial
kemudian memapankannya dengan asumsi penonton dapat memilih tanda
masuk yang sesuai kemampuan daya belinya.
Pembagian kelas ini membuat pengusaha bioskop sedikit kelawahan, karena
banyak penonton yang memilih kelas yang lebih murah. Setelah berjalan
beberapa lama, baru ditemukan jalan keluarnya. Keluarlah iklan The Royal
Bioscope disuratkabar Bintang Betawi tahun 1903, pembagian kelas bertambah,
mulai loge f 2, kelas satu f 1, kelas dua f 0.50, dan kelas tiga (untuk orang
Islam dan Jawa saja) f 0.25.
Dengan pembagian kelas yang bersifat rasial ini, pengusaha memastikan tak
ada lagi penduduk yang bukan orang Islam dan Jawa atau pribumi yang duduk
di kelas terendah. Kelas dalam masyarakat pribumi disebut sebagai bioskop
kelas “kambing”, sedangkan bagi kelas orang-orang Eropa dan Timur Asing
disebut kelas elite.
Orang Cina, Eropa, dan India, berdasar ketentuan ini harus masuk di kelas dua
ke atas. Dengan demikian, mereka yang berstatus sosial dan pendapatan lebih
tinggi, tentu akan memilih kelas yang lebih atas. Ketentuan dalam pembagian
kelas dan harga tanda masuk baru ini, menambah pendapatan bioskop. Namun,
bagi para kolonial, pembagian kelas tersebut mereka restui tampaknya bukan
semata-mata karena alasan ekonomi, lebih jauh pembagian kelas tersebut
mencerminkan usaha mereka memapankan susunan masyarakat zaman ini.
Yaitu, dengan meletakkan masyarakat Belanda dan Eropa di puncaknya,
kemudian masyarakat Timur Asing, dan bumiputra di posisi paling bawah.
Golongan Timur Asing, terutama Cina, pada waktu itu memang telah memiliki
daya beli yang lebih baik dibanding bumiputra. Karena itu, dalam pembagian
kelas di bioskop, kaum Timur Asing tak masuk kategori yang patut disebut
secara khusus, justru mereka harus membayar tiket yang lebih mahal dari kaum
pribumi.
Setahun kemudian, American Animatograph hadir di Gedung Kapitein Tan Boen
Koei di Kongsi Besar, harga tanda masuk ditentukan f 0,25 untuk orang Cina dan
f 0,10 untuk orang Islam. Bioskop ini menjanjikan tidak mencampur tempat
duduk perempuan dan laki-laki.
Pemisahan tempat duduk ini memenuhi asumsi bioskop sepi karena penonton
pribumi yang menjalankan ajaran Islam dengan ketat enggan datang ke tempat
yang mencampurkan lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya. Bukan rahasia
umum lagi, waktu itu bioskop dianggap tempat maksiat, karena pria dan wanita
duduk berdampingan di dalam gelap.
Pada tahun 1905, dimana telah diperkenalkan Gambar Idoep yang bisa bicara
(mengisi suara langsung dari orang), telah terjadi perkembangan pembagian
kelas hingga ada kelas empat, yang khusus untuk orang Islam atau pribumi saja,
seharga f 0,25. Dalam hal tanda masuk, sudah jelas adanya pembagian kelas di
sini, di mana mereka yang berasal dari golongan Eropa, Timur Asing ataupun
pribumi dibeda-bedakan, apalagi bagi masyarakat pribumi masih ada lagi
stratifikasi sosialnya.
Pada tahun 1927, muncul bioskop kelas atas, seperti Cinema Palace di Krekot,
Globe Bioscope di Pasar Baru, Elita di Pintu Air, Decca Park di Gambir, dan
Dierentuin di Cikini. Di bioskop kelas atas ini, penontonnya orang Eropa dan
kalangan pamongpraja yang berpakaian a la kolonial. Berbeda dengan penonton
di bioskop kelas bawah seperti Rialto, yang berpakaian sembarangan. Di
Bandung, berdiri pula bioskop bergengsi khusus orang Belanda, Concordia.
Perhitungan keadaan ekonomi dan status sosial, telah menjadi lazim bagi
mereka yang menikmati pertunjukkan bioskop.
BAB III
KESIMPULAN
Sejak dibukanya gedung bioskop di Tanah Abang pada awal abad ke-20, sejarah
perfilman di negeri ini telah dimulai. Pada tahun 1910 orang-orang Eropa telah
merintis pembuatan film dokumenter tentang Hindia Belanda. Seni
pertunjukkan film lewat media bioskop berkembang seiring berjalannya waktu.
Orang-orang dari Eropa, Cina dan pribumi sendiri berlomba-lomba untuk
membuat film, guna diputar di bioskop-bioskop.
Hingga akhirnya bioskop mengalami penurunan dalam hal jumlahnya, karena
masuknya Jepang ke Indonesia, bioskop banyak yang beralih fungsi menjadi
gudang-gudang, dan sebagian besar film yang diputar di bioskop adalah
propaganda film Jepang. Bioskop juga menimbulkan perubahan besar dalam
masyarakat Hindia Belanda saat itu. Pengaruh westernisasi menyebar melalui
penayangan film di bioskop (Wertheim, 1999: 250).
Transformasi gaya hidup Eropa (cara berpakaian, moralitas, musik, dan
perbedaan status sosial yang maikn mencolok) perlahan-lahan masuk ke dalam
alam pikiran masyarakat pribumi. Kehadiran bioskop menjelaskan bagaimana
perkembangannya itu telah melakukan korelasi dengan apa yang terjadi dalam
perubahan sosio-kultural masyarakatnya. Bioskop tidak lagi hanya dibaca
dengan pemaknaan prestise tempat, melainkan dengan prestise gaya hidup
yang menyertainya, yang mendasar pula pada kelas-kelas sosial.
Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah SosialEkonomi di Jurusan Sejarah Unpad, pada 2005 lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chaney, David. 1996. Lifestyle; Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.).
Yogyakarta: Jalasutra.
Jauhari, Haris (ed.). 1992. Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia.
Jakarta: Dewan Film Nasional dan Gramedia Pustaka Utama.
Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: Gramedia
Bandung.
Pane, Armijn. 1953. Produksi Film Tjerita di Indonesia; Perkembangannja
Sebagai Alat Masjarakat. Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan
Nasional.
Sakti, Gaman. 1999. Perfilman Indonesia 1900-1960; Lahirnya Perfilman di
Indonesia Hingga Berdiri dan Berkembangnya Perfini Serta Peranannya
dalam Perkembangan Film Indonesia (Skripsi). Bandung: Fakultas
Sastra Unpad.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Wertheim. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Situs-situs Internet
http://66.218.69.11/search/cache?
p=bioskop+dan+gaya+hidup&prssweb=Search&ei=UTF-8&fr=FP-tab-webt&x=wrt&u=www.pikiran
rakyat.com/cetak/0504/30/khazanah/lainnya04.htm&w=bioskop+dan+gaya+hid
up&d=NCB-gDmtMvTv&icp=1&.intl=us
http://66.218.69.11/search/cache?
p=bioskop+di+batavia&prssweb=Search&ei=UTF-8&fr=FP-tab-webt&x=wrt&u=www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/03/31/0069.html&w=
bioskop+di+batavia&d=Hm9XszmtMux4&icp=1&.intl=us
http://72.14.203.104/search?
q=cache:mouafvEDHWoJ:www.pphui.or.id/perfiki/
+gambar+idoep&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=11
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=242009&kat_id=84
http://72.14.203.104/search?
q=cache:mouafvEDHWoJ:www.pphui.or.id/perfiki/
+gambar+idoep&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=11