VII B KONSENTRASI PERDATA BISNIS

  

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM KEPAILITAN

Dosen Pembina : Prof. Dr. Hj. Rahayu Hartini., S.H. M.Si., M.Hum.

  

Disusun oleh :

FEBRITA AYU RIMAWAN

  

201510110311225

  

VII B

KONSENTRASI PERDATA BISNIS

  

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018

1. A. Status Kekayaan BUMN PERSERO

  Merujuk ketentuan dan konsep badan hukum maka kekayaan BUMN itu “bukan merupakan asset negara” karena kekakyaan negara tersebut pada prinsipnya dipisahkan dari harta keyaan negara menjadi harta perusahaan dalam hal ini BUMN sejak ditetapkannya peraturan pemerintah yang mengatur tentang adanya pemisahan kekayaan tersebut, sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1), (3), (6) undang-undang BUMN. Sejak saat itulah berlaku adanya transformasi hukum status hukum dari uang negara menjadi uang privat.

  Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana diatur dalam pasa 4 ayat (1) undang-undang BUMN. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau PERUM serta Perseroan terbatas lainnya pasal 1 angka 10 undang-undang BUMN. Demikian juga pasal 4 ayat (1) pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada system APBN namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

  Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1), (3), (5) serta pasal 1 angka 10 undang- undang BUMN bahwa batas hukum kekayaan negara sebagai badan hukum public adalah pada adanya pemisahan kekayaan negara kemudian menjadi modal penyertaan dalam berdirinya BUMN baik yang berbentuk PERUM ataupun yang berbentuk Persero yaitu dengan adanya penerbitan PP tentang adanya pemisahan kekayaan negara ke dalam modal BUMN dalam bentuk penyertaan langsung. Jadi status hukum kekayaan BUMN Persero yang semula kapasitasnya sebagai badan hukum public menjadi badan hukum privat dengan mendasarkan dalam undang-undang PT tahun 1995 sebagaimana pasal 11 undang-undang BUMN beserta penjelasannya.

  

B. Terhadap BUMN Persero apakah dapat dilakukan sita umum dalam

kepailitan dan bagaimana tanggung jawab direksi BUMN Persero

  Terhadap kekayaan BUMN yang berbentuk Persero maupun PERUM dapat dilakukan sita umum dalam kepailitan, karena status harta kekayaan yang ada pada BUMN yang berbentuk persero maupun PERUM keduanya merupakan harta kekayaan negara yang telah dipisahkan ditetapkan dengan PP pasal 4 ayat (3) undang- undang BUMN.

  Oleh karena itu mengacu pada doktrin mengenai badan hukum, bahwa harta kekayaan negara bukan merupakan asset negara tetapi telah menjadi harta kekayaan BUMN baik Persero maupun PERUM dan telah menjadi badan hukum privat. Karena BUMN sebagai sebuah badan usaha yang berbadan hukum maka sebagai konsekuensi yuridisnya adalah dapat mempunyai hak dan kewajiban layaknya subyek hukum pribadi.

  Dalam pasal 50 huruf a dan d Undang-Undang PBN menurut ketentuan pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 ayat (5) dan penjelasannya UUK dan PKPU asset BUMN termasuk obyek dalam kepailitan artinya terhadap asset BUMN tersebut dapat diajukan untuk dimohonkan pailit.

  Mengenai tanggung jawab direksi BUMN Persero dalam hal perusahaan tersebut mengalami kepailitan, ada dua doktrin yang penting untuk dikemukakan

  fiduaciary duty dan business judgement rule.

  Fiduciary duties: Fiduciary duty direksi terhadap perseroan tercermin dalam dua kewajiban yaitu : 1. Duty of loyalty and good faith dan 2. Duty of care and diligent.

  1. Duty of loyalty and good faith, direksi tidak semata-mata hanya melaksanakan tugas untuk dan bagi kepentingan perseroan, melainkan juga para stakeholders perseroan yang di dalamnya juga meliputi kepentingan para pemegang saham perseroan, kreditur perseroan dalam artian luas, yang meliputi juga para pemasok, rekanan kerja, juga konsumen.

  2. Duty of care and diligent, anggota direksi dan pegawai suatu perseroan harus memiliki standar kehati-hatian.

  Business judgement rule merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan. Dalam Undang-Undang PT telah menganut prinsip business judgement rule sebagaimana dalam pasal 92 ayat (2). Hal lain juga disebutkan juga dalam pasal 104 Undang-Undang PT khususnya ayat (4) memberikan kesempatan pada direksi untuk tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila direksi dapat membuktikan 4 hal sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) tersebut.

  Dalam UUK dan PKPU mengenai tindakan yang dapat dilakukan direksi selaku pengurus PT terdapat pada pasal 111 dan 122. Di dalam Undang-Undang PT yang baru yakni Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 telah mengatur tentang tanggung jawab antara direksi dan dewan komisaris dalam hal terjadi kepailitan suatu perseroan dalam pasal 115 ayat (1), (2), dan (3).

2. Analisis Putusan Pailit atas BUMN sebelum dan setelah adanya UU OJK sebagai berikut :

  

Perkara Permohonan Pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia (Sebelum

Adanya UU OJK)

A. PENDAHULUAN

  • Kasus Posisi Secara ringkas kasus posisi kepailitan PT. DI (Persero) dapat dideskripsikan sebagai berikut. Kasus ini bermula dari adanya PHK terhadap 6.561 orang pekerja PT. DI (Persero) pada tahun 2003. Permohonan kepailitan diajukan berdasarkan :

  Adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

   Bahwa pemohon adalah termasuk dari 6.561 orang pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya oleh termohon berdasarkan putusan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4 Pusat) No: 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004 yang telah berkekuatanm hukum tetap.

   Bahwa berdasarkan amar putusan P4 pusat menyebutkan bahwa : PT Dirgantara Indonesia wajib memberikan kompensasi pension dengan mendasarkan pada upah pekerja terakhir dan jaminan hari tua sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992.

   Bahwa perhitungan dana pension menjadi kewajiban termohon untuk membayar kepada pemohon. Yang besarnya adalah: pemohon I : Rp.

  83.347.862,82, pemohon II: Rp. 69.958.079,22, pemohon III: Rp. 74.040.827,91.

   Bahwa kewajiban termohon untuk membayar kompensasi pension kepada pemohon adalah merupakan hutang termohon kepada pemohon sebagimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

   Bahwa utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak Putusan P4 Pusat tanggal 29 Januari 2004.  Bahwa dengan tidak dilakukannya pembayaran oleh termohon, walaupun utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka termohon menurut

  Undang-Undang dapat dinyatakan pailit.

  Adanya kreditur lain

  Bahwa disamping pemohon, termohon juga mempunyai hutang kepada :  Nelly Ratnasari, sebesar Rp. 12.701.489,25

   Sukriadi Djasa, sebesar Rp. 79.024.764,81. adapun Nelly Ratnasari dan Sukriadi Djasa dan para pekerja lain yang totalnya 3500 orang dengan total piutang sejumlah kurang lebih Rp. 200.000.000.000,00. akan hadir dan akan mengikuti persidangan selaku para kreditur dari termohon.

   Bank Mandiri, dengan piutang sebesar Rp. 125.658.033. 228,00  Bahwa oleh sebab itu pemohon, memohon kepada ketua Pengadilan Niaga c.q. Majelis Hakim yang memeriksa dan megadili perkara ini agar termohon dapat dinyatakan pailit karena telah terpenuhinya ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

   Pemohon mengusulkan Taufik Nugraha,S.H sebagai Kurator guna kepentingan pemberesan harta pailit. Dengan dasar bahwa ia cukup capable dan juga ia tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor sebagimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

   Bahwa untuk kepentingan pemberesan harta pailit diperlukan seorang Hakim Pengawas dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.  Bahwa apabila Termohon dalam permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon mengajukan penundaan kewajiban membayar utang maka tetap mengangkat Taufik Nugraha,S.H sebagai pengurus harta pailit.

  • Rumusan Masalah Bagaimana penerapan putusan pailit atas BUMN PT. Dirgantara Indonesia sebelum adanya OJK sesuai UU terkait?

  B. PARA PIHAK

Kreditor yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon adalah HERYONO,

  NUGROHO, dan SAYUDI adalah mantan karyawan PT. Dirgantara Indonesia

  

Debitur yang selanjutnya disebut sebagai Termohon adalah PT. Dirgantara

  Indonesia (Persero)

  C. PUTUSAN PENGADILAN

a) Pengadilan Niaga

  • Amar Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/ Jkt.Pst tanggal 4 September 2007 memutuskan bahwa ;

  1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya

  2. Menyatakan termohon, PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya.

  3. Menunjuk Taufik Nugraha,S.H sebagai kurator untuk melakukan pemberesan harta pailit

  4. Menunjuk Hakim pengawas dari pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat.

  5. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya perkara ini. Atau.

  Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon yang seadil-adilnya.

  • Dasar Pertimbangan Hukum Hakim 1. Majelis Hakim sependapat dengan pemohon bahwa termohon pailit PT.

  Dirgantara Indonesia tidak termasuk dalam kategori sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik yang seluruh modalnya terbagi atas saham sebagaimana yang dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

  2. Majelis hakim menilai bahwa tidak cukup alasan bagi majelis hakim untuk mempertahankan eksistensi termohon pailit, hal ini dengan mendasarkan pada kinerja keuangan Termohon belum menunjukkan perbaikan yang berarti.

  3. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

   Mempunyai dua atau lebih kreditor  Tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuhwaktu dan dapat ditagih

b) Mahkamah Agung RI

  • Amar Putusan

  Pengajuan kasasi oleh Pemohon I dan II akhirnya di putuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada tanggal 22 Oktober 2007, dengan ketua majelis Mariana Sutadi, SH dengan isi seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt. Sus/2007, sebagai berikut : “Mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon kasasi PT. Dirgantara Indonesia (Persero), dan PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) tersebut: Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.41/Pailit/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 4 September 2007”.

  Mengadili Sendiri: “Menolak Permohonan Para Pemohon; Menghukum para termohon kasasi/ para pemohon untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,00

  • Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terhadap alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak Pemohon Kasasi I dan II serta oleh Termohon Kasasi. Alasan-alasan yang di kemukakan para Pemohon adalah sebagai berikut : Pemohon I :

  1. Judex Facti telah salah dalam penerapan hukum mengenai kepastian hukum para termohon kasasi dengan menyatakan bahwa para termohon kasasi dapat mengajukan permohonan pailit sebagimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UUK - PKPU beserta penjelasannya.

  2. Judex facti telah salah dalam penerapan hukum mengenai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK – PKPU.

  3. Judex Facti tidak berwenang atau melampaui batas wewenang untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo karena terbukti bahwa pembuktian perkara a quo tidak memenuhi syarat pembuktian sederhana sebagaimana ditentukan oleh Pasal (8) Ayat 4 UUK – PKPU.

  4. Judex Facti telah lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan peraturan perUndang-Undangan terkait dengan kompetensi absolut atas putusan P4P yang menjadi dasar pengajuan permohonan pailit a quo yang seharusnya masih dalam proses pemeriksaan perkara di peradilan umum.

  5. Judex Facti tidak mempertimbangkan asas-asas yang mendasari Undang- Undang Kepailitan sebagimana dimaksud dalam Penjelasan UUK - PKPU. Pemohon II/Kreditor :

  1. Bahwa Pemohon Kasasi II selaku Kreditor Lain dari PT DI sangat keberatan atas segala pertimbangan hukum Amar Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

  2. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain mengajukan Permohonan Kasasi berikut memori kasasi berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UUK - PKPU.

  3. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain mengatakan kasasi dan menyerahkan memori kasasi pada tanggal 12 September 2007, yaitu dalam tenggang waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UUK – PKPU.

  4. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain sangat keberatan atas dijatuhkannya status kepailitan terhadap PT DI.

  5. Bahwa Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain memiliki hak tagih.

  6. Bahwa terhadap pinjaman tersebut telah diberikan jaminan-jaminan.

  7. Bahwa sejak tahun 2003 Pemohon Kasasi II/Kreditor Lain bersama sama dengan kementrian BUMN telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan guna menjaga keberlangsungan usaha dan menjaga kesinambungan bagi penyediaan lapangan kerja sebagai bagian dari sasaran pembangunan nasional.

  8. Bahwa dalam putusannya, judex facti sama sekali tidak memperhatikan asas-asas yang mendasari UUK – PKPU.

  9. Judex Facti tidak memperhatikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Judex facti jelas tidak mempertimbangkan kreditor-kreditor lain yang mendukung kelangsungan usaha PT DI.

  10. Bahwa disamping itu PT DI adalah merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri strategis penerbangan berskala internasional yang telah membawa harum nama bangsa dan Negara di dunia internasional.

  

D. ANALISIS BERDASARKAN PERATURAN TERKAIT DAN PENDAPAT

PENULIS Tentang Putusan Pengadilan Niaga

  Pengeluaran putusan ini sebagaimana diketahui sebelum adanya UU OJK maka permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Dalam putusan pengadilan niaga ini lebih mengedepankan batas hukum kekayaan Negara sebagai badan hukum public. Reaksi dalam hal ini selaku Menteri Negara BUMN qq Negara RI qq Menteri Keuangan RI cenderung meguatkan Negara memiliki prefensi untuk meniadakan batasan hukum kekayaan Negara. Seharusnya kekayaan Negara tidak lagi memiliki prefensi batasan kekayaan yang dimiliki Negara sebagai badan hukum public. Akan tetapi, kedudukan Negara sebagai badan hukum privat melalui kepemilikan sahamnya di BUMN juga dikategorikan sebagai kekayaan Negara. Dengan demikian, secara normative BUMN merupakan kekayaan Negara dan dikategorikan sebagai Keuangan Negara berdasarkan Pasal 2 huruf g UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan ini yang nantinya juga dijadikan pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Kasasi.

  Disamping itu, Majelis Hakim Pengadilan Niaga dinilai mengesampingkan

  Pasal 50 huruf d UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang melarang pihak manapun melakukan penyitaan terhadap benda tidak bergerak dan hak kebendaan milik Negara, termasuk di dalamnya kekayaan BUMN.

  Berdasarkan teori hukum keuangan Negara, putusan pengadilan niaga Jakarta Pusat justru dapat dibenarkan karena BUMN tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan Negara melainkan sebagai sebuah korporasi yang tunduk pada ketentuan hukum privat berada dalam kapasitas yang sama dengan subjek hukum asas avoidable consequences atau asas akibat yang tidak dapat dihindari dimana pihak yang merugikan harus membayar kerugian. Dengan asas ini, status hukum BUMN sebagai bagian ruang lingkup keuangan dan kekayaan Negara telah dikesampingkan.

  Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga tampaknya menguatkan Fatwa Mahkamah Agung No.WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang penyelesaian utang terkait kredit macet pada bank-bank BUMN (Bank Mandiri) yang menyatakan kekayaan yang dipisahkan tidak dapat dikategorikan sebagai keuangan Negara.

  Tentang Putusan Kasasi

  Dalam memutuskan kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) ini Hakim masih kurang cermat dalam menggunakan dasar hukum dan dasar pertimbangannya. Sehingga berakibat keliru dalam menarik kesimpulan yang mengakibatkan pada salahnya penerapan hukum untuk memutuskan kepailitan PT. Dirgantara Indonesia (Persero)

  Dalam penggunaan dasar hukum seharusnya mengacu pada asas hukum

  

“lex specialist derogat lex generali” terhadap UUK dan PKPU, UU BUMN, dan

UU PT sebagai lex specialist dan UU KNsebagai lex generali, bukan sebaliknya.

  Merujuk Fatwa Mahkamah Agung 2006 yang mengesampingkan keberadaan Pasal 2 huruf (g) UU KN dan menegaskan UU BUMN sebagaimana diatur dalam UU PT tahun 1995 yang telah diubah tahun 2007, akan tetapi dalam Putusan Kasasi ternyata mendasarkan pada Pasal 2 huruf (g) UU KN dan Pasal 50 UU PBN. Ini artinya Fatwa Mahkamah Agung telah diingkari oleh Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung.

  Kesimpulannya saya berpendapat bahwa dalam Putusan Pengadilan Niaga tingkat pertama sudah benar dan lebih baik dipertanggungjawabkan baik dari aspek kepailitan dan keuangan Negara. Penerapan sebelum adanya UU OJK yang pengajuan pailitnya suatu BUMN Persero oleh krediturnya bukan oleh Menteri Keuangan juga sudah dirasa benar.

  

Perkara Permohonan Pailit terhadap PT. Istaka Karya (Sesudah adanya UU

OJK)

A. PENDAHULUAN

  • Kasus Posisi Perjalanan bisnis PT Istaka Karya ternyata tidak berjalan lancar, PT Istaka Karya diajukan pailit oleh salah satu krediturnya, PT Japan Asia Investment Company Indonesia karena dianggap tidak mampu membayar utang sebesar US$ 7.645.000. Sengeta keduanya bermula ketika PT Istaka Karya menerbitkan 6 (enam) Surat Sanggup Atas Unjuk (negotiable promissory notes-bearer) yang nilai totalnya AS$ 5,5 juta. Menurut PT JAIC, surat berharga itu diterbitkan pada 9 Desember 1998 dan jatuh tempo pada 8 Janurai 1999. Akan tetapi, ketika telah jatuh tempo PT Istaka Karya tidak memenuhi kewajibannya.

  Adanya utang PT Istaka Karya kepada PT JAIC terbukti dengan Putusan Mahkamah Agung No. 1799K/PDT/2008 yang mengabulkan permohonan kasasi PT JAIC. Putusan MA tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga telah mengeluarkan penetapan No. 1097/ Pdt.G/2006/PN. Jkt. Sel tertanggal 29 Juli 2010. Pada tanggal

  18 Agustus 2010, Ketua PN Jakarta Selatan memanggil PT Istaka Karya untuk diberikan peringatan (aanmaning) agar melaksanakan putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap.

  Dikarenakan PT Istaka Karya tidak juga mematuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. PT JAIC, melalui kuasa hukumnya mengambil langkah hukum selanjutnya dengan mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap PT Istaka Karya dengan perkara No. 73/ Pailit/2010 dengan kedudukan PT JAIC sebagai Pemohon dan PT Istaka Karya berkedudukan sebagai Termohon. Dalam posita permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa selain Pemohon terdapat kreditor lainnya yang utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kreditor-kreditor itu di antaranya adalah PT Saerti Concretindo Wahana, PT Saeti Beton Pracetak, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank Bukopin Tbk, dan PT Bank International Indonesia Tbk.

  Pemohon mendalilkan berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang- undang No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau arbitrase.14 Mengenai permohonan pailit tersebut, PT Istaka Karya menolak dan membantah permohonan pailit dengan alasan bahwa Pemohon pailit tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan pernyataaan pailit karena itu permohonan pailit itu cacat hukum. PT Istaka Karya mengemukakan bahwa sebagai BUMN yang 100% sahamnya dimiliki oleh negara yaitu Kementrian Negara Badan Usaha Milik Negara sehingga yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap Termohon hanyalah Menteri Keuangan.15

  Dalam putusannya No. 73/PAILIT/2010/PN.JKT.PST Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan PT Istaka Karya tidak pailit dengan segala akibat hukumnya dengan pertimbangan yaitu Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam hal debitur adalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

  BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik berdasarkan penjelasan

  Pasal 2 ayat (5) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagai atas saham. Adapun modal PT Istaka Karya pada dasarnya tidak terbagi atas saham oleh karena seluruh modalnya dimiliki Negara Republik Indonesia yaitu Kementrian Negara BUMN selaku pemegang saham seluruh saham Perseroan. Modal PT Istaka Karya bersumber dari satu kas yaitu Kas/ Keuangan Negara sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang No. 37 Tahun 2004, maka dapatlah PT Istaka Karya diklasifikasikan sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.

  Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga mendalilkan berdasarkan Pasal 50 Undang-undang No. 1 Tahun 2004, melarang pihak manapun untuk melakukan penyitaan terhadap antara lain uang atau surat berharga, barang bergerak, dan tidak bergerak milik negara. Sita umum atas semua kekayaan negara tentunya tdak dapat diletakkan sita, kecuali permohonan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mendalilkan lebih lanjut bahwa permohonan pailit yang diajukan Pemohon bersifat prematur, meskipun penyelesaian perkara perdata atas Putusan MA RI No. 1799K/PDT/2008 telah berkekuatan hukum tetap faktanya masih dalam pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali. Pemohon seharusnya secara tuntas melakukan mekanisme beracara biasa pada Peradilan Umum terhadap Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, bukan melalui mekanisme kepailitan.

  Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak gugatan kepailitan yang dimohonkan PT JAIC Indonesia tidak terlepas dari pemahaman Majelis Hakim terhadap ruang lingkup keuangan negara. Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyimpulkan bahwa keuangan PT Istaka Karya termasuk ke dalam keuangan negara. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mendasari putusannya berdasarkan Pasal 2 ayat g Undang- undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa “keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi: g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.”17 Frasa pasal tersebut menjelaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan yang berada pada BUMN termasuk PT. Istaka Karya adalah keuangan negara. Sehingga Majelis hakim berpendapat sebagai bagian dari keuangan negara maka permohonan pailit PT. Istaka Karya hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

  • Rumusan Masalah Bagaimana penerapan putusan pailit atas BUMN PT. Istaka Karya sesudah adanya OJK sesuai UU terkait?

  B. PARA PIHAK

Kreditor yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon adalah PT Japan Asia

  Investment Company Indonesia

  Debitur yang selanjutnya disebut sebagai Termohon adalah PT. Istaka Karya

  C. PUTUSAN PENGADILAN

  c) Pengadilan Niaga

  • Amar Putusan Dalam putusannya Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 73/PAILIT/2010/ P.Niaga.JKT.PST. tanggal 16 Desember 2010, menolak permohonan pailit yang dilayangkan oleh PT JAIC Indonesia terhadap PT Istaka Karya (Persero).
  • Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mendasarkan pertimbangannya sehubungan dengan keuangan PT Istaka Karya termasuk ke dalam keuangan negara. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mendasari putusannya berdasarkan Pasal 2 ayat g Undang- undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa “keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi: g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.”17 Frasa pasal tersebut menjelaskan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan yang berada pada BUMN termasuk PT. Istaka Karya adalah keuangan negara. Sehingga Majelis hakim berpendapat sebagai bagian dari keuangan negara maka permohonan pailit PT. Istaka Karya hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

  d) Mahkamah Agung RI

  • Amar Putusan Dalam putusannya Nomor 124 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 11 Maret 2011, Mahkamah Agung Tingkat Kasasi mengabulkan permohonan PT JAIC Indonesia untuk mempailitkan PT Istaka Karya (Persero). Dengan
putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pailit oleh PT Japan Asia Investment Company (JAIC) terhadap PT Istaka Karya (Persero).

  • Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung telah menemukan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, bahwa Termohon memiliki sekurang-kurangnya dua kreditur, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 2004 tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran. Disisi lain yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung adalah penilaian penolakan permohonanan pailit atas putusan Hakim Pengadilan Niaga dinyatakan salah dan tidak cermat dalam menilai dasar hukumnya.

e) Peninjauan Kembali

  • Amar Putusan Menanggapi hasil putusan kasasi tersebut, PT Istaka Karya (Persero) kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas pailit yang diajukan PT JAIC Indonesia. Atas perkara tersebut, Mahkamah Agung (PK) dalam Putusan Nomor 142 PK/PDT.SUS/2011, tanggal 13 Desember 2011 mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari PT Istaka Karya (Persero) dan membatalkan putusan Mahkamah Agung (Kasasi) Nomor 124 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 22 Maret 2011. Dengan demikian, maka PT Istaka Karya (Persero) tidak palit.
  • Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Bahwa dalam pertimbangannya terdapat alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali dalam memori peninjauan kembalinya tersebut pada pokoknya ialah :

  Bahwa pasal 295 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang; “ Bahwa setelah perkara diputus ditemukan bukti baru (Novum) yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan. Bukti baru tersebut apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya akan menghasilkan putusan yang berbeda“; Bahwa mengacu pada pasal 295 ayat (2) huruf a bukti baru yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali yaitu: PUTUSAN PERKARA PERDATA PENINJAUAN KEMBALI NO. 678 PK/ PDT/2010, TANGGAL 22 MARET 2011. Oleh karenanya utang tertunggak dan jatuh tempo yang didalilkan oleh Pemohon Pailit / Termohon Peninjauan Kembali secara legalitas hukum harus diuji kembali kebenarannya melalui mekanisme peradilan perdata umum, bukan mekanisme kepailitan.

  

D. ANALISIS BERDASARKAN PERATURAN TERKAIT DAN PENDAPAT

PENULIS

  Tentang Putusan Pengadilan Niaga

  Seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menerima gugatan PT JAIC dan menyatakan PT Istaka Karya pailit dengan segala akibat hukumnya. Karena PT Istaka Karya sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana yang diatur di dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, diantaranya yaitu: a Utang Sudah Jatuh Tempo

  Utang yaitu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu.25 Dalam hal ini PT Istaka Karya tidak sanggup membayar utang sebesar US$ 7.645.000 kepada PT JAIC yang jatuh tempo pada 8 Janurai 1999. b Kreditor Lebih dari Satu

  Dalam permohonan pailit PT JAIC kepada Istaka Karya sudah memenuhi syarat kreditor lebih dari satu. Kreditor dari PT Istaka Karya tidak hanya PT JAIC, tetapi ada beberapa kreditor. Kreditor- kreditor itu di antaranya adalah PT Saerti Concretindo Wahana, PT Saeti Beton Pracetak, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank Bukopin Tbk, dan PT Bank International Indonesia Tbk. c Hutang Terbukti Berdasarkan Keputusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap

  Adanya utang PT Istaka Karya kepada PT JAIC terbukti dengan Putusan Mahkamah Agung No. 1799K/PDT/2008 yang mengabulkan permohonana kasasi PT JAIC. Putusan MA tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi. Pada tanggal 18 Agustus 2010, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memanggil PT Istaka Karya untuk diberikan peringatan (aanmaning) agar melaksanakan putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap.

  Dipenuhinya syarat-syarat tersebut, maka sudah seharusnya PT Istaka Karya dinyatakanpailit.Penulismelihatpertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan PT Istaka Karya tidak pailit karena sebuah BUMN yang bergerak di bidang publik yang kekayaannya adalah kekayaan negara merupakan pertimbangan yang tidak relevan. Karya bukanlah kekayaan negara melainkan kekayaan perusahaan itu sendiri yang secara regulasi, tata kelola, dan resiko berbeda dengan kekayaan negara. Karenanya Kepailitan PT Istaka Karya tidak memerlukan permohonan dari Menteri Keuangan, dan penyitaan terhadap asset PT Istaka Karya bukanlah sita terhadap kekayaan milik negara melainkan sita terhadap kekayaan PT Istaka Karya itu sendiri.

  Tentang Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI

  Menurut saya dalam hal putusan kasasi tentang kasus PT. Istaka Karya ini adalah tentang asas kelangsungan usaha ke depan atau eksistensi Pemohon Peninjauan Kembali selaku Badan Usaha Milik Negara yang masih prospektif sebagaimana yang telah Pemohon Peninjauan Kembali uraikan diatas, ternyata tidak dipertimbangkan oleh Judex Juris tingkat kasasi.

  Disisi lain menurut penulis Hakim Judex Juris Tingkat Kasasi dalam

  

mempertimbangkan kepailitan PT. Istaka Karya hanya dari segi undang-undang

kepailitan saja, padahal kelemahan dari penerapan Undang-Undang Nomor 37

  Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terutama dalam menghadapi kasus kepailitan BUMN adalah dalam Undang- Undang tersebut belum mengatur secara detail mengenai prosedur dan tata cara pemailitan suatu BUMN, hal ini dapat dibuktikan adanya perbedaan penafsiran pengertian terhadap jenis atau bentuk BUMN yang di maksud dalam Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, antara Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, khususnya dalam menilai kepemilikan modal dalam PT. Istaka Karya (Persero). Akan tetapi jika dilihat dari data / bukti yang ada maka sebenarnya PT. Istaka Karya (Persero) memenuhi klasifikasi sebagai BUMN yang seluruh sahamnya adalah milik Negara, yang seluruh permodalannya juga berasal dari Negara, sehingga sahamnya tidak terbagi. Selain itu masih adanya kerancuan

  

dalam menafsirkan kekayaan Negara yang dipisahkan, apakah tetap milik

Negara atau BUMN, terkait dengan kewenangan dalam mempailitkan suatu

  BUMN dan Fatwa Mahkamah Agung R.I. No. WKMA/Yud/ 20/VII/2006 dalam kasus kredit macet sebagaimana yang dijadikan referensi oleh Termohon Peninjauan Kembali dalam dalil-dalilnya, yang menyangkut masalah penyitaan terhadap asset Negara yang secara undang-undang tidak diperbolehkan

  Tentang Peninjauan Kembali

  Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada PT Istaka Karya (Persero), yaitu Hakim Mahkamah Agung tingkat PK menilai bahwa Hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi (Judex Juris) salah dalam penerapan hukum kepailitan seperti di syaratkan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 karena syarat pailit adanya utang tertunggak yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor

  37 Tahun secara legalitas tidak terpenuhi. Petimbangan hakim MA ini didasarkan adanya bukti baru (novum) yang diajukan oleh PT. Istaka Karya (Persero) terkait adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 678 PK/Pdt/2010, tanggal 22 Maret 2011 yang menganulir atau membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1799 K/Pdt/2008 tanggal 09 Februari 2009, sehingga dengan demikian adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan 6 (enam) surat sanggup atas tunjuk (Negotiable Promissory Notes Bearer) senilai USD 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu Dollar Amerika Serikat) yang didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1799 K/Pdt/2008 tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan fakta tersebut, maka Hakim Mahkamah Agung tingkat PK dalam putusannya Nomor Nomor 142 PK/PDT.SUS/2011 tanggal 13 Desember 2011 mengabulkan permohonan PK

  Nomor 124 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 11 Maret 2011, menghukum PT JAIC untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).