Mistifikasi Kampus dan Ruang Kelas.

1

2

Mistifikasi Kampus dan Ruang Kelas
Menyoal Pendidikan dan Kepemilikkan

Wahyu Budi Nugroho & Fadhillah Sri Meutia
Abstract
This study pursues to seek campus and classes mystifying indications and
its implications. Contradictory with the study of socio-culture normative
argument where demystification or de-sanctification occurs because of
rationalization and quantification, mystifying indications in this study
occurs because both of them. Furthermore, this study also pursues the
educational institution sanctification process through the perspective of
spatial sociology (the sociology of space) which is formed as place-nonplace. Attaching the spatial categorization which occurs some indications,
such as; throwness, sameness, an anxiety/angst, and care . At last, this
study is concluded with a quite surprising conclusion at which higher
education institutions become eventful of study process from nonformal
course institution in order to mystify territorial or non-territorial borders
effects.

Keywords; campus mystifying, class mystifying, nonformal course.
Abstrak

Tulisan ini berupaya menelisik timbulnya gejala mistifikasi kampus dan
ruang kelas beserta implikasi yang dibawanya. Membalikkan argumen
normatif pengkajian sosiologi budaya di mana demistifikasi atau
desakralisasi terjadi akibat rasionalisasi dan kuantifikasi, gejala mistifikasi
dalam pembahasan ini justru terjadi akibat kedua hal tersebut. Lebih jauh,
tulisan ini turut mengkaji proses sakralisasi institusi pendidikan melalui
perspektif sosiologi ruang yang menemui wujudnya sebagai tempat-bukantempat (place-non-place). Disertakan pula kategorisasi ruang yang
menimbulkan serangkaian gejala layaknya; keterlemparan, persamaan,
kegelisahan, serta perhatian . Terakhir, tulisan ini ditutup dengan
simpulan cukup mengejutkan di mana institusi perguruan tinggi justru



Sosiologi Universitas Udayana.
UIN Alauddin & STKIP Muhammadiyah Enrekang.

3


sarat belajar dari lembimjar (lembaga bimbingan belajar)
mendemistifikasi sekat-sekat teritori maupun nonteritori
diciptakannya.

guna
yang

Kata kunci; mistifikasi kampus, mistifikasi kelas, lembimjar.
…untuk menilai sesuatu, Anda harus mengalaminya secara langsung.
[Bronislaw Malinowski, Argonauts of theWest Pacific]

Pendahuluan: Mistifikasi, Ketabuan, dan Kemalu-maluan
Semenjak komodifikasi pendidikan menggejala secara mafhum,
tanpa disadari ia telah mengalienasi banyak hal. Dalam hal ini, tak
terkecuali mereka yang tak berpunya, melainkan pula elemen-elemen atau
manusia-manusia yang terdapat dalam institusi pendidikan itu sendiri.
Institusi kampus yang ter(r)uangkan 1 tak sekedar memunculkan
privatisasi di ranah fisik, tetapi juga fragmentasi mentalitas sehingga
pengetahuan seolah memiliki batasan-batasan yang keras dan tak boleh

terlampaui antarsatu sama lain. Ambilah misal mereka yang mengambil
suatu disiplin dalam studinya, maka hingga mengenakan toga nanti akan
tetap terkungkung dalam disiplinnya. Meskipun memang, beberapa kampus
atau fakultas telah menelurkan kebijakan-kebijakan inovatif seperti kuliah
lintas jurusan (prodi) atau lintas fakultas, namun, hal ini dirasa masih
membatasi intuisi kepengetahuan mengingat pilihan pada kuliah-kuliah
lintas departemen tersebut dibatasi oleh SKS (Sistem Kredit Semester).
Disadari atau tidak, secara tak langsung kampus pun menjadi agenagen pencetak one dimensional man manusia satu dimensi . Istilah tersebut,
meminjam terminus yang dicetuskan Herbert Marcuse (1964: 15), hanya saja
dengan kontekstualisasi berbeda; tak menunjuk pada kesadaran manusia
modern yang sekedar dikonstruksi oleh media, tetapi kesadaran peserta
didik yang terdangkalkan oleh kurikulum sehingga berpikiran disiplinsentris dan tak mampu menyerap epistemologi keilmuan secara holistik.
Dampak ikutan dari filosofi keilmuan parsial tersebut pun menyebabkan
peserta didik tak mampu melakukan pembacaan berikut analisis realitas
sosial secara (manjamah) utuh, atau setidaknya secara silang-perspektif
demi menghindari kebekuan fenomena yang diamati. Ini sudah tentu
menyalahi semangat intelektual zaman, di mana sejak hadirnya cultural
studies—juga kelanjutannya: after-Bourdieu—sekat-sekat antardisiplin tak
1


Diartikan “ter-uang-kan”, dan “ter-ruang-kan”.

4

lagi ada, ibarat liquid modernity-postmodernity cetusan Zygmunt Bauman
(dalam Jacobsen & Poder, 2008: 24-25); segala sesuatu mencair dan
mengalir (menjalar) kemanapun.
Di samping timbulnya beragam persoalan di atas, ihwal yang kerap
kali luput dari penginderaan kita adalah hadirnya atmosfer atau aura
mistis berbagai institusi pendidikan yang ada, terlebih, beberapa
universitas tanah air telah menelurkan kebijakan tegas tentang larangan
memasuki lingkungan kampus bagi publik atau masyarakat umum di luar
civitas akademika. Terang, hal ini membuat lingkungan kampus kian elit,
eksklusif, dan sekedar menegaskan eksistensinya bagi kalangan tertentu.
Dimensi separatis yang dibangunnya pun tak hanya bersifat teritorial,
melainkan pula nonteritorial, yakni terkait dikotomi kognitif dan
mentalitas; publik dengan pemikiran kampus , serta publik dengan
pemikiran nonkampus . Keterjagaan atau keterpeliharaan kampus dari
dunia luar inilah yang kemudian melahirkan aura kesakralan tersendiri,
seolah kampus merupakan institusi dengan kemurnian nilai yang semurnimurninya. Serangkaian semat metafisik-hiperbolis itulah yang pada

gilirannya menimbulkan kemistisan dunia kampus; seakan kita tak dapat
membincangnya secara sepele, sembarangan, melainkan sarat dalam
atmosfer penuh ketabuan dan kemalu-maluan. Hal ini mengingat, kampus
sekedar ditujukan bagi manusia-manusia tertentu; juga ruang-ruang kelas
di dalamnya.
Mistifikasi melalui Kuantifikasi
Dalam subbab ini, kita hendak membalikkan argumen Max Weber
(dalam Schecter, 2010: 53) tentang terjadinya gejala desakralisasi akibat
rasionalisasi dan kuantifikasi. Dinyatakan olehnya, ketika laju rasionalisasi
telah melanda situs maupun ritus kebudayaan, maka yang terjadi
selanjutnya adalah: disenchantment of the world hilangnya pesona dunia .
Di ranah lokal, penulis memisalkannya dengan kompleks makam Raja-raja
di Imogiri, Yogyakarta, di mana dahulu tak setiap orang dapat
memasukinya, melainkan sekedar keluarga kerajaan. Keterjagaan kompleks
tersebut dari dunia luar membuat masyarakat luas bertanya-tanya seputar
isi berikut kondisi di dalamnya, hal ini pulalah yang menimbulkan aura
kesakralan dan kemistisan tersendiri, seolah hanya mereka dengan
kualifikasi-kualifikasi metafisik tertentu yang dapat memasukinya. Namun
kini, dengan bergantinya ukuran-ukuran kualitatif pada kuantitatif, yakni
sejumlah uang yang harus dibayar untuk membeli tiket masuk, maka setiap

5

orang dapat mengaksesnya. Lambat-laun, pertanyaan seputarnya pun
tergerus, bahkan hilang sama sekali; kompleks tersebut menjadi tempat
biasa, pun mengalami desakralisasi. Hal serupa sesungguhnya turut terjadi
pada banyak kompleks percandian di tanah air; yang seyogyanya
merupakan tempat ritual (ibadah), berubah menjadi tempat wisata.
Di ranah ritus atau tindakan/aktivitas kebudayaan, kita dapat
memisalkan dengan tari bedhaya (baca: bedoyo) asal Keraton yang dahulu
dianggap begitu sakral dan mistis, pun sekedar keluarga kerajaan berikut
tamu-tamu kehormatan kerajaan yang dapat menyaksikannya. Kini, dengan
ditampilkannya tarian tersebut bagi setiap pengunjung yang datang,
pesonanya pun memudar, dalam arti, tak ditemui lagi dimensi mengusik
lagi menggoda dari tarian tersebut—ia menjadi biasa saja. Lalu, bagaimana
kita dapat membalikkan argumen Weber di atas, bahwa mistifikasi pun
dapat terjadi melalui kuantifikasi. Di sini, kita perlu menilik kembali
argumen George Simmel (dalam Duncan, 1997: 20-21) tentang kemampuan
uang dalam menguantitatifkan segala sesuatu. Meskipun pemikiran
tersebut benar adanya, namun perlu diingat jika tak semua lapisan
masyarakat memiliki kemampuan finansial setara. Ini artinya, uang pun

memiliki kekuatan untuk membatasi akses seseorang dan membuat sesuatu
tak terjamah.
Sebagai misal, kajian cultural studies tentang struktur mall di mana
semakin ke atas, lantai mall semakin eksklusif dan mengetalase barangbarang dengan bandrol selangit. Karuan, kita dapat membayangkan psikis
dan mentalitas mereka dengan daya beli lemah tatkala memasuki outletoutlet tersebut; gugup, keringat dingin mengucur, kikuk, salah tingkah, pun
segera ingin lepas dari ketidaknyamanan ruang terkait. Berbagai gejala
tersebut tak ubahnya gejala ketika kita memasuki tempat angker lagi mistis;
kita tak seharusnya berada di situ, tempat itu memiliki aturan dan cara
bertindak yang khas (khusus/spesifik), dan kita urung memahaminya.
Di sisi lain, fenomena di atas memiripkan bentuknya sebagai gejala
cultural shock. Layaknya acara bedah rumah yang sempat populer di
berbagai stasiun televisi tanah air. Ketika proses perbaikan rumah
dilakukan, para pemilik rumah sengaja ditempatkan di sebuah hotel mewah
berbintang, mungkin dengan maksud untuk menyenangkan mereka.
Namun sesungguhnya, yang terjadi justru sebaliknya; dengan pasrah
mereka dibawa ke dalam habitus baru yang merepresi struktur kognitif.
Kita pun melihat kekikukkan dan ketakutan-salah tindak-tanduk mereka;
salah menggunakan instrumen makan saat jamuan, salah dalam
6


berpenampilan, merasa tak layak menempati kasur springbed, dan berbagai
gestur serta tingkah laku lain yang tak jarang membuat kita tersenyum
ataupun tertawa. Parahnya, kesemua itu dianggap sebagai hiburan.
Lebih jauh, pengkajian ini dapat bermuara pada konsep fethisme
komoditas besutan Karl Marx dan Jean Baudrillard. Bagi Marx (dalam Lee,
2006: 23-24), fethisme komoditas menunjuk pada pendewaan benda akibat
berbagai kualitas metafisik yang sengaja disematkan padanya. Dengan
demikian, nilai guna suatu benda seolah jauh melampaui nilai aslinya,
inilah yang secara tak langsung menimbulkan pemujaan atas suatu benda.
Di satu sisi, Baudrillard (2006: 54) melacak gejala fethisme komoditas
melalui pergeseran makna akan suatu entitas. Makna yang seyogyanya
bersifat esensial dan berada di dalam, kemudian sengaja dikeluarkan dan
bersifat eksistensial. Tataran makna di level permukaan inilah yang
ditujukan untuk mempesona, dan pada gilirannya menimbulkan
pendewaan. Nyatanya, dunia perguruan tinggi pun tak terlepas dari
permainan makna tersebut. Dewasa ini, kerap dijumpai kampus-kampus
dengan slogan seperti; research university, atau world class university.
Sesungguhnya, berbagai slogan tersebut merupakan upaya guna
memunculkan makna di permukaan. Seketika, kampus-kampus tersebut
pun menjadi simbol, mengingat ukuran slogan yang idealnya termanifestasi

sebagai aktivitas di dalam , justru termanifestasi lewat serangkai kata di
luar; pemujaan dan pendewaan atasnya pun tak terhindarkan kemudian.
Fenomenologi Ruang Kelas: Tempat-bukan-tempat
Dunia dan seisinya menghampar begitu saja, manusialah yang
mengklasifikasi ke dalam kategori-kategori seperti daratan atau perairan.
Selanjutnya, daratan pun masih terbagi, yakni dataran rendah atau dataran
tinggi; begitu pula dengan perairan, perairan dangkal atau perairan dalam,
dan demikian seterusnya hingga dunia yang tak tahu-menahu ini terpetakpetak oleh kualitas-kualitas nilai buatan manusia. Seiring berjalannya
waktu, manusia pun tak menerima secara sui generic apa adanya landskaplandskap yang telah terkategori dan tersaji di hadapannya, bertitik tolak
melalui inilah muncul kehendak dan kemampuan manusia dalam mencipta
ruang.
Esensi dari keberadaan ruang adalah pembatasan , meskipun
sebelumnya telah terjadi pembatasan lewat berbagai kategorisasi, namun
pembatasan dalam ruang lebih bersifat spesifik. Inilah mengapa, pengkajian
tentang ruang tak hanya menjamah aspek geografis, melainkan pula sosio7

filosofis. Sebagai misal, Henri Lavebvre dan kelompok Annales (dalam
Scott, 2012: 224) yang mendaulat ruang dalam kerangka aktivitas (produksi)
sosial dan terlepas dari ciri-ciri fisik yang mendasarinya. Di sini,
kebernilaian ruang pun mengerucut pada ada-tidaknya aktivitas yang

menghasilkan . Pembatasan-pembatasan yang diciptakan ruang tersebut
dapat dimisalkan dengan mudah lewat semat ruang ibadah , yang artinya,
tak ada aktivitas lain yang diperbolehkan di ruang tersebut selain untuk
beribadah. Begitu pula, kategori ruang kelas ; maka ia dimaksudkan untuk
belajar, melakukan transfer pengetahuan yang seyogyanya bersifat dialogis;
bukan sebagai tempat untuk jogging, melepas penat, atau rekreasi. Inilah
mengapa, Michel Foucault (2002: xix) turut menyatakan eksistensi ruang
sebagai tempat totalisasi aktivitas sosial dan sejarah dipadatkan.
Pertanyaannya, manakah yang lebih menonjol; dimensi keruangan
itu sendiri, ataukah aktivitas yang terdapat di dalamnya?. Investigasi ini
menghantarkan kita pada dua hal; Pertama, sang pembuat ruang, dan
Kedua, sang penempat (baca: pengguna) ruang. Hal ini mengingat, sang
pembuat ruang tak melulu sekaligus menjadi penempat ruang.
Membalikkan dalil eksistensialisme yang berbunyi, eksistensi mendahului
esensi , agaknya terciptanya ruang sebagai buah kesengajaan menunjukkan
esensi yang mendahului eksistensi. Artinya, ruang tersebut telah terlebih
dahulu direncana, serta diberikan nilai tentang maksud dan tujuan
keberadaannya. Di sini, kita melihat betapa dimensi ruang fisik lebih kental
terasa ketimbang bentuknya sebagai aktivitas—ia sengaja dihadirkan.
Namun demikian, ditinjau dari segi sang penempat ruang; ruang fisik

tersebut seakan lebur dan mencair ke alam kognitif yang didominasi oleh
orientasi aktivitas. Semisal, seorang buruh yang bekerja di sebuah pabrik;
pabrik tersebut takkan menjadi tempat senyaman rumahnya, segala yang
diketahui si buruh: ia berada di situ untuk bekerja dan menghasilkan uang
guna memenuhi kebutuhan hidup; ini layaknya pemikiran Marx (dalam
Fromm, 2001: 130) tentang alienasi buruh di tempat kerja . Alienasi itulah
yang kemudian menyebabkan fokus atas keruangan beralih pada fokus
terhadap diri; diri yang terasing dan merasa muak. Dalam konteks institusi
pendidikan, apakah hal serupa turut mendera ruang-ruang kelas? Agaknya,
istilah alienasi dirasa terlampau brutal , meskipun memang, mahasiswa
dapat ditempatkan sebagai pekerja yang tak digaji dalam konteks mobilitas
kependudukan, namun kita sarat mencari istilah lain dengan barier yang
lebih rendah (lunak).

8

Pertama-tama, kita perlu mendefinisikan kembali maksud dan
tujuan hadirnya ruang kelas. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
secara manifes ruang kelas dihadirkan untuk melangsungkan proses
transfer pengetahuan. Namun, ihwal unik yang selalu melekat ialah
eksistensinya yang terbagi. Sebagai misal, sebuah fakultas yang memiliki
lima prodi (program studi)2, maka ruang kelas tersebut tak menjadi hak
milik salah satu prodi, melainkan kelimanya. Boleh jadi, ketika mahasiswa
menggunakan kelas tersebut—sesuai jadwal—mereka merasa sah, berhak,
dan memiliki kelas tersebut. Akan tetapi, bagaimana pasca SKS pertemuan
kelas terpenuhi dan berganti dengan kelas berikut dosen prodi yang lain?3
Sejurus, ruang kelas tersebut menjadi asing, tabu, bahkan terlarang. Gejalagejala ini tak lain disebabkan oleh rezim birokrasi kampus yang
mensyaratkan mahasiswa memasuki kelas sesuai prodi berikut prosedur
administratif yang dibayarnya.
Hingga titik ini, kita menemui keberadaan kelas sebagai ruang
temporer. Dalam kesementaraan itu, ia dapat dimiliki dan ditempati,
namun sekejap, ia berubah menjadi tempat terlarang lagi tabu. Ini
mengingat, keberadaannya ditujukan bagi ihwal atau orientasi yang lebih
tinggi; bukan sebagai ruang transfer ilmu an-Sich, melainkan sebagai
prasyarat berdiri atau dijuluknya bangunan bernama kampus, perguruan
tinggi, atau universitas. Dengan kata lain, tanpa ruang-ruang kelas,
perguruan tinggi atau universitas tidaklah ada. Oleh karenanya, dapatlah
ditilik betapa fungsi laten dari ruang kelas lebih dominan ketimbang
fungsinya secara manifes—sebagai prasyarat administratif yang mendasari
seluruh aktivitas di dalamnya. Jika demikian, lalu apa yang membedakan
bangku kelas dengan bangku-bangku yang terdapat di rumah makan
cepat saji?. Bangku-bangku rumah makan cepat saji dihadirkan untuk
mengingkari tujuannya sendiri, ia tak ditujukan bagi pelanggan, melainkan
orientasi yang melampauinya: akumulasi profit secara cepat. Inilah
mengapa, George Ritzer (1996: 198) mengatakan jika sering kali bangkubangku rumah makan cepat saji sengaja dibuat tak nyaman agar pelanggan
tak betah berlama-lama, begitu pula dengan interior ruang yang mencolok
dan terkesan menekan . Baik kemiripan gejala yang terdapat pada bangku
ruang kelas maupun bangku rumah makan cepat saji kiranya menyebabkan
keduanya dapat didaulat sebagai tempat-bukan-tempat ; tempat yang
Dapat pula “departemen” atau “jurusan”.
Inilah mengapa, kita sering menyebutnya sebagai “pergantian kelas”, sedang sesungguhnya
kelas yang sama tidak berganti, melainkan sekedar isi dan aktivitasnya yang berubah.
2

3

9

seyogyanya tak ditujukan sebagai tempat, melainkan bagi orientasi lain
yang sengaja disembunyikan.
Bangku Kelas: Sebuah Keterlemparan
Semenjak suatu ruang berdiri bersama aktivitas yang menyertainya,
maka sejak saat itulah da-Seinde atau dunia kecil dalam terminologi
filsafat being Martin Heidegger (1962: 145) terbentuk. Dunia kecil ini tak
ubahnya kenyataan kecil yang memiliki aturan-aturan sendiri, dan pada
gilirannya membentuk dasein4 atau individu-individu di dalamnya. Ruang
kelas, sebagaimana dunia kecil tersebut, seakan tercerabut dari dunia luar
dan memiliki hukum gravitasinya sendiri. Para mahasiswa sarat mengikuti
aturan yang berlaku di dalamnya, ibarat menaiki moda transportasi umum,
entah kereta atau bus, maka penumpang diharuskan mengikuti setiap
arahan masinis atau sopir. Tentu, dalam ruang kelas, peran tersebut
diemban oleh dosen. Ia berhak menentukan apa yang seharusnya dan tidak
seharusnya dilakukan mahasiswa di kelas, menentukan siapa yang berhak
dan tidak berhak mengikuti perkuliahan, serta memiliki kuasa penuh
menentukan baik-buruk nilai akhir mahasiswa berdasar ukuran-ukuran
subyektifnya; dan, atas kesemua itu, tak satu pun mahasiswa dapat
mengelaknya. Di sini, kita tiba pada konsep tentang keterlemparan
(Heidegger, 1962: 203).
Keberadaan bangku kelas sebagai keterlemparan tak terlepas dari
pergeseran pendidikan sedari hak menjadi kewajiban. Sirnanya pendidikan
sebagai hak terjadi seiring ketidakmampuan pemerintah menyediakan
pendidikan bagi mereka yang tak berpunya. Dus, pendidikan pun menjadi
kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi kalangan berpunya demi
berlangsungnya reproduksi kelas sosial. Lebih jauh, keterlemparan ini
menjadi kian dalam ketika peserta didik menyadari bahwa pola pikir
mereka sengaja dibentuk berdasar kapling keilmuannya—disiplin-sentris,
dengan kata lain, mereka sengaja disamakan. Pada titik ini, sampailah kita
pada konsep tentang persamaan . Sementara, bagi pembelajar ilmu-ilmu
sosial-humaniora khususnya, faktual semakin mereka memahami
konstruksi keilmuannya, maka semakin disadari bahwa pondasi disiplinnya
berkait erat dengan berbagai disiplin sosial-humaniora lainnya. Kesadaran
ini pulalah yang menghantar pada keinsyafan bahwa ruang kelas tak
4 Heidegger mengistilahkan manusia sebagai dasein; da: “di sana”, sein: “ada”. Istilah manusia
sebagai “ia yang di sana” digunakan Heidegger untuk membentuk pemahaman tentang bagaimana cara
manusia berada di dunia.

10

ubahnya tempat lokalisasi pengetahuan di mana manusia-manusia
dengan kesadaran satu dimensi dicetak; bagaikan mereka yang terjebak di
dalam sebuah kereta atau bus dan baru dapat terbebas setelah mencapai
tujuannya—wisuda.
Bagi mereka yang memahami, proses persamaan ini akan melahirkan
kegelisahan (angst) dan perhatian (care) (Heidegger, 1962: 227-228).
Kegelisahan bahwa diri mereka tak otentik berikut sekedar menjadi produk
lingkungannya, serta perhatian dikarenakan ruang-ruang kelas (duniadunia kecil) tak berjalan sebagaimana mestinya. Kemalfungsian ruang kelas
tersebut tak hanya terjadi pada ruang kelas yang didiami, melainkan pula
pada ruang-ruang kelas lain yang tak dapat dimiliki: Mengapa kita tak
dapat duduk di ruang kelas ilmu komunikasi atau ilmu hubungan
internasional ketika kita menjadi mahasiswa sosiologi? . Di sini, kita kembali
pada mistifikasi akibat kuantifikasi serta berbagai kualitas metafisik yang
sengaja disematkan prodi pada institusinya; visi-misi prodi, tujuan prodi,
standar kompetensi, prospek karier, dan lain sejenisnya; di mana kesemua
itu mewujud sebagai eksklusivitas dan bermuara pada satu hal: pemujaan
berikut pendewaan atas institusi.
Faktual, mistifikasi tersebut tak sekedar mendera peserta didik,
tetapi juga manusia-manusia lain di lingkungan kampus. Pernahkah kita
berpikir tentang perasaan karyawan/karyawati kampus yang setiap harinya
bekerja menyiapkan ruang kelas; sedari pegawai kebersihan, teknisi
perangkat kelas, hingga tata usaha. Mereka bekerja untuk aktivitas—
belajar-mengajar—yang tak dimengertinya, atau tak dapat diaksesnya. Oleh
karenanya, mereka pun turut mengalami keterlemparan, yakni dalam
bentuk aktivitas yang telah ditentukan. Pada gilirannya, mereka pun
merasakan persamaan dengan sesamanya, namun kiranya hanya sedikit saja
yang mengalami kegelisahan dan mencapai perhatian , ini mengingat,
telah demikian lamanya struktur kognitif terkooptasi oleh ide tentang
klasifikasi sosial: bahwa setiap manusia memiliki perannya masing-masing.
Alhasil, manusia-manusia ini pun mendiami dunia kecilnya dengan
nyaman.
Penutup: Demistifikasi Ruang Kelas, Belajar dari Lembimjar5
Adalah lembimjar atau lembaga bimbingan belajar yang justru
memiliki model pembelajaran emansipatoris. Institusi yang mempersiapkan
5 Sebagian diambil dari pengalaman penulis (Wahyu Budi Nugroho) saat menjadi tentor
lembimjar SSC-I Yogyakarta selama dua tahun (2011-2013).

11

siswa/i sekolah menengah atas menuju bangku perguruan tinggi ini
agaknya begitu memperhatikan kenyamanan dan kesenangan para peserta
didik. Konsekuensinya, kekuasaan tentor (pengajar) di kelas maupun
manajer lembaga beserta perangkatnya tereduksi, beralih pada dominannya
kehendak siswa. Meskipun memang, lembaga ini dituduh sangat
berorientasi pada profit dan tak lepas dari praktek mistifikasi di level
permukaan, namun setidaknya, ia memberi contoh tentang ketiadaan
mistifikasi ruang-ruang kelas di dalamnya. Secara operasional, meskipun
siswa/i telah memiliki jadwal belajarnya, mereka tetap dibebaskan memilih
kelasnya. Bisa jadi, seorang siswa yang seharusnya memperoleh pelajaran
bahasa Inggris di satu hari, memilih pelajaran sosiologi; dan begitu pula
sebaliknya. Bahkan, siswa IPS pun dapat memasuki kelas IPA; pun
sebaliknya dengan siswa IPA—dapat memasuki kelas IPS. Model
pengelolaan aktivitas-ruang ini sama sekali tak menyirat keterlemparan
mengingat siswa dibebaskan melompat dari satu dunia kecil ke dunia kecil
lainnya, atau dengan kata lain, adanya keluwesan untuk memilih dan
menjadi otentik.
Pertanyaannya, bagaimana penerapan pengelolaan aktivitas-ruang
lembimjar pada dunia kampus?. Pertama, dominasi dosen di ruang kelas
sarat direduksi layaknya tentor sehingga mahasiswa menjadi aktor, begitu
pun dengan birokrasi kampus. Hal ini mengingat, apabila kita kembalikan
pada kalkulasi kuantifikasi, sesungguhnya baik dosen maupun birokrasi
kampus sedikit-banyak turut digaji oleh mahasiswa, terlebih kini dengan
munculnya kebijakan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Kedua, meniru model
kelas terbuka pada lembimjar, kiranya setiap perkuliahan di dunia
kampus dapat diformat dalam bentuk kuliah umum sehingga baik
mahasiswa lintas prodi maupun lintas fakultas selalu dapat mengaksesnya,
sekalipun sekedar sit-in. Dengan demikian, cukup lewat satu bea
administratif, setiap mahasiswa dapat mengembangkan keilmuannya secara
bebas, seperti tumpahan air yang meresap dan menjalar kemanapun.
Tentunya, tanpa melupakan landas-dasar keilmuannya.

*****

12

Referensi
Baudrillard, Jean P., 2006, Ekstasi Komunikasi, Kreasi Wacana.
Duncan, Hugh Dalziel, 1997, Sosiologi Uang, Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel, 2002, The Order of Things: An Archeology of the Human
Sciences, Routledge.
Fromm, Erich, 2001, Konsep Manusia menurut Marx, Pustaka Pelajar.
Marcuse, Herbert, 1964, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of
Advanced Industrial Society, Beacon Press.
Heidegger, Martin, 1962, Being and Time, Basil Blackwell.
Jacobsen, Michael Hviid & Poul Poder, 2008, The Sociology of Zygmunt
Bauman: Challenges and Critique, Ashgate.
Lee, Martyn J., 2006, Budaya Konsumen Terlahir Kembali, Kreasi Wacana.
Ritzer, George, 1996, The McDonaldization of Society: An Investigation into
the Changing Character of Contemporary Social Life, Pine Forge
Press.
Schecter, Darrow, 2010, The Critique of Instrumental Reason from Weber to
Habermas, Continuum.
Scott, John, 2012, Teori Sosial: Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi,
Pustaka Pelajar.
Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A. Merupakan sosiolog muda Universitas
Udayana. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain; Koruptorrajim:
Surat-surat Cinta untuk KPK (bersama Edi Akhiles, dkk. [IRCiSoD, 2012]),
Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre
(Pustaka Pelajar, 2013), Alienasi, Fenomenologi, dan Pembebasan Individu
(bersama Dr. M. Supraja [LOGIS, 2013]), dan lain-lain. Memiliki minat studi
pada tema seputar pengkajian aktor dan agensi sosial. Hingga kini aktif
menuangkan ide-idenya di http://kolomsosiologi.blogspot.com/. Penulis
dapat dihubungi lewat surel wahyubudinug@yahoo.com.

Fadhillah Sri Meutia, A.Md., S.Sos., M.A. Menyelesaikan D3 Teknik
Arsitektur dan S1 Sosiologi di Universitas Hasanuddin dalam waktu hampir
bersamaan. Kemudian melanjutkan studi S2 di Jurusan Sosiologi, FisipolUGM. Saat ini aktif mengajar di UIN Alauddin-Makassar, STKIP
Muhammadiyah-Enrekang, serta menjadi konsultan teknik salah satu
perusahaan swasta Makassar. Memiliki minat studi pada tema seputar
sosiologi ruang dan sosiologi arsitektur. Penulis dapat dihubungi lewat surel
dilamutia@gmail.com.

13