Studi Deskriptif Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pada Anak Jalanan Usia Remaja di LSM "X" Kota Bandung.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kesejahteraan psikologis pada anak jalanan usia remaja di LSM “X” kota Bandung. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling. Jumlah sampel sebanyak 55 orang.

Alat ukur yang digunakan merupakan kuesioner yang diterjemahkan dan diadaptasi dari The Ryff Scales of Psychological Well-Being (SPWB, 1989) dari Carol Ryff. Jumlah item yang terdapat dalam kuesioner tersebut adalah 84 item dan dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan perhitungan statistik. Setelah dilakukan pengujian validitas didapatkan sejumlah 60 item valid dengan rentang validitas antara 0,081 sampai dengan 0,681. Reliabilitasnya sebesar 0,797.

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai dimensi kesejahteraan psikologis pada anak jalanan usia remaja di LSM “X” kota Bandung, sebagian besar menunjukkan persentase yang rendah pada dimensi self-acceptance (54,50%), sedangkan pada 5 dimensi lainnya menunjukkan persentase yang tinggi, yaitu positive relations with others (54,50%), environmental mastery (58,20%), personal growth (76,40%), purpose in life (54,50%), dan autonomy (50,90%). Dimensi-dimensi tersebut cenderung terkait dengan data sosio-demografis, yaitu berupa jenis kelamin, lamanya berada di jalan, pendidikan yang sedang di tempuh, posisi dalam keluarga, hubungan dengan orangtua, dan

alasan masuk ke LSM “X”.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan saran bagi peneliti lain untuk perlu dilakukan observasi dan wawancara pada anak jalanan agar mendapat informasi mengenai data sosio-demografis yang lebih lengkap. Bagi para pembina di LSM “X”, peneliti menyarankan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang menarik untuk anak jalanan sehingga bisa menekan dan mencegah anak-anak berada di jalanan, juga memperbanyak pembina anak jalanan yang memiliki beragam latar belakang, agar bisa memberikan gambaran yang beragam dan bekal untuk anak jalanan kearah yang lebih bai


(2)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………....i

KATA PENGANTAR………..………...ii

ABSTRAK…………...………..iv

DAFTAR ISI………...v

DAFTAR TABEL………...viii

DAFTAR BAGAN……….ix

DAFTAR GRAFIK………....x

DAFTAR LAMPIRAN………...xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 13

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan ... 14

1.4 Kegunaan Penelitian ... 14

1.4.1KegunaanTeoretis ... 14

1.4.2KegunaanPraktis ... 14

1.5 Kerangka Pemikiran ... 15

1.6 Asumsi ... 24

BAB II TINJAUAN TEORETIK ... 26

2.1 Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) ... 26

2.1.1 Definisi Kesejahteraan Psikologis ... 26

2.1.2 Dimensi dari Kesejahteraan Psikologis... 27

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ... 31

2.2 Anak Jalanan ... 34

2.3 Remaja ... 36

2.3.1 Pengertian dan Batasan Remaja ... 36


(3)

2.3.3 Teman-Teman Sebaya... 40

2.3.4 Fungsi dan Pembentukan Kelompok ... 41

2.3.5 Perkembangan Karir ... 42

2.3.6 Dunia Kerja ... 42

2.3.7 Kelas Sosial dan Kemiskinan ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 45

3.1 Rancangan Penelitian ... 45

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 45

3.3 Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Definisi Konseptual ... 46

3.3.1. Variabel Penelitian ... 46

3.3.2. Definisi Konseptual... 46

3.3.3. Definisi Operasional ... 46

3.4 Alat Ukur ... 47

3.4.1 Kuesioner Kesejahteraan Psikologis ... 47

3.4.2 Sistem Penilaian ... 48

3.4.3 Data Sosio-demografis ... 50

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 50

3.4.4.1Validitas Alat Ukur ... 50

3.4.4.2Reliabilitas Alat Ukur ... 51

3.5 Populasi dan Teknik Sampel ... 53

3.5.1 Populasi Sasaran ... 53

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 53

3.5.3 Teknik Sampling ... 53

3.6 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Gambaran Umum Responden ... 55

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………...55

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lamanya Berada di jalan…...…….. 55 4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan yang Sedang


(4)

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Posisi dalam keluarga………...56

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Hubungan dengan Orangtua……….57

4.1.6 Gambaran Responden Berdasarkan Alasan bergabung ke LSM “X”…...57

4.2 Hasil Penelitian………....57

4.3 Pembahasan……….………58 BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1 SIMPULAN ... 65

5.2 SARAN ... 66

5.2.1 Saran untuk Penelitian Lanjutan ... 66

5.2.2 Saran Praktis ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

DAFTAR RUJUKAN... 68 LAMPIRAN………...…………...……….. 69


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tahap Perkembangan Kognitif………..37 Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur………48

Tabel 3.2 Kriteria Penilaian………...49 Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...55 Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lamanya Berada di jalan………..55 Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan………56 Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Urutan dalam keluarga……….….56 Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Hubungan dengan Orangtua…...57 Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Alasan masuk ke LSM “X”……..57


(6)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran……….……….24 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian………45


(7)

DAFTAR GRAFIK


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Profil LSM IABRI Lampiran 2 : Kisi-kisi Alat Ukur Lampiran 3 : Validitas dan Reliabilitas Lampiran 4: Informed concent

Lampiran 5: Kuesioner pengambilan data Lampiran 6: Data responden

Lampiran 7: Skor masing-masing responden Lampiran 8: Tabulasi Silang


(9)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan kota di segala bidang tampaknya tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat, tetapi juga menimbulkan persaingan hidup, contohnya semakin tingginya standar perusahaan dalam menerima karyawan, hal tersebut membuat masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan. Kemiskinan yang melanda kota-kota besar di Indonesia disebabkan oleh masalah ekonomi yang semakin menyengsarakan masyarakat dan menimbulkan masalah-masalah baru yang cukup kompleks, antara lain semakin banyaknya pengangguran, menjamurnya perumahan kumuh, dan munculnya anak-anak jalanan.

Masalah-masalah yang cukup kompleks tersebut membuat masyarakat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga dan keluarga, sehingga tidak jarang memunculkan keluarga yang bermasalah, dan menjadi latar belakang penyebab semakin banyaknya anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat dan hidup merdeka. Bahkan banyak kasus yang menunjukkan meningkatnya penganiayaan, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual terhadap anak-anak, baik oleh keluarga sendiri, teman, maupun orang lain.


(10)

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31352/4/Chapter%20I.pdf diakses pada tanggal 10 April 2012)

Semua anggota keluarga, khususnya anak dari keluarga tersebut, menjadi sangat dibutuhkan untuk membantu menanggulangi keadaan ekonomi keluarganya. Tidak jarang terlihat pada keluarga kelas bawah, dalam upaya menambah pendapatan, keluarga tersebut memobilisasi seluruh anggota keluarga, termasuk anaknya yang masih di bawah umur, tanpa memikirkan pengaruhnya terhadap masa depan anak yang bersangkutan. Selanjutnya anak-anak yang mencari nafkah dan berada di jalanan ini dikenal dengan sebutan anak jalanan. Menurut Departemen Sosial RI, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999;22-24) membedakan anak jalanan menjadi 3 kelompok yaitu :

(1) Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orangtuanya (children of the street). Anak jalanan ini tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, seperti mengalami kekerasan dalam rumah tangga, penolakan, penyiksaan, dan orangtua yang bercerai. Umumnya anak jalanan ini tidak mau kembali ke rumah, dan memersepsi kehidupan jalanan serta solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan di antara anak jalanan.

(2) Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orangtua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan selama 4 hingga 8 jam (children on the


(11)

street). Anak jalanan ini seringkali diidentikkan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur ke tempat tinggal orangtuanya di kampung. Pada umumnya anak-anak ini bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, mengasong, mengamen, menjadi tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggalnya di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.

(3) Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orangtuanya (vulnerable to be street children). Anak jalanan ini masih tinggal dengan orangtuanya, selama kurang dari 4 jam per hari di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, keinginan untuk belajar mandiri, membantu orangtua dan disuruh orangtua. Aktivitas usaha yang paling mencolok dari tipe anak jalanan ini adalah berjualan koran. (http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail42211Dunia%20AnakAnakDunia%20Anak%20 Jalanan.html diakses pada tanggal 12 September 2012)

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa anak yang berada di jalanan memiliki beberapa alasan tentang keberadaannya berada di jalan, yaitu karena diminta oleh orangtuanya sendiri untuk mencari uang di jalan, ada pula yang dipaksa oleh orang lain yang bukan keluarganya, seperti ditipu atau diperdaya secara halus ataupun dipaksa dengan kekerasan; karena keinginan anak itu sendiri, baik karena didorong keprihatinan terhadap kondisi kehidupan orangtua dan keluarganya maupun karena ingin mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya sendiri.


(12)

Mereka yang menjadi anak jalanan bukan saja berasal dari keluarga miskin. Ada juga yang dari keluarga berkecukupan tetapi tidak harmonis, sehingga membuat anak tidak merasa bahagia dan betah berada di lingkungan keluarganya. Hal tersebut dapat membuat anak mencari pelarian ke jalanan dan bergabung dengan anak-anak jalanan untuk bekerja dan mencari kesenangan yang tidak diperolehnya di dalam keluarga. Oleh karena itu setiap anak jalanan memilki alasan yang beragam tentang keberadaannya.

(http://regional.kompasiana.com/2012/07/18/merebaknya-anak-jalanan/ diakses pada tanggal 12 September 2012)

Hidup sebagai anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan naka jalanan tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, misalnya keluarga, masyarakat ataupun negara. Namun perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum signifikan, terutama oleh dinas sosial, padahal menurut UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak tertelantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah, sesungguhnya, memunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak tertelantar, termasuk anak jalanan.

Dewasa ini pertumbuhan anak jalanan di Indonesia semakin meningkat, salah satunya di kota Bandung. Jumlah penduduk yang tercatat pada tahun 2010 sebesar 2.393.633 orang dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 14.228 orang per kilometer persegi, tidak mengherankan memang jika masalah yang ditimbulkan oleh penduduknya pun cukup banyak. Dari berbagai permasalahan


(13)

yang ada di kota ini salah satu yang sangat menonjol adalah masalah anak jalanan, coba saja perhatikan setiap sudut jalan yang ada di kota Bandung, hampir semuanya dipenuhi oleh anak-anak yang mencari nafkah dan hidup di jalanan, baik itu yang menjadi pengamen ataupun sekadar menengadahkan tangan untuk meminta belas kasihan dari setiap orang yang melintas di jalan tersebut.

(http://www.scribd.com/doc/49177094/ANALISIS-KEBIJAKAN-SOSIAL diakses pada tanggal 5 mei 2012)

Berdasarkan data Dinas sosial Kota Bandung, pada tahun 2010 jumlah anak jalanan yang tercatat adalah 4.821 orang, sementara pada tahun 2011, Dinas Sosial Kota Bandung memrediksi jumlah anak jalanan akan terus bertambah. Berdasarkan pemantauan Dinas Sosial, 90% dari anak jalanan bukanlah penduduk asli Bandung. Sebagian besar adalah pendatang, di antaranya dari daerah Jawa Tengah. Selain itu banyak pula yang berasal dari daerah sekitar kota Bandung, Sukabumi, Cirebon, dan Indramayu.

(http://repository.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0705756_chapter1.pdf diakses pada tanggal 12 September 2012)

Untuk mencegah semakin banyaknya anak jalanan, bisa dengan cara membentuk lembaga-lembaga agar anak jalanan tidak berada di jalan. Di Kota Bandung sudah banyak lembaga yang bersedia menampung anak jalanan, salah satunya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “X”. LSM “X” ini merupakan gerakan peduli sosial dari sekelompok insan bangsa yang terpanggil untuk mengambil bagian dalam melakukan berbagai intervensi terbaik bagi anak dalam rangka mengembalikan hak-hak dasar anak yang telah hilang.


(14)

Program-program dari LSM “X” yaitu memberikan bimbingan dan atau pemenuhan akan kebutuhan fisik, mental, spiritual, maupun sosial secara wajar sesuai dengan kemampuan LSM “X”.

Anak jalanan yang berada di LSM “X” ini pernah mengalami kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Banyak diantaranya yang hanya bersekolah hingga SMP, dan tidak melanjutkan sekolah karena terkendala masalah biaya, ada pula yang di keluarkan dari sekolahnya karena tidak bisa membayar uang sekolah dan ada juga yang tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah sehingga mendapat nilai yang kurang baik. Anak-anak jalanan tersebut, sebagian besar masih memiliki dan tinggal bersama orangtuanya, sebagian lagi tinggal bersama wali atau kerabatnya. Sampai sekarang, sebagian anak jalanan masih melakukan kegiatan ekonomi di jalanan sambil bersekolah.

Sesungguhnya, banyak risiko yang akan dihadapi oleh anak-anak yang hidup di jalanan, terutama karena dalam kehidupan sehari-harinya jauh dari pengawasan orangtua. Banyak di antara anak jalanan melakukan kegiatan bebas yang tidak sesuai dengan hukum dan moral, kebanyakan dari mereka juga mengalami kekerasan fisik, psikis, maupun seksual dari orang lain yang usianya lebih dewasa dan sehari-hari berada di sekitar kehidupan anak-anak jalanan itu. Anak-anak yang berada di jalanan memaksa diri sendiri untuk mencari uang agar bisa bertahan hidup, meskipun disisi lain anak jalanan relatif lebih mandiri dibandingkan anak yang sehari-harinya menjalani kehidupan normal dirumah.

Berdasarkan hasil survei terhadap 12 orang anak jalanan di LSM “X”, yang dilakukan dengan cara FGD ( Focused Group Discussion ), diperoleh


(15)

gambaran bahwa anak jalanan tersebut berada di jalan sejak usia antara 10 sampai 16 tahun. Pada umumnya masih memiliki orangtua dan masih tinggal bersama dengan orangtua ketika hari libur sekolah. Diperoleh gambaran juga mengenai alasan para anak jalanan tersebut memilih berada di jalan yaitu atas inisiatif dari diri sendiri, karena mereka prihatin dengan keadaan ekonomi keluarganya, mereka memutuskan untuk ke jalan dan mencari uang untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarganya. Ada juga yang mengatakan ingin membantu orangtuanya, dan ingin meringankan beban orangtua. Alasan lainnya karena faktor lingkungan, banyak dari teman-teman mereka yang sudah berada di jalan terlebih dahulu, sehingga menjadi tertarik untuk ikut berada di jalan untuk mencari uang.

Anak-anak jalanan ini juga tertarik untuk mencari pengalaman hidup dan mencari teman-teman baru, karena biasanya yang dilakukan selama berada di jalanan adalah mengobrol dengan sesama anak jalanan lainnya, menjadi pengamen untuk mendapat uang. Namun ada juga yang memberi alasan karena dipaksa oleh orangtuanya untuk mencari uang di jalanan. Kegiatan yang dilakukan sebelum memutuskan menjadi anak jalanan umumnya adalah bersekolah formal, membantu orangtua di sawah, bertani dan mengambil rumput untuk pakan ternak.

Penghayatan dan perasaan anak jalanan selama berada di jalan adalah sedih jika melihat teman-teman yang seusianya pergi ke sekolah, terselip perasaan iri karena menempuh jalan berbeda, ingin menjadi seperti teman sebayanya yang memiliki kecukupan finansial sehingga tidak mengharuskannya berada di jalan untuk mencari uang. Anak-anak jalanan ini juga terkadang merasa sedih jika mengamen tapi tidak mendapatkan uang untuk makan. Sebagai anak


(16)

jalanan juga tidak luput dari ejekan orang lain, merasa malu dan sedih jika dicemooh oleh teman karena statusnya sebagai anak jalanan. Namun di sisi lain, anak jalanan juga merasa senang berada di jalan, karena bebas bermain, dan juga merasa bangga karena sudah mampu memeroleh penghasilan sendiri.

Selama menjadi anak jalanan, ada pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pengalaman menyenangkan di antaranya adalah punya banyak teman baru, bisa mencari uang dari hasil jerih payah sendiri, bila uang yang terkumpul tidak mencukupi untuk membeli makanan maka ada semacam solidaritas di antara anak-anak jalanan yaitu mengumpulkan uang yang ada lalu dibelikan makanan untuk disantap bersama. Pengalaman menyenangkan lainnya adalah karena memiliki kesempatan untuk melihat mobil-mobil bagus yang melintas di jalan raya. Adapun yang termasuk sebagai pengalaman tidak menyenangkan adalah saat sedang duduk mengobrol di jalan, tiba-tiba didatangi polisi untuk mengamankan anak jalanan. Biasanya anak jalanan akan lari menyelamatkan diri dan mengaku sampai saat ini belum pernah tertangkap polisi karena selalu berhasil melarikan diri. Pengalaman tidak menyenangkan lainnya adalah keharusannya berada di jalanan menyebabkannya mempertaruhkan kesehatan. Tatkala musim hujan datang, anak jalanan tidak memiliki tempat berteduh yang memadai, begitu pula saat berhadapan dengan keadaan cuaca lainnya.

Hubungan dengan sesama anak jalanan dapat dikatakan baik meskipun harus berhadapan dengan anak jalanan lain karena masalah “wilayah kekuasaan”. Ada semacam aturan tidak tertulis untuk tidak merebut daerah kekuasaan orang


(17)

lain karena bisa berakibat serius. Biasanya, anak jalanan cenderung mengalah dan mencari tempat lain untuk mencari uang. Beberapa di antara anak jalanan menyatakan ingin mencoba berubah karena didorong harapan tidak ingin selamanya berada di jalanan. Cara yang dapat dilakukan untuk berubah adalah dengan mengurangi waktu untuk ke jalan, misalnya cukup dua hari per minggu khususnya saat liburan sekolah. Sebenarnya mereka mengaku lebih senang berada di LSM “X” tersebut, karena tidak harus was-was dikejar-kejar petugas penertiban ataupun polisi.

Alasan anak jalanan tersebut bergabung dengan LSM “X” karena ada petugas dari LSM “X” yang turun ke jalan dan menawarkan untuk bergabung di LSM ini kemudian dijanjikan biaya sekolah gratis bagi yang masih berminat sekolah. Umumnya, anak-anak jalanan ini sudah lebih dari dua tahun bergabung di LSM “X”. Kegiatan yang dilakukan di LSM “X” ini adalah sekolah, bermain alat musik, dan kadang-kadang ada latihan drama untuk mengikuti acara tertentu.

Sikap orangtua atau orang dewasa di sekitar yang tidak menyetujui keberadaan anak jalanan adalah memberikan mereka nasihat dan meminta agar berhenti sebagai anak jalanan. Kemudian menganjurkannya sekolah dan mencari uang dengan cara berbeda (bukan di jalanan). Harapan dari para anak jalanan adalah ingin menjadi orang yang lebih baik, bisa menjadi orang sukses, bisa mencapai cita-cita, ingin dihargai oleh orang lain. Selain itu mereka juga ingin bisa “memberi” kepada orang lain, bukan sebagai orang yang selalu menerima pemberian orang lain. Anak jalanan bertekad terus berusaha dan banyak berdoa agar harapannya bisa tercapai untuk kemudian menyenangkan hati orangtuanya.


(18)

Bagaimana anak-anak jalanan tersebut menanggapi setiap peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam hidupnya secara langsung atau tidak langsung akan dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis anak jalanan itu sendiri. Menurut Ryff dan koleganya, kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being) adalah konsep dasar dari level mikro yang membawa informasi mengenai bagaimana individu mengevaluasi dirinya sendiri dan juga kualitas hidupnya. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri, sedangkan pada orang dengan kesejahteraan psikologis yang rendah, dapat merasa bahwa kehidupannya kurang baik dan berat (Ryff, 1989).

Kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), penguasaan lingkungan (environmental mastery), pertumbuhan pribadi (personal growth), tujuan hidup (purpose in life) dan otonomi (autonomy) (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.


(19)

Peneliti mendapat pemahaman bahwa keadaan-keadaan yang dialami oleh anak jalanan tersebut merupakan keadaan yang tidak menguntungkan bagi mereka dan dapat membawa mereka ke dalam suatu perasaan ketidaknyamanan dan berpengaruh pada penghayatan terhadap kehidupannya selama menjadi anak jalanan. Penemuan tersebut bersangkutan dengan kesejahteraan psikologis yang menurut Carol Ryff (1989), bagaimana seseorang memandang kualitas kehidupannya serta mengevaluasi dirinya sendiri dapat disebut sebagai kesejahteraan psikologis. Usaha dari anak jalanan untuk tetap berada di LSM “X” dan meneruskan sekolahnya merupakan bentuk dari perjuangan untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih sejahtera atau well-being.

Penghayatan setiap orang mengenai kehidupannya pasti berbeda, begitu juga dengan anak jalanan yang satu dengan yang lainnya. Seseorang dapat menghayati kehidupannya melalui pengalaman dalam hidupnya, dengan demikian pengalaman masa remaja dapat memengaruhi seseorang dalam menghayati kehidupannya, karena pada tahap itu remaja dapat berpikir lebih abstrak dan logis, dapat memecahkan masalah, dan mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan. Menurut Santrock, tahap remaja adalah antara rentang usia 12 tahun sampai 22 tahun.

Setelah melihat penjelasan di atas, kesejahteraan psikologis juga memiliki dampak bagi kehidupan seseorang, termasuk pada anak jalanan. Seseorang dalam menjalani kehidupan pasti akan merasakan kebahagiaan dan kesedihan. Seseorang akan merasa bahagia bila harapan dan keinginannya tercapai dan akan merasa sedih jika harapan dan keinginannya tidak tercapai. Kebahagiaan erat hubungannya


(20)

dengan kesejahteraan psikologis seseorang. Kesejahteraan psikologis adalah salah satu hal yang penting di dalam kehidupan. Seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik akan merasa nyaman, damai, dan bahagia serta dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia secara positif. Kesejahteraan psikologis adalah konsep yang berkaitan dengan kriteria kesehatan mental yang positif. Kebahagiaan dan kepuasan hidup dirasakan lebih besar ketika individu mengalami pengalaman membina hubungan dengan orang lain dan merasa menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu, dapat menerima dirinya sendiri, dan memiliki makna dan tujuan dari hidup yang mereka jalani (Ryff dan Singer dalam Steger, Kashdan & Oishi, 2007).

Hasil penelitian lain yang dilakukan di Universitas Indonesia ditemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebahagiaan dengan kepuasan hidup, artinya semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidup yang dimiliki. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebahagiaan dengan kualitas hidup, berarti semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidupnya. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepuasan hidup dengan kualitas hidup, semakin tinggi tingkat kepuasan hidup seseorang akan diikuti dengan semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup yang dimiliki.

Kualitas hidup sangat dipengaruhi oleh tingkat kepuasan terhadap hidup karena kualitas hidup merupakan derajat tingkat kepuasan atas penerimaan kondisi kehidupan saat ini (Goodinson & Singletondalam O’Connor, 1993). Lebih


(21)

lanjut dikemukakan bahwa kualitas hidup dapat meningkat apabila jarak antara tujuan yang telah dicapai dengan tujuan yang ingin dicapai makin berkurang (Bergner dalam O’Connor, 1993). Dengan kata lain bahwa seseorang akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik apabila ia merasa puas dengan hidupnya dan kepuasan itu sendiri merupakan bagian dari kebahagiaan yang merupakan komponen kognitif.

Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan diatas, maka peneliti mengindikasikan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki dampak positif bagi kehidupan seseorang, tidak terkecuali bagi anak jalanan usia remaja. Seorang anak jalanan yang mencapai kesejahteraan psikologis dapat meningkatkan kebahagiaan, kesehatan mental yang positif, pertumbuhan diri pada saat dewasa nanti, dan memiliki kepuasan dalam hidupnya. Hal tersebut membuat peneliti ingin mencermati tentang gambaran empiris mengenai kesejahteraan psikologis pada anak jalanan usia remaja di LSM “X” kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan di atas, masalah yang akan diteliti diidentifikasi sebagai sejauh mana penghayatan kesejahteraan psikologis anak jalanan usia remaja di LSM “X” kota Bandung.


(22)

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan

Untuk memperoleh gambaran mengenai kesejahteraan psikologis anak jalanan usia remaja di LSM “X” kota Bandung, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran terkait dengan dimensi-dimensi dalam kesejahteraan psikologisnya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

• Memberikan informasi pada bidang ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan mengenai kesejahteraan psikologis anak jalanan usia remaja.

• Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai kesejahteraan psikologis, khususnya pada anak jalanan usia remaja.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada anak jalanan usia remaja di LSM “X” mengenai kesejahteraan psikologis agar menjadi bahan pertimbangan untuk masa depannya.

• Memberikan informasi kepada Pembina LSM “X” mengenai kesejahteran psikologis anak jalanan usia remaja, sehingga bisa memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan anak-anak pada umumnya.


(23)

1.5 Kerangka Pemikiran

Anak-anak jalanan pada umumnya berada pada tahap perkembangan remaja. Menurut teori Piaget dalam Santrock (2007), pada tahap perkembangan remaja, mereka dapat berpikir lebih abstrak dan logis, dapat memecahkan masalah, dan mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan. Pada tahap perkembangan ini juga, remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis. Remaja juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati dengan berbagai kesulitan. Pengalaman-pengalaman yang dilalui anak jalanan pada tahap remaja akan berpengaruh pada penghayatan pribadinya. Berbagai penghayatan pribadi dari anak jalanan ini dapat mengarah pada penilaian terhadap kualitas hidupnya serta evaluasi dari berbagai aktivitasnya.

Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan hidup yang diinginkan oleh siapa pun, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu, keadaan tersebut merupakan keadaan yang tidak menguntungkan bagi anak jalanan. Secara psikologis anak jalanan adalah anak-anak yang pada tahap perkembangannya belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial, dalam hal ini labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Pada taraf tertentu stigma


(24)

masyarakat yang seperti ini justru akan memunculkan rasa “terasingkan” yang pada akhirnya menyebabkan kepribadian introvet, cenderung sukar

mengendalikan diri dan asosial. (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/makalah-sospol-3-anak-jalanan/

diakses pada tanggal 29 Oktober 2012)

Anak jalanan yang berada pada tahap perkembangan remaja dapat mengolah pengalaman-pengalaman kehidupannya dengan lebih baik daripada saat mereka berada pada tahap perkembangan anak, karena dapat berpikir lebih abstrak dan logis, sehingga mereka juga dapat melakukan evaluasi dengan lebih baik terhadap pengalaman hidupnya, kejadian sehari-hari dalam kehidupan, serta dapat berpikir mengenai masa depannya dengan lebih baik dan objektif. Penilaian terhadap kualitas hidup dan evaluasi akan berbagai aktivitasnya diistilahkan sebagai kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being). Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis merupakan keadaan saat individu dapat membangun hubungan yang positif dengan orang lain, menerima diri apa adanya, mengembangkan diri, memiliki tujuan hidup, mampu mengarahkan perilaku, serta mampu mengontrol lingkungan.

Kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), penguasaan lingkungan (environmental mastery), pertumbuhan pribadi (personal growth), tujuan hidup (purpose in life) dan otonomi (autonomy) (Ryff, 1989). Masing-masing dimensi ini dapat memberikan pengaruh terhadap


(25)

penghayatan seseorang mengenai kualitas hidupnya, begitu pula pada anak jalanan.

Dimensi yang pertama, self-acceptance atau penerimaan diri merupakan dimensi yang meliputi kemampuan dalam menerima diri apa adanya beserta kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Selain itu juga penghayatan yang positif mengenai masa lalunya (Ryff dan Keyes, 2003, dalam Wells 2010).

Penyebab anak jalanan berada di jalanan sangat beragam dan berbeda antara anak jalanan yang satu dengan yang lainnya. Ada yang disebabkan oleh keadaan ekonomi keluarga yang tidak mampu, penyiksaan orangtua yang menyebabkan anak tidak betah berada di rumah, ada pula yang disebabkan karena orangtua yang memaksa anaknya untuk mencari uang di jalan tanpa memikirkan masa depan dari anak tersebut. Mengambil keputusan untuk berada di jalan bukan merupakan keputusan yang menyenangkan bagi beberapa anak jalanan, diperparah lagi dengan keadaan di jalan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif pada anak.

Berada di jalanan bersama dengan orang lain yang juga rentan akan perbedaan pendapat, dapat membentuk anak jalanan untuk melihat pelbagai macam hal yang dihadapi secara apa adanya. Lama-kelamaan anak jalanan menyadari bahwa menjadi anak jalanan memiliki dampak yang negatif dan juga yang positif bagi dirinya. Seiring berjalannya waktu anak jalanan tidak lagi memermasalahkan perhatian dari orangtua yang tidak didapatkannya, namun lebih dapat melihat secara positif mengenai pengalamannya tersebut. Pengalaman masa lalu yang sebelumnya menjadi suatu masalah yang besar dan negatif dapat


(26)

dipandang menjadi pengalaman berharga yang membentuk dirinya saat ini. Hal ini dapat merujuk pada penghayatan yang tinggi dari dimensi self-acceptance.

Menurut Ryff (dalam Hildalgo et al., dalam Wells (Ed.) 2010) self-acceptance

merupakan the key part dari kesejahteraan psikologis. Ini artinya, tinggi-rendahnya penghayatan akan penerimaan diri (self-acceptance) akan turut memberikan arah tersendiri bagi penghayatan responden atas dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis lainnya.

Dengan kurangnya perhatian yang diberikan bagi anak jalanan, mereka dapat menghayati bahwa orangtuanya tidak menyayanginya dan mereka tidak diharapkan berada dalam keluarganya itu. Anak jalanan dapat memandang dirinya sebagai pribadi yang gagal, tidak berarti dan mengalami hal-hal negatif dalam keluarga. Disamping itu anak jalanan juga dapat merasakan bahwa dirinya adalah pribadi yang jauh lebih mandiri jika dibandingkan dengan anak lain yang sebaya dengannya. Anak jalanan juga menjadi anak yang lebih memiliki kebebasan serta dapat membaca situasi lingkungan sekitar dengan baik.

Dengan perhatian yang kurang dari pihak keluarga terutama dari orangtua, anak jalanan akan cenderung mencari perhatian dari lingkungan sekitarnya di jalanan. Anak jalanan akan berusaha untuk membangun relasi yang hangat dan kuat dengan anak jalanan lain di sekitarnya untuk mendapatkan perhatian yang dibutuhkannya. Anak jalanan juga belajar untuk menaruh kepercayaan pada orang lain sehingga mereka dapat merasakan mendapat perhatian yang sepenuhnya. Selain itu, anak jalanan pun berusaha menjadi pribadi yang hangat, penuh empati, dan juga dapat dipercaya oleh sesama anak jalanan, agar bisa membangun relasi


(27)

yang baik dengan mereka. Karakter tersebut dapat merujuk pada penghayatan dari dimensi positive relation with others yang tinggi pada anak jalanan. Dimensi

positive relation with others mencakup kemampuan dalam berempati dan menyayangi orang lain dan mampu mencintai serta memiliki persahabatan yang mendalam (Ryff dan Singer, 2003, dalam Wells 2010).

Lingkungan sekitar anak jalanan akan mengalihkan perhatian anak jalanan yang menghayati bahwa orangtuanya kurang peduli terhadap mereka. Bentuk perilaku anak jalanan yang muncul dapat konstruktif dan dapat juga destruktif. Jika anak jalanan bergabung dengan lingkungan yang konstruktif atau mendukung, maka perilaku yang ditampilkan juga akan mengarah pada perilaku yang baik. Misalnya jika anak jalanan bergabung dengan lingkungan yang mendukungnya untuk meraih prestasi yang baik maka anak jalanan akan menampilkan perilaku berprestasi yang baik. Sebaliknya jika anak jalanan bergabung dengan lingkungan yang destruktif bagi dirinya maka perilaku yang ditampilkan pun akan mengarah pada perilaku yang kurang baik. Misalnya ketika anak jalanan bergabung dengan preman pemakai narkoba maka lama kelamaan anak jalanan tersebut juga akan menggunakan narkoba.

Dapat dikatakan bahwa anak jalanan lebih cenderung dikontrol oleh lingkungan sekitarnya, maka dari itu sebaiknya anak jalanan memiliki kemampuan beradaptasi yang baik agar dapat mengontrol aturan yang rumit dalam melakukan aktifitas, dapat menggunakan kesempatan yang ada di sekelilingnya dengan efektif, mampu memilih dan membuat konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Anak jalanan yang bisa melakukan hal


(28)

tersebut dapat dikatakan memiliki penghayatan yang tinggi pada dimensi

environmental mastery. Dimensi ini mencakup kemampuan dalam memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya, mampu berpartisipasi dalam aktivitas di luar diri, serta memanipulasi serta mengontrol lingkungan sekitarnya (Ryff dan Keyes, 2003, dalam Wells 2010).

Selain kurangnya perhatian dari orangtua untuk anak jalanan, orangtua juga tidak terlalu menuntut anak jalanan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan dan karir. Hal ini dapat berarti bahwa anak jalanan memiliki kebebasan yang lebih jika dibandingkan dengan anak yang masih diarahkan oleh orangtuanya. Terdapat kesempatan yang lebih bagi anak jalanan untuk mengeksplorasi potensi-potensi dan minat yang ada pada dirinya, karena pada umumnya anak jalanan tidak memiliki hubungan yang intensif dengan orangtuanya, atau bahkan ada yang sudah tidak memiliki hubungan lagi dengan orangtuanya. Maka dari itu, orangtua juga tidak akan memberikan banyak komentar apabila anak jalanan mencoba mengembangkan berbagai potensi dalam dirinya.

Dengan kesempatan tersebut anak jalanan juga semakin mengenali dirinya sendiri, seperti hal apa yang paling diminatinya dan hal apa yang paling tidak diminatinya. Selain itu anak jalanan juga dapat melihat aspek dalam dirinya yang perlu dikembangkan untuk mendukung potensi serta minatnya, sehingga dapat melihat perbaikan-perbaikan yang terjadi dalam dirinya. Kebebasan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki dapat merujuk pada tingginya penghayatan anak jalanan pada dimensi personal growth, dengan begitu anak jalanan akan


(29)

lebih mudah mengenali pekerjaan apa yang cocok bagi dirinya, anak jalanan juga bisa lebih mengenal dan mengembangkan bakat atau potensi apa yang ada dalam dirinya. Dimensi personal growth sendiri mencakup kemampuan seseorang untuk menyadari potensi dalam dirinya dan mengembangkannya menjadi sumber daya yang baru (Ryff dan Singer, 2003, dalam Wells 2010).

Seiring berjalannya waktu, anak jalanan dapat mengenali bidang yang paling diminatinya dan paling sesuai bagi dirinya. Kesempatan tersebut mendorong anak jalanan dalam menentukan tujuan dan harapan-harapan dalam hidupnya. Misalnya dalam menentukan bidang pekerjaan yang paling sesuai dengan dirinya atau menentukan bidang pendidikan yang diminatinya. Dengan kesempatan tersebut anak jalanan meyakini bahwa hidupnya bermakna serta memberikan kontribusi yang berarti bagi lingkungan sekitarnya. Kemampuan anak jalanan dalam menentukan tujuan hidup dapat merujuk pada penghayatan yang tinggi pada dimensi purpose in life, yang berarti seseorangmemiliki tujuan, intensi, dan arahan yang dapat memberikan kontribusi pada kebermaknaan hidupnya (Ryff dan Keyes, 2003, dalam Wells 2010).

Dimensi yang terakhir dari kesejahteraan psikologis yaitu autonomy,

didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk bergerak atas keyakinan dan pendiriannya sendiri sekalipun harus bertentangan dengan keyakinan yang diterima oleh kebanyakan orang (Ryff dan Keyes, 2003, dalam Wells 2010). Dimensi autonomy sulit diadaptasikan secara nyata dalam kehidupan anak jalanan, karena melihat keterbatasan mereka dalam hal pendidikan formal maupun spiritual dan moral, sehingga khusus untuk dimensi autonomy ini peneliti


(30)

menduga tidak muncul penghayatan yang tinggi mengingat keterbatasan yang dimilikinya tersebut.

Dalam kenyataannya, tidak semua anak jalanan akan memiliki penghayatan yang tinggi pada setiap dimensi kesejahteraan psikologis tersebut. Anak jalanan yang menghayati pengalaman masa lalu menjadi suatu masalah besar dan negatif, mengevaluasi dirinya pada ketidakpuasan yang besar, tidak merasa nyaman dengan keadaan yang telah terjadi di masa lalunya sehingga merujuk pada penghayatan self-acceptance yang rendah. Anak jalanan yang tidak bisa menerima pengalaman masa lalunya secara positif akan mengalami kesulitan dalam menjalani hubungan dengan orang lain, karena masih memiliki rasa tidak nyaman dengan keadaan diri sendirinya, mereka tidak akan berusaha untuk membangun relasi yang hangat dan kuat dengan anak jalanan lain, tidak berusaha menaruh kepercayaan dan menjadi pribadi yang hangat dan penuh empati, hal tersebut merujuk pada penghayatan positive relation with others yang rendah pada anak jalanan.

Dengan seiringnya waktu, anak jalanan yang sehari-harinya berada di jalan bersama orang lain, mencari nafkah bersama setiap harinya, lama kelamaan akan menjadi tergantung pada orang di sekitarnya, anak jalanan akan mengalami kesulitan untuk mengatur lingkungannya dan dalam memperbaiki keadaan di sekitarnya, sehingga anak jalanan akan mengalami kesulitan pula dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat merujuk pada penghayatan yang rendah pada dimensi environmental mastery.


(31)

Anak jalanan yang terlalu tergantung dengan lingkungan sekitar, akan kesulitan dalam mengenali potensi yang ada di dalam dirinya, karena mereka hanya fokus dan akan mengikuti apa yang teman-teman mereka lakukan, sehingga tidak tertarik pada hidup, merasa tidak mampu untuk membangun sikap atau perilaku yang baru. Dengan begitu, anak jalanan juga tidak akan memiliki tujuan dalam hidupnya, mereka benganggapan bahwa hidupnya tidak bermakna dan tidak menarik, karena tidak bisa mengembangkan bakat dan potensi yang sebenarnya ada di dalam diri mereka. Hal ini merujuk penghayatan yang rendah pada dimensi personal growth dan purpose in life.

Berdasarkan keadaan yang diuraikan di atas, anak jalanan akan memiliki kebutuhan akan perhatian yang besar, anak jalanan menjadi pribadi yang senang diperhatikan dan senang menarik perhatian dari orang lain, baik di lingkungan keluarganya maupun dalam lingkup pergaulannya di jalan. Pendapat serta pemikiran dari lingkungan sekitar mengenai dirinya menjadi hal yang penting bagi anak jalanan. Anak jalanan menghayati bahwa saran dan pendapat orang lain terhadapnya merupakan salah satu bentuk perhatian baginya. Oleh sebab itu anak jalanan lebih senang mengikuti arah hidupnya sesuai dengan keadaan sekitarnya. Perbedaan yang signifikan antara dirinya dengan orang-orang di sekitarnya dapat menjadi suatu tekanan tersendiri baginya. Hal ini dapat merujuk pada penghayatan yang rendah dimensi autonomy.

Untuk memeroleh gambaran tentang kesejahteraan psikologis anak jalanan secara komprehensif, maka penelitian ini akan menjaring data sosio-demografis anak jalanan, yaitu jenis kelamin, lamanya berada di jalan, pendidikan yang


(32)

sedang di tempuh, posisi dalam keluarga, hubungan dengan orangtua, dan alasan masuk ke LSM “X”.

1.5.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Asumsi

• Anak jalanan usia remaja yang berada di jalan disebabkan karena kurangnya perhatian dari orangtua.

Self-acceptance merupakan the key part dari kesejahteraan psikologis, maka tinggi-rendahnya penghayatan pada dimensi self-acceptance akan turut memberikan arah tersendiri bagi penghayatan anak jalanan usia remaja atas dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis lainnya.

Kesejahteraan Psikologis terdiri dari 6 dimensi :

1. Self-Acceptance 2. Positive Relation with

Others

3. Environmental Mastery 4. Personal Growth 5. Purpose in Life 6. Autonomy Anak Jalanan Usia Remaja Rendah Tinggi Data Sosiodemografis: 1.Jenis kelamin

2. Lamanya berada di jalan

3. Pendidikan yang sedang ditempuh

4. Urutan dalam keluarga 5. Hubungan dengan orangtua 6. Alasan masuk ke LSM “X”


(33)

• Data demografis yang terdiri dari jenis kelamin, lamanya berada di jalan, pendidikan yang sedang di tempuh, posisi dalam keluarga, hubungan dengan orangtua, dan alasan masuk ke LSM “X” memiliki keterkaitan dengan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis.


(34)

5.1. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian terhadap 55 anak jalanan di LSM “X” Bandung dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Anak-anak jalanan yang tergabung dalam LSM “X” Bandung ini terindikasi menghayati self-acceptance yang rendah. Self-acceptance rendah berarti menggambarkan ketidakpuasan dengan dirinya, ketidaknyamanan dengan keadaan yang terjadi di masa lalu dan keadaannya saat ini, dan karenanya menjadi pendorong utamanya untuk mengubah keadaan ke arah masa depan yang lebih baik.

2) Berkaitan dengan ketidaksejahteraan dalam dimensi self-acceptance yang dihayati oleh anak jalanan ini, agaknya menjadi faktor yang mendorongnya untuk menghayati kesejahteraan dalam ke lima dimensi lainnya sebagai upayanya untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depannya.

3) Berdasarkan data demografis yang dikaitkan dengan dimensi positive relations with others, environmental mastery, personal growth, purpose in life, dan

autonomy, menunjukkan lebih banyak responden laki-laki yang memiliki penghayatan tinggi, demikian juga dengan lamanya responden berada di jalan, baik yang kurang maupun yang lebih dari 1 tahun. Responden yang merupakan anak bungsu dan yang memiliki hubungan harmonis dengan orangtuanya juga menunjukkan penghayatan yang tinggi pada kelima dimensi.


(35)

5.2 SARAN

5.2.1 Saran untuk Penelitian Lanjutan

1) Bagi peneliti lain yang ingin menindaklanjuti penelitian tentang kesejahteran psikologis anak jalanan, temuan penelitian ini memerlihatkan anak jalanan memiliki self-acceptance yang rendah. Untuk itu perlu dilakukan observasi dan wawancara pada anak jalanan agar mendapat informasi mengenai data sosio-demografis yang lebih lengkap.

5.2.2 Saran Praktis

1) Disarankan kepada para pembina di LSM “X” untuk mengadakan kegiatan-kegiatan maupun program-program yang menarik untuk anak jalanan sehingga bisa menekan dan mencegah anak-anak berada di jalanan.

2) Disarankan kepada ketua LSM “X” untuk memperbanyak pembina anak jalanan yang memiliki beragam latar belakang, agar bisa memberikan gambaran yang beragam dan bekal untuk anak jalanan kearah yang lebih baik.


(36)

Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Jakarta : Bumi Aksara.

Herbyanti, Deni. 2009. Kebahagiaan (Happines) pada Remaja di Derah Abrasi.

Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 11, No. 2, 70-72.

Hidayati, Farida. 2011. Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Psikologi Undip Vol. 9, 6-8.

Jumaat, Abdul. 2011. Stress and Psychological Well-Being of Government Officers in Malaysia. The Journal of Human Resource and Adult Learning

Vol. 7, Num. 2.

Nazir, M. 2009. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia.

Routledge, Clay; et al. 2011. The past makes the present meaningful: Nostalgia as an existential resource. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 101(3), 638-652.

Ryff, D. Carol. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 57, No. 6, 1069-1081.

Santrock, John W. 2007. Adolescence, Eleventh Edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia.

Snyder, C.R and Shane J. Lopez. 2009. Second Edition Oxford Handbook of Positive Psychology. New York : Oxford University Press, Inc.

Wells, Inggrid E. 2010. Psychological Well-Being : Psychology of Emotions, Motivations and Actions. New York : Nova Science Publishers, Inc.

Yunus, Mohammad. 2011. Stress and Psychological Well-Being of Government Officers in Malaysia. The Journal of Human Resource and Adult Learning


(37)

Dwitama, Stefanie Intan. 2012. Studi Deskriptif Terhadap Psychological Well-Being Pada Anak Urutan Tengah Dengan Tahap Perkembangan Dewasa Awal.

Usulan Penelitian. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Herdiana, Ike. 2012. Dunia Anak Jalanan. (Online). (http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail42211Dunia%20AnakAnakDunia%20Anak%20 Jalanan.html diakses pada tanggal 12 September 2012)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31352/4/Chapter%20I.pdf diakses pada tanggal 10 April 2012.

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0705756_chapter1.pdf diakses pada tanggal 12 September 2012

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/makalah-sospol-3-anak-jalanan/ diakses pada tanggal 29 Oktober 2012

http://etd.eprints.ums.ac.id/19188/ diakses pada tanggal 12 Desember 2012 http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:XfDzA5kMuZ0J:xa.yim

g.com/kq/groups/23120777/2034160832/name/skripsi_all-revised-240609.doc+alat+ukur+life+satisfaction&hl=en&gl=id diakses pada tanggal 12 Desember 2012

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:xUqBrJhQU-oJ:www.ppc.sas.upenn.edu/lifesatisfactionscale.pdf+Satisfaction+with+Life+Scal e&hl=en&gl=id diakses pada tanggal 13 Desember 2012

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:ewwISumvfZIJ:www.pp c.sas.upenn.edu/subjectivehappinessscale.pdf+happiness+scale&hl=en&gl=id diakses pada tanggal 13 Desember 2012

Jamal, Awaluddin. 2010. Analisis Kebijakan Sosial, Peningkatan Pengetahuan

Anak Jalanan di Kota Bandung.(Online).

(http://www.scribd.com/doc/49177094/ANALISIS-KEBIJAKAN-SOSIAL diakses pada tanggal 5 mei 2012

Setiawati, Nony Eka. 2012. Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Masa Depan Bidang Pekerjaan Pada Anak Jalanan Remaja Akhir di SMK “X” LSM “Y” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Supriyani, Lina. 2012. Merebaknya Anak Jalanan. (Online). (http://regional.kompasiana.com/2012/07/18/merebaknya-anak-jalanan/ diakses pada tanggal 12 September 2012.


(1)

sedang di tempuh, posisi dalam keluarga, hubungan dengan orangtua, dan alasan masuk ke LSM “X”.

1.5.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6 Asumsi

• Anak jalanan usia remaja yang berada di jalan disebabkan karena kurangnya perhatian dari orangtua.

Self-acceptance merupakan the key part dari kesejahteraan psikologis,

Kesejahteraan Psikologis terdiri dari 6 dimensi :

1. Self-Acceptance

2. Positive Relation with

Others

3. Environmental Mastery

4. Personal Growth

5. Purpose in Life

6. Autonomy

Anak Jalanan Usia

Remaja

Rendah Tinggi

Data Sosiodemografis: 1.Jenis kelamin

2. Lamanya berada di jalan

3. Pendidikan yang sedang ditempuh

4. Urutan dalam keluarga 5. Hubungan dengan orangtua 6. Alasan masuk ke LSM “X”


(2)

25

• Data demografis yang terdiri dari jenis kelamin, lamanya berada di jalan, pendidikan yang sedang di tempuh, posisi dalam keluarga, hubungan dengan orangtua, dan alasan masuk ke LSM “X” memiliki keterkaitan dengan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis.


(3)

5.1. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian terhadap 55 anak jalanan di LSM “X” Bandung dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Anak-anak jalanan yang tergabung dalam LSM “X” Bandung ini terindikasi menghayati self-acceptance yang rendah. Self-acceptance rendah berarti menggambarkan ketidakpuasan dengan dirinya, ketidaknyamanan dengan keadaan yang terjadi di masa lalu dan keadaannya saat ini, dan karenanya menjadi pendorong utamanya untuk mengubah keadaan ke arah masa depan yang lebih baik.

2) Berkaitan dengan ketidaksejahteraan dalam dimensi self-acceptance yang dihayati oleh anak jalanan ini, agaknya menjadi faktor yang mendorongnya untuk menghayati kesejahteraan dalam ke lima dimensi lainnya sebagai upayanya untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depannya.

3) Berdasarkan data demografis yang dikaitkan dengan dimensi positive relations

with others, environmental mastery, personal growth, purpose in life, dan


(4)

66

5.2 SARAN

5.2.1 Saran untuk Penelitian Lanjutan

1) Bagi peneliti lain yang ingin menindaklanjuti penelitian tentang kesejahteran psikologis anak jalanan, temuan penelitian ini memerlihatkan anak jalanan memiliki self-acceptance yang rendah. Untuk itu perlu dilakukan observasi dan wawancara pada anak jalanan agar mendapat informasi mengenai data sosio-demografis yang lebih lengkap.

5.2.2 Saran Praktis

1) Disarankan kepada para pembina di LSM “X” untuk mengadakan kegiatan-kegiatan maupun program-program yang menarik untuk anak jalanan sehingga bisa menekan dan mencegah anak-anak berada di jalanan.

2) Disarankan kepada ketua LSM “X” untuk memperbanyak pembina anak jalanan yang memiliki beragam latar belakang, agar bisa memberikan gambaran yang beragam dan bekal untuk anak jalanan kearah yang lebih baik.


(5)

Danim, Sudarwan. 2004. Metode Penelitian untuk Ilmu-ilmu Perilaku. Jakarta : Bumi Aksara.

Herbyanti, Deni. 2009. Kebahagiaan (Happines) pada Remaja di Derah Abrasi.

Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol. 11, No. 2, 70-72.

Hidayati, Farida. 2011. Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Psikologi

Undip Vol. 9, 6-8.

Jumaat, Abdul. 2011. Stress and Psychological Well-Being of Government Officers in Malaysia. The Journal of Human Resource and Adult Learning

Vol. 7, Num. 2.

Nazir, M. 2009. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia.

Routledge, Clay; et al. 2011. The past makes the present meaningful: Nostalgia as an existential resource. Journal of Personality and Social Psychology, Vol 101(3), 638-652.

Ryff, D. Carol. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social

Psychology. Vol. 57, No. 6, 1069-1081.

Santrock, John W. 2007. Adolescence, Eleventh Edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia.

Snyder, C.R and Shane J. Lopez. 2009. Second Edition Oxford Handbook of


(6)

68

DAFTAR RUJUKAN

Dwitama, Stefanie Intan. 2012. Studi Deskriptif Terhadap Psychological Well-Being Pada Anak Urutan Tengah Dengan Tahap Perkembangan Dewasa Awal.

Usulan Penelitian. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Herdiana, Ike. 2012. Dunia Anak Jalanan. (Online). (http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail42211Dunia%20AnakAnakDunia%20Anak%20 Jalanan.html diakses pada tanggal 12 September 2012)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31352/4/Chapter%20I.pdf diakses pada tanggal 10 April 2012.

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_pkn_0705756_chapter1.pdf diakses pada tanggal 12 September 2012

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/makalah-sospol-3-anak-jalanan/ diakses pada tanggal 29 Oktober 2012

http://etd.eprints.ums.ac.id/19188/ diakses pada tanggal 12 Desember 2012 http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:XfDzA5kMuZ0J:xa.yim

g.com/kq/groups/23120777/2034160832/name/skripsi_all-revised-240609.doc+alat+ukur+life+satisfaction&hl=en&gl=id diakses pada tanggal 12 Desember 2012

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:xUqBrJhQU-oJ:www.ppc.sas.upenn.edu/lifesatisfactionscale.pdf+Satisfaction+with+Life+Scal e&hl=en&gl=id diakses pada tanggal 13 Desember 2012

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:ewwISumvfZIJ:www.pp c.sas.upenn.edu/subjectivehappinessscale.pdf+happiness+scale&hl=en&gl=id diakses pada tanggal 13 Desember 2012

Jamal, Awaluddin. 2010. Analisis Kebijakan Sosial, Peningkatan Pengetahuan

Anak Jalanan di Kota Bandung.(Online).

(http://www.scribd.com/doc/49177094/ANALISIS-KEBIJAKAN-SOSIAL diakses

pada tanggal 5 mei 2012

Setiawati, Nony Eka. 2012. Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Masa Depan Bidang Pekerjaan Pada Anak Jalanan Remaja Akhir di SMK “X” LSM “Y” Kota

Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Supriyani, Lina. 2012. Merebaknya Anak Jalanan. (Online). (http://regional.kompasiana.com/2012/07/18/merebaknya-anak-jalanan/ diakses pada tanggal 12 September 2012.