Kohesi dan Koherensi Pada Upacara Marunjuk Masyarakat Batak Toba: Kajian Wacana

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Hal ini
dikarenakan hasil dari suatu karya ilmiah harus dapat dipertanggungjawabkan dan
harus disertai dengan data-data yang akurat dan kuat serta ada hubungannya
dengan yang akan diteliti. Adapun hasil penelitian lain yang digunakan dalam
memahami dan mendukung penulisan skripsi ini adalah:
1. Skripsi yang ditulis oleh Dewi Hutasoit, (2012) dengan judul “Struktur
Wacana dalam Upacara Adat Kematian Saur Matua pada Masyarakat Batak
Toba”. Skripsi ini membahas tentang struktur wacana, unsur kohesi dan unsur
koherensi yang terdapat dalam wacana upacara adat Saur Matua masyarakat
Batak Toba dengan menggunakan teori analisis wacana menurut Robert
Sibarani dan Abdul Rani, dkk. Konstribusi skripsi ini terhadap penulisan
skripsi penulis adalah terdapat pada teknik pengumpulan data, metode analisis
data dan cara menganalisis unsur kohesi dan unsur koherensi dalam wacana
upacara adat Saur Matua masyarakat Batak Toba tersebut. Perbedaan skripsi
Dewi Hutasoit dengan penelitian yang akan dilakukan penulis ialah terletak
pada objek kajian yang akan diteliti.
2. Skripsi yang ditulis oleh Tardas Gurning, (2004) dengan judul “Sistem

Tatakrama Berbahasa Batak Toba pada Upacara Adat perkawinan”. Skripsi ini
membahas tentang sistem tatakrama berbahasa Batak Toba serta tahapantahapan pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba. Konstribusi skripsi ini

Universitas Sumatera Utara

terhadap penulisan skripsi penulis adalah terletak pada tahapan-tahapan
pelaksanaan “marunjuk” pada upacara perkawinan Batak Toba. Perbedaan
skripsi Tardas Gurning dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
ialah terletak pada analisis wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi
pada upacara perkawinan Batak Toba.
3. Skripsi yang ditulis oleh Dongan Manurung, (2003) dengan judul “Pembagian
dan Penyampaian Jambar Juhut Na Marmiak-miak dalam Pesta Adat
Perkawinan Batak Toba”. Skripsi ini membahas tentang pembagian dan
penyampaian jambar juhut na marmiak-miak dan juga bentuk upacara adat
perkawinan dalam masyarakat Batak Toba. Konstribusi skripsi ini terhadap
penulisan skripsi penulis adalah terletak pada pembagian dan penyampaian
jambar juhut na marmiak-miak dan bentuk upacara adat perkawinan dalam
masyarakat Batak Toba tersebut. Perbedaan skripsi Dongan Manurung dengan
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ialah terletak pada analisis
wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi pada upacara perkawinan

Batak Toba.
4. Skripsi yang ditulis oleh Aspiner Panjaitan, (2011) dengan judul “Fungsi dan
Makna Mangulosi pada Upacara Perkawinana Batak Toba: Kajian Pragmatik”.
Skripsi ini membahas tentang wacana “mangulosi” dan tahapan-tahapan
pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba. Konstribusi skripsi ini terhadap
penulisan skripsi penulis adalah dapat membantu penulis melihat wacana
“mangulosi” dan tahapan-tahapan pelaksanaan upacara perkawinan Batak
Toba. Perbedaan skripsi Aspiner Panjaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis ialah terletak pada cakupan objek yang akan diteliti dan

Universitas Sumatera Utara

analisis wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi pada upacara
perkawinan Batak Toba.
5. Sumarlam, dkk. (Buku, 2003) dengan judul “Teori dan Praktik Analisis
Wacana”. Konstribusi buku ini terhadap penulisan skripsi penulis ialah
mengarahkan dan membantu penulis untuk memahami bagaimana cara dalam
menganalisis sebuah wacana dengan menggunakan teori-teori para ahli seperti
Abdul Chaer, Eryanto, dan Fairclough.
6. Mulyana. (Buku, 2005) dengan judul “Kajian Wacana: Teori, Metode, dan

Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana”. Konstribusi buku ini terhadap
penulisan skripsi penulis ialah mengarahkan dan membantu penulis untuk
memahami bagaimana cara dalam menganalisis keutuhan dan kepaduan
sebuah wacana berupa unsur kohesi dan unsur koherensi dengan
menggunakan teori-teori para ahli seperti Anton M. Moeliono, Henry Guntur
Tarigan, Halliday dan Hasan, Gorys Keraf, HS Wahjudi, Brown dan Yule, dan
Harimurti Kridalaksana.

2.1.1

Pengertian Wacana
Tarigan (Sumarlam, 2003:7) mengatakan “Wacana adalah satuan bahasa

yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan
koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir
yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis”.
“Wacana ialah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan
seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog atau secara tertulis seperti cerpen,
novel, buku, surat, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat


Universitas Sumatera Utara

kohesif saling terkait dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren
terpadu” (Sumarlam, 2004:40).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sumarlam, 2003:9) “Wacana
merupakan kelas kata benda (nomina) yang mempunyai arti sebagai: (1)
ucapan, perkataan, tuturan; (2) keseluruhan tutur yang merupakan satu
kesatuan; (3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk
karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato,
khotbah, dan sebagainya”.
Menurut Fairclough (Sumarlam, 2003:12) di dalam karyanya yang
berjudul “Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language,
berpendapat bahwa “discourse is use of language seen as form of social
practice, and discourse analysis is analysis of how texts work within social
cultural practice. Such analysis requires attention to textual form,
structure and organization at all levels; phonological, grammatical;
lexical (vocabulary) and higher levels of textual organization in term of
exchange systems(the distribution of speaking turns), structures of
argumentation, and generic (activity type) structures”. Dari definisi
tersebut dapat kita ketahui bahwa wacana adalah pemakaian bahasa

tampak sebagai sebuah praktik sosial, dan analisis wacana adalah analisis
mengenai bagaimana teks bekerja/berfungsi dalam praktik sosial budaya.
Analisis seperti itu mengutamakan perhatian pada bentuk, struktur, dan
organisasi tekstual pada semua tataran: fonologis, gramatikal, leksikal
(kosakata) dan tataran-tataran yang lebih tinggi dari organisasi tekstual
yang berkenaan dengan sistem perubahan (pembagian giliran percakapan),
struktur argumentasi, dan struktur umum (tipe aktivitas)”.

Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan wacana. Keutuhan itu sendiri
dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi
kewacanaan yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi,
struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya.
Sibarani (Hutasoit, 2012:7) mengatakan “Struktur wacana merupakan
suatu kesatuan, saling berhubungan dan saling mendukung”. Suatu rangkaian
kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bila di dalamnya terdapat hubungan
emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Sebaliknya,
suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap

Universitas Sumatera Utara


kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan
secara semantis.
Menurut Eryanto (Sumarlam, 2004:4) “Memberikan dua batasan wacana,
yaitu (1) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya,
membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di
antara kalimat-kalimat itu. (2) wacana adalah kesatuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan
koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir
yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis”.

Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspekaspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek keutuhan wacana antara lain
kohesi, koherensi, topik wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek
fonologis, dan aspek semantis. Keutuhan wacana didukung oleh setting atau
konteks terjadinya wacana tersebut (rumusan Dell Hymes dengan akronim
Speaking). Secara komprehensif dapat dikatakan bahwa keutuhan wacana dapat
terjadi dari adanya saling keterkaitan antar dua aspek utama wacana, yaitu teks
dan konteks.
Aspek pengutuhan wacana tersebut dikelompokkan ke dalam dua unsur,
yaitu unsur kohesi dan unsur koherensi. Unsur kohesi dan koherensi merupakan

unsur yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dua istilah ini
merupakan satu kesatuan yang selalu melekat. Unsur kohesi meliputi aspek-aspek
leksikal, gramatikal, fonologis, sedangkan unsur koherensi mencakup aspek
semantik dan aspek topikalisasi (Mulyana, 2005:25).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2

Pengertian Kohesi dan Koherensi

2.1.2.1 Kohesi
Konsep kohesi pada dasarnya mengacu pada hubungan bentuk, yaitu
unsur-unsur wacana (kata dan kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu
wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Kohesi termasuk dalam aspek
internal struktur wacana. Sehubungan dengan hal tersebut, Tarigan (Mulyana,
2005:26) mengatakan “Penelitian terhadap unsur kohesi menjadi bagian dari
kajian aspek formal bahasa”. Oleh karenanya, organisasi dan struktur
kewacanaannya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik dan gramatikal.
Moelino, dkk (Mulyana, 2005:26) mengatakan “Untuk memperoleh

wacana yang baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya harus kohesif”. Hanya
dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam wacana dapat
diinterpretasikan sesuai dengan ketergantungannya dengan unsur-unsur lainnya.
Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran pemarkah
(penanda) khusus yang bersifat lingual-formal.
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Ini berarti bahwa
kohesi adalah organisasi sintaktik. Organisasi sintaktik ini merupakan wadah
kalimat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian
organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Gutwinsky (Tarigan,
1987:96) mengatakan “Kohesi adalah hubungan di antara kalimat di dalam
sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun dari segi tingkat
leksikal tertentu”. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan kohesi yang baik,
seorang penulis akan dapat menghasilkan wacana yang baik.

Universitas Sumatera Utara

Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara
struktural membentuk ikatan sintaktikal. Kohesi wacana terbagi ke dalam dua
aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain
adalah referensi, subsitusi, elipsis, dan konjungsi. Sedangkan yang termasuk

kohesi leksikal adalah repetisi, kolokasi, sinonimi, antonimi, dan hiponimi. Kedua
jenis kohesi ini terdapat dalam suatu kesatuan teks. Kohesi ini juga
memperlihatkan jalinan ujaran dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks
atau konteks dengan cara menghubungkan makna yang terkandung di dalam
unsur.

2.1.2.2 Koherensi
Tarigan (Mulyana, 2005:30) mengatakan “Istilah koherensi mengandung
makna pertalian, dalam konsep kewacanaan berarti pertalian atau isi kalimat”.
Keraf (Mulyana, 2005:30) juga mengatakan “Koherensi berarti hubungan timbal
balik yang serasi antarunsur dalam kalimat”. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Wahjudi (Mulyana, 2005:30) mengatakan “Hubungan koherensi ialah keterkaitan
antara bagian yang satu dengan bagian lainnya, sehingga kalimat memiliki
kesatuan makna yang utuh”. Wacana yang koheren memiliki ciri-ciri yaitu
susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi, sehingga mudah diinterpretasikan.
Pendapat-pendapat tersebut diperkuat oleh Brown dan Yule (Mulyana,
2005:30) mengatakan “Koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan
dalam suatu teks atau tuturan”. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat
diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi yang satu
dengan yang lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren


Universitas Sumatera Utara

tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi
antarunsur (bagian) secara semantis. Hubungan tersebut kadang terjadi melalui
alat bantu, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan unsur kohesi.
Suatu wacana bersifat koheren, bukan hanya karena hubungan
antarbagian, melainkan juga karena adanya reaksi tindak ujar yang signifikan dari
pembaca atau pendengar. Jadi, koherensi pada dasarnya memberi ukuran seberapa
jauh kebermaknaan suatu teks.

2.2 Teori Yang Digunakan
Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat
menjadi penuntun bagi kerja penulis dalam memecahkan masalah yang dibahas.
Menurut Atmadilaga (Gurning, 2004:9) “Teori merupakan landasan fundamental
ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberikan jawaban
rasional terhadap masalah yang digarap”.
Penulis menggunakan dua teori dalam menganalisis kohesi dan koherensi
pada upacara marunjuk masyarakat Batak Toba yaitu teori yang dikemukakan
oleh Sumarlam dan Kridalaksana.

Teori yang digunakan dalam menganalisis kohesi pada wacana marunjuk
masyarakat Batak Toba mengacu pada teori Sumarlam.
Sumarlam (2003:23) “Kohesi dalam wacana adalah kepaduan dari segi
hubungan bentuk atau struktur lahir yang bersifat kohesif”. Unsur kohesi wacana
dibagi menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

Universitas Sumatera Utara

a. Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal adalah hubungan antarunsur dalam wacana dari
segi bentuk atau struktur lahir wacana. Aspek gramatikal wacana meliputi:
pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan
perangkaian (conjunction), (Sumarlam, 2003:23).
1. Pengacuan (Referensi)
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (suatu
acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan tempatnya, apakah
acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan
menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang
diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora
apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana.
Pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi
dua jenis lagi, yaitu pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan pengacuan
kataforis (cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi
yang berupa satuan lingual tertentu mengacu pada satuan lingual lain yang
mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur
yang telah disebut terdahulu. Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah
satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada
satuan lingual yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau
mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian (Sumarlam, 2003:23-24).
Kohesi gramatikal pengacuan diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu
pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif.

Universitas Sumatera Utara

a) Pengacuan persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronominal persona (kata ganti
orang) yang meliputi persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik
tunggal maupun jamak.
Klasifikasi pengacuan Pronomina persona sebagai berikut:
1) Persona I
Persona I Tunggal: aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane
Terikat lekat kiri: kuTerikat lekat kanan: -ku
Persona I Jamak: kami, kami semua, kita
2) Persona II
Persona II Tunggal: kamu, anda, anta/ente
Terikat lekat kiri: kauTerikat lekat kanan: -mu
Persona II Jamak: kamu semua, kalian, kalian semua
3) Persona III
Persona III Tunggal: ia, dia, beliau
Terikat lekat kiri: diTerikat lekat kanan: -nya
Persona III Jamak: mereka, mereka semua

Universitas Sumatera Utara

b) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif
tempat (lokasional).
Klasifikasi pengacuan pronominal demonstratif sebagai berikut:
1) Demonstratif waktu
Kini: kini, sekarang, saat ini
Lampau: kemarin, dulu, yang lalu
y.a.d.: besok, depan, yang akan datang
Netral: pagi, siang, sore
2) Demonstratif tempat
Dekat dengan penutur: sini, ini
Agak dekat dengan penutur: situ, itu
Jauh dengan penutur: sana
Menunjuk secara eksplisit: Medan

c) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) adalah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai
kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak,
perilaku, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

2. Penyulihan (Subsitusi)
Penyulihan atau subsitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan
lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi
satuan lingualnya, subsitusi dapat dibedakan menjadi subsitusi nominal, verbal,
frasal, dan klausal (Sumarlam, 2003:28).
a. Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori
nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori
nomina.
b. Subsitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba
(kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba.
c. Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata
atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa.
d. Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau
frasa.

3. Pelesapan (Elipsis)
Pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa
penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan
sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata,
frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain
alah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2)
efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3)

Universitas Sumatera Utara

mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca atau pendengar berfungsi
untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam
satuan bahasa, dan (5) untuk kepratisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi
secara lisan (Sumarlam, 2003:30).

4. Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan
dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam
wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa klausa,
kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya
alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah
alih topik atau pemarkah disjungtif (Sumarlam, 2003:32).
Dilihat dari segi maknanya, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai
bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat
dikemukakan antara lain:
1. Sebab-akibat

: sebab, karena, maka, makanya

2. Pertentangan

: tetapi, namun

3. Kelebihan (eksesif)

: malah

4. Perkecualian

: kecuali

5. Konsesif

: walaupun, meskipun

6. Tujuan

: agar, supaya

7. Penambahan (aditif)

: dan, juga, serta

8. Pilihan (alternatif)

: atau, apa

9. Harapan (optatif)

: semoga

Universitas Sumatera Utara

10. Urutan (sekuensial)

: lalu, terus, kemudian

11. Perlawanan

: sebaliknya

12. Waktu

: setelah, sesudah, usai, selesai

13. Syarat

: apabila, jika (demikian)

14. Cara

: dengan (cara) begitu

b. Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal ialah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis
atau makna. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal dengan
pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara
satuan lingual yang satu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Kohesi leksikal
dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu repetisi
(pengulangan), sinonimi (padan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi
(hubungan atas-bawah), antonimi (lawan kata), dan ekuivalensi (kesepadanan),
(Sumarlam, 2003:35).
1. Repetisi (Pengulangan)
“Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai” (Sumarlam, 2003:35). Pengulangan yang dimaksud bukan
proses

reduplikasi

melainkan

pengulangan

sebagai

penanda

hubungan

antarkalimat dengan adanya unsur pengulangan yang mengulang unsur yang
terdapat dalam kalimat di depannya.

Universitas Sumatera Utara

2. Sinonimi (Padan Kata)
“Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara
satuan lingual dengan satuan lingual lain dalam wacana” (Sumarlam, 2003:39).
Pemakaian dua kata yang bersinonim dalam dua klausa membuat kedua klausa
bertaut.

3. Antonimi (Lawan Kata)
“Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan
lingual yang lain” (Sumarlam, 2003:40). Oleh karena itu antonimi disebut juga
oposisi makna, yang mencakup konsep yang benar-benar berlawanan sampai
kepada yang hanya kontras makna saja. Dua unsur leksikal dikatakan berlawanan
atau antonim jika makna pertentangan atau perlawanan di dalam kedua kata itu.
Dengan dua kata berlawanan dua klausa atau lebih dapat bertaut.

4. Kolokasi (Sanding Kata)
“Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang
cenderung digunakan secara berdampingan” (Sumarlam, 2003:44). Kata-kata
yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain
atau jaringan tertentu. Berbeda dengan hubungan arti dalam sinonim, antonim,
dan hiponim. Kolokasi menunjukkan kemungkinan pemunculan satu kata dengan
kata lain. Dengan defenisi ini, jika satu kata muncul dalam satu klausa, kata lain
sangat besar kemungkinannya untuk muncul di klausa kedua atau kluasa
berikutnya. Dalam bahasa Indonesia dapat diasumsikan bahwa hujan berkolokasi

Universitas Sumatera Utara

dengan deras atau gerimis. Dalam pola hubungan yang sangat erat, satu kata
langsung berpadan dengan yang lain dengan membentuk satu kesatuan, seperti
hujan dan deras menjadi hujan deras.

5. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
“Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain”
(Sumarlam, 2003:45). Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur
atau satuan lingual yang berhiponim disebut hipernim atau superordinat. Dua kata
atau lebih merupakan hiponim jika satu kata merupakan anggota dari kata yang
menjadi kelompoknya. Dengan kata lain, hiponim merupakan rincian atau anggota
dari satu kelompok.

6. Ekuivalensi (Kesepadanan)
“Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu
dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma” (Sumarlam, 2003:46).
Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama
menunjukkan adanya hubungan kesepadanan.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan teori yang digunakan dalam menganalisis koherensi pada
wacana marunjuk masyarakat Batak Toba mengacu pada teori Kridalaksana.
Kridalaksana (Mulyana, 2005:32) mengatakan “Hubungan koherensi
wacana sebenarnya adalah ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu
terjadi antarproposisi. Secara struktural, hubungan ini direpresentasikan
oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan
kalimat lainnya. Hubungan maknawi kadang-kadang ditandai oleh alat-alat
leksikal, namun kadang-kadang tanpa penanda”. Hubungan semantis yang
dimaksud antara lain adalah:
1. Hubungan sebab-akibat
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “mengapa sampai
terjadi begini?” atau kalimat yang satu bermakna sebab dan kalimat
lainnya menjadi akibat.
Contoh: Ia tidak mungkin mendapatkan beasiswa itu. Berkas-berkas
pendaftaran yang sudah ditentukan tidak lengkap.
2. Hubungan sarana-hasil
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “mengapa hal itu
dapat terjadi?” dan hasil itu sudah tercapai.
Contoh: Kecamatan Baktiraja menjadi salah satu objek wisata di
Kabupaten Humbang Hasundutan. Kita tidak usah heran, masyarakat
Baktiraja selalu melestarikan dan peduli akan lingkungannya.
3. Hubungan alasan-sebab
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “Apa alasannya”.
Contoh: Dosen penguji Intan tidak hadir ketika ia mau ujian seminar
proposal. Intan gagal ujian seminar proposal.
4. Hubungan sarana-tujuan
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “apa yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan itu?”. Berbeda dengan hubungan
sarana-hasil dalam sarana-tujuan, belum tentu tujuan tersebut tercapai.
Contoh: Kuasailah bahasa inggris. Jika anda ingin bersaing dalam
Masyarakat Ekonomi Asean.
5. Hubungan latar-kesimpulan
Salah satu bagian kalimat yang menjawab pertanyaan, “bukti apa yang
menjadi dasar kesimpulan itu?”.
Contoh: Kecamatan Baktiraja memiliki objek-objek wisata yang indah.
Rupanya masyarakat Kecamatan Baktiraja selalu merawat dan
menjaga objek-objek wisata tersebut dengan baik.
6. Hubungan kelonggaran-hasil
Salah satu bagian kalimat yang menyatakan kegagalan suatu usaha.
Contoh: Sudah lama saya belajar berbahasa Inggris. Sampai sekarang
ini saya belum bisa berbahasa inggris dengan baik.
7. Hubungan syarat-hasil
Salah satu bagian kalimat yang menjawab pertanyaan: “apa yang harus
dilakukan?” atau “keadaan apa yang harus ditimbulkan untuk
memperoleh hasil?”.

Universitas Sumatera Utara

Contoh: Kuasailah bahasa Inggris dan komputer dengan baik. Anda
akan diterima sebagai tenaga kerja di perusahaan itu.
8. Hubungan perbandingan
Salah satu bagian kalimat menyatakan perbandingan dengan bagian
kalimat yang lain.
Contoh: Tahun ini kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia
meningkat tajam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
9. Hubungan parafrastis
Salah satu bagian kalimat mengungkapkan isi dari bagian kalimat lain
dengan cara lain.
Contoh: Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek
ini, karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita
menghemat uang rakyat.
10. Hubungan amplikatif
Salah satu bagian kalimat memperkuat atau memperjelas bagian
kalimat lainnya.
Contoh: Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu
kandang saja.
11. Hubungan aditif waktu (Simultan dan Beruntun)
Contoh: Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini
(simultan). Kita sudah sampai di Samosir. Langsung ke Hotspring
saja. Habis itu kita mandi dan cari makan di Pangururan (beruntun).
12. Hubungan aditif non waktu
Contoh: Para petani itu malas? Atau kurang beruntung?
13. Hubungan identifikasi
Contoh: Tidak bisa masuk ke Universitas itu tidak berarti bodoh.
Kamu tahu tidak, Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal
masuk ke Universitas.
14. Hubungan generik-spesifik
Contoh: Gadis itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah,
bibirnya sangat menawan. Apalagi jalannya, luar biasa.
15. Hubungan ibarat
Salah satu bagian kalimat memberikan gambaran perumpamaan
(ibarat).
Contoh: Keputusannya selalu berubah-ubah, tidak pernah tetap. Ia
seperti air di daun talas.

Universitas Sumatera Utara