Kohesi dan Koherensi Pada Upacara Marunjuk Masyarakat Batak Toba: Kajian Wacana

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan
paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata,
frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada
dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Kajian wacana
berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan
bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk
memahami wacana dengan baik dan tepat diperlukan bekal pengetahuan
kebahasaan dan bukan kebahasaan (umum).
Chaer (Sumarlam, 2003:11) mengatakan “Wacana adalah satuan bahasa
yang terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi
atau terbesar”. Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam
wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.
Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari kalimat
yang memenuhi persyaratan kewacanaan lainnya (kohesi dan koherensi).
Kekohesian adalah keserasian hubungan antarunsur yang ada. Wacana yang
kohesif bisa menciptakan wacana yang koheren (wacana yang benar).

“Wacana yang padu ialah wacana yang apabila dilihat dari segi hubungan
bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif dan dari segi hubungan makna
atau struktur batinnya bersifat koheren. Sejalan dengan pandangan bahwa
bahasa terdiri atas bentuk (form) dan makna (meaning), maka hubungan
antarbagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan
bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau

Universitas Sumatera Utara

hubungan semantis yang disebut koherensi (coherence), (Sumarlam,
2003:23)”.

Halliday dan Hasan (Sumarlam, 2003:3) mengatakan “Kohesi terbagi
menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi
leksikal (lexical cohesion)”. Dalam analisis wacana, segi makna atau struktur
batin wacana disebut aspek leksikal wacana, sedangkan segi bentuk atau struktur
lahir wacana disebut aspek gramatikal wacana.
Berdasarkan media penyampaian, wacana dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Wacana tulis artinya wacana yang
disampaikan dengan bahasa tulis atau media tulis. Untuk dapat menerima atau

memahami wacana tulis maka penerima atau pesapa harus membacanya. Di dalam
wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan
pembaca. Sementara itu, wacana lisan (spoken discourse) adalah wacana atau
tuturan yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Untuk
dapat menerima dan memahami wacana lisan maka penerima atau pesapa harus
menyimak atau mendengarkannya. “Di dalam wacana lisan terjadi komunikasi
secara langsung antara pembicara dengan pendengar” (Sumarlam, 2003:16). Jenis
wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance),
(Mulyana, 2005:52). Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana lisan tersusun
berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan, sehingga kepaduan makna
dan bentuk pada wacana lisan merupakan faktor yang terpenting.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari
wacana, baik dalam wacana upacara kelahiran, wacana upacara perkawinan,
wacana upacara kematian dan upacara-upacara lainnya. Dalam hal ini wacana-

Universitas Sumatera Utara

wacana yang digunakan harus bersifat kohesif dan koheren, sehingga menjadi
suatu wacana yang memiliki keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian
lainnya yang memiliki kepaduan bentuk dan kesatuan makna yang padu dan utuh.

Karena wacana yang padu dan utuh dapat dimengerti dan dipahami oleh
pendengar apa maksud wacana tersebut.
Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai budaya dan adat istiadat. Salah
satunya adalah upacara adat perkawinan. Gultom (Gurning, 2004:9) mengatakan
“Upacara perkawinan merupakan perpaduan hakekat kehidupan antara laki-laki
dan perempuan menjadi satu dalam membina satu rumah tangga yang baru”.
Menurut Teer Haar (Gurning, 2004:15) “Perkawinan adalah urusan kekerabatan,
urusan keluarga, urusan masyarakat; urusan derajat, dan urusan pribadi satu sama
lain dalam hubungan yang sangat berbeda-beda”. Perkawinan dalam suku Batak
Toba juga pada suku lainnya merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia,
selain panggilan alamiah perkawinan juga dianggap suci dan bahagia untuk
meneruskan keturunan.
Upacara adat perkawinan merupakan ikatan yang dilaksanakan oleh insan
manusia yang disaksikan keluarga kedua belah pihak dilaksanakan sesuai dengan
aturan yang berlaku dalam lingkungan masing-masing untuk membangun rumah
tangga yang baru. Pelaksanaan upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba
merupakan salah satu adat yang sangat memperhatikan tuturan berbahasa. Bahasa
sangat berperan penting dalam membantu berjalannya upacara perkawinan.
Marunjuk (acara adat perkawinan atau pesta adat) adalah acara saat
berlangsungnya upacara perkawinan adat batak Toba. Upacara perkawinan dalam

adat Batak Toba yang disebut marunjuk dapat dibagi dalam dua bentuk atau

Universitas Sumatera Utara

“rumang ni ulaon”, yaitu alap jual dan taruhon jual. Setelah marhusip, salah satu
bentuk perkawinan tersebut harus muncul terlebih dahulu disampaikan pihak
paranak atau pihak laki-laki yang datang melamar ke rumah orang tua pihak
parboru atau pihak perempuan (Simatupang, 2016:65).
Apabila pesta adat (unjuk) itu alap jual, maka pesta adat perkawinan
diselenggarakan pihak parboru di kampung atau di halaman rumahnya. Segala
sesuatu

yang

menyangkut

penyelenggaraan

pesta


menjadi

tugas

dan

tanggungjawab pihak parboru sepenuhnya. Sebaliknya apabila pesta adat unjuk
itu taruhon jual, maka pesta adat perkawinan diselenggarakan oleh pihak paranak
di kampung atau di halaman rumahnya. Semua yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pesta menjadi tugas dan tanggungjawab pihak paranak
(Simatupang, 2016:66).
Pada acara marunjuk ini akan berjalan semua acara perkawinan yang
diawali dari: 1) Marsibuha-buhai artinya awal dari acara marunjuk (pesta unjuk),
2) Manjalo pasu-pasu parbagason artinya menerima pemberkatan nikah di tempat
ibadah, 3) Panomu-nomuan artinya prosesi memasuki tempat acara marunjuk
dilaksanakan dengan menyambut dan menerima kedatangan semua undangan, 4)
Pasahat tudu-tudu ni sipanganon dan dengke simudur-udur (ikan mas) artinya
penyerahan tanda makanan adat Batak Toba, 5) Pasahat tumpak artinya
menyampaikan sumbangan kepada suhut paranak dari semua undangan atau
kerabat, 6) Pasahat sinamot artinya memberikan mahar, 7) Mangulosi artinya

memberikan ulos kepada pengantin dan orang suhut paranak sambil memberikan
nasehat, 8) Paulak une artinya suhut paranak membawa tudu-tudu ni sipanganon
yang akan diserahkan kepada suhut parboru dan maningkir tangga artinya suhut

Universitas Sumatera Utara

parboru akan menyerahkan dengke simudur-udur kepada suhut paranak., dan 9)
Mangujungi ulaon artinya acara penutup di mana pesta unjuk akan resmi selesai
dengan menyimpulkan semua acara adat tersebut.
Tata cara marunjuk pada upacara perkawinan masyarakat Batak Toba
terangkum dalam kebudayaan dan komponen Dalihan Na Tolu yang merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap upacara adat dan
merupakan suatu hal yang mendasari kehidupan masyarakat Batak Toba. “Suku
Batak Toba mengenal adanya sistem kekerabatan yang tercermin dalam Dalihan
Na Tolu” (Simatupang, 2016:2). Dalam struktur Dalihan Na Tolu terdapat tiga
komponen atau pilar yang menopang yaitu:
1. Hula-hula adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula merupakan pihak yang
paling dihormati dan menempati posisi yang paling tinggi, baik dalam
pergaulan sehari-hari maupun dalam upacara adat Batak, karena hula-hula
diyakini sebagai Tuhan yang nampak yang diistilahkan dengan somba

marhula-hula.
2. Dongan Sabutuha/hahaanggi yang disebut dongan tubu adalah pihak satu
marga yang artinya lahir dari perut yang sama. Di dalam persaudaraan, kadang
terjadi perselisihan atau pertikaian di antara mereka. Namun perselisihan itu
tidak membuat hubungan satu marga terputus atau terpisah. Karena dalam
persaudaraan harus saling melengkapi, membantu dan menopang yang
diistilahkan dengan manat mardongan tubu.
3. Boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga
lain). Boru bertugas untuk melayani yang disebut sebagai parhobas atau
pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam upacara adat istiadat

Universitas Sumatera Utara

Batak. Namun pihak boru bukan berarti dapat diperlakukan semena-mena,
melainkan boru harus dibujuk dan diperlakukan dengan baik yang diistilahkan
dengan elek marboru.
Ketiga unsur ini harus dilaksanakan secara selaras, serasi dan seimbang
sesuai fungsi dan peran masing-masing dalam melaksanakan adat istiadat. Bagi
masyarakat Batak Toba Dalihan Na Tolu merupakan falsafah dalam upacara adat
Batak. Dalam upacara adat terjadi interaksi atau komunikasi antara pihak hulahula, dongan tubu, dan boru. Interaksi sosial yang dilakukan oleh ketiga pihak

tersebut disebut dengan wacana.
Alasan penulis mengkaji judul ini, karena wacana atau tuturan berbahasa
dalam upacara marunjuk masyarakat Batak Toba sangat menarik untuk dikaji baik
dari segi bentuk maupun dari segi maknanya dan juga perlu dideskripsikan bentuk
wacana atau tuturan berbahasa yang digunakan oleh masyarakat, supaya dapat
diketahui bahwa pentingnya menggunakan tuturan berbahasa yang baik, sehingga
masyarakat mudah memahami akan makna wacana tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka perlu dilakukan
penelitian tentang analisis kohesi dan koherensi pada upacara marunjuk
masyarakat Batak Toba untuk membuktikan keutuhan dan kepaduan wacana
antarkalimat yang terbentuk dalam upacara marunjuk tersebut sekaligus alasan
penulis untuk mengangkat judul “Kohesi dan Koherensi Pada Upacara Marunjuk
Masyarakat Batak Toba: Kajian Wacana”.

Universitas Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah tahap-tahap upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba?

2. Bagaimanakah bentuk wacana dalam upacara marunjuk masyarakat Batak
Toba?
3. Bentuk kohesi dan koherensi apa saja yang ada di dalam wacana upacara
marunjuk masyarakat Batak Toba?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan tahap-tahap upacara perkawinan pada masyarakat Batak
Toba.
2. Mendeskripsikan bentuk wacana dalam upacara marunjuk masyarakat Batak
Toba.
3. Mendeskripsikan bentuk kohesi dan koherensi dalam wacana upacara
marunjuk masyarakat Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoretis maupun praktis.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan tentang kebahasaan terutama dalam menganalisis kohesi dan
koherensi dalam suatu wacana dan diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat
dalam pengkajian wacana pada penelitian berikutnya.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah perbendaharaan pengetahuan pembaca atau pembelajar bahasa ke
arah pengkajian wacana.
2. Memberikan kontribusi bagi pembaca berupa pengetahuan dalam menciptakan
sebuah wacana yang utuh dan padu melalui analisis kohesi dan koherensi.
3. Memberikan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif bagi pembaca
tentang seluk-beluk wacana di sekitarnya.
4. Menjadikan arsip di Departemen Sastra Daerah untuk dibaca oleh mahasiswa
Sastra Daerah.
5. Bagi penulis sendiri, penulisan ini dapat menambah wawasan dalam penulisan
karya ilmiah dan dapat dijadikan pedoman di kemudian hari.

Universitas Sumatera Utara