Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu

Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun
Bagus Riadi
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abu Al-Abbas bin Abd Al-Hakim bin Abd AsSalam, hidup pada 661-728 H. Ibnu Taimiyah adalah seorang pemikir Al-Quran yang sangat
menentang bid’ah dan semua hal yang diyakininya telah jauh dari kebenaran. Karena
sikapnya tersebut Ibnu Taimiyah dimusuhi banyak kelompok islam karena dianggap
menentang arus dan pendapatnya berbeda dengan kebanyakan ulama. Beliau berkali-kali
masuk penjara dan meninggal dalam penjara.
Pada masa Khulafaur Rasyidin dan daulah Amaiyah umat islam telah memiliki
kekuasaan yang kuat. Namun kekuasaan umat Islam mulai terpecah ketika terjadi konflik
antara Amawiyah dan Abassiyah. Dari konflik tersebut mengakibatkan berdirinya daulah
Abbasiyah di Timur dan daulah Amawiyah di Barat (Spanyol). Pada masa daulah Abbasiyah
Islam sampai pada puncak kejayaanya dimana terjadi stabilitas ekonomi, politik, sosial dan
kemajuan ilmu pegetahuan. Namun daulah Abbasiyah pada akhirnya runtuh karena terjadi
enyerbuan oleh bangsa Tartar.
Terdapat dua peristiwa besar di Mesir dan Syam yang membawa dampak negatif yang
besar dari perspektif politik dan sosial bagi umat Islam. Pertama, penyerbuan pasukan Tartar
terhadap Baghdad, Syam, dan Mesir. Kedua, Penyerbuan Pasukan Salib dari Perancis ke
Mesir dan Syam. Penyerbuan Pasukan Tartar menyebabkan runtuhnya Abbasiyah dan
munculnya dinasti Mamalik di Mesir. Ibnu Taimiyah hidup pada masa masyarakat heterogen
pada aspek sosial, agama, mazhab, norma. Dalam hidupnya beliau bertemu dengan orangorang Turki, Perancis, Mesir, Syam, Irak, Tartar dan sebagainya. Mereka tentunya memiliki
adat, tradisi, etika, dan pemikiran yang berbeda. Latar belakang ini tentunya sangat

membentuk dan mempengaruhi pemikiran politik Ibnu Taimiyah.
Tulisan Ibnu Taimiyah yang paling penting dalam bidang pemikiran politik adalah AsSiyasah Asy-Syari’iyah fi Ishlah Ar-Ra’iwa Ar-Ra’iyah (politik berdasarkan syari’ah bagi
penguasa dan rakyat). Dalam tulisannya ini Ibnu Taimiyah berusaha memperbaiki keadaan
masyarakat yang telah rusak akibat Perang Salib dan Tartar. Ibnu Taimiyah berusaha
memperbaiki ini dengan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dan berpegang pada
prinsip agama. Hal ini berseberangan dengan para permikir Barat yang justru memisahkan
agama terhadap politik. Salah satunya Machiavelli (1469-1517) yang berpendapat bahwa
kerusakan politik diakibatkan adanya intervensi agama dan etika dalam politik. Selain itu
Thomas Hobbes (1583-1679) ia mengatakan bahwa perlu untuk menjauhkan kekuasaan
agama dari urusan politik, dan agama harus tunduk pada kekuasaan negara. Hal yang
mendasari pemikiran Taimiyah bahwa negara harus berlandaskan agama adalah karena
Taimiyah merupakan saksi hidup kerusakan dan kehancuran daulah Islamiyah akibat serbuan
bangsa Tartar dan Pasukan Salib. Kerusakan ini dapat diatasi apabila Islam kembali pada AlQuran dan As-Sunnah. Pada Buku As-Siyasah Asy-Syar’iyyah terdapat tiga bahasan utama
yakni menguraikan penyampaian amanat, khususnya tentang penunjukan dan pengangkatan
pejabat negara, pelaksanaan hukum pidana yang berkaitan dengan hak Tuhan dan hak
manusia, dan terakhir pembahasan tentang musyawarah dan pentingnya negara.
Dalam hal penyampaian amanat, Ibnu Taimiyah berpendapat menyangkut pad dua
hal: kepemimpinan dan harta. Menurutnya, raja atau sultan harus mengangkat para pejabat
berdasarkan kualitasnya yang terbaik,bukan karena kedekatannya. Seseorang harus


ditempatkan pada jabatan yang sesuai dengan bidang dan keahliannya. Berdasarkan hadits
shahih Rasulullah, Ibnu Taimiyah juga berkata bahwa tidak boleh mengangkat seseorang
pada jabatan tertentu karena dia menginginkan dan memintanya. Dalam hal pengelolaan
kekayaan negara, rakyat idak dibenarkan menolak membayar kewajiban yang telah
ditentukan kepala negara walaupun ia seorang yang dzalim. Hal ini berdasarkan hadits Nabi
SAW “bayarkan saja kewajiban kalian yang harus diserahkan kepada mereka.
Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan mereka”.
Syarat bagi pengelola harta negara adalah ia tidak menggunakannya atas dasar hawa
nafsunya.
Pelaksanaan hukum oleh Ibnu Taimiyah dibagi atas yang berkaian dengan hak Allah
dan hak manusia. Para penguasa wajib hukumnya menegakkan hukum Allah tersebut sebab
hukum-hukum tersebut sudah digariskan secara jelas dalam Al-Quran. Hukum ini berkaitan
dengan hak Allah dan manfaat hukum ini bukan hanya untuk sekelompok orang tetapi untuk
seluruh umat manusia. Diantaranya adalah hukuman penyamun, pencuri, pezina, dsb. Hukum
pidana yang berkaitan dengan hak manusia, contohnya adalah hukum qisas. Islam
memperbolehkan hukum qisas, tetapi Islam menyarankan agar pihak yang merasa dirugikan
memaafkan kesalahan pelaku tindak pidana. Pemberian maaf itu lebih baik daripada qisas.
Dala hal musyawarah, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kepala negara tidak boleh
meninggalkan musyawarah karena Allah sendiri telah memerintahkan musyawarah kepada
Nabi-nya. Karena dengan musyawarah tidak akan ada pemaksaan penerapan satu gagasan

yang dikehendaki penguasa. Dengan musyawarah kepala negara akan mempertimbangkan
pendapat ulama, fuquha, dan pakar di berbagai bidang. Pembahasan mengenai pemerintahan
adalah tema kedua dalam buku Ibnu Taimiyah. Ia menegaskan bahwa mendirikan
pemerintahan merupakan kewajiban suatu negara. Karena tanpa adanya pemerintahan, agama
tidak akan berdiri tegak, dan tanpa adanya kerjasama tidak mungkin bagi umat untuk
mencukupi kebutuhannya. Alasan lainnya adalah bahwa pemerintahan sangat diperlukan
untuk menegakkan ammar ma’ruf nahi munkar (berbuat kebaikan dan menjauhi
kemunkaran).
Perbedaan penting antara pemikiran Ibnu Taimiyah dengan Marxisme adalah, Ibnu
Taimiyah mengataka perlunya keberadaan sultan (kepala negara). Sedangka Marrxisme
menghendaki adanya masyarakat tanoa kelas. Marxisme tidak memandang perlu seorang
pemimpin dan suatu sistem pemerintahan dalam arti negara. Menurut Ibnu Taimiyah
berdasarkan hadits Rasulullah mengatakan bahwa adanya seorang kepala negara yang zalim
lebih baik daripada tidak adanya.
Pemikiran politik yang selanjutnya adalah datang dari Ibnu Khaldun, Beliau
berpendapat bahwa adanya suatu organisasi masyarakat adalah suatu keharusan. Dijelaskan
pula pentingnya manusia untuk saling tolong menolong dalam usaha mempertahankan
spesiesnya. Ibnu Khaldun membericaran tentang pengaruh faktor-faktor geografi dalam
membentuk suatu organisasi masyarakat. Sherwany menjelaskan bahwa teori Ibnu Khaldun
ini telah mendahului teori yang dijelaskan Jean Bordin dan Montesquieu.

Terdapat dua jenis masyarakat menurut Ibnu Khaldun yakni masyarakat nomad dan
masyarakat kota. Dalam Teori Ashabiyahnya beliau menjelaskan bahwa masyarakat nomad
memiliki ashabiyah (solidaritas kelompok) yang lebih kuat daripada masyarakat kota. Oleh
karenanya Ashabiyah tersebut bertujuan untuk memperoleh kekuasaan. Setelah memperoleh
kekuasaan kaum nomad tersebut akan membangun peradabannya hingga pada akhirnya
berubah menjadi masyarakat kota. Dalam bukunya dijelaskan juga bahwa Ashabiyah

berpengaruh terhadap luas negara dan usia negara. Dalam bukunya, Ibnu Khaldun juga
mengemukakan tentang sistem pemerintahan, dan dijelaskan seperti apa pemerintahan itu
dibentuk dan pejabat apa saja yang harus diangkat oleh seorang kepala negara.