Relasi Birokrasi dan Politik docx

AGUS MAARIF
13 / 348056 / SP / 25760
UJIAN AKHIR SEMESTER : BIROKRASI
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN FISIPOL UGM

RELASI BIROKRASI DAN POLITIK
Birokrasi dan politik bagaikan dua buah sisi mata uang yang berbeda namun saling
mengisi antara satu sama lain. Keduanya saling memberikan kontribusi bagi pelaksanaan
pemerintahanan yang baik dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Bagaikan sepasang pemuda yang
sedang berpacaran, birokrasi dan politik terkadang menimbulkan rasa ”cinta” maupun ”benci”, di
satu sisi mereka ingin selalu bersama karena ada rasa cinta namun di sisi lain harus berdiri
sendiri karena adanya perasaan benci. Namun jika dilihat dari fenomena yang terjadi pada saat
sekarang ini, birokrasi dan politik bagaikan sebuah hal rumit yang hanya dapat diakses oleh
orang-orang yang memiliki jabatan saja dan akan nampak susah jika akan diakses oleh orang
”biasa-biasa saja”. Memang menjadi sebuah ironi ketika ada sebuah politisasi birokrasi yang
menyebabkan birokrasi hanya dapat bermanfaat bagi segelintir orang dan birokrasi bagaikan
barang pribadi. Birokrasi sebagai suatu sistem organisasi formal pertama kali dikemukakan oleh
Max Weber pada tahun 1947. Max Weber mengartikan birokrasi sebagai “ideal type of
organization” yang mempunyai ciri-ciri:
1. Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggung jawab yang
didefinisikan dengan jelas

2. Kantor diorganisasikan secara hierarki atau adanya rangkaian komando
3. Pejabat manjerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan dengan pendidikan
dan ujian
4. Peraturan dan pengaturan mengarah pada pelaksanaan pekerjaan
5. Hubungan antara manajer dengan karyawan berbentuk impersonal
6. Pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat.1

1 Widodo, Joko. 2005. “Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja”, Malang : Bayumedia
Publishing.

1

Sedangkan institusi politik berkarakter demokrasi yang ditandai oleh adanya kebebasan sipil dan
politik, seperti kebebasan berbicara, menulis, berkumpul dan berorganisasi, dan perdebatanperdebatan politik. Target utama dari birokrasi ini adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal
mungkin. Birokrasi memainkan peran aktif di dalam proses politik di kebanyakan negara dan
birokrasi menggunakan banyak aktifitas-aktifitas yang diantaranya adalah tentang usaha paling
penting dalam implementasi pembuatan undang-undang, persiapan proposal legislatif, peraturan
ekonomi, lisensi dalam perekenomian dan masalah-masalah professional, dan membagi
pelayanan kesejahteraan.2
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yang

berarti pejabat yang memiliki yurisdiksi jelas dan pasti, memiliki tugas dan tanggung jawab
resmi (official duties) serta batas kewenangan yang jelas, tersusun dalam hierarki sebagai
perwujudan otoritas tingkat kekuasaannya, mendapat penghasilan gaji sesuai dengan keahlian
dan kompetensi yang dimiliki, tunjangan-tunjangan berdasarkan keahlian,

kompetensi dan

tingkatan hierarki jabatannya serta proses komunikasinya didasarkan dokumen tertulis dan
formalistis. (Miftah Thoha, 2007, 2). Pejabat birokrasi pemerintah adalah pusat dari segala
penyelesaian urusan masyarakat karena itu masyarakat sangat tergantung pada pejabat birokrasi,
bukannya pejabat yang tergantung pada masyarakat. Birokrasi pemerintahan merupakan suatu
kekuatan yang besar, lebih lagi bagi sebuah negara yang sedang dalam proses membangun.
Keistimewaan birokrasi sebagai kerajaan pejabat ini seringkali dapat mendatangkan sebuah
resiko berupa politisasi birokrasi. Politisasi birokrasi bukan menjadi sebuah hal yang baru bagi
birokrasi di Indonesia namun sudah menjadi sebuah persoalan sejak zaman kolonial hingga era
sekarang.3 Politisasi birokrasi nampaknya akan terus berkembang karena para pejabat birokrat
yang haus akan kekuasaan dan mengikutinya egonya masing-masing terus terlihat dan bahkan
terlihat lebih banyak dan akan selalu ada dalam lingkungan birokrasi.
Konsep Birokrasi dan Politik
Politik pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan (power). Politik merupakan

sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain dengan cara-cara tertentu.
Seseorang berpolitik orientasinya adalah memperoleh kekuasaan, logikanya setelah berkuasa
dengan kekuasaan yang dimiliki maka ia akan menanamkan pengaruhnya kepada orang lain.
2 Aisyah, Dara, “Hubungan Birokrasi dan Demokrasi”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.
3 Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

2

Ketika sedang berkuasa maka biasanya akan lebih mementingkan orang-orang yang
membantunya dalam memperoleh kekuasaan. Menurut Budiardjo, politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa politik yang dijalankan oleh sutu negara harus dilaksanakan dengan tujuan
menyejahterakan rakyat bukan hanya menguntungkan salah satu pihak. Hal semacam ini yang
menjadi sebuah permasalahan besar bagi Indonesia, di mana ketika mereka berkuasa seperti
kacang lupa dengan kulitanya. Menggunakan kekuasaan seenaknya sendiri dan tidak peduli
dengan masyarakat, mereka lupa dari mana asalnya dan sama sekali tidak menyejahterakan
rakyat dan bahkan terkadang menyengsarakan rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang
”mencekik rakyat”.
Konsep-konsep pokok yang terkait dengan politik adalah:

1. Negara (state)
2. Kekuasaan (power)
3. Pengambilan kebijakan (decesion making)
4. Kebijakan (policy)
5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) kekuasan.4
Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan
birokrasi pemerintah. Jabatan-jabatan dalam suatu departemen di Indonesia terdiri dari jabatan
politik (non-karir) dan jabatan birokrasi (karir). Implikasinya adalah politisi-politisi yang
memperoleh kekuasaan politik melalui pemilihan umum menempati jabatan politik sebagai
pimpinan departemen, sedangkan jabatan di bawahnya seperi jabatan Sekjen, Dirjen dan Irjen
dijabat oleh pegawai-pegawai profesioanal. Oleh karena itu, perlu dibedakan antar jabatan politik
dan jabatan birokrasi karena pada dasarnya keduanya merupakan dua hal yang berbeda namun
saling melengkapi satu sama lain.
Berikut ini adalah perbedaan antara jabatan politik dan jabatan birokrasi berdasarkan
beberapa aspek :
No
1
2

Variabel Pembeda

Cara pengangkatan

Jabatan Politik
Dipilih lewat

Jabatan Birokrasi
Diangkat berdasarkan

Masa jabatan

mekanisme pemilu
Ditentukan

kualifikasi tertentu
Seumur hidup

berdasarkan peraturan
4 Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

3


yang ada (biasanya 5
3

Sifat jabatan

tahun)
Sewaktu-waktu

bisa Tidak bisa

diberhentikan

diberhentikan kecuali
yang bersangkutan
meminta

4

Pertanggungjawaban


Bertanggungjawab
terhadap

diberhentikan
Bertanggungjawab

konstituen terhadap negara

yang memilihnya
Wilson dan Goodnow menjelaskan tentang perbedaan antara politik dan birokrasi di
mana politik ada dalam ranah kebijakan (policy) dan birokrasi di ranah administrasi
(administration). Perbedaan kedua institusi tersebut tentunya akan melahirkan pola relasi yang
dinamis. Dinamika terjadi ketika proses politik berlangsung, saat birokrasi dan politik samasama menjalankan proses penyusunan aturan-aturan seperti undang-undang, peraturan daerah,
dan sebagainya. Kemudian intensitas relasi dinamis juga terjadi saat birokrasi menjalankan
fungsi implementasi kebijakan berhadapan dengan institusi politik yang melakukan pengawasan.
Pola relasi yang dinamis antara politik dan birokrasi terjadi ketika ada keseimbangan relasi
diantara keduanya. Pola relasi yang seimbang bukan pola relasi yang saling berkolaborasi diatas
kepentingan masing-masing dengan meninggalkan kepentingan masyarakat. Pada dasarnya
institusi politik dengan nilai demokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam

proses pembangunan suatu daerah, akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam daerah maka akan
semakin rendah demokrasi lokal dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin
tinggi demokrasi.5
Realita Relasi Politik dan Birokrasi di Indonesia
Berbicara tentang birokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kata kaku, ribet,
melelahkan bahkan bisa juga menjengkelkan. Apalagi digabungkan antara kata birokrasi dan
politik, pasti dua kata ini menjadi sebuah paradigma yang negatif di kebanyakan masyarakat di
Indonesia. Politik yang dianggap sebagai sebuah hal yang kotor akan lebih buruk lagi citranya
ketika dikaitkan dengan birokrasi yang kesannya ribet, kaku, dll. Pandangan seperti itu tidak bisa
5 Martini, Rini. 2012. Birokrasi dan Politik. Semarang : UPT UNDIP Press Semarang.

4

disalahkan ketika banyak sekali praktek politisasi birokrasi yang dilakukan oleh para birokrat
yang

bertujuan

untuk


kepentingan

diri

sendiri

serta

orang-orang

terdekatnya

dan

mengesampingkan kepentingan masyarakat secara umum. Padahal tugas utama dari birokrasi
adalah melayani masyarakat bukan melayani nafsu pribadi serta melaksanakan pekerjaannya
secara cepat dan terorganisir. Birokrasi yang seharusnya lebih mengutamakan kepentingan umum
pada kenyataannya justru lebih mengutamakan kepentingan pribadi saja. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai macam permasalahan birokrasi yang hampir diketahui oleh seluruh lapisan
masyarakat, seperti fenomena suap menyuap antar anggota, adanya pungli dalam pembuatan

ktp/stnk/sim, hingga dalam pelayanan yang lebih mengutamakan kaum menengah ke atas dari
pada kaum menengah ke bawah. Praktek kecurangan yang ada di dalam birokrasi acapkali
dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan politik para elite birokrasi. Politik memang merupakan
sebuah hal yang akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, dan yang terpenting adalah
bagaimana caranya untuk menyikapi hal tersebut sehingga tidak merubah sebuah tatanan yang
sudah ada.
Maraknya berbagai macam persoalan birokrasi, baik yang berskala mikro ataupun makro
tidak dapat dilepaskan dari banyaknya pejabat birokrasi yang berlindung di dalam kekuatan
politik yang membawanya menjadi seorang birokrat. Banyak masalah birokrasi yang terjadi
Indonesia yang sebenarnya bukan menjadi masalah baru namun masalah yang sudah ada sejak
zaman birokrasi masih “muda”, dan sejak saat itu juga birokrasi tidak dapat dilepaskan dari
bayang-bayang politik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya keduanya memang saling
berhubungan antara satu sama lain. Birokrasi yang merupakan pemegang peran sentral dalam
urusan yang berhubungan dengan masyarakat sering dihadapkan pada situasi dilematis, di mana
birokrasi sering dijadikan sebagai alat politik untuk memperoleh atau mempertahankan sebuah
kekuasaan dalam pemerintahan. Penggunaan birokrasi sebagai alat kepentingan politik oleh
beberapa oknum yang ada di birokrasi memang terbukti berhasil karena sebagian besar
menggunakan pencitraan dalam birokrasi untuk memeperoleh kekuasaan. Jika harus memisahkan
antara birokrasi dan politik memang menjadi hal yang sulit karena pada realitanya birokrasi sulit
lepas dari bayang-bayang politik, mengingat kebanyakan pemimpin-pemimpin birokrasi berasal

dari para politisi yang menduduki jajaran petinggi dalam partai politik. Ketika para petinggi
partai duduk di lingkungan birokrasi maka bukan tidak mungkin orang tersebut akan lebih
mengutamakan kepentingan partainya serta kepentingan orang yang berpartai sama dengannya
5

dalam setiap pengambilan kebijakan maupun dalam melayani masyarakat. Dengan adanya hal
semacam itu maka tugas birokrasi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melayani
masyarakat akan susah terwujud dan tetap saja menguntungkan beberapa pihak saja. Untuk
mengembalikan peran birokrasi yang sesungguhnya yaitu sebagai administrator publik yang
berorientasi pada profesionalisme dan efisiensi pelayanan publik diperlukan adanya reformasi
birokrasi karena sejatinya ada beberapa oknum yang memainkan birokrasi untuk kepentingan
beberapa pihak saja.
Menurut Miftah Thoha (2003) sangat sulit dihindarkan motif politik di dalam tubuh
birokrasi dan dapat dikatakan mustahil. Birokrasi bahkan telah menjadi kekuatan politik dengan
posisinya sebagai pemilik jaringan struktur hingga ke basis masyarakat, penguasaan informasi
yang memadai, dan kewenangan eksekusi program dan anggaran. Eksistensi birokrasi sebagai
alat atau mekanisme untuk mencapai tujuan yang baik dan efisien dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan publik atau motif politik tertentu.6 Situasi ini digambarkan seperti masuknya
peranan pejabat publik dalam proses tatanan administrasi pemerintahan Hal ini yang kemudian
menjadikan birokrasi menjadi instrument of power yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan
sumber kekuasaan itu sendiri. Aktivitas birokrasi akan dipengaruhi oleh perubahan kepentingan
internal orang-orang yang ada di dalamnya. Birokrasi sebagai kekuatan politik sarat dengan
kepentingan politik seperti mempertahankan kekuasaan. Para pejabat birokrasi akan mencari cara
untuk dapat mempertahankan kekuasaannnya dan bahkan dengan cara yang menyimpang
sekalipun dan bahkan cara menyimpanglah yang biasanya paling sering ditempuh oleh para
birokrat.
Relasi antara politik dan birokrasi yang menunjukan hubungan antara atasan dan
bawahan sangat rentan sekali disalahgunakan, terutama oleh para aktor yang berada di atas.
Contohnya, kepala daerah dapat mengeluarkan kebijakan apa saja terhadap birokrasi yang
sesungguhnya menjadi “area kerja” internal birokrasi. Seorang bupati bisa memasukkan dan
mendudukkan “orang-orangnya” di jajaran birokrasi. Akibatnya di berbagai wilayah, kepala
daerah bersikap layaknya raja yang bertindak bebas terhadap birokrasi. Bahkan seorang kepala
daerah bisa “memainkan” birokrasi seperti melakukan mutasi, merekrut dan memasang orangorang kepercayaan tanpa melihat kualitas yang dimilikinya, serta memanfaatkan seluruh
instrumen birokrasi untuk kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Intervensi politik
6 Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

6

terhadap birokrasi memang sulit dihindarkan. Ada beberapa hal yang menyebakan mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pertama, masih kuatnya primordialisme politik, dimana ikatan kekerabatan,
politik balas budi, keinginan membagun pemerintahan berbasis keluarga, mencari rasa aman, dan
perilaku oportunis birokrat. Kedua, mekanisme check and balance belum menjadi budaya dan
belum dilaksanakan dengan baik. Ketiga, kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk
korup sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt”. Keempat,
rendahnya kedewasaan parpol dan ketergantungan tinggi terhadap birokrasi. Kelima, kondisi
kesejahteraan aparat birokrat atau PNS di daerah yang rendah cenderung melahirkan praktek rent
seeking melalui aktivitas politik tersembunyi demi mendapat income tambahan. Keenam,
perangkat aturan yang belum jelas dan mudah dipolitisasi, seperti lemahnya instrumen
pembinaan pegawai, kode etik belum melembaga, adanya status kepada daerah sebagai pembina
kepegawaian, dan rangkap jabatan kepala daerah dengan ketua umum parpol. Sebab-sebab
sebagaimana telah dijelaskan tersebut masih sangat kuat terlihat di daerah di Indonesia.
Implikasinya, pola relasi politik dengan birokrasi cenderung berjalan secara tidak sehat. Relasi
politik - birokrasi tidak pada posisi balance, kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pejabat
birokrasi atas arahan politik banyak yang tidak sesaui mekanisme dan persyaratan yang ada,
sehingga semakin menjauhkan profesionalisme dan netralitas birokrasi.
Sumber daya politik atau kekuasaan yang dimiliki oleh birokrasi setidaknya mencakup 4
aspek7 :
1. Aspek legal
Berupa kontrol yang dilakukan oleh birokrasi terhadap implementasi kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh para politisi.
2. Aspek material
Berupa akses birokrasi kepada penggunaan anggaran belanja negara, peralatan seperti computer,
data, dan sumber daya manusia yang handal.
3. Aspek strategis-operasional
Berupa keunggulan birokrasi dalam hal keahlian, pengetahuan, spesialisasi, kontrol informasi
serta keputusan.
4. Aspek tindakan politik

7 Suwarno. Birokrasi Indonesia : Perspektif Teoritik dan Pengalaman Empirik. Jurnal
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

7

Berupa kemampuan birokrasi dalam memanfaatkan semua sumber daya yang dimilikinya untuk
dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efisien ataupun untuk mengejar tujuan sesuai
dengan keinginannya masing-masing.
Dilema Birokrasi dan Politik
Kontradiksi dari peran birokrasi dalam banyak hal menyebabkan perselisihan politik
antara birokrat dengan politisi. Perselisihan antara birokrat dan politisi terjadi dalam berbagai
tatanan yang ada di dalam masing-masing lembaga. Perselisihan dan konflik politik acapkali
disebabkan oleh peran birokrasi yang tidak pernah didefinisikan secara jelas, baik dalam ranah
politik maupun dalam ranah non politik sehingga menyebabkan dilema diantara birokrasi dan
politik.8 Dilema antara birokrasi dan politik antara lain :
1. Birokrasi sebagai sumber keuntungan tertentu
Birokrasi acapkali dijadikan sebagai alat kepentingan politik bagi para peserta pemilu, misalnya
dalam kampanye seringkali para pejabat birokrat yang sedang berkampanye menjadikan jabatan
birokratnya sebagai alat untuk pengenalan diri ataupun “jual diri” kepada masyarakat. Selain itu
birokrasi juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menjembatani akulturasi kepentingan serta
birokrasi juga merupakan sebuah instrument yang dapat digunakan untuk menjawab janji-janji
politik.
2. Birokrasi sebagai sumber patronase dan keuntungan politik dalam menginisiasi
kebijakan
Dalam pembuatan kebijakan yang ada di lingkungan pemerintahan, birokrasi sering dijadikan
sebagai alat tukar menukar kepentingan politik antara pihak satu dan pihak lain. Hal ini bertujuan
agar terciptanya sebuah kebijakan yang dapat menguntungkan masyarakat secara universal.
Bentuk tukar menukar kepentingan politik yang ada di dalam birokrasi dapat berupa konsesi
kebijakan, janji kebijakan, dan konsesi proyek dalam implementasi kebijakan.
3. Birokrasi sebagai sumber loyalitas politik
Dalam berbagai proses politik, politisi relatif menggunakan janji politik untuk membangun
loyalitas dan komitmen dengan birokrasi. Namun demikian, pada saat yang bersamaan birokrasi
sering digunakan sebagai instrumen untuk mendistribusikan sejumlah political rewards kepada
para pendukung politisi.
4. Birokrasi sebagai instrument untuk membangun sebuah kebijakan yang efektif
8 Mashuri Maschab. Kekuasaan Birokrasi : Sebuah Dilema bagi Demokrasi. Powerpoint
materi perkuliahan birokrasi

8

Sebuah dukungan politik memerlukan kebijakan yang efektif untuk menciptakan hubungan
antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, sehingga keberlanjutan dukungan politik sangat
bergantung pada :


Pembuatan kebijakan ekonomi yang kompeten



Kemajuan dalam penyediaan barang publik



Penarikan pajak yang adil dan efektif



Alokasi yang rasional terhadap sektor privat.

9

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Dara, “Hubungan Birokrasi dan Demokrasi”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.
Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Martini, Rini. 2012. Birokrasi dan Politik. Semarang : UPT UNDIP Press Semarang.
Mashuri Maschab. Kekuasaan Birokrasi : Sebuah Dilema bagi Demokrasi. Power Point Materi
Perkuliahan Birokrasi
Suwarno. Birokrasi Indonesia : Perspektif Teoritik dan Pengalaman Empirik. Jurnal Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Widodo, Joko. 2005. “Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja”, Malang : Bayumedia
Publishing.

10