Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada sopir Angkutan kota ditinjau dari Indeks Massa Tubuh, Lingkar Leher, dan Usia
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Tidur
2.1.1. Definisi
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan rangsang
lainnya (Guyton dan Hall, 2008). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan
dalam tidur adalah Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing
Regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter dan Perry, 2005).
2.1.2. Fisiologi
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan
saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesensefalon
dan bagian atas pons yang dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri,
perabaan dan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk
rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS
akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat
tidur, disebabkan adanya pelepasan serotonin dari sel khusus yang berada di pons
dan batang otak, yaitu BSR (Potter dan Perry, 2005).
Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya yaitu:
1. Fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga Active Sleep
2. Fase nonrapid Eye Movement (NREM) disebut juga Quiet Sleep
NREM terdiri dari 4 fase yaitu :
a. Fase 1
Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya
gelombang teta (4-7 Hz) pada gelombang EEG (elektroensefalografi). Pada
EOG (elektrokulogram) tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih
banyak gerakan mata berputar yang lambat dan terjadi penurunan potensial
EMG (elektromiogram). Pada fase ini, orang bisa dibangunkan dengan mudah.
(Arifin et al, 2010).
5
Universitas Sumatera Utara
6
b. Fase 2
Fase 2 atau disebut juga light sleep merupakan fase pertama menuju true sleep
(Tortora dan Derrickson, 2009). Pada tahap ini terdapat kumparan tidur (sleep
spindles), yakni letupan kumparan pendek pada gelombang alfa yang timbul
secara periodik (Guyton dan Hall, 2008).
c. Fase 3
Fase 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam (Tortora dan Derrickson,
2009). Pada fase ini, gelombang delta menjadi lebih banyak dan fase ini lebih
lama pada dewasa tua, tetapi lebih singkat pada dewasa muda (Arifin et al,
2010). Orang yang sudah berada di fase 3 biasanya sulit untuk dibangunkan
(Tortora dan Derrickson, 2009).
d. Fase 4
Fase 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam. Pada fase ini gelombang
EEG didominasi oleh gelombang delta sekitar 50 % (Tortora dan Derrickson,
2009).
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata
tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal.
Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005). Fase REM umumnya dapat
dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian akan mulai kembali ke fase
permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90 menit. Setelah itu muncul
fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari eye movement (EM) dan lebih
banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan berulang kembali setiap 75-90
menit. Siklus ini terjadi 4-5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga
orang normal dengan lama tidur 7-8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan
lama tiap tiap siklus 75-90 menit (Arifin et al, 2010).
Siklus tidur pada tiap individu berbeda dan relative dipengaruhi oleh usia,
sebagai contoh pola tidur pada laki-laki muda (20-29 tahun), pertengahan (40-49
tahun), dan tua (70-90 tahun) akan memberikan gambaran pola tidur yang
berbeda. Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur
menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua, tidur sering terlihat
Universitas Sumatera Utara
7
gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda 15
% waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan pada
orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu pasca
pubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa tidur menjadi
lebih
singkat
sehingga
menyebabkan
berkurangnya
kesegaran
sesuai
bertambahnya usia (Arifin et al, 2010).
2.1.3. Sistem Pernapasan saat tidur
Pada orang normal, fungsi respirasi akan menurun selama tidur karena
adanya hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi mengalami
perubahan saat tidur dan berbeda untuk masing-masing NREM sleep dan REM
sleep. Selama NREM sleep, ventilasi akan menurun dan volume tidal juga
menurun sehingga frekuensi napas juga ikut menurun Ventilasi selama REM sleep
juga menurun dibandingkan saat kondisi bangun. Pada orang dewasa normal,
selama tidur volume tidal menurun 15-20 % dan lebih dangkal pada stage REM
dibandingkan dengan stage NREM (Pack, 2008).
Penurunan fungsi respirasi yang terjadi selama tidur pada orang normal
pada fase REM akan meningkatnya tahanan atau resistensi dari saluran napas atas
yang disertai dengan penurunan tonus otot genioglossus, soft palate, diafragma,
dan interkostal. Penurunan mucocilliary clearance dan reflex batuk juga terjadi
selama tidur sehingga akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang
berpengaruh terhadap orang normal, tetapi merupakan keadaan yang mengancam
jiwa pada penderita asma sleep apnea atau keadaan kelainan sistem pernapasan
yang lain (Pack, 2008).
Pada penderita OSA, tahanan atau resistensi saluran napas atas meningkat
10 kali lipat dibandingkan dengan orang normal yang hanya meningkat 2-4 kali
lipat. Sehingga pada keadaan tidur, sistem respirasi penderita OSA akan mendapat
tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan tahanan saluran
napas atas. Peningkatan tahanan saluran napas atas yang progresif menyebabkan
penurunan atau penghentian aliran udara sehingga saturasi oksihemoglobin
(SaO2) mengalami penurunan. Keadaan seperti adanya hambatan jalan napas,
Universitas Sumatera Utara
8
peningkatan resistensi saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia merupakan
stimulus dari sistem pernapasan yang dapat memicu keadaan terbangun dari tidur
(Arifin et al, 2010).
Oleh karena itu, pada penderita OSA sering terjadi episode terbangun yang
berulang dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hal
tersebut yang dapat mengganggu aktivitas pada siang hari, mengakibatkan defisit
pada neurokognitif serta menimbulkan kondisi medis yang sangat lemah seperti
hipertensi, depresi, dan kecelakaan yang berhubungan dengan rasa kantuk
(Downey, 2012).
2.2.
Obstructive Sleep Apnea (OSA)
2.2.1. Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive
Sleep Apnea-Hypopnea (OSAH) merupakan ganguan tidur yang melibatkan
penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara dimana masih bisa
ditemukan adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe ganguan
pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode berulang
dari kolapsnya saluran napas atas saat tidur. OSA dengan gejala Excessive Day
time Sleepiness (EDS) disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea Syndrome
(OSAS) maupun Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome (OSAHS).
Meskipun penyakit ini umum, OSA adalah penyakit yang tidak terdeteksi oleh
sebagian besar dokter di Amerika Serikat (Downey, 2014).
OSA merupakan bentuk umum Sleep-Disordered Breathing (SDB) yang
telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta
mempunyai dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban
dalam pelayanan kesehatan masyarakat (Antariksa, 2010).
Universitas Sumatera Utara
9
Menurut WHO, Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan ganguan
klinis yang ditandai dengan berulangnya episode obstruksi saluran napas atas
sehingga dapat mengurangi aliran udara pada hidung atau mulut. Episode
berulang ini biasanya disertai dengan suara mendengkur yang kuat dan
hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang, yang
menyebabkan fragmentasi tidur. Pasien dengan sindrom Obstructive Sleep Apnea
(OSA) biasanya tidak menyadari dirinya terbangun secara berulang dan akhirnya
akan mengakibatkan penurunan kualitas tidur yang menyebabkan kantuk di siang
hari (WHO, 2007).
2.2.2. Epidemiologi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) umumnya terjadi pada dewasa muda,
biasanya antara umur 40-50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak-anak
dan remaja. Mayoritas pasien OSA adalah kelebihan berat badan sekitar 60 %
pasien OSA memiliki berat badan lebih dari 20% diatas ideal, ukuran leher, area
distal faring dan indeks masa tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea
(Antariksa, 2010).
Sleep-Disorded Breathing (SDB) adalah penyakit yang paling umum
terjadi di Amerika Serikat. National commission on sleep disorder research
memperkirakan bahwa SDB ringan memiliki Respiratory Disturbance index (RDI
>5) sekitar 7-18 juta orang dan kasus yang relative berat (RDI>15) sekitar 1,8-4
juta orang di Amerika Serikat. Pada penelitian epidemiologi di Pennysylavania
menunjukkan prevalensi pada perempuan sekitar 2% dan 4% untuk laki-laki. Data
dari Wisconsin cohort study menunjukkan bahwa prevalensi OSA pada orang
yang berusia 30-60 tahun sekitar 9-24% untuk laki-laki dan 4-9% untuk
perempuan (Downey, 2014).
Pada penelitian prevalensi terjadinya OSA pada pengemudi menunjukkan
sekitar 17-28 % atau sekitar 2,4-3,9 juta orang terkena OSA (Kales et al, 2013).
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.3. Klasifikasi
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh the American academy of sleep medicine, dapat dibagi
menjadi 3 golongan :
1.
Ringan (nilai AHI 5-15 ).
2.
Sedang (nilai AHI 15-30).
3.
Berat (nilai AHI>30).
Faktor-faktor lain juga berpengaruh pada derajat OSA adalah desaturasi
oksigen, kualitas hidup dan tingkat mengantuk di siang hari (Antariksa, 2010).
2.2.4. Patofisiologi
OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhnya
(collaps) saluran napas selama tidur, tempat paling sering terjadi obstruksi pada
populasi dewasa adalah dibelakang ovula dan velofaring (palatum molle),
kemudian pada oropharynx, atau kombinasi keduanya (Sumardi et al, 2009).
Penelitian mengatakan bahwa adanya faktor anatomi dan neuromuskular
yang merupakan faktor penting terjadinya OSA. Faktor anatomi (contohnya
pembesaran tonsil, volume lidah, jaringan lunak, atau dinding lateral faringeal,
panjang palatum mole, posisi maksila dan mandibular) dapat berkontribusi pada
penurunan luas permukaan saluran napas atas dan meningkatkan tekanan disekitar
jalan napas, keduanya merupakan predisposisi kolapsnya jalan napas. (Downey,
2014).
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 2.1 saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita
mendengkur (sumber : Budhi Antariksa, 2010)
Aktivitas neuromuskular saluran bagian atas, termasuk aktivitas reflex akan
menurun ketika tidur, dan penurunan ini akan lebih terasa pada pasien OSA.
Berkurangnya ventilasi motor output pada otot saluran napas atas diyakini
menjadi kejadian awal kritis untuk terjadinya obstruksi pada saluran napas bagian
atas; efek ini yang paling menonjol pada pasien dengan jalan napas atas
cenderung runtuh karena alasan anatomi (Downey, 2014).
2.2.5. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA adalah:
1. Gejala malam hari saat tidur
a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling/ ngiler)
b. Mulut kering
c. Tidur tak nyenyak/ terbangun saat tidur
d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya
e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur
Universitas Sumatera Utara
12
2. Gejala saat pagi atau siang hari
a. Mengantuk
b. Pusing saat bangun tidur pagi hari
c. Refluks gastroesofageal
d. Tidak bisa konsentrasi
e. Depresi
f. Penurunan libido
g. Impotensi
h. Bangun tidur terasa tak segar (Antariksa, 2010).
2.1.6. Faktor Risiko
a) Umur
Peningkatan prevalensi SDB pada lansia muncul setelah 65 tahun
diperkirakan 10 %. Namun ketika prevalensi tersebut dikontrol oleh indeks massa
tubuh, tingkat keparahan SDB menurun dengan usia. Mekanisme terjadinya OSA
pada lansia meliputi peningkatan timbunan lemak di daerah parapharyngeal,
perpanjangan langit langit, dan perubahan dalam struktur tubuh sekitar faring
(Jamie et al, 2010; Punjabi, 2008).
b) Jenis kelamin
Masih belum jelas mekanisme OSA lebih sering pada pria dari pada
wanita. Hal ini dapat dikaitkan dengan anatomi dan sifat fungsional dari saluran
napas bagian atas dan respon ventilasi terhadap arousals dari tidur. Studi
pencitraan telah mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki peningkatan
penumpukan lemak disekitar faring dibandingkan dengan wanita (Jamie et al,
2010). Pada beberapa penelitian menunjukkan laki laki yang mengalami OSA
sekitar 3.2% pada usia 20-44 tahun, 11.3% pada usia 45-64 tahun dan 18.1%
pada usia 61-100 tahun sedangkan pada perempuan 0.6% pada usia 20-44 tahun,
2.0% pada usia 45-64 tahun dan 7.0% pada usia 61-100 tahun (Punjabi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
13
c) Obesitas
Obesitas atau visceral obesitas adalah faktor risiko utama untuk
pengembangan OSA, hal tersebut dianggap terkait dengan perubahan anatomi
yang mempengaruhi obstruksi saluran napas selama tidur. Sejumlah penelitian
epidemiologi sebelumnya telah meneliti hubungan obesitas dengan apena tidur.
Dalam berbasis masyarakat dengan metode cohort pada subyek kaukasia,
diperoleh kenaikan indeks massa tubuh dikaitkan terjadinya 4 kali lipat dalam
prevalensi Sleep Apnea dan terdapat 40% masyarakat mengalami OSA dengan
kelebihan berat badan tapi sehat (Jamie et al, 2010). Pada dewasa obesitas
merupakan penyebab utama Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
sedangkan pada anak obesitas bukan merupakan sebagai penyebab utama
(Supriyatno dan Deviani, 2005).
d) Faktor risiko penyakit
kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan :
1. Emfisema dan asma.
2. Penyakit neuromuskular (polio, myasthenia gravis, dll).
3. Obstruksi nasal.
4. Hypotiroid, akromegali, amyloidosis, paralisi pita suara, sindroma postpolio, kelainan neuromuskular, Marfan’s syndrome dan Down
syndrome (Antariksa, 2010).
e) Lingkar Leher
Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah
atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula
diduga berhubungan dengan mendengkur dan Obstructive Sleep Apnea Syndrome
(OSAS). Penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat saluran napas atas
menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher
yang besar mempunyai velofaring yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga
dapat mempermudah terjadinya sumbatan saluran napas atas pada waktu tidur
(Supriyatno dan Deviani, 2005).
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.7. Diagnosis
Polisomnografi adalah tes diagnostik standar untuk Obstructive Sleep
Apnea (OSA). Meskipun dianggap sebagai " standar emas ", polysomnogram ini
memiliki keterbatasan. Hal ini membutuhkan pasien menginap semalam di
laboratorium tidur staf dengan teknisi ahli yang dapat mengumpulkan dan
menginterpretasikan data fisiologis yang kompleks. Proses ini memakan waktu,
dan dapat mahal (Punjabi, 2008).
Polisomnografi menggunakan kombinasi dari elektroensefalografi untuk
mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektro-ukolografi untuk mencatat gerakan
mata, oksimetri untuk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi untuk
mencatat gerakan otot pernapasan selama keadaan tidur malam, dan monitor
posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari perhitungan terjadinya
periode apnea dan hipopnea disebut Indeks Apnea Hipopnea (AHI). Indeks
normalnya adalah kurang dari 5 kejadian perjam. Dinyatakan OSA bila AHI lebih
dari 5 kali perjam. Penilaian polisomnogram meliputi berhentinya aliran udara
minimal 10 detik dengan gerakan napas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran
udara dengan diikuti juga berhentinya gerakan napas, dan campuran keduanya
(Sumardi et al, 2009).
Sebelum dilakukan Polisomnografi, pasien akan diminta kesediannya
untuk mengisi kuesioner berlin untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko
tinggi terjadinya OSA (Antariksa, 2010). Kuisioner berlin adalah perangkat
diagnostik sederhana yang telah tervalidasi untuk menentukan adanya faktor
risiko OSA, yaitu kebiasaan mendengkur, apnea, rasa mengantuk yang berlebihan
sepanjang hari, kelelahan, obesitas dan hipertensi (Weinreich et al, 2006).
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal,
dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouilette dkk, menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnaire score yang dapat disebut skor OSAS.
Universitas Sumatera Utara
15
SKOR OSAS = 1,42D + 1,41A+ 0,71S-3,83
D: kesulitan bernapas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1:sekali-sekali, 2: sering, 3:
selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai:
Skor < -1 : bukan OSAS
Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS
meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Skoring tersebut
mempunyai nilai sensitivitas 73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan
polisomnografi yaitu sensitivitas 80% dan spesifisitas 97% (Supriyatno dan
Deviani, 2005; Sharkey, 2014).
2.2.8
Penatalaksanaan
Semua pasien yang didiagnosis dengan OSA harus mendapatkan edukasi
tentang pentingnya mengubah gaya hidup, terutama untuk menurunkan berat
badan dengan program Alert Well And Keeping Energetic (A.W.A.K.E). Semua
pasien dengan penurunan berat badan 10-15% harus dinilai gejala-gejala OSA dan
membutuhkan penanganan dengan Positive Airway Pressure (PAP). Penanganan
OSA ringan dapat satu atau beberapa modalitas seperti Oral Appliances (OAs),
Positive Airway Pressure devices, pembedahan. Sedangkan penanganan pasien
dengan OSA sedang dan berat yaitu penggunaan Positive Airway Pressure
devices. Pasien yang tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif
atau tidak adekuat dengan pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan
untuk tindakan bedah (Prasenohadi, 2010).
Universitas Sumatera Utara
16
Penatalaksanaan yang berkaitan dengan gaya hidup
:
1. Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala,
seperti :
a. Penurunan berat badan
b. Mengurangi konsumsi alkohol, khusunya sebelum tidur
c. Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine)
d. Good sleep hygiene
e. Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur.
2. Konsumsi alkohol
Kadar alkohol saat tidur (0,5 – 0,75Ml/kg) dapat meningkatkan resistensi
inspirasi selama stage 2 Non-Rapid Eye Movement (NREM) tidur pada laki-laki
muda normal (Prasenohadi, 2010).
3. Obesitas
Karena obesitas merupakan faktor prediktif utama untuk OSA, penurunan
berat badan mengurangi risiko OSA. Data terbaik menunjukan bahwa
pengurangan 10% berat badan menyebabkan penurunan 26% dalam Respiratory
Disturbance Index (RDI) (Downey, 2014).
Penatalaksanaan OSA Ringan, Sedang dan Berat :
1. CPAP (Continious Positive Airway Pressure )
Pemberian tekanan positif merupakan tatalaksana yang efektif dalam
menangani OSA diikuti dengan trakeostomi. CPAP sampai saat ini merupakan
teknik yang paling banyak digunakan untuk memberikan tekanan positif. Teknik
ini noninvasive atau nonfarmakologik, dengan memberikan tekanan positif ke
jalan napas atas untuk mengatasi obstruksi atau kolaps yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
17
2. BIPAP (Bi-level Positive Airway Pressure)
BIPAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan
tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang
bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan
mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan
napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bilevel memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan
pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi
OSA.
3. Oral Appliances
Oral Appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons
dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang tidak toleran dengan
pemberian tekanan positif jalan napas. Mandibular repositioning devices dapat
memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan obstruksi di orofarings
dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong pasien dengan
keterbatasan atau hilangnya natural dentition, kelainan temporomandibular dan
keterbatasan membuka mulut.
4. Tindakan bedah
Berbagai macam tindakan bedah dapat dilakukan untuk mengurangi gejala
obstruksi jalan napas atas yang menyebabkan OSAS ringan. Pertimbangkan untuk
memperbaiki sumbatan sebelum menggunakan Oral Appliance atau Positive
Airway Pressure (PAP) device.
a. Septoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan memperbaiki
septum hidung deviasi yang menyebabkan obstruksi hidung. Tindakan
ini memberikan keberhasilan yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
18
b. Nasal polypectomy – pembedahan intranasal untuk mengangkat polip
hidung.
c. Tonsillectomy – pembedahan berupa reseksi transoral tonsil faringeal.
Tindakan ini memperbaiki obstruksi hipertrofi tonsil orofarings.
d. Turbinoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan mengurangi
besarnya sumbatan hidung. Tindakan ini berupa reseksi sebagian area
inferior atau menghilangkan area inferior dengan beberapa metode
seperti elektrokauter, ablasi laser dan reduksi radio frekuensi. Hasil
dari seluruh metode tersebut hampir sama.
e. Tracheostomy – membuat jalan napas melalui bagian anterior leher ke
dalam bagian atas trakea. Jalan napas mem-bypass sebagian besar jalan
napas atas sehingga hampir 100% Sleep Apnea dapat diatasi.
Bagaimanapun juga metode ini memberikan stigma sosial karena ada
pipa trakeostomi dan perawatan daerah trakeostomi. Tindakan ini
merupakan pilihan terakhir bagi pasien Sleep Apnea (Prasenohadi,
2010).
2.3.
Pengukuran Risiko menderita OSA
Berlin Questionnaire (BQ) merupakan suatu alat yang berguna untuk
mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi untuk Obstructive Sleep Apnea (OSA)
dan dapat diselesaikan dalam beberapa menit dan telah divalidasi sebagai alat
skrining. Berlin Questionnaire (BQ) terdiri dari 3 kategori. Kategori 1 merupakan
pertanyaan terkait keluhan mendengkur, kategori 2 merupakan rasa mengantuk di
Siang hari, serta kategori 3 tentang riwayat hipertensi dan BMI (Neurophthalmol,
2012).
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.2. Berlin Questionnaire (BQ) untuk OSA
(sumber: J Neuroophthalmol, 2012).
Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi
atau berisiko rendah menderita OSA. Skor dari kategori pertama dan kedua
adalah positif, jika tanggapan responden menunjukkan gejala sering (> 3-4 kali /
minggu), sedangkan skor dari kategori ketiga adalah positif jika ada riwayat
hipertensi atau BMI> 30 kg/ m2. Pasien diberi skor sebagai berisiko tinggi untuk
OSA jika mereka memiliki nilai positif pada 2 atau lebih kategori
(Neurophthalmol, 2012).
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Tidur
2.1.1. Definisi
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut
dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan rangsang
lainnya (Guyton dan Hall, 2008). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan
dalam tidur adalah Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing
Regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter dan Perry, 2005).
2.1.2. Fisiologi
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan
saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesensefalon
dan bagian atas pons yang dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri,
perabaan dan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk
rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS
akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat
tidur, disebabkan adanya pelepasan serotonin dari sel khusus yang berada di pons
dan batang otak, yaitu BSR (Potter dan Perry, 2005).
Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya yaitu:
1. Fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga Active Sleep
2. Fase nonrapid Eye Movement (NREM) disebut juga Quiet Sleep
NREM terdiri dari 4 fase yaitu :
a. Fase 1
Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya
gelombang teta (4-7 Hz) pada gelombang EEG (elektroensefalografi). Pada
EOG (elektrokulogram) tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih
banyak gerakan mata berputar yang lambat dan terjadi penurunan potensial
EMG (elektromiogram). Pada fase ini, orang bisa dibangunkan dengan mudah.
(Arifin et al, 2010).
5
Universitas Sumatera Utara
6
b. Fase 2
Fase 2 atau disebut juga light sleep merupakan fase pertama menuju true sleep
(Tortora dan Derrickson, 2009). Pada tahap ini terdapat kumparan tidur (sleep
spindles), yakni letupan kumparan pendek pada gelombang alfa yang timbul
secara periodik (Guyton dan Hall, 2008).
c. Fase 3
Fase 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam (Tortora dan Derrickson,
2009). Pada fase ini, gelombang delta menjadi lebih banyak dan fase ini lebih
lama pada dewasa tua, tetapi lebih singkat pada dewasa muda (Arifin et al,
2010). Orang yang sudah berada di fase 3 biasanya sulit untuk dibangunkan
(Tortora dan Derrickson, 2009).
d. Fase 4
Fase 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam. Pada fase ini gelombang
EEG didominasi oleh gelombang delta sekitar 50 % (Tortora dan Derrickson,
2009).
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata
tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal.
Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005). Fase REM umumnya dapat
dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian akan mulai kembali ke fase
permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90 menit. Setelah itu muncul
fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari eye movement (EM) dan lebih
banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan berulang kembali setiap 75-90
menit. Siklus ini terjadi 4-5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga
orang normal dengan lama tidur 7-8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan
lama tiap tiap siklus 75-90 menit (Arifin et al, 2010).
Siklus tidur pada tiap individu berbeda dan relative dipengaruhi oleh usia,
sebagai contoh pola tidur pada laki-laki muda (20-29 tahun), pertengahan (40-49
tahun), dan tua (70-90 tahun) akan memberikan gambaran pola tidur yang
berbeda. Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur
menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua, tidur sering terlihat
Universitas Sumatera Utara
7
gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda 15
% waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan pada
orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu pasca
pubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa tidur menjadi
lebih
singkat
sehingga
menyebabkan
berkurangnya
kesegaran
sesuai
bertambahnya usia (Arifin et al, 2010).
2.1.3. Sistem Pernapasan saat tidur
Pada orang normal, fungsi respirasi akan menurun selama tidur karena
adanya hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi mengalami
perubahan saat tidur dan berbeda untuk masing-masing NREM sleep dan REM
sleep. Selama NREM sleep, ventilasi akan menurun dan volume tidal juga
menurun sehingga frekuensi napas juga ikut menurun Ventilasi selama REM sleep
juga menurun dibandingkan saat kondisi bangun. Pada orang dewasa normal,
selama tidur volume tidal menurun 15-20 % dan lebih dangkal pada stage REM
dibandingkan dengan stage NREM (Pack, 2008).
Penurunan fungsi respirasi yang terjadi selama tidur pada orang normal
pada fase REM akan meningkatnya tahanan atau resistensi dari saluran napas atas
yang disertai dengan penurunan tonus otot genioglossus, soft palate, diafragma,
dan interkostal. Penurunan mucocilliary clearance dan reflex batuk juga terjadi
selama tidur sehingga akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang
berpengaruh terhadap orang normal, tetapi merupakan keadaan yang mengancam
jiwa pada penderita asma sleep apnea atau keadaan kelainan sistem pernapasan
yang lain (Pack, 2008).
Pada penderita OSA, tahanan atau resistensi saluran napas atas meningkat
10 kali lipat dibandingkan dengan orang normal yang hanya meningkat 2-4 kali
lipat. Sehingga pada keadaan tidur, sistem respirasi penderita OSA akan mendapat
tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan tahanan saluran
napas atas. Peningkatan tahanan saluran napas atas yang progresif menyebabkan
penurunan atau penghentian aliran udara sehingga saturasi oksihemoglobin
(SaO2) mengalami penurunan. Keadaan seperti adanya hambatan jalan napas,
Universitas Sumatera Utara
8
peningkatan resistensi saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia merupakan
stimulus dari sistem pernapasan yang dapat memicu keadaan terbangun dari tidur
(Arifin et al, 2010).
Oleh karena itu, pada penderita OSA sering terjadi episode terbangun yang
berulang dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hal
tersebut yang dapat mengganggu aktivitas pada siang hari, mengakibatkan defisit
pada neurokognitif serta menimbulkan kondisi medis yang sangat lemah seperti
hipertensi, depresi, dan kecelakaan yang berhubungan dengan rasa kantuk
(Downey, 2012).
2.2.
Obstructive Sleep Apnea (OSA)
2.2.1. Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive
Sleep Apnea-Hypopnea (OSAH) merupakan ganguan tidur yang melibatkan
penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara dimana masih bisa
ditemukan adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe ganguan
pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode berulang
dari kolapsnya saluran napas atas saat tidur. OSA dengan gejala Excessive Day
time Sleepiness (EDS) disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea Syndrome
(OSAS) maupun Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome (OSAHS).
Meskipun penyakit ini umum, OSA adalah penyakit yang tidak terdeteksi oleh
sebagian besar dokter di Amerika Serikat (Downey, 2014).
OSA merupakan bentuk umum Sleep-Disordered Breathing (SDB) yang
telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta
mempunyai dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban
dalam pelayanan kesehatan masyarakat (Antariksa, 2010).
Universitas Sumatera Utara
9
Menurut WHO, Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan ganguan
klinis yang ditandai dengan berulangnya episode obstruksi saluran napas atas
sehingga dapat mengurangi aliran udara pada hidung atau mulut. Episode
berulang ini biasanya disertai dengan suara mendengkur yang kuat dan
hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang, yang
menyebabkan fragmentasi tidur. Pasien dengan sindrom Obstructive Sleep Apnea
(OSA) biasanya tidak menyadari dirinya terbangun secara berulang dan akhirnya
akan mengakibatkan penurunan kualitas tidur yang menyebabkan kantuk di siang
hari (WHO, 2007).
2.2.2. Epidemiologi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) umumnya terjadi pada dewasa muda,
biasanya antara umur 40-50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak-anak
dan remaja. Mayoritas pasien OSA adalah kelebihan berat badan sekitar 60 %
pasien OSA memiliki berat badan lebih dari 20% diatas ideal, ukuran leher, area
distal faring dan indeks masa tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea
(Antariksa, 2010).
Sleep-Disorded Breathing (SDB) adalah penyakit yang paling umum
terjadi di Amerika Serikat. National commission on sleep disorder research
memperkirakan bahwa SDB ringan memiliki Respiratory Disturbance index (RDI
>5) sekitar 7-18 juta orang dan kasus yang relative berat (RDI>15) sekitar 1,8-4
juta orang di Amerika Serikat. Pada penelitian epidemiologi di Pennysylavania
menunjukkan prevalensi pada perempuan sekitar 2% dan 4% untuk laki-laki. Data
dari Wisconsin cohort study menunjukkan bahwa prevalensi OSA pada orang
yang berusia 30-60 tahun sekitar 9-24% untuk laki-laki dan 4-9% untuk
perempuan (Downey, 2014).
Pada penelitian prevalensi terjadinya OSA pada pengemudi menunjukkan
sekitar 17-28 % atau sekitar 2,4-3,9 juta orang terkena OSA (Kales et al, 2013).
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.3. Klasifikasi
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh the American academy of sleep medicine, dapat dibagi
menjadi 3 golongan :
1.
Ringan (nilai AHI 5-15 ).
2.
Sedang (nilai AHI 15-30).
3.
Berat (nilai AHI>30).
Faktor-faktor lain juga berpengaruh pada derajat OSA adalah desaturasi
oksigen, kualitas hidup dan tingkat mengantuk di siang hari (Antariksa, 2010).
2.2.4. Patofisiologi
OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhnya
(collaps) saluran napas selama tidur, tempat paling sering terjadi obstruksi pada
populasi dewasa adalah dibelakang ovula dan velofaring (palatum molle),
kemudian pada oropharynx, atau kombinasi keduanya (Sumardi et al, 2009).
Penelitian mengatakan bahwa adanya faktor anatomi dan neuromuskular
yang merupakan faktor penting terjadinya OSA. Faktor anatomi (contohnya
pembesaran tonsil, volume lidah, jaringan lunak, atau dinding lateral faringeal,
panjang palatum mole, posisi maksila dan mandibular) dapat berkontribusi pada
penurunan luas permukaan saluran napas atas dan meningkatkan tekanan disekitar
jalan napas, keduanya merupakan predisposisi kolapsnya jalan napas. (Downey,
2014).
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 2.1 saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita
mendengkur (sumber : Budhi Antariksa, 2010)
Aktivitas neuromuskular saluran bagian atas, termasuk aktivitas reflex akan
menurun ketika tidur, dan penurunan ini akan lebih terasa pada pasien OSA.
Berkurangnya ventilasi motor output pada otot saluran napas atas diyakini
menjadi kejadian awal kritis untuk terjadinya obstruksi pada saluran napas bagian
atas; efek ini yang paling menonjol pada pasien dengan jalan napas atas
cenderung runtuh karena alasan anatomi (Downey, 2014).
2.2.5. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA adalah:
1. Gejala malam hari saat tidur
a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling/ ngiler)
b. Mulut kering
c. Tidur tak nyenyak/ terbangun saat tidur
d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya
e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur
Universitas Sumatera Utara
12
2. Gejala saat pagi atau siang hari
a. Mengantuk
b. Pusing saat bangun tidur pagi hari
c. Refluks gastroesofageal
d. Tidak bisa konsentrasi
e. Depresi
f. Penurunan libido
g. Impotensi
h. Bangun tidur terasa tak segar (Antariksa, 2010).
2.1.6. Faktor Risiko
a) Umur
Peningkatan prevalensi SDB pada lansia muncul setelah 65 tahun
diperkirakan 10 %. Namun ketika prevalensi tersebut dikontrol oleh indeks massa
tubuh, tingkat keparahan SDB menurun dengan usia. Mekanisme terjadinya OSA
pada lansia meliputi peningkatan timbunan lemak di daerah parapharyngeal,
perpanjangan langit langit, dan perubahan dalam struktur tubuh sekitar faring
(Jamie et al, 2010; Punjabi, 2008).
b) Jenis kelamin
Masih belum jelas mekanisme OSA lebih sering pada pria dari pada
wanita. Hal ini dapat dikaitkan dengan anatomi dan sifat fungsional dari saluran
napas bagian atas dan respon ventilasi terhadap arousals dari tidur. Studi
pencitraan telah mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki peningkatan
penumpukan lemak disekitar faring dibandingkan dengan wanita (Jamie et al,
2010). Pada beberapa penelitian menunjukkan laki laki yang mengalami OSA
sekitar 3.2% pada usia 20-44 tahun, 11.3% pada usia 45-64 tahun dan 18.1%
pada usia 61-100 tahun sedangkan pada perempuan 0.6% pada usia 20-44 tahun,
2.0% pada usia 45-64 tahun dan 7.0% pada usia 61-100 tahun (Punjabi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
13
c) Obesitas
Obesitas atau visceral obesitas adalah faktor risiko utama untuk
pengembangan OSA, hal tersebut dianggap terkait dengan perubahan anatomi
yang mempengaruhi obstruksi saluran napas selama tidur. Sejumlah penelitian
epidemiologi sebelumnya telah meneliti hubungan obesitas dengan apena tidur.
Dalam berbasis masyarakat dengan metode cohort pada subyek kaukasia,
diperoleh kenaikan indeks massa tubuh dikaitkan terjadinya 4 kali lipat dalam
prevalensi Sleep Apnea dan terdapat 40% masyarakat mengalami OSA dengan
kelebihan berat badan tapi sehat (Jamie et al, 2010). Pada dewasa obesitas
merupakan penyebab utama Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
sedangkan pada anak obesitas bukan merupakan sebagai penyebab utama
(Supriyatno dan Deviani, 2005).
d) Faktor risiko penyakit
kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan :
1. Emfisema dan asma.
2. Penyakit neuromuskular (polio, myasthenia gravis, dll).
3. Obstruksi nasal.
4. Hypotiroid, akromegali, amyloidosis, paralisi pita suara, sindroma postpolio, kelainan neuromuskular, Marfan’s syndrome dan Down
syndrome (Antariksa, 2010).
e) Lingkar Leher
Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah
atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula
diduga berhubungan dengan mendengkur dan Obstructive Sleep Apnea Syndrome
(OSAS). Penumpukan lemak pada daerah leher dapat membuat saluran napas atas
menjadi lebih sempit. Kemungkinan lain adalah pada pasien obesitas dengan leher
yang besar mempunyai velofaring yang lebih mudah mengalami kolaps sehingga
dapat mempermudah terjadinya sumbatan saluran napas atas pada waktu tidur
(Supriyatno dan Deviani, 2005).
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.7. Diagnosis
Polisomnografi adalah tes diagnostik standar untuk Obstructive Sleep
Apnea (OSA). Meskipun dianggap sebagai " standar emas ", polysomnogram ini
memiliki keterbatasan. Hal ini membutuhkan pasien menginap semalam di
laboratorium tidur staf dengan teknisi ahli yang dapat mengumpulkan dan
menginterpretasikan data fisiologis yang kompleks. Proses ini memakan waktu,
dan dapat mahal (Punjabi, 2008).
Polisomnografi menggunakan kombinasi dari elektroensefalografi untuk
mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektro-ukolografi untuk mencatat gerakan
mata, oksimetri untuk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi untuk
mencatat gerakan otot pernapasan selama keadaan tidur malam, dan monitor
posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari perhitungan terjadinya
periode apnea dan hipopnea disebut Indeks Apnea Hipopnea (AHI). Indeks
normalnya adalah kurang dari 5 kejadian perjam. Dinyatakan OSA bila AHI lebih
dari 5 kali perjam. Penilaian polisomnogram meliputi berhentinya aliran udara
minimal 10 detik dengan gerakan napas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran
udara dengan diikuti juga berhentinya gerakan napas, dan campuran keduanya
(Sumardi et al, 2009).
Sebelum dilakukan Polisomnografi, pasien akan diminta kesediannya
untuk mengisi kuesioner berlin untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko
tinggi terjadinya OSA (Antariksa, 2010). Kuisioner berlin adalah perangkat
diagnostik sederhana yang telah tervalidasi untuk menentukan adanya faktor
risiko OSA, yaitu kebiasaan mendengkur, apnea, rasa mengantuk yang berlebihan
sepanjang hari, kelelahan, obesitas dan hipertensi (Weinreich et al, 2006).
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal,
dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouilette dkk, menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnaire score yang dapat disebut skor OSAS.
Universitas Sumatera Utara
15
SKOR OSAS = 1,42D + 1,41A+ 0,71S-3,83
D: kesulitan bernapas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1:sekali-sekali, 2: sering, 3:
selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai:
Skor < -1 : bukan OSAS
Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS
meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Skoring tersebut
mempunyai nilai sensitivitas 73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan
polisomnografi yaitu sensitivitas 80% dan spesifisitas 97% (Supriyatno dan
Deviani, 2005; Sharkey, 2014).
2.2.8
Penatalaksanaan
Semua pasien yang didiagnosis dengan OSA harus mendapatkan edukasi
tentang pentingnya mengubah gaya hidup, terutama untuk menurunkan berat
badan dengan program Alert Well And Keeping Energetic (A.W.A.K.E). Semua
pasien dengan penurunan berat badan 10-15% harus dinilai gejala-gejala OSA dan
membutuhkan penanganan dengan Positive Airway Pressure (PAP). Penanganan
OSA ringan dapat satu atau beberapa modalitas seperti Oral Appliances (OAs),
Positive Airway Pressure devices, pembedahan. Sedangkan penanganan pasien
dengan OSA sedang dan berat yaitu penggunaan Positive Airway Pressure
devices. Pasien yang tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif
atau tidak adekuat dengan pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan
untuk tindakan bedah (Prasenohadi, 2010).
Universitas Sumatera Utara
16
Penatalaksanaan yang berkaitan dengan gaya hidup
:
1. Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala,
seperti :
a. Penurunan berat badan
b. Mengurangi konsumsi alkohol, khusunya sebelum tidur
c. Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine)
d. Good sleep hygiene
e. Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur.
2. Konsumsi alkohol
Kadar alkohol saat tidur (0,5 – 0,75Ml/kg) dapat meningkatkan resistensi
inspirasi selama stage 2 Non-Rapid Eye Movement (NREM) tidur pada laki-laki
muda normal (Prasenohadi, 2010).
3. Obesitas
Karena obesitas merupakan faktor prediktif utama untuk OSA, penurunan
berat badan mengurangi risiko OSA. Data terbaik menunjukan bahwa
pengurangan 10% berat badan menyebabkan penurunan 26% dalam Respiratory
Disturbance Index (RDI) (Downey, 2014).
Penatalaksanaan OSA Ringan, Sedang dan Berat :
1. CPAP (Continious Positive Airway Pressure )
Pemberian tekanan positif merupakan tatalaksana yang efektif dalam
menangani OSA diikuti dengan trakeostomi. CPAP sampai saat ini merupakan
teknik yang paling banyak digunakan untuk memberikan tekanan positif. Teknik
ini noninvasive atau nonfarmakologik, dengan memberikan tekanan positif ke
jalan napas atas untuk mengatasi obstruksi atau kolaps yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
17
2. BIPAP (Bi-level Positive Airway Pressure)
BIPAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan
tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang
bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan
mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan
napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bilevel memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan
pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi
OSA.
3. Oral Appliances
Oral Appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons
dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang tidak toleran dengan
pemberian tekanan positif jalan napas. Mandibular repositioning devices dapat
memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan obstruksi di orofarings
dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong pasien dengan
keterbatasan atau hilangnya natural dentition, kelainan temporomandibular dan
keterbatasan membuka mulut.
4. Tindakan bedah
Berbagai macam tindakan bedah dapat dilakukan untuk mengurangi gejala
obstruksi jalan napas atas yang menyebabkan OSAS ringan. Pertimbangkan untuk
memperbaiki sumbatan sebelum menggunakan Oral Appliance atau Positive
Airway Pressure (PAP) device.
a. Septoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan memperbaiki
septum hidung deviasi yang menyebabkan obstruksi hidung. Tindakan
ini memberikan keberhasilan yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
18
b. Nasal polypectomy – pembedahan intranasal untuk mengangkat polip
hidung.
c. Tonsillectomy – pembedahan berupa reseksi transoral tonsil faringeal.
Tindakan ini memperbaiki obstruksi hipertrofi tonsil orofarings.
d. Turbinoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan mengurangi
besarnya sumbatan hidung. Tindakan ini berupa reseksi sebagian area
inferior atau menghilangkan area inferior dengan beberapa metode
seperti elektrokauter, ablasi laser dan reduksi radio frekuensi. Hasil
dari seluruh metode tersebut hampir sama.
e. Tracheostomy – membuat jalan napas melalui bagian anterior leher ke
dalam bagian atas trakea. Jalan napas mem-bypass sebagian besar jalan
napas atas sehingga hampir 100% Sleep Apnea dapat diatasi.
Bagaimanapun juga metode ini memberikan stigma sosial karena ada
pipa trakeostomi dan perawatan daerah trakeostomi. Tindakan ini
merupakan pilihan terakhir bagi pasien Sleep Apnea (Prasenohadi,
2010).
2.3.
Pengukuran Risiko menderita OSA
Berlin Questionnaire (BQ) merupakan suatu alat yang berguna untuk
mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi untuk Obstructive Sleep Apnea (OSA)
dan dapat diselesaikan dalam beberapa menit dan telah divalidasi sebagai alat
skrining. Berlin Questionnaire (BQ) terdiri dari 3 kategori. Kategori 1 merupakan
pertanyaan terkait keluhan mendengkur, kategori 2 merupakan rasa mengantuk di
Siang hari, serta kategori 3 tentang riwayat hipertensi dan BMI (Neurophthalmol,
2012).
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.2. Berlin Questionnaire (BQ) untuk OSA
(sumber: J Neuroophthalmol, 2012).
Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi
atau berisiko rendah menderita OSA. Skor dari kategori pertama dan kedua
adalah positif, jika tanggapan responden menunjukkan gejala sering (> 3-4 kali /
minggu), sedangkan skor dari kategori ketiga adalah positif jika ada riwayat
hipertensi atau BMI> 30 kg/ m2. Pasien diberi skor sebagai berisiko tinggi untuk
OSA jika mereka memiliki nilai positif pada 2 atau lebih kategori
(Neurophthalmol, 2012).
Universitas Sumatera Utara