Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan
keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian
sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan
nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana
pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam
sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan
tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah
penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang
apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah
analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma meupakan
kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau
proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006 : 110).
Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya,
menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan
Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup
positivisme dan postpositivisme (2) paradigme kritis dan (3) paradigma
konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237)

Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan
aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan
pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi
oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan
yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus
memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut :pertama, objektif. Teoriteori tentang semesta haruslah bebas nilai.
Kedua, fenomenalisme.Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang
semesta yang teramati.Ketiga, reduksionisme.Semesta direduksi menjadi faktafakta keras yang dapat diamati.Keempat, naturalisme.Alam semesta adalah objek-

Universitas Sumatera Utara

objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.Positivisme memiliki
pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa
ini (Bungin, 2008:10).
Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia
sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai
model.Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini
positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat
diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji

dengan metode ilmiah.Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang
berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode
ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada
pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa
manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik
(Davis dkk, 2010 :14).
Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh
berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma
klasik (Bungin, 2008 : 238)
Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S.
Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan
kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya
terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga
menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah
cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan
sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari
pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga
berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan
dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001).
Paradigma Konstruktivisme

Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993),
gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam
tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.Dan gagasan itu lebih

Universitas Sumatera Utara

konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu,
substansi, materi, esensi dan sebagainya.Ia juga mengatakan bahwa, manusia
adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya,
bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh
Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis;
ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui
apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia
nyata.Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah
realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.Dalam pandangan realisme
hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang
mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.Sedangkan untuk
konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang
sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai
sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena
terjadi

relasi

sosial

antara

individu

dengan

lingkungan

atau

orang


disekitarnya.Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan
Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).
Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri
bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Eriyanto dalam bukunya yang
berjudul Analisis Framing (2002: 19) menyebutkan bahwa pendekatan paradigma
konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaiman media, wartawan, dan
berita dilihat, yaitu:
1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas
itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep
subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada
bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang
mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)
2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan
pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media

Universitas Sumatera Utara

dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya
sebagai perusuh.

3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita
yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis,
bukan kaidah baku jurnalistik
4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat
dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif
dan pertimbangan subjektif.
5.

Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai
partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.

6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang
integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa
adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti
keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh
keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan
dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan
dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang
bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95)

Paradigma Kritis
Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas
semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik,
budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi
dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43).
Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang
kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara
historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6),
pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan
dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal
inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis
konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada
konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara

Universitas Sumatera Utara

bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan

dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat.Bahasa juga disini dianggap bukan
sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis.Bahasa dalam
pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk subjek tertentu,
tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada
dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi
wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya
dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu
terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan
berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)

Paradigma Penelitian
Secara ontologis, paradigma konstruktivieme bersifat relativis.Realitas
dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi mental yang diperolehsecara alami
melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan sering kalidipertukarkan di antara
sejumlah

individu.Secara

bersifattransaksional


dan

epistemologis,
subjektivis.Peneliti

paradigma
dan

konstruktivisme
objek

penelitian

diasumsikanterhubung secara interaktif sehingga temuan dari penelitian
tersebuttercipta seiring berlangsungnya penelitian.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis.Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan
antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam
menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.

Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap
socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci
terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau
mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).
Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita
yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi
kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu

Universitas Sumatera Utara

memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi
seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam
memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan
tersebut (Patton, 2002: 96-97).
Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya
dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Pada
level ontologi, paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada
tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam
epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu
bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi,

paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan
menggabungkannya dalam sebuah konsensus.
Guba dalam bukunya The Paradigm Dialog (1990: 25) menyatakan:
“...philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only
within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering
“how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the
context of mental framework (construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan
percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980).Basis
untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah
tidak ada.Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental
(konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.Itu berarti realitas ada sebagai
hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya ia menyatakan :
“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot
be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can
equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti bahwa kaum konstruktivis setuju dengan
pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat
dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai.
Banyak pengonstruksian dimungkinkan.Ini berarti menurut Guba penelitian
terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai.Realitas hanya dapat diteliti dengan
pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi

Universitas Sumatera Utara

dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang
terakhir dan penting adalah :
“Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human
activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true
but problematic and ever changing”
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai
hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi
manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap
tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah”. Penjelasan Guba yang
terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan
aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang
tetap tetapi selalu berkembang terus (Guba, 1990: 26).
Dari beberapa penjelasan Guba tersebut dapat disimpulkan bahwa realitas
itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai,
tidak mungkin bebas nilai. Dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak
bersifat tetap, tetapi berkembang terus.
2.2Uraian Teoritis
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang
paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37).
Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori
yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana
masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40).
Menurut Kerlinger, teori merupakan suatu himpunan konstruk atau konsep
yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan
relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut
(Rakhmat, 2004: 6). Dalam hal ini, teori juga berfungsi untuk memberi bantuan
dalam mempertajam analisis peneliti dalam meneliti pokok permasalahan. Teoriteori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

Universitas Sumatera Utara

2.2.1Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru
dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini
merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini,
menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami fenomenafenomena media mutakhir . (Agus Sudibyo: 2001)
Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang
menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis pesan-pesan tertulis
maupun lisan.Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu
komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis).Dalam prakteknya, analisis
framing juga memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan
kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu
fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks
sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya.
Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi
dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang
sebagai penempatan informasi–informasi dalam konteks yang khas sehingga isu
tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert M.
Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai ‘’seleksi dari berbagai aspek
realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks
komunikasi.Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi
terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran
penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada
pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana
untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang
diwacanakan.
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan
dihilangkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media
massa memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting
atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu dan persoalan yang hadir
dalam wacana publik.
Agus Sudibyo (2001) mengatakan bahwa media massa dilihat sebagai
media diskusi antara pihak-pihak dengan ideologi dan kepentingan yang berbedabeda. Mereka berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif,
konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek
wacana.Keterlibatan mereka dalam suatu diskusi sangat dipengaruhi oleh status,
wawasan, dan pengalaman sosial masing-masing. Dalam konteks inilah wacana
media massa kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-pihak yang
berkepentingan dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya
dilakukan dengan cara-cara yang simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacammacam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang umumnya menyiratkan
tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.
Maka jelas terlihat bahwa framing bukan hanya berkaitan dengan skema
individu (wartawan), melainkan juga berhubungan juga dengan proses produksi
berita, kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Bagaimana peristiwa
dibingkai, kenapa peristiwa dipahami dalam kerangka tertentu atau bingkai
tertentu, tidak bingkai yang lain, bukan semata-mata disebabkan oleh struktur
skema wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan peristiwa.
Ide tentang framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun
1955.Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan
yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep
ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan
frame

sebagai

kepingan-kepingan

perilaku

(strips

of

behaviour)

yang

membimbing individu dalam membaca realitas.
Peneliti yang paling konsisten mendiskusikan dan mengimplementasikan
konsep framing adalah Willian A. Gamson.Gamson terkenal dengan pendekatan
konstruksionisnya untuk menganalisis wacana komunikasi. Menurut Gamson dan

Universitas Sumatera Utara

Modigliani, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan objek suatu wacana.
Selain Gamson dan Modigliani, berkaitan dengan dilihatnya framing
sebagai proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media,
Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari
berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol
dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara
khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan
tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi framing. Beberapa definisi
para ahli tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1. Definisi Framing Menurut Beberapa Tokoh:
TOKOH

DEFINISI

Robert N. Entman

Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian
tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek
lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam
konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi
lebih besar daripada sisi yang lain.

William A. Gamson

Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian
rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa
yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu
terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu
semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan
individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia
sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia
terima.

Todd Gitlin

Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca.
Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak
menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.itu dilakukan

Universitas Sumatera Utara

dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek
tertentu dari realitas.
David E. Snow and Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang
Robert Benfort

relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan
diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra
tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.

Amy Binder

Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk
menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli
peristiwa

secara

langsung

atau

tidak

langsung.

Frame

mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan
pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk
mengerti makna peristiwa.
Zhongdang

Pan

and Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi

Gerald M. Kosicki

yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan
peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi
pembentukan berita.

Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung
utama dari definisi framing tersebut.Framing adalah pendekatan untuk melihat
bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan
dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari
realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih
mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh
media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak
diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak.
Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Akibat
penonjolan aspek-aspek tertentu ini, karenanya, seperti dikatakan Frank D.
Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti.Realitas
yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu.
Ada dua aspek dalam framing.Pertama, memilih fakta/ ralitas. Proses
memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak melihat peristiwa tanpa

Universitas Sumatera Utara

perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa
yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Penekanan aspek tertentu
itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan
melupakan fakta yang lain, Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan
dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan ini
diungkapkan dengan, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto
dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut
ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok
(menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan,
pemaikaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian
label tertentu ketika menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi
terhadap symbol budaya, generalisasi, simplikasi, dan pemakaian kata yang
mencolok, gambar, dsb. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok,
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi
khalayak dalam memahami suatu realitas.
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa
disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian
tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau
pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada
pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how).
Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga
bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan strukur
kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi
dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).
Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre
Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah
pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan
menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan dan
menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi. Dalam formulasi yang
dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita
(story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan
menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu

Universitas Sumatera Utara

wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah
kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk.
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara
pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan fakta apa
yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak kemana
berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut cara pandang tersebut
sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005 :223-224).
Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame
surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis
tersendiri. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa.
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara
pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil,
bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak
dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).
Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah
pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi
realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan
membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah
cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi
realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada
kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap
penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan
untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif,
alamiah, wajar atau tak terelakkan.
Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman
atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang
dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi
permasalahan

yang

khusus,

interpretasi

kausal,

evaluasi

moral

dan

merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial,
menurut Robert M. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi

Universitas Sumatera Utara

tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah,
mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan
penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa
yang diwacanakan.
2.2.2Frame Model Gamson dan Modegliani
Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan
Frederick (dinyatakan pula oleh William A Gamson dan Andre Modegliani).
Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat
representatif yang mengandung kontruksi makna tertentu.
Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan
frederick (dinyatakan pula oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani).
Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat
representasi media; berita dan artikel, terdiri atas package interpretatif yang
mengandung konstruksi makna tertentu.Di dalam package ini terdapat dua
struktur, yaitu core frame dan condensing symbols.Struktur pertama merupakan
pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk
menunjukkan substansi isu yang sedang dibicarakan.Sedangkan struktur yang
kedua mengandung dua sub-struktur, yaitu framing devices dan reasoning
devices. Seperti dijelaskan Gamson, framing devices terdiri atas: methapor,
exemplars, catchphrase, depiction, dan visual image. Sedangkan reasoning
devices terdiri atas: root (analisis kausal), consequencies (efek-efek spesifik), dan
appeals to principle (klaim-klaim moral). Lebih jelasnya dapat dilihat tabel
berikut:

Universitas Sumatera Utara

FRAMING ANALYSIS
MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI

Sumber : Diadopsi dari William A. Gamson dan Andre Modigliani, ‘’Media
Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach’’,
Journal of sociology, Vol. 95, No.1, July 1989, hlm. 3, dalam Siahaan et al., 2001,
hlm. 87, Alex sobur hal 177 dan Eriyanto hal 225

Universitas Sumatera Utara

Struktur framing devices (perangkat pembingkai) yang mencakup
metaphors (metafora), exemplars (contoh terkait), catchphrases (frase yang
menarik), depictions (penggambaran suatu isu yang bersifat konotatif), dan visual
images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai) menekankan aspek
bagaimana ‘’melihat’’ suatu isu. Struktur reasoning devices (perangkat penalaran)
menekankan aspek pembenaran terhadap cara ‘’melihat’’ isu, yakni roots (analisis
kausal), appeals to principle (klaim moral), dan consequences (konsekuensi yang
didapat dari bingkai).
Secara literal, metaphors dipahami sebagai cara memindah makna dengan
merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan
menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. Henry
Guntur Tarigan menilai metafora sebagai sejenis gaya bahasa perbandingan yang
paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu
adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan satu
lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang
belakangan itu menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1990:15).
John Fiske (Imawan, 2000:66) menilai metafora sebagai common sense,
pengalaman hidup keseharian yang di-taken for granted masyarakat. Common
sense terlihat alamiah (kenyataannya diproduksi secara arbitrer) dan perlahanlahan menjadi kekuatan ideologis kelas dominan dalam memperluas dan
mempertahankan ide untuk seluruh kelas.Metafora berperan ganda; pertama
sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi piranti mental; kedua, berasosiasi
dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu.
Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi
memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran.Posisinya menjadi
pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.
Catchphrases, istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang
merujuk pemikiran atau semangat tertentu.Dalam teks berita, catchphrases
mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.
Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat
konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu.Asumsinya, pemakaian kata
khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan

Universitas Sumatera Utara

tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik.Depictions dapat berbentuk
stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi.
Visual images, pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan
sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan,
dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna.Visual
image bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan
ideologi pesan dengan khalayak.
Roots (analisis kausal), pemberatan isu dengan menghubungkan suatu
objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang
lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebabakibat yang digambarkan atau dibeberkan.
Appeal to Principle, pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi
pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran,
dan sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatis, simplistik, dan
monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah
argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu,
tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain.
Dan pada akhirnya akan didapat konsekuensi dari teks berita, yang terangkum
dalam consequences.
Adapun beberapa penelitian yang telah menggunakan

framingmodel

Gamsom dan Modegliani contihnya, BUNG KARNO DALAM WACANA MEDIA
MASSA ORDE BARU: Analisis terhadap Berita-Berita tentang Bung Karno
dalam Majalah Tempo dan Majalah Editor Edisi Januari 1988-Juni 1994 dengan
Pendekatan Framing. (Agus Sudibyo:2001)
Pembicaraan tentang sejarah Indonesia terasa kurang lengkap tanpa
menyebut satu nama, Bung Karno. Sulit untuk disangkal bahwa peranan dan
kepeloporan

Bung

Karno

dalam

perjalanan

sejarah

Indonesia

sangat

dominan.Meminjam kata-kata Mahbub Djunaidi, “Bung Karno adalah potongan
kayu bakar yang terbesar gelondongannya yang sudah membakar api
nasionalisme Indonesia, membakar api persatuan nation Indonesia, dan membakar
api revolusi nasional yang pada puncaknya memerdekakan negeri ini.”

Universitas Sumatera Utara

Bung Karno adalah nation and character builder yang telah membawa
bangsa Indonesia ke arah terbentuknya bangsa yang berkpribadian khas. Bung
Karno juga nerupakan simbol nasionalisme Indonesia yang berhasil menjembatani
perbedaan di antara suku-suku di Indonesia dan menanamkan kepada mereka
kesadaran tentang satu bangsa, bangsa Indonesia. Dalam percaturan politik
internasional, ia adalah figur negarawan yang representatife pada masanya dan
merupakan salah satu dari pemimpin berkarisma istimewa dalam nasionalisme
Asia dan Afrika. Berbagai kalangan tanpa terkecuali yang pada awalnya tidak
menyukainya, mengakui keberadaan Bung Karno sebagai pemimpin terkemuka di
Asia, serta salah satu tokoh politik dunia yang sangat diperhitungkan.
Memahami manusia Soekarno, bagaikan memahami lukisan dengan seribu
warna.Meminjam istilah Benda, Bung Karno adalah sosok dramatic personae,
sebuah gambaran pribadi yang bukan hanya popular dan karismatik di mata
rakyat, tapi juga kontradiktif dan controversial. Bung Karno mewakili sosok
pemimpin rakyat yang multidimensional. Tidak ada tokoh di Indonesia yang
semarak label seperti Bung Karno: proklamator, Bapak Bangsa, nation and
character building, singa podium, agitator ulung, pemimpin absolute-totaliter dan
kolaborator Jepang. Sebagian label itu bahkan berasal dari luar negeri, sebagai
bukti bahwa ketokohan Bung Karno juga diakui khalayak internasional.
Kompleksitas Bung Karno sebagai seorang pemimpin terlihat dari
beragam perspektif yang digunakan masyarakat Indonesia untuk memandang
Bung Karno.Disatu sisi, Bung Karno memang dihormati berkat pengorbanan dan
kontribusinya dalam sejarah perjuangan bangsa. Di sisi lain, Bung Karno juga
dipersalahkan karena tidak mau membubarkan PKI pasca G-30S/PKI 1965,
kegagalan ekonomi dan proyek-proyek mercusuar yang tidak efisien di era
Demokrasi Terpimpin, serta kisah-kisah asmaranya yang kurang mencerminkan
kualitas seorang pemimpin. Bung Karno juga dituduh sebagai penguasa yang
cenderung totaliter.
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah bagaimanakah
sebenarnya sikap politik Orde Baru terhadap Bung Karno.Harian Merdeka pernah
menyimpulkan bahwa negara Orde Baru menggunakan ‘standar ganda’ dalam
bersikap

terhadap

Bung

Karno.Rachmawati

Soekarnoputri

juga

pernah

Universitas Sumatera Utara

menyimpulkan ada dualisme sikap Pemerintah terhadap Bung Karno. Pada satu
sisi, Pemerintah mengakuinya sebagai pahlawan dan proklamator kemerdekaan, di
sisi lain Pemerintah mengizinkan terbitnya buku-buku yang mendeskriditkan dan
merusak nama baik Bung Karno, membiarkan pihak-pihak yang berpresepsi
bahwa Bung Karno adalah komunis, bahkan melarang berdirinya Universitas
Bung Karno.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pers Orde Baru cenderung
menghadirkan wacana legitimasi terhadap Bung Karno. Pers Orde Baru
sebenarnya cukup legaliter dalam menyoroti kesalahan dan kegagalan Bung
Karno dengan kata lain mereka tidak kehilangan daya kritis dalam merekontruksi
realitas-realitas Bung Karno. Namun seperti terlihat dalam analisis data
kuantitatif, wacana media Orde Baru lebih banyak melahirkan konstruksi sejarah
yang favourable dan legitimate tentang Bung Karno.
Kesimpulan ini didukung oleh kecerendungan framing yang ditunjukkan
insane pers Orde Baru sendiri dalam mengkontruksi berita-berita tentang Bung
Karno.Sebagai contoh, majalah Editor (17/3/1990) berjudul “Agar Bangsa Ini
Tidak Pecah” yang mengulas kekerasan sikap Bung Karno untuk tidak
membubarkan PKI pasca-G 30 S/PKI 1965.
Kelemahan analisis framingyang terbingkai dari data manifest dan latent
dengan akhir analisis latent dan simpulan latent. Objek yang dianalisis khusus
tentang berita.Unit analisisnya berupa skema, produksi dan reproduksi berita.
Analisis

framingternyata

masih

memerlukan

penyempurnaan,

misalnya

permasalahan model proses analisis framing.

2.2.3Penelitian Kualitatif
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menyatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan dan tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Melalui penelitian
kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami
dalam kehidupan sehari-hari (dalam Basrowi, 2008: 1).
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman

Universitas Sumatera Utara

tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis
terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis
tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya
abstrak tentang kenyataan-kenyataan.
Penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Latar alamiah. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar
alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan.
2. Manusia sebagai alat. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau
dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.
3. Metode kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif.
4. Analisis data secara induktif. Penelitian kualitatif mengutamakan analisis
data secara induktif, dari lapangan tertentu yang bersifat khusus, untuk
ditarik suatu proposisi atau teori yang dapat digeneralisasikan secara luas.
5. Teori dari dasar. Penelitian kualitatif lebih menghendaki penyusunan teori
substantif yang berasal dari data.
6. Deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka.
7. Lebih mementingkan proses daripada hasil.
8. Ada “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Penelitian kualitatif
menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus
yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.
9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data. Penelitian kualitatif
mendefinisikan validitas, reabilitas, dan objektivitas dalam versi lain
dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik.
10. Desain yang bersifat sementara. Penelitian kualitatif menyusun desain
yang secara terus-menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi,
tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku
sehingga tidak dapat diubah lagi.
11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Penelitian kualitatif
lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh
dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber
data. (Basrowi, 2008: 20)
2.2.4Berita, Bahasa dan Kontruksi Realitas
Kejadian atau peristiwa yang menghasilkan fakta sangat banyak.Tetapi,
tidak semua peristiwa tersebut dapat ditulis dan dikategorikan sebagai sebuah
berita jurnalistik.Karena itu, berita pada dasarnya adalah peristiwa yang sudah
ditentukan sebagai berita.Ia bukan peristiwa itu sendiri.
Ashadi Siregar dalam buku Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk
Media Massa memberikan pendapat mengenai unsur-unsur nilai berita (news
value) dan layak berita (news worthy).Unsur-unsur tersebut yaitu pertama,

Universitas Sumatera Utara

significance (penting).Unsur ini terlihat ketika kejadian atau peristiwa yang ada
memengaruhi kehidupan masyarakat.Atau setidaknya memengaruhi kehidupan
pembaca.Kedua, magnitude (besar).Unsur ini ada dalam kejadian mengenai
angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak.Ketiga, timeless
(waktu).Ini menyangkut tentang aktualitas sebuah kejadian, terutama mengenai
baru dan tidaknya sebuah peristiwa.Keempat, proximity (kedekatan).Kedekatan
yang dimaksud adalah kedekatan terhadap pembaca yang berada dalam
lingkungannya.Bisa

kedekatan

secara

emosional,

maupun

secara

geografis.Kelima, prominence (tenar).Kejadian yang menyangkut orang, benda
maupun tempat yang terkenal dan berpengaruh bagi banyak orang.Keenam,
human interest (manusiawi).Ini berkaitan dengan hal-hal yang menyentuh
perasaan atau emosi pembaca.
Sementara itu, Bill Kovach dan Tom Rosensteil memberikan sembilan
elemen jurnalisme dalam bukunya The Elements of Journalism.Elemen-elemen ini
adalah standar nilai berita dan layak berita yang didasarkan pada wawancara
dengan 400 wartawan di seluruh dunia. Sembilan elemen jurnalisme tersebut
yaitu, (1) kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas
pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat; (3) intisari jurnalisme adalah
disiplin verifikasi; (4) praktisi jurnalisme (wartawan) harus menjaga independensi
terhadap narasumber berita; (5) jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan;
(6) jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; (7)
jurnalisme memberitakan hal yang penting menjadi menarik dan relevan; (8)
jurnalisme menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; (9) mengikuti hari
nurani. Untuk bisa memenuhi nilai berita dan layak berita, sebuah peristiwa tidak
harus memenuhi semua unsur di atas.Ia bisa memenuhi semua unsur, tetapi juga
bisa hanya memenuhi beberapa unsur. Hal ini biasanya sesuai dengan hak
prerogatif penerbitan pers dalam menentukan kebijakan redaksionalnya untuk
menentukan unsur-unsur tersebut.
Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses
pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan layak berita
(news worthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam

Universitas Sumatera Utara

keseluruhan teks berita.Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang
dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.
2.2.5Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial
Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu
dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan. Sehingga
realitas yang terjadi tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan
secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk, cenderung memarjinkan
seseorang atau sekelompok orang tertentu (Eriyanto, 2001: 113).
Hal ini terkait dengan visi dan misi, serta ideologi yang dipakai oleh
masing-masing media, sehingga kadangkala dari hasil pembingkaian tersebut
dapat diketahui bahwa media lebih berpihak pada siapa (jika yang diberitakan
adalah seseorang, kelompok, atau golongan dalam masyarakat yang tergantung
pada etika,moral, dan nilai-nilai tertentu), tidak mungkin dihilangkan dalam
pemberitaan. Hal ini merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam
membentuk dan mengkontruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan
ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Realitas Sosial adalah hasil kostruksi sosial dalam proses komunikasi
tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak
terlepas dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Beger dan
Thomas Luckman. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial
terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman melalui
bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The
Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial
dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan
kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).
Kontruksi sosial berasal dari filsafat kontruktivisme yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas
diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri,
sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh

Universitas Sumatera Utara

Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal
konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates
menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan id
(Bertens, 1999: 89-106). Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah
Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi,
esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial,
setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan
adalah fakta (Bertens, 1999: 137-139). Aristoteles pulalah yang telah
memperkenalkan ucapannya ‘cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena
itu saya ada.”
Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi
perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun
1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’(dalam Suparno, 1997:
24), mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam
semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahwa
‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu’ini berarti
seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang
membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat
mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan
dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu
yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme yakni
konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa (Suparno,
1997: 25).

1. Konstruktivismeradikal
Konstruktivismeradikalhanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran
kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata.Kaum konstruktivisme
radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan
sebagai suatu kriteria kebenaran.Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi
suatu realitas ontologisme obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh
pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari
individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang
pasif, karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap
pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi
itu.

Universitas Sumatera Utara

2. Realismehipotesis
Bagi realismehipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur
realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
3. Konstruktivismebiasa
Konstruktivismebiasamengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan
memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu.Kemudian
pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas
objektif dalam dirinya sendiri.
Dari

ketiga

macam

konstruktivisme,

terdapat

kesamaan

dimana

konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di sekitarnya.Individu kemudian membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan
yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut
dengan konstruksi sosial.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan
Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif
dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian
dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapantahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap
menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan
kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2007: 188-189).
Penjela

Dokumen yang terkait

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 49 110

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

1 7 110

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 12

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 2

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 6

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 3

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 6

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 1 12