Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

(14)

BIODATA PENULIS

Peneliti lahir di Solo pada 18 April 1992. Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Hikmat Yasin dan Nendartik. Meski mewarisi darah Gayo dari sang Ayah, peneliti dibesarkan sejak lahir di Kota Solo.

Pendidikan dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas peneliti jalani di Solo. Lulus dari SMA Tahun 2010 peneliti melanjutkan pendidikan kuliahnya di Sumatera Utara.Di terima melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara.

Selama masa kuliah peneliti aktif di Organisasi Kemahasiswaan Pers SUARA USU. Selama tiga tahun berproses di Pers Mahasiswa SUARA USU, peneliti mendapat berbagai kesempatan untuk menjadi reporter, redaktur online dan terakhir masa jabatan sebagai pemimpin redaksi.Berbagai pelatihan menulis sempat peneliti ikuti diantaranya Pelatihan Jurnalistik Tingkat Nasional yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan tema Meliput di Wilayah Konflik tahun 2012.

Peneliti juga memiliki pengalaman magang di Harian TRIBUN Medan tahun 2012 dan menjalani Paktik Kerja Lapangan (PKL) di TRANS7 Jakarta tahun 2013.


(15)

DAFTAR REFERENSI

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Kumala Erdinaya. (2004). Komuniikasi Massa:

Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Ariwibowo. (2005).Negara, Pemilihan Umum dan Demokrasi, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Azed, Abdul Bari dan Amir, Makmur.(2005). Pemilu dan Partai Politik di

Indonesia.Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara.

Barret, Boyd. (1995). The Analysis of Media Occupations and Profesionals in Boyd Barret, Oliver, and Chris Newbold, Eds. Approaches to Media: A

reader. New York.

Basrowi dan Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. (1992). Pengantar Metode Penelitian

Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional

Bungin, Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi:Teori, Paradigma dan Diskursus

Teknologi. Tangerang: Karisma Publishing Group

Bungin, Burhan. (2008). Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group. Bungin, Burhan. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh

Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen serta Kritik

Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann. Kencana: Jakarta.

Entman, Robert M. (1993). Framing: Toward Classification of a Fractured

Paradigm, dalam Journal of Communication, Vol. 43 No. 4/1993.

Eriyanto.(2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Eriyanto.(2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS.

Hidayat, Dedy N. (1999). Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. Jurnal ISKI, Vol. III, April. Bandung: Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia.

Gamson, William A, and Andre Modegliani.(1989). “Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A Constructionist Approach.” American Journal of Sociology 95, no. 1: 1-37.


(16)

Gamson, William A, and Wolfsf’eld.(1993). “Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 528, Citizens, Protect, and

Democracy.”American Academy of Political and Social Science.

Guba, Egon G. (1990). The Alternative Paradigm Dialog. Newbury Park: Sage Publication.

Kurnia, Septiawan Santana. (2002). Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel.(2001). Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau.

Kriyantono.(2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi.Jakarta: Kencana.

Mulyana, Deddy. (2002). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy.(2001). Metodelogi Penelitian Kualitatif.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. (1995). Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press. Nuruddin. (2003). Komunikasi Massa. Malang: Cespur.

Oetama, Jakob. (1987). Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Pan, Zhondang and Gerald M. Kosicki, “Framing Analysis: An Approach to News

Discourse” dalam Political Communication vol 10/1991.

Rakhmat, Jalaluddin. (2004). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Saripudin dan Qusyaini Hasan.(2003). Tomy Winata dalam Citra Media (Analisis

Berita Pers Indonesia). Jakarta: Jari.

Shoemaker dan Reese.(1996).Mediating the Message: Theories of Influences on

Mass Media Content. USA:Longman.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi.(1995). Metode Penelitian

Survey.Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Siregar, Ashadi. (1998). Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media

Massa. Yogyakarta: Kenisiud dan LP3Y.


(17)

Sobur, Alex. (2001). Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT

RemajaRosdakarya

Sobirin, Achmad. (2007). Budaya Organisasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Sudibyo, Agus. (2001). Politik Media dan Pertarungan Wacana.Yogyakarta:

LKiS.

Tika, Pabundu, (2006). Budaya Organisasi dan Peningkatan

KinerjaPerusahaan. Jakarta: Bumi Aksara

Internet


(18)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini memusatkan pada penelitian kualitatif. Dalam tradisi penelitian kualitatif, proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana apa yang terjadi pada penelitian kuantitatif, karena sebelum hasil-hasil penelitian kualitatif memberi sumbangan kepada ilmu pengetahuan, tahapan penelitian kualitatif melampui berbagai tahapan berpikir kritis-ilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta dan fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya. (Bungin, 2008:6)

Secara metodologis, paradigma konstruktivisme bersifathermeneutical dan dialectical.Variabel dan sifat personal dari konstruksisosial menyebabkan konstruksi individual hanya diperoleh melaluiinteraksi antara peneliti dan responden.Analisis framing dapat menggunakan pendekatan paradigmkonstruktivisme yang melihat representasi media baik berita maupun artikel yang terdiri atas package-package interpretif yang mengandungkonstruksi makna tertentu.Dalam pandangan konstruktivis, mediadipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, media bukan saranayang netral yang menampilkan kekuatan dari kelompok dalam masyarakatsecara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yangakan tampil dalam pemberitaan.

Metode yang dipilih ketika meneliti topik apapun akan tergantungpada pertanyaan yang dicoba untuk dijawab dalam penelitian tersebut. Ketika yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah tentang isi berita,tipe penelitian yang signifikan untuk menjelaskannya adalah tipepenelitian kualitatif (Tuchman dalam Jensen dan Jankowski, 1991: 80).Bogdan dan Taylor (1997) mendefinisikan metodologi kualitatifsebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupakata-kata tertulis atau lisan dari pelaku yang dapat diamati. SedangkanKirk dan Miller (1986) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalahtradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental


(19)

bergantung pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri danberhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa danperistilahannya (Moloeng, 2000: 3).

Penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik, antara lain:

1. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity).

2. Menggunakan metode kualitatif.

3. Menggunakan analisis data secara induktif.

4. Menggunakan teori dari dasar (grounded theory), penyusunanteori berasal dari data yang ada karena tidak ada teori aprioriyang dapat mencakup kenyataan ganda yang mungkin akandihadapi.

5. Lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil karenahubungan bagian-bagian yang diteliti akan jauh lebih jelas biladiamati dalam proses

6. Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reliabilitas danobjektivitas dalam versi lain dibanding yang lazim digunakanpada penelitian klasik

7. Menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikandengan kenyataan lapangan.

Penelitian ini akan menggunakan metode analisis isi dengankonteks framing. Tidak seperti analisis isi konvensional yang secara tipikaldifokuskan pada muatan isi teks berita yang manifest, analisis framing lebih difokuskan pada komentar-komentar interpretative di sekitar isimanifest tersebut.

3.2 Objek Penelitian

Majalah Tempo memiliki sejarah panjang di negeri ini.Kantor Majalah

MingguanTempo yang beraksi di Jalan Proklamasi No.72, Jakarta, itu tak bisa dilepaskan denganperkembanganpemerintahan di Indonesia. Adilnya cukup besar baik dalam membantupenegakan hukum, memberikan wawasan kepada masyarakat dan masih banyak lagi.Walaupun pernah ditutup, pada 21 Juni 1994 oleh Pemerintahan Orde Baru tetapi terushidup dan semakin eksis.

Saat ini Majalah Tempo, The Leading News Magazine di Indonesia dengan pembaca 535.000 orang.Sebagai majalah tertua di Indonesia yang diluncurkan di


(20)

bulan Maret 1971, majalah ini adalah pemegang rekor media yang paling sering dibredel.Halini membuktikan bahwa Tempo lebih mengutamakan independesi, walaupun hal tersebutbukanlah hal yang ringan dan mudah.

Sejak diterbitkan kembali, dengan mengharmonikan tahunan pengalaman denganenergi darah muda, tidaklah mudah bagi Tempo untuk dapat kembali memimpin industrimajalah di tengah persaingan dan menjamurkan majalh-majalah baru.Saat ini Majalah Tempo telah kembali melayani sekita 535.000 pembaca yangberasal dari pembaca yang tetap loyal, sekaligus memikat hati pembaca muda yangberasal dari kalangan orang perkotaan dari kelas menengah atas. Mereka tentunya mapansecara ekonomis, berpendidikan dan diharapkan menjadi motor perkembangan bangsa ini.

Tempo merupakan sebuah gambaran dalam industri pers

Indonesia.Majalah ini menjadi salah satu media tertua di Asia Tenggara.Kegigihannya untuk memperjuangkan kemerdekaan jurnalisme telah membuat Tempo menjadi sebuah legenda dalam sejarah industri Pers Indonesia.Pada saat dilarang terbit pada tahun 1982 dan 1994, Tempo tidak berhenti menyuarakan perjuangannya dan telah menjadi salah satu sarana kemerdekaan pers yang dinikmati Indonesia saat ini.Jatuh-bangun, naik-turun, bukan sekadar hal yang biasa.Itu bagaikan dua sisi mata uang dalam pengalamannya.Sebagai majalah berita tertua di negeri ini (Pontoh, 2005:30).

Majalah mingguan ini terbit perdana pada April 1971 dengan berita utama mengenai cedera parah yang dialami Minarni, pemain badminton andalan Indonesia di Asean Games Bangkok, Thailand. Dimodali Rp 20 juta oleh Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra; digawangi oleh mereka para seniman yang mencintai pekerjaannya dan para wartawan berpengalaman yang dipecat atau keluar dari tempat kerja sebelumnya: Ekspress, Kompas, dan lainnya.

Para seniman dan wartawan itu adalah Goenawan Mohamad (Ketua Dewan Redaksi), Bur Rasuanto (Wakil Ketua), Usamah, Fikri Jufri, Cristianto Wibisono, Toeti Kakiailatu, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah Asa, Zen Umar Purba, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Salim Said, dan lainnya. Satu orang


(21)

kepercayaan dari Yayasan Jaya Raya juga turut serta mengelola Tempo, yaitu Eric Samola.

Nama Tempo dipilih karena; pertama, singkat dan bersahaja, enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala jurusan; kedua, terdengar netral, tidak mengejutkan dan tidak merangsang; ketiga, bukan simbol sebuah golongan; dan keempat, Tempo adalah waktu.

Edisi pertama Tempo laku sekira 10.000 eksemplar.Disusul edisi kedua yang laku sekira 15.000 eksemplar. Progress penjualan oplah ini menepis keraguan Zainal Abidin, bagian sirkulasi Tempo, yang menganggap majalah ini tidak akan laku. Selanjutnya, oplah Tempo terus meningkat pesat hingga pada tahun ke-10, penjualan Tempo mencapai sekira 100.000 eksemplar.

Dalam perjalanannya, terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Tempo antara Goenawan dengan Bur. Keduanya memiliki perbedaan ide dasar. Goenawan ingin Tempo bergaya tulis feature (bercerita), sedangkan Bur cenderung ke news. Keduanya pun sering berbeda paham dan saling bertolak pendapat.

Puncaknya pada saat Bur melemparkan air kopi ke arah Goenawan.Tindakan yang dianggap kelewatan oleh Goenawan hingga dia meminta kepada Eric Samola untuk memutuskan, apakah dia yang keluar atau Bur. Akhirnya Bur yang mengundurkan diri dari Tempo.

Pembredelan I: Pada 12 April 1982, di usia yang ke-12 tahun, Tempo dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota.

Diduga, pembredelan tersebut terjadi karena Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan berita tersebut. Pada 7 Juni 1982, pembredelan Tempo dicabut setelah Goenawan membubuhkan tanda tangan di secarik kertas. Secarik kertas itu berisi permintaan maaf Tempo dan kesediaan untuk dibina oleh pemerintah.Waktu itu, Goenawan tidak punya pilihan lain memang.


(22)

Pembredelan II, pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya: Editordan majalah yang sedang berkembang: Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie.Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga, penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran.(Majalah Tempo, 6 Maret 2012)

Kalau dulu syarat terbit kembali sangat mudah, hanya bertanda tangan di secarik kertas, kali ini sangat sulit. Keluarga Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam penjelasannya kepada Erick Samola di sebuah pertemuan di hotel memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka (Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo.

Jajaran pemimpin Tempo mendiskusikan syarat tersebut.Semuanya kemudian bersepakat untuk menolaknya.Mereka rela Tempo tidak pernah terbit lagi.Ini adalah persoalan integritas diri, alasannya. Pembredelan tiga media tersebut di atas menyulut pelbagai demonstrasi massa. Salah satunya, demonstrasi berdarah pada 27 Juni 1994 oleh para aktifis, mahasiswa, dan buruh.Di tubuh PWI juga terjadi demonstrasi.Sebagian wartawan seperti Ahmad Taufik, Dita Indah Sari, dan lainnya sepakat untuk mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).Mereka menuduh PWI berdiri di bawah ketiak pemerintah.

Walau pun dibredel, Tempo punya cara sendiri untuk tetap eksis dan menyapa pembacanya. Pada 1996, Tempo meluncurkan majalah digital pertama di Indonesia: Tempo Interaktif, melalui situs www.tempo.co.id. Karena beredar di dunia maya, majalah ini lolos dari jangkauan pembredelan.

Meskipun Tempo tetap eksis, sebagian wartawannya tidak tahan hidup tanpa penghasilan yang jelas. Mereka pun keluar: Lukman Setiawan, Mahtoem Mastoem, Harjoko Trisnadi, Herry Komar, Amran Nasution, dan Agus Basri. Mereka kemudian mendirikan majalah Gatra yang dimodali Bob Hasan, pengusaha dan orang kepercayaan Presiden Soeharto. Sebagian yang lain bergabung di majalah Forum dan tabloid Kontan. (Majalah Tempo, 6 Maret 2012)


(23)

Jatuhnya Presiden Soeharto pada reformasi 21 Mei 1998 dan naiknya BJ Habibie sebagai Presiden memberi angin segar bagi masa depan Tempo. Ya, benar saja, BJ Habibie mencabut pembredelan Tempo dan mengizinkannya untuk terbit kembali.

Gayung bersambut, awak Tempo bergerak.Sekira 40 orang berkumpul di Teater Utan Kayu untuk memikirkan Tempo baru. Hasilnya, melalui PT Arsa Raya Perdana dan dengan investasi baru sekira Rp 5 milliar, Tempo edisi perdana pascabredel terbit pada Selasa, 6 Oktober 1998.

“Kami makin sadar: ada sesuatu yang lebih berharga ketimbang nafkah dan kepuasan profesional, yakni kemerdekaan dan harga diri,” tulis editorial perdana Tempo pascabredel.Perkembangan Tempo pascabredel sangat progress. Oplah mencapai sekira 60 ribu eksemplar tiap kali terbit, mengalahkan majalah pesaing: Gatra, Forum, Panji Masyarakat, dan Gamma. Begitu pula dari sisi iklan, Tempo meraih 41% porsi iklan dibandingkan para pesaingnya tersebut. Persentase tersebut meningkat pada tahun 2000 menjadi 50% dan pada tahun 2005 menjadi 70%.

Perkembangan yang luar biasa tersebut membuat manajemen menerbitkan

Tempo dalam edisi Inggris bernama Tempo Magazine pada 12 September

2000.Edisi Inggris ini terbit tiap minggu, dua hari setelah edisi Indonesia terbit.Oplahnya lumayan, laku sekira 7 ribu eksemplar di edisi perdananya.Intinya, Tempo kini bisa dibeli di luar negeri dan dibaca oleh orang asing.

Pada 6 Nopember 2000, Tempo menjadi media pertama yang masuk bursa saham (go public). Nama PT Arsa Raya Perdana diganti menjadi PT Tempo Media Inti supaya mudah dikenali. Pada penawaran perdananya, Tempo menawarkan 200 juta saham dan 100 juta warran guna maraup dana segar Rp 75 milliar.

Terbit dengan 120,000 eksemplar per-minggu dengan jumlah pembaca 535,000.Jaringan distribusi yang merata di Jakarta (44,5%), Botabek (27,3%) Bandung (4,1%),Medan (3,4%), Yogyakarta (2,1%), Sleman-Bantul (2,4%), Palembang (3,4%) dan Denpasar (0,9%0. Cakupan pembaca Majalah TEMPO adalah 71% pria dan 21% wanita.Jenispekerjaan terbanyak (55%) adalah white


(24)

collar. Untuk pendidikan, 65% pembaca Tempo adalah lulusan SMA dan post graduate dengan tingkat pengeluaran kelas AB (65%).

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah laporan utama Majalah TEMPO yang bejudul

Siasat Aburizal edisi 25 November-1Desember 2013.

3.4 Kerangka Analisis

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi kualitatif menggunakan analisis framing sebagai pisau analisis.

Penelitian ini menggunakan model framing milik Gamson danModigliani. Gamson mendefinisikan frame sebagai organisasi gagasansentral atau alur cerita yang mengarahkan makna peristiwa-peristiwa yangdihubungkan dengan suatu isu. Frame merupakan inti sebuah unit besarwacana publik yang disebut package. Robert M. Entman mengatakan adaempat fungsi frame, yaitu:

1. Mendefinisikan masalah

2. Mendiagnosa atau melihat penyebab masalah 3. Melakukan penilaian moral

4. Memberikan saran untuk perbaikan

Analisis framing yang dikembangkan Gamson dan Modiglianimemahami media sebagai satu gagasan interpretasi (interpretativepackage) saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu.Modelini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasimedia seperti berita dan artikel terdiri atas interpretative package yang mengandung konstruksi makna tertentu. Di dalam package ini terdapat duastruktur yaitu Core Frame dan Condensing Symbols.

Core frame (gagasan sentral) pada dasarnya berisi elemen-elemeninti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa danmengarahkan makna isu yang dibangun condensing symbol. Condensingsymbol (simbol yang dimampatkan) adalah hasil pencermatan terhadapinteraksi perangkat simbolik (framing device dan reasoning devices)sebagai dasar digunakannya perspektif


(25)

simbol dalam wacana terlihattransparan apabila dalam dirinya terdapat perangkat bermakna yangmampu berperan sebagai panduan untuk menggantikannya sesuatu yanglain.

Struktur framing devices mencakup metaphors, exemplars,catchphrases, depiction dan visual images.Struktur ini menekankan aspekbagaimana melihat suatu isu. Metaphors diartikan sebagai caramemindahkan makna dengan menghubungkan dua fakta melalui analogatau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti ibarat, bak,sebagai, umpama, laksana. Exemplars mengemas fakta tertentu secaramendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikanacuan.Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan beritauntuk membenarkan perspektif.Catchphrases adalah istilah, bentukankata atau frase khas cerminan fakta yang merujuk atau semangat tertentu.

Depiction adalah penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah dankalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu.Visual Imagesseperti pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun dan lainnyadigunakan untuk mengekspresikan kesan.

Struktur reasoning devices menekankan aspek pembenaranterhadap cara melihat isu yakni dengan roots (analisis kausal) dan appealto principle (klaim moral). Roots adalah pembenaran isu denganmenghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebabtimbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya adalah membenarkanpenyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebab-akibat yang digambarkanAppeal to principle adalah pemikiran prinsip yang digunakan sebagaiargumentasi pembenaran membangun berita berupa pepatah, cerita rakyatatau mitos.Tujuannya adalah membuat khalayak tak berdaya menyanggahargumentasi.

Seluruh berita yang telah dianalisis satu per satu denganmenggunakan perangkat framing Gamson dan Modigliani kemudiandibahas secara menyeluruh dan umum.Lalu, ditarik kesimpulan yangdapat digunakan untuk melihat bagaimana Majalah Tempo membingkai dan mengkonstruksikan citra Aburizal Bakrie dalam peranannya sebagai calon presiden.


(26)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data primer, yaitu data unit analisis dari teks yang tertulis pada

laporan utama Majalah tempo yang berjudul Siasat Aburizal.

b. Data sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (library

research), dengan mengumpulkan literatur serta berbagai sumber


(27)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis teks citra Aburizal Bakrie terkait pemilihan presiden 2014 akan dilakukan dengan analisis framing yang merujuk pada konsep Gamson dan Modegliani. Dalam konsep ini, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana.

Laporan utama Majalah TEMPO edisi 25 November-1 Desember 2013 yang berjudul “Siasat Aburizal” mengupas dalam tentang wacana Aburizal sebagai calon presiden 2014. Ada tiga teks dengan alur narasi yang TEMPO sajikan, selebihnya satu teks dialog dengan Aburizal dan ada tiga berbagai opini yang mendukung laporan utama tersebut.

Mula-mula teks dipilih untuk melihatcoreframe atau elemen inti berita. Selanjutnya peneliti akan melihatframing devices atau perangkat framing,dengan menganalisis methapors, catchphrases, exemplar, depiction, dan visual

image.sertareasoning devices atau perangkat penalaran dengan menganalisisroots,

appeals to principle, danconsequences. Selanjutnya hasil analisis teks akan

dideskripsikan dengan merujuk pada bingkai yang dibawanya untuk mengetahui seperti apa citra Aburizal dikonstrusi.


(28)

4.1 Hasil

Analisis Teks 1

Judul : Calon Presiden Satu Digit Halaman : 34-38

Frame : Usaha Mengerek Elektabilitas Aburizal Tak Berhasil

Sejak ditetapkan sebagai calon presiden dari Partai Golkar dalam Rapat Pimpinan Nasional Golkar pada Juni 2012 di Bogor lalu, Aburizal terus memacak diri. Majalah TEMPO dalam teks ini menjabarkan beragam permasalahan serta persiapan Aburizal guna memantaskan dirinya sebagai calon presiden periode 2014-2019.

Elemen Inti Berita (Idea Element/ Core Frame)

Dalam teks ini, citra dari seseorang yang akan maju dalam pertarungan pemilihan presiden harus dibentuk dari sosok diri. Masyarakat kini mulai cerdas akan media, sekuat apapun Aburizal menguasai media di Indonesia bukan jaminan jalannya yang mulus menuju pemilihan presiden 2014. Dalam teks ini dijabarkan usaha keras Aburizal dalam mencitrakan dirinya melalui media yang dibawahi perusahaannya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan teks berikut:

Wajah Aburizal Bakrie muncul setiap waktu di stasiun televise miliknya. Kadang pagi buta dan lain kali menjelang tengah malam. Catatan Komisi Penyiaran Indonesia menunjukkan pariwara Ketuua Umum Partai Golkar itu dipasang di TV One kepunyaanya bervariasi sejak pukul 03.00 hingga 23.00. Selain itu, berita-berita tentang dia ditayangkan stasiun televise yang sama setiap hari.

Teks di atas menekankan usaha keras Aburizal dalam mencitrakan dirinya melalui media yang dimilikinya.Namun usaha kerasnya tak bersambut baik dengan hasil sementara yang banyak dikeluarkan lembaga-lembaga survey yang mengukur elektabilitas dari para bakal calon yang kiranya maju pemilihan presiden 2014. Sebagimana dalam teks berikut:


(29)

Sementara waktu pemilihan presiden semakin dekat, aneka lembaga survey yang relative independen menyimpulkan tingkat kepopulerannya masih satu digit.

Pemikiran atau ide lain yang mencuat dalam teks berita ini adalah tentang Tim Sukses yang bertugas khusus memermak tampilan dan performa Aburizal, adalah Tim ARB yang dipimpin Rizal Malarangeng dan Fuad Hasan Mansyur. Seperti dalam teks berikut:

Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Golkar Indra Jaya Piliang mengatakan tim-tim sukses itu bergerak bebas mendongkrak citra dan elektabilitas Ical sesuai dengan tugas masing-masing.Di kalangan internal Partai Beringin, dibentuk Badan Koordinasi Pemenangan Pemilu yang dipimpin Cicip.

Nyatanya Aburizal tak kehilangan seribu akal untuk menangani masalah elektabilitasnya yang rendah. Hasil survey lembaga yang independen pun dibalas dengan hasil survey yang ia sewa sendiri. Lebih jauh pergerakan Aburizal selain terus menerus mengkampanyekan dirinya dan bersafari keseluruh hampir wilayah di Indonesia, Aburizal juga telah mendekati dan meminang beberapa nama besar untuk mendampinginya maju sebagai calon presiden, salah satunya Gubernur JawaTimur yang telah menolak ajakan sang Ketua Umum Partai Golkar ini.

Perangkat Pembingkai (Framing Devices)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan pemakaian simbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks berita.Simbol itu dipakai untuk memberi kesan atau efek penonjolan makna yang disajikan.Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto dan aksentuasi gambar tertentu.Semua elemen itu dipakai dalam teks, dan dipahami dalam analisis framing bukan sebagai perangkat tulisan berita, melainkan sebagai suatu strategi wacana untuk menekankan makna atau mengedepankan pandangan tertentu agar lebih diterima oleh khalayak.

Semua elemen dalam perangkat pembingkai itu dipakai untuk memberikan citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Dalam teks berita


(30)

ini,perangkat pembingkai itu paling tidak dipakai dengan tujuan memberikan citra yang buruk akan usaha pencalonan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden. Dalam teks digambarkan usaha apapun akan ditempuh guna memenuhi segala rencana yang telah ditetapkan. Citra ini dilakukan misalnya seperti kutipan teks ini:

Golkar mematok target perolehan suara minimal 20 persen kursi Dewan dalam Pemilu 2014 agar bisa mengajukan Ical dalam pemilihan presiden. Bila target tercapai, Partai Beringin bebas memilih calon pendamping jagonya. Tapi, kalau perolehannya di bawah target, Golkar bakal berkoalisis dengan partai lain yang mengajukan calon wakil presiden. “Kalau Golkar mendapat 30 persen, bisa mengatur siapa musuh yang hendak kami hadapi,” kata Cicip.

Ini ditulis untuk menekankan bahwa apapun hasil pemilu legislatife nantinya tidak akan mempengaruhi rencana usulan Aburizal sebagai calon presiden dari Partai Golkar nantinya. Teks ini didukung dengan salah satu foto yaitu ketika Aburizal tersenyum memberikan pidato politiknya dengan poster bertuliskan “ARB SUKA nomor 2” yang mengisyaratkan kelak ia akan menjadi calon presiden dengan nomor urut 2.

Citra buruk usaha Aburizal dalam mencalonkan diri sebagai presiden tersebut dengan dituliskannya dalam teks tersebut adalah usahanya membuat survey ‘sendiri’ untuk mengukur tingkat elektabilitas calon presiden yang kiranya akan maju dalam pemilihan presiden 2014 ini. Toh, pada akhirnya Aburizal juga tak unggul di lembaga survey manapun. Sebagaimana dalam teks tersebut:

Pengusaha senior ini tak kurang akal.Ia meminta survey “yang lebih realistis”, yaitu mengukur tingkat keterpilihan “calon presiden yang mungkin”.Jokowi disingkirkan karena belum pasti dicalonkan PDI Perjuangan. Adapun Prabowo dikeluarkan karena partainya dianggap tidak akan memperoleh tiket pencalonan dalam pemilihan tahun 2014.

Nyatanya elektabilitas pengusaha beberapa media massa nasional ini tak sebaik usahanya ketika menayangkan iklan maupun berita baik tentang sosoknya guna mempropagandai masyarakat agar memilihnya. Kendati demikian,


(31)

media-media massa miliknya tetap konsisten dalam menjalankan usahanya untuk memperkenalkan sang pemilik sebagai calon presiden yang baik.

Perangkat Penalaran (ReasoningDevices)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan seperangkat penalaran untuk menekankan kepada khalayak bahwa “versi berita” yang disajikan dalam teks itu adalah benar.Sebuah berita tidak semata-mata sebuah gagasan.Ia adalah kumpulan dari fakta yang dijejer yang pada hasil akhirnya berupa, bukan hanya paparan atas suatu informasi, melainkan juga suatu bingkai informasi dengan perspektif dan pandangan tertentu. Karena itu, fakta yang dipilih secara tidak langsung dalam pandangan ini untuk memperkuat bangunan perspektif yang telah disusun oleh wartawan.

Dalam teks berita, perangkat penalaran itu disajikan dengan beberapa pola. Citra buruk atas usaha Aburizal guna mendongkrak popularitasnya sebagai calon presiden pilihan masyarakat ditekankan lewat roots: Elektabilitas bukan layaknya sebuah saham perusahan yang dapat dibeli dengan mudah asal ada uang. Masyarakat akan menilai seseorang dari figur dan latar belakang kehidupannya. Faktanya elektabilitas Aburizal masih rendah, meski berbagai upaya telah dilakukan. Beragam citra baik yang telah Ia iklankan melalui media miliknya pun tak kunjung membawa angin segar baginya. Begitu pula hasil survei lembaga yang sengaja ia sewa.

Penalaran yang lain yakni berbagai usaha Tim ARB yang memermak Ical sedemikian rupa dari cara berbicara, duduk hingga jadwal kampanye sehari-hari Ical. Jelas di sini mengisyaratkan segala tingkah polah Aburizal yang selama ini kita lihat adalah merupakan “setting-an” guna mendapat simpatik rakyat agar terpesona pada sosoknya dan sepakat memilihnya sebagai Presiden Republik Indonesia.


(32)

Frame: Usaha Mengerek Elektabilitas Aburizal Tak Berhasil

Framing Devices Reasoning Devices

Metaphors: (Tidak ditemukan) Roots: Elektabilitas bukan layaknya sebuah

saham perusahan yang dapat dibeli dengan mudah asal ada uang. Masyarakat akan menilai seseorang dari figur dan latar belakang kehidupannya. Faktanya

elektabilitas Aburizal masih rendah, meski berbagai upaya telah dilakukan. Beragam citra baik yang telah Ia iklankan melalui media miliknya pun tak kunjung membawa angin segar baginya. Begitu pula hasil survei lembaga yang sengaja ia sewa.

Exemplars: Menurut Wakil Ketua Umum

Golkar Sharif Cicip Sutardjo, Aburizal belum begitu kuat pengaruhnya di media

onlinedan televisi. Menteri Kelautan dan

Perikanan ini mengakui iklan ARB di TV Onedan ANTVcukup bagus,”Tapi penonton televisi lain lebih banyak.”

AppletoPrinciples: Dengan elektabilitas

yang baik maka akan mempermudah Aburizal menjadi calon presiden dan memenangkan pemilu presiden nantinya.

Catcpharases: Ia kalah jauh dibanding

Gubernur Jakarta Joko Widodo dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Elektabilitas Aburizal juga kalah jauh dibandingkan dengan tingkat keterpilihan Partai Golkar yang ia pimpin sejak 2009.

Consequences:. Aburizal tidak layak maju

menjadi calon presiden karena tidak memiliki elektabilitas yang rendah.

Depiction: Sementara waktu pemilihan

presiden semakin dekat, aneka lembaga survey yang relative independen


(33)

masih satu digit.

Visual Image: Foto Aburizal yang tengah berpidato meresmikan posko pemenangan ARB wilayah Sulawesi Selatan. Foto ini menekankan berbagai upaya telah dilakukan untuk menaikkan citra Aburizal sebagai calon presiden.

Teks II

Judul : Layar Tersendat Sang Kandidat Halaman : 40-41

Frame : Aburizal Bakrie Gagal Memimpin Partai Golkar

Beragam permasalahan Aburizal tidak hanya dari persoal fakta elektabilitas untuk menuju kursi calon presiden 2014.Dalam Teks ini Tempo berhasil mewawancarai beberapa elit politik Partai Golkar.Perpecahan suara dan pendapat terjadi di dalam tubuh partai sendiri. Salah satunya bahkan hasil rapat pleno yang mengusung sang pimpinan partai maju sebagai calon presiden.

Elemen Inti Berita (Idea Element/ Core Frame)

Berikut satu paragraf yang berada di awal teks:

“Menurut Akbar, mesin partai belum berjalan baik. Buktinya, kerja pengurus pada saat pemilihan kepala daerah tidak berjalan. Sejumlah daerah yang selama ini disebut sebagai kantong suara Golkar, seperti Jawa Timur, Sumatera, , Maluku Utara dan Banten, kata ketua umum 1999-2004 itu, tak digarap maksimal.

Partai Golkar telah pecah dan tak pernah satu suara belakangan menjadi isu yang santer diberbagai media massa nasional. Dalam berbagai putusan, gaya kepemimpinan Aburizal jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan pendahulunya.


(34)

Seringnya, Ia mengambil tindakan sendiri tanpa membuat konvensi. Aburizal sendiri memiliki pendirian bahwa konvensi hanya akan menimbulkan perpecahan.

Begitupun dengan hasil putusan Partai Golkar yang akan mengusung dirinya sebagai calon presiden. Terdapat dua kelompok yang pro dan kontra akan putusan ini. Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar periode lalu sebagaimana tertuang dalam teks berikut ini:

“Meski telah dilobi, pidato Akbar tetap keras mengkritik atau menyindir.Ia mengingatkan soal elektabilitas Ical yang tak berbanding lurus dengan dengan safari yang dilakukannya. Karena itu, Ia menyarankan sebaiknya ada”strategi baru dan uji elektabilitas” untuk mendongkrak tingkat keterpilihan Aburizal.”

Sikap ini yang terus dilawan Aburizal sebagaimana pantun yang ia bacakan dalam pidato rapat pimpinan nasional, “Sudah kukembangkan layarku, pantang bagiku surut kembali.”

Perangkat Pembingkai (Framing Devices)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan pemakaian simbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks berita.Simbol itu dipakai untuk memberi kesan atau efek penonjolan makna yang disajikan.Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto dan aksentuasi gambar tertentu.Semua elemen itu dipakai dalam teks, dan dipahami dalam analisis framing bukan sebagai perangkat tulisan berita, melainkan sebagai suatu strategi wacana untuk menekankan makna atau mengedepankan pandangan tertentu agar lebih diterima oleh khalayak.

Semua elemen dalam perangkat pembingkai itu dipakai untuk memberikan citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Dalam teks berita ini,perangkat pembingkai itu paling tidak dipakai dengan tujuan memberikan gambaran bahwa Aburizal Bakrie tidak baik dalam memimpin Partai Golkar metafora (metaphors) seperti:

“Menurut Ketua Goolkar Yorrys Rweyai, gaya kepemimpinan Aburizal mengubah budaya Golkar selama ini dekat dengan tentara. “Sekarang tak ada satupun eks-tentara di Dewan Pimpinan Pusat,” ujarnya.Ia menilai Aburizal


(35)

memimpin Golkar seperti mengelola perusahaan. “Orientasinya pada hasil, tak peduli proses,” kata Yorrys.Ia mencontohkan, banyak keputusan strategis yang tidak dibahas dalam rapat pleno.”

Ini ditulis untuk menekankan bahwa ada kelompok-kelompok bahkan internal yang tidak sependapat dan sejalan dengan gaya Aburizal memimpin Partai Golkar.

Permasalahan semakin terang selepas pengikraran Aburizal menuju pencalonan untuk mendapatkan kursi nomor satu di negeri ini. Meski usaha internal dalam partai telah menggaung, pun kisruh terjadi sampai pada saat ini sahnya Jusuf Kalla sebagai wakil presiden Joko Widodo sedang oleh Aburizal Partai Golkar menyatakan dukungan pada Prabowo Subianto.

“IskandarMandji wakil sekretaris jenderal pada era Ketua Umum Jusuf Kalla, menilai pidato Akbar yang keras itu menggambarkan kekisruhan situasi dalam partai.Selama ini, kata dia, kritik Kalla dan Akbar dianggap sebagi perlawanan atas pencalonan Ical.”

Perangkat Penalaran (ReasoningDevices)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan seperangkat penalaran untuk menekankan kepada khalayak bahwa “versi berita” yang disajikan dalam teks itu adalah benar.Sebuah berita tidak semata-mata sebuah gagasan.Ia adalah kumpulan dari fakta yang dijejer yang pada hasil akhirnya berupa, bukan hanya paparan atas suatu informasi, melainkan juga suatu bingkai informasi dengan perspektif dan oandangan tertentu. Karena itu, fakta yang dipilih secara tidak langsung dalam pandangan ini untuk memperkuat bangunan perspektif yang telah disusun oleh wartawan.

Dalam teks berita, perangkat penalaran itu disajikan dengan beberapa pola.Bahwa semakin banyak permasalahn Aburizal untuk maju sebagai calon presiden saja bahkan di luar faktor internal sosok Aburizal juga eksternal prestasi yang muncul dimasyarakat, roots: Kondisi internal partai sendiri yang pecah dan tidak satu suara dalam mengajukan Pimpinan partainya untuk menjadi calon presiden berakibat buruk bagi upaya Aburizal untuk meyakinkan masyarakat.


(36)

Penalaran yang lain yakni Bagaimana akan memimpin sebuah negara jika memimpin satu partai saja tidak berhasil.

Kodifikasi Teks II

Frame: Aburizal Bakrie Gagal Memimpin Partai Golkar

Framing Devices Reasoning Devices

Metaphors: Ia menilai Aburizal memimpin

Golkar seperti mengelola perusahaan. “Orientasinya pada hasil, tak peduli proses,” kata Yorrys. Ia mencontohkan, banyak keputusan strategis yang tidak dibahas dalam rapat pleno.

Roots: Kondisi internal partai sendiri yang

pecah dan tidak satu suara dalam mengajukan Pimpinan partainya untuk menjadi calon presiden berakibat buruk bagi upaya Aburizal untuk meyakinkan

masyarakat.

Exemplars: Kondisi semakin panas ketika

Aburizal ditetapkan sebagai calon presiden pada Rapat Pimpinan Nasional II di Hotel Mercure, Ancol, Juli 2012. Keputusan penetapan calon presiden dinilai Yorrys terburu-buru, sementara konsolidasi partai tak sepenuh struktur pemenangan hingga ke tingkat provinsi dan daerah pemilihan.

AppletoPrinciples: Menurut Akbar, mesin

partai belum berjalan baik. Buktinya, kerja pengurus pada saat pemilihan kepala daerah tidak berjalan. Sejumlah daerah yang selama ini disebut sebagi kantong suara Golkar, seperti Jawa Timur, Sumatera, Maluku Utara, dan Banten, kata ketua umum 1999-2004 itu, tak digarap maksimal.

Catcpharases: Meski telah dilobi, pidato

Akbar tetap keras mengkritik atau menyindir. Ia mengingatkan soal elektabilitas Ical yang tak berbanding lurus dengan safari yang dilakukannya.

Consequences:. Bagaimana akan memimpin

sebuah negara jika memimpin satu partai saja tidak berhasil.

Depiction: IskandarMandji wakil sekretaris

jenderal pada era Ketua Umum Jusuf Kalla, menilai pidato Akbar yang keras itu


(37)

menggambarkan kekisruhan situasi dalam partai. Selama ini, kata dia, kritik Kalla dan Akbar dianggap sebagi perlawanan atas pencalonan Ical.

Visual Image: Selain soal pencalonan, gesekan di tubuh Golkar bersumber pada model kepemimpinan Aburizal. Struktur kepengurusan partai yang gemuk-hampir 400 orang-membutuhkan waktu lama untuk konsolidasi.

Teks III

Judul : Nyawa Sembilan ‘Petarung Jalanan’ Halaman : 44-46

Frame : Sukses Mengelola Berbagai Perusahaan Justru Membawa Citra Buruk Pada Aburizal Bakrie

Jauh sebelum kita mengenal sosok Aburizal Bakrie sebagai Menteri Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu dan Pemimpin Umum Partai Golkar, ia adalah pengusaha sukses. Bisnisnya tersebar hampir diseluruh wilayah di Indonesia.Tak ayal pada 2007 Majalah Forbesmenempatkannya sebagai orang terkaya di Indonesia dan nomor empat di Asia Tenggara. Pada teks ini TEMPO menyajikan data berbagai perusahaan yang telah atau tengah Aburizal jalankan serta berbagai dampak dari usaha yang ia geluti.

Elemen Inti Berita (Idea Element/ Core Frame)

Aburizal dikenal sebagai seorang pengusaha yang tangguh.Meski kerap diberitakan berbagai bisnisnya dirundung timbunan hutang dan krisis ekonomi kelihainnya memainkan persepsi justru menampilkan keadaannya yang sebaliknya pada masyarakat. Sebagaimana telah diakui dalam teks:


(38)

“Menurut pengamat pasar modal Yanuar Rizky, jurus bertahan Bakrie dalam bisnis adalah pandai mengelola persepsi”

Sehingga keadaan yang buruk justru akan tampak baik-baik saja oleh persepsi yang Aburizal bangun sendiri.Usahanya pun pernah membawanya pada sebuah kerugian teramat besar yang tidak hanya merugikan pihak perusahaannya tetapi masyarakat juga.Tentu tidak ada yang asing dengan kejadian lumpur lapindo yang tak henti menyembur di salah satu daerah di Jawa Timur yaitu Sidoarjo. Selain itu, kasus penggelapan mafia pajak Gayus Tambunan pun membawa nama perusahaan Bakrie.

Masyarakat mulai melihat sebelah mata pada sosok Aburizal. Meski Ia mau menanggung Rp 9 Triliun untuk korban lumpur Sidoarjo tapi ingatan masyarakat akan bencana yang banyak memakan korban tentu tak bisa dihilangkan. Inilah salah satu aspek sulitnya elektabilitas seorang Aburizal tinggi di mata masyarakat Indonesia.Masyarakat menilai jika Aburizal menjadi pemimpin negeri ini tentu terbesit tujuan-tujuan agar lebih mempermudah jalan bisnisnya.

Perangkat Pembingkai (Framing Devices)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan pemakaian simbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks berita.Simbol itu dipakai untuk memberi kesan atau efek penonjolan makna yang disajikan.Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto dan aksentuasi gambar tertentu.Semua elemen itu dipakai dalam teks, dan dipahami dalam analisis framing bukan sebagai perangkat tulisan berita, melainkan sebagai suatu strategi wacana untuk menekankan makna atau mengedepankan pandangan tertentu agar lebih diterima oleh khalayak.

Semua elemen dalam perangkat pembingkai itu dipakai untuk memberikan citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Dalam teks berita ini,perangkat pembingkai itu paling tidak dipakai dengan tujuan memberikan citra yang buruk akan usaha seorang Aburizal menjadi pemimpin negeri ini sedang dilain pihak ia juga banyak memimpin berbagai perusahaan juga. Citra ini dilakukan misalnya dengan pemakaian metafora (metaphors) seperti:


(39)

“Pengamat ekonomi Lin Che Wei pernah menyebutkan Bakrie punya nyawa Sembilan karena bisnisnya tetap eksis kendati dihajar badai kanan-kiri.”

Teks ini didukung dengan sebuah bagan yang disajikan Tempo di satu halaman penuh untuk menunjukkan perusahaan apa-apa saja yang tengah Aburizal jalani.Sejarah panjang Aburizal mengelola perusahaan besar juga dinarasikan secara apik dalam teks ini. Jatuh bangun bisnis keluarga Bakrie diceritakan runut dan detail, salah satu prestasinya tersurat dalam teks berikut ini:

“Bonanza itu membuat keluarga Bakrie membeli kembali saham Bakrie & Brothers hingga 40 persen.Oleh majalah Forbes, pada 2007, Aburizal ditempatkan sebagai orang terkaya nomor satu di Indonesia dan nomor empat di Asia Tenggara.Hartanya Rp 12 Triliun.“Ini sejarah ada pengusaha pribumi jadi terkaya di Asia,” katanya.”

Perangkat Penalaran (ReasoningDevices)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan seperangkat penalaran untuk menekankan kepada khalayak bahwa “versi berita” yang disajikan dalam teks itu adalah benar.Sebuah berita tidak semata-mata sebuah gagasan.Ia adalah kumpulan dari fakta yang dijejer yang pada hasil akhirnya berupa, bukan hanya paparan atas suatu informasi, melainkan juga suatu bingkai informasi dengan perspektif dan oandangan tertentu. Karena itu, fakta yang dipilih secara tidak langsung dalam pandangan ini untuk memperkuat bangunan perspektif yang telah disusun oleh wartawan.

Dalam teks berita, perangkat penalaran itu disajikan dengan beberapa pola. Citra buruk atas usaha Aburizal guna mendongkrak popularitasnya sebagai calon presiden pilihan masyarakat ditekankan lewat roots: Jauh sebelum masuk dalam dunia perpolitikan Aburizal Bakrie karena berbagai usaha besarnya yang hampir tersebar di seluruh Indonesia. Dalam usaha bisnis mungkin Bakrie terbilang cemerlang namum tidak dibidang politik.

Penalaran yang lain yakni Citra buruk Aburizal Bakrie justru dari suksesnya ia menjalankan berbagai usaha yang membuatnya pernah menjadi kelompok orang terkaya bahkan di kancah dunia.


(40)

Kodifikasi Teks III

Frame: Sukses Mengelola Berbagai Perusahaan Justru Membawa Citra Buruk Pada Aburizal Bakrie

Framing Devices Reasoning Devices

Metaphors: Pengamat ekonomi Lin Che Wei

pernah menyebutkan Bakrie punya nyawa Sembilan karena bisnisnya tetap eksis kendati dihajar badai kanan-kiri.

Roots: Jauh sebelum masuk dalam dunia

perpolitikan Aburizal Bakrie karena berbagai usaha besarnya yang hampir tersebar di seluruh Indonesia. Dalam usaha bisnis mungkin Bakrie terbilang cemerlang namum tidak dibidang politik.

Exemplars: Menurut pengamat pasar modal

Yanuar Rizky, jurus bertahan Bakrie dalam bisnis adalah pandai mengelola persepsi.

AppletoPrinciples: Pada Mei 2006, di ladang

pengeboran PT Lapindo Brantas yang sahamnya dimiliki salah satu perusahaan Bakrie, menyembur lumpur tak henti-henti. Sebagian Sidoarjo tenggelam. Penduduk menuntut ganti rugi kepada Bakrie.

Catcpharases: Dalam dunia bisnis, ada teori

kuno yang dicucuh ahli ekonomi inggris, Joseph Schumpeter: berani optimis, dan memanfaatkan duit orang lain.

Consequences: Citra buruk Aburizal Bakrie

justru dari suksesnya ia menjalankan berbagai usaha yang membuatnya pernah menjadi kelompok orang terkaya bahkan di kancah dunia.

Depiction: Nathaniel Rothschild, baron

Inggris, mebenamkan Rp 10 triliun kepada PT Bumi Resources pada 2010 justru ketika keluarga Bakrie diterpa Isu penggelapan pajak dan lumpur Lapindo. Dengan uang sebanyak itu, Rothschild pun hanya menjadi pemilik saham minoritas. Kerjasama mereka tak lama. Rothschild memutuskan hengkang lewat drama saling pecat eksekutif perusahaan itu tahun 2012.”Begitulah kalau sesama petarung jalanan bertemu,” kata


(41)

Yanuar.

Visual Image: Pada halaman 45 ditampilkan sebuah bagan dengan gambar desain kepala Aburizal Bakrie yang diikuti butiran-butiran keterangan semua perusahaan yang sedang dia kelola. Peranting Bisnis. Tahun ini Aburizal Bakrie terlempar dari kelompok 40 besar orang paling kaya di Indonesia versi majalah Forbes. Tapi perusahaannya kian rimbun, dari bisnis jalan, tol, keuangan, perkebunan, batu bara hingga industri makanan. Ini hanya yang sudah mencatatkan diri di bursa per 30 Juni 2013. Kemudian, foto keluarga korban memperingati tujuh tahun semburan Lumpur Lapindo di tanggul Desa Siring, Sidoarjo, 29 Mei lalu. Foto ini menekankan bahwa permasalahan akibat perusahaan Bakrie belum sepenuhnya selesai. Masyarakat mungkin bisa memaafkan dengan adanya ganti rugi yang diberikan Bakrie, tapi masyarakat tidak akan pernah melupakan.


(42)

Judul : Aburizal Bakrie: Lawan Terberat Saya Megawati Halaman : 50-53

Frame : Aburizal Bakrie Optimis Menjadi Presiden Terpilih 2014

Berbeda dengan penyajian narasi pada tiga teks sebelumnya, di sini Tempo menyajikan hasil wawancara secara langsung dengan Aburizal.Ini menjadi salah satu poin penting etika jurnalistik yang baik yang disajikan Tempo dalam pengemasan Laporan Utama. Keseimbangan agar tidak ada kaitanya isu keberpihakan telah dibuktikan Tempo dengan menampilkan hasil dialog langsung yang bahkan tidak dinarasikan.

Elemen Inti Berita (Idea Element/ Core Frame)

Dalam teks ini, ada 55 butir pertanyaan yang diajukan kepada Aburizal beserta jawaban-jawabannya.Intinya Tempo ingin secara langsung menunjukkan kepada khalayak berbagai upaya dan strategi serta pemikiran-pemikiran langsung seorang Aburizal.

Aburizal gemar menyetir sebuah pemeo lama akhir-akhir ini: bad publicity

is publicity-pemberitaan seburuk apa pun tetaplah publikasi. Itu bukan berarti

Ketua Umum Golkar ini naïf belaka akan kekuatan media membentuk citra. Ia gemar memasang reklame diri disejumlah media miliknya. Giat berkeliling Indonesia, pria 67 tahun ini rajin membuat berita. Pertanyaan wartawan disahutnya dengan murah hati-ahwal yang hampir mustahil ditemukan saat dia menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu empat tahun silam. Aneka siasat politik juga dia lancarkan.Seluruh aktivitas ini praktis menjadi agenda harian Aburizal, seiring dengan mendekatnya pemilihan presiden.

“Ada yang bilang, kalau Jokowi mendapat restu Mega dan maju, kandidat lain terancam?ARB (Aburizal Bakrie) engga pernah seperti itu.Sekali maju, pantang surut.”


(43)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan pemakaian simbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam teks berita.Simbol itu dipakai untuk memberi kesan atau efek penonjolan makna yang disajikan.Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto dan aksentuasi gambar tertentu.Semua elemen itu dipakai dalam teks, dan dipahami dalam analisis framing bukan sebagai perangkat tulisan berita, melainkan sebagai suatu strategi wacana untuk menekankan makna atau mengedepankan pandangan tertentu agar lebih diterima oleh khalayak.

Semua elemen dalam perangkat pembingkai itu dipakai untuk memberikan citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu.Dalam teks berita ini,perangkat pembingkai itu paling tidak dipakai dengan tujuan memberikan gambaran keoptimisan seorang Aburizal untuk menjadi Presiden kelak. Gambaran ini dilakukan misalnya dengan pemakaian metafora (metaphors) seperti:

“Ingat Hillary Clinton dalam konvensi Partai Demokrat di Amerika Serikat 2008?Sebelum lowa, pemilihan tinggal sebulan, dia unggul 23 persen atas Obama.Kenyataannya, Obama kemudian unggul.”

Hingga akhirnya seluruh awak Golkar dikerahkan untuk melakukan berbagai usaha pengikraran dirinya sebagai calon presiden yang layak dipilih.Meski tak jua membawa hasil yang baik, Aburizal pantang surut dalam menghadapi berbagai masalah di jalannya menuju calon presiden. Soal elektabilitas, begini katanya:

“Tidak perlu dikhawatirkan tentang .media darling.2009 yang menjadi media darling Jusuf Kalla. Tapi dalam pemilu, SBY menang 61 persen, jadi tidak usah khawatir.”

Dalam teks ini terdapat sebuah foto yang menunjukkan Megawati tengah berbisik pada Jokowi.Gambar ini menekankan bahwa dua sosok yang terdapat dalam foto tersebut merupakan lawan politik terberat Aburizal.

Perangkat Penalaran (ReasoningDevices)

Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan seperangkat penalaran untuk menekankan kepada khalayak bahwa “versi berita” yang disajikan dalam teks itu adalah benar.Sebuah berita tidak


(44)

semata-mata sebuah gagasan.Ia adalah kumpulan dari fakta yang dijejer yang pada hasil akhirnya berupa, bukan hanya paparan atas suatu informasi, melainkan juga suatu bingkai informasi dengan perspektif dan oandangan tertentu. Karena itu, fakta yang dipilih secara tidak langsung dalam pandangan ini untuk memperkuat bangunan perspektif yang telah disusun oleh wartawan.

Dalam teks berita, perangkat penalaran itu disajikan dengan beberapa pola.Kepercayaan diri Aburizal ditekankan lewat roots: Meski elektabilitas dan berbagai persoalan menghambat jalan mulusnya untuk menjadi calon presiden. Aburizal tetap bertekad keras mencalonkan diri nanti.Aburizal tidak mempersoalkan segala masalah yang menghambatnya untuk maju menjadi calon presiden. Berbagai cara telah dia tempuh, dan selalu berfikir rasional adalah kuncinya

Kodifikasi Teks IV

Frame: Aburizal Bakrie Optimis Menjadi Presiden Terpilih 2014

Framing Devices Reasoning Devices

Metaphors: Ingat Hillary Clinton dalam

konvensi Partai Demokrat di Amerika Serikat 2008? Sebelum lowa, pemilihan tinggal sebulan, dia unggul 23 persen atas Obama. Kenyataannya, Obama kemudian unggul.

Roots: Meski elektabilitas dan berbagai

persoalan menghambat jalan mulusnya untuk menjadi calon presiden. Aburizal tetap bertekad keras mencalonkan diri nanti.

Exemplars: Kalau Jokowi punya kendaraan,

dia amat populer. Masalahnya, apakah Ibu Mega akan memberikannya kepada Jokowi? Belum tahu kita.

AppletoPrinciples: Aburizal tidak

mempersoalkan segala masalah yang menghambatnya untuk maju menjadi calon presiden. Berbagai cara telah dia tempuh, dan selalu berfikir rasional adalah kuncinya.

Catcpharases: ARB enggak seperti itu.

Sekali maju, pantang surut.

Consequences:. Aburizal tetap akan

mencalonkan diri menjadi calon presiden.


(45)

tentang .media darling. 2009 yang menjadi

media darling Jusuf Kalla. Tapi dalam

pemilu, SBY menang 61 persen, jadi tidak usah khawatir.

Visual Image: Foto Megawati dan Jokowi yang menekankan keduanya merupakan lawan politik Aburizal Bakrie.


(46)

Awalnya Laporan Utama ini dibuka dengan sebuah narasi yang berjudul

Calon Presiden Satu Digitsebagai pembahasan utama yakni hasil berbagai

lembaga survey yang relative independen tentang elektabilitas seorang Ketua Umum Partai Golkar yang rendah. Aburizal Bakrie yang sudah dipastikan menjadi calon presiden dari fraksi Partai Golkar atas kesepakatan rapat pleno yang diadakan Partai Golkar 2012 lalu nampaknya akan banyak menemukan jalan terjal menuju kursi pencalonan presiden Republik Indonesia 2014.

Berbagai upaya telah dilakukan guna mengerek elektabilitas Aburizal.Hasil survey lembaga yang relative independen pun dilawan dengan hasil survey sewaan Aburizal sendiri. Sedikit berbeda Aburizal tak lagi memasukkan nama Gubernur Jakarta, Joko Widodo karena dipastikan tidak akan dicalonkan oleh Ketua Umum PDI-P dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang dirasionalkan dari hasil legislatife tidak mencukupi untuk mencalonkan diri sebagai presiden periode 2014-2019. Toh, hasilnya tidak sesuai dengan harapan.Nama Aburizal tetap tak menduduki rangking pertama karena lebih unggul Megawati darinya.

Usaha internal dari Partai Golkar sendiri pun terus digencarkan.Iklan tentang sosok Aburizal Bakrie sebagai calon pemimpin yang baik tayang setiap hari di dua media miliknya. Berita-berita safari dari wilayah satu ke wilayah lain pun menjadi andalan di media-media miliknya juga.

Tim pemenangan telah dibentuk dengan diketuai Andi Malarangeng dan posko pemenangan tiap daerah pun diresmikan. Akhirnya, segala tingkah laku Aburizal pun diatur dari cara mulai duduk hingga berbicara. Ia tak boleh tampil salah sedikitpun. Lebih jauh usaha yang telah dilakukannya yakni mendekati berbagai nama-nama besar seperti Gubernur Jawa Timur untuk menjadi pendampingnya maju dalam ajang pencalonan presiden.

Teks kedua berjudul Layar Tersendat Sang Kandidat.Di sini Majalah Tempo melakukan wawancara mendalam dengan beberapa elit politik Partai Golkar seperti Wakil Ketua Umum Partai Golkar yaitu, Cicip Sutardjo.Kepada

TempoCicip mencaeritakan pertemuannya dengan Akbar Tandjung mantan Ketua

Umum Partai Golkar yang nyatanta tidak setuju dengan pencalonan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden dari Partai Golkar.


(47)

Dibuka dengan permasalahan Akbar di atas selanjutnya Tempo menjabarkan berbagai masalah yang ada dalam tubuh Partai Golkar.Untuk hasil keputusan rapat terbesar saja Partai Golkar ternyata tidak mencapai satu suara. Hal ini ternyata dilatar belakangi dengan banyak anggota partai yang selama ini tidak sepakat dengan gaya kepemimpinan Aburizal dalam mengelola Partai Golkar. Aburizal banyak membuat perubahan pada sistem Partai Golkar dari sebelumya.

Meski jelas terbagi menjadi dua kubu, kubu pro Aburizal tetap menyanggah bahwa partainya mengalami perpecahan.Alasan perbedaan pendapat memang sering terjadi menjadi tameng untuk menjawabi seputar pertanyaan yang diajukan tentang Golkar.

Selanjutnya teks ketiga yang berjudul Nyarwa Sembilan Petarung Jalanan mengupas tuntas tentang sosok Aburizal sebagai pengusaha sukses dan tersohor di Negeri ini. Tempo dengan detail menjabarkan perusahaan apa saja yang menjadi milik Aburizal serta permasalahan-permasalahan yang turut membawa namanya menuai berbagai permasalahan.

Terakhir teks keempat yang berjudul Aburizal Bakrie: Lawan Terberat

Saya adalah Megawati merupakan teks terakhir penutup laporan utama edisi ini.

Ditampilkan dengan gaya khas dialog Tempo dengan meningalkan gaya narasi seperti pada teks-teks sebelumnya. Segala jawaban Aburizal Bakrie atas pertanyaan seputar elektabilitas serta lawan-lawan yang mungkin dihadapinya nanti dijawab dengan lugas oleh Ketua Umum Partai Golkar ini.

Belakangan entah mungkin sebagai salah satu strategi membentuk citra atau agenda kampanye, Tempo mengatakan Aburizal tidak seperti dahulu ketika menjadi menteri perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu yang susah ditemui wartawan. Kini Ia lebih murah hati untuk menjawab segala pertanyaan yang diajukan wartawan kepadanya.

Laporan Utama ini didukung dengan dua opini dari Todung Mulya Lubis yang mejabarkan tentang keadaan korupsi di Indonesia dan yang kedua AAGN Ari Dwipayana yang mengupas keadaan Aburizal yang memang tidak akan menemukan jalan lurus dalam tujuannya mencalonkan diri sebagi Presiden 2014-2019. Selain itu ada satu bagan sejarah perjalanan Aburizal Bakrie dari mulai


(48)

pembangunan bisnisnya hingga karir dipolitiknya juga hasil-hasil lembaga survey tentang elektabilitasnya.

Secara keseluruhan bahkan jelas dalam opini Redaksi Tempo juga telah menyatakan bahwa Aburizal Bakrie seorang pengusaha besar di negeri ini adalah bukan sosok yang layak menjadi calon presiden dan memimpin negeri ini. Akan banyak kepentingan usahanya yang dikhawatirkan akan diletakkan di atas kepentingan masyarakat secara umum.

Kontruksi atas ketidak setujuan Tempo atas pencalonan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden digambarkan dengan runut dan dalam kaidah etika jurnalistik yang baik. Keberimbangan disetiap pembahasan issue juga menjadi poin yang disajikan Tempo dengan baik.

Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi benda, orang atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi – realitas tangan-kedua (second hand reality) televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain. Surat kabar – melalui proses yang disebut “gatekeeping” menyeleksi berita. Payahnya, karena kita tidak dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.

Jadi, akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.


(49)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian yang berisikan deskripsi dan interpretasi dari hasil penelitian. Dari bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang berdasarkan pada model analisis framing Gamson dan Modegliani terhadap pemberitaan mengenai Citra Aburizal Bakriepemilu presiden 2014 di Majalah TEMPO. Selain kesimpulan, pada bab ini juga terdapat saran-saran dari peneliti terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil temuan data yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Analisis yang dilakukan terhadap naskah berita Laporan Utama Majalah Tempo eidisi 25 November-1Desember 2013 terkait citra Aburizal Bakrie membuahkan sebuah sikap redaksional Majalah

TEMPO bahwa sosok Aburizal Bakrie tidak layak menjadi Presiden di

Indonesia. Aburizal yang sukses menjalankan berbagai bidang usaha dinilai akan membawa banyak kepentingan-kepentingan ‘sendiri’ jika kelak memimpin negeri ini. Pun, banyak faktor internal dan eksternal yang nyatanya tidak mendukung niat ikhlasnya menjadi Presiden Republik Indonesia

2. Majalah TEMPOmengkontruksi mantan Menteri Perekonomian dan

Kesejahteraan Masyarakat pada Kabinet Indonesia Bersatu serta Ketua Umum Partai Golkar periode sekarang bukanlah sosok yang sukses dibidang politik. Bahkan kegagalan memimpin partainya sendiri sudah menjadi rahasia umum diberbagai media. Akibatnya elektabilitas kian tak dapat diselamati.

3. Majalah TEMPO berhasil menarasikan secara detail jenjang karier

usaha keluarga Bakrie dengan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesemuanya tentu memiliki pengaruh pada penilaian masyarakat sendiri mengenai Citra Aburizal.


(50)

4. Meski berani mengambil sebuah sikap keredaksionalan sendiri,

Majalah TEMPO tetap memperhatikan kode etik jurnalistik.

Keberimbangan ditunjukkan pada Laporan Utama versi dialog langsung dengan Aburizal. Di sini pertanyaan dan jawaban dituliskan secara langsung tanpa narasi.

5. Tulisan panjang yang dikemas dengan gaya bercerita atau feature mempunyai kekuatan untuk mengupas sebuah berita secara komprehensif. Selain deskripsi dan unsur-unsur pendukung cerita yang membuat tulisan jadi enak dibaca, panjangnya tulisan juga memungkinkan penulis untuk membuat berita secara mendalam. Ini bukan perkara sekadar panjang, melainkan kedalaman berita yang mampu membuat pembaca lebih paham atas sebuah permasalahan, termasuk untuk mengkonstruksi sebuah pesan. Berita panjang bisa mengkonstruksi sebuah pemahaman hanya dengan satu tulisan. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan berita yang umumnya ditulis dalam bentuk straight news. Berita jenis ini terkadang tidak lengkap unsur 5W 1H sehingga lebih sulit untuk mencari konstruksi atas sebuah kejadian.


(51)

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran, diantaranya:

1. Secara teoritis, penelitian ini hanya menggunakan Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013. Media massa mempunyai peran penting dalam pencitraan. Media massa dapat memebentuk citra tertentu dari suatu peristiwa atau suatu kelompok dan dipahami sebagi kebenaran umum dalam masyarakat. Simbol-simbol atau istilah yang terus menerus diulang menciptakan citra tersendiri tentang sesuatu di mata masyarakat.

2. Secara akademis, peneliti menyarankan agar ada pembahasan mengenai jurnalistik yang lebih mendalam seperti genre dan teknik peliputan. Jika melihat media zaman dulu dengan sekarang, kita dapat menemui banyak perbedaan. Untuk itu perlu juga untuk mengetahui perkembangan media massa dari masa ke masa sebagai perbandingan. Hal ini berguna untuk mencetak alumni Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang paham benar dalam mencermati media sebagai dasar literasi media.

3. Secara praktis, tidak ada wartawan yang objektif. Dalam pemilihan sudut pandang, pemilihan narasumber, wartawan tetap melibatkan subjektivitasnya. Setiap naskah berita yang tampil di halaman media massa tidak lepas dari sebuah konstruksi yang dilakukan oleh wartawan. Untuk itu, peneliti menyarankan agar khalayak memiliki kesadaran akan hal ini dan bisa mencermati sebuah naskah berita sebelum membuat pemahaman tertentu atas informasi yang didapat dari media massa. Dan yang paling penting bagi setiap wartawan adalah menuliskan berita dengan memenuhi prinsip sembilan elemen jurnalisme.


(52)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma meupakan kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006 : 110).

Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme (2) paradigme kritis dan (3) paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237)

Paradigma Positivisme dan Postpositivisme

August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut :pertama, objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai.

Kedua, fenomenalisme.Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang

semesta yang teramati.Ketiga, reduksionisme.Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati.Keempat, naturalisme.Alam semesta adalah


(53)

objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa ini (Bungin, 2008:10).

Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai model.Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji dengan metode ilmiah.Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik (Davis dkk, 2010 :14).

Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma klasik (Bungin, 2008 : 238)

Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S. Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001).

Paradigma Konstruktivisme

Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993), gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.Dan gagasan itu lebih


(54)

konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya.Ia juga mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.

Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis;

ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui

apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata.Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.Dalam pandangan realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.Sedangkan untuk konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya.Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).

Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Eriyanto dalam bukunya yang berjudul Analisis Framing (2002: 19) menyebutkan bahwa pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaiman media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu:

1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)

2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media


(55)

dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh.

3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik

4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial. 6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang

integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.

7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95)

Paradigma Kritis

Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43).

Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6), pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara


(56)

bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat.Bahasa juga disini dianggap bukan sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis.Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.

Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)

Paradigma Penelitian

Secara ontologis, paradigma konstruktivieme bersifat relativis.Realitas dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi mental yang diperolehsecara alami melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan sering kalidipertukarkan di antara sejumlah individu.Secara epistemologis, paradigma konstruktivisme bersifattransaksional dan subjektivis.Peneliti dan objek penelitian diasumsikanterhubung secara interaktif sehingga temuan dari penelitian tersebuttercipta seiring berlangsungnya penelitian.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis.Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.

Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap

socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci

terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).

Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu


(57)

memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).

Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Pada level ontologi, paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus.

Guba dalam bukunya The Paradigm Dialog (1990: 25) menyatakan:

...philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only

within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering

“how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.”

Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980).Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada.Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.Itu berarti realitas ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya ia menyatakan :

“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”

Kutipan tersebut mempunyai arti bahwa kaum konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan.Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai.Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi


(58)

dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir dan penting adalah :

“Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing”

Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah”. Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus (Guba, 1990: 26).

Dari beberapa penjelasan Guba tersebut dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai, tidak mungkin bebas nilai. Dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap, tetapi berkembang terus.

2.2Uraian Teoritis

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40).

Menurut Kerlinger, teori merupakan suatu himpunan konstruk atau konsep yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Dalam hal ini, teori juga berfungsi untuk memberi bantuan dalam mempertajam analisis peneliti dalam meneliti pokok permasalahan. Teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:


(59)

2.2.1Analisis Framing

Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini, menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami fenomena-fenomena media mutakhir . (Agus Sudibyo: 2001)

Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan.Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis).Dalam prakteknya, analisis

framing juga memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan

kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya.

Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi–informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai ‘’seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi.Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.

Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut.


(1)

Peneliti menyadari bahwa masih terselip kekurangan dalam penelitian ini disebabkan oleh keterbatasan peneliti sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini punya manfaat bagi kita semua.

Medan, 10 Juni 2014 Peneliti


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014(Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013).Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui bagaimana Majalah TEMPO memaknai, memahami dan

mengkontruksi citra Aburizal Bakrie.

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi kualitatif menggunakan analisis framing sebagai pisau analisis.Analisis teks citra Aburizal Bakrie terkait pemilihan presiden 2014 akan dilakukan dengan analisis framing yang merujuk pada konsep Gamson dan Modegliani. Dalam konsep ini, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Teori yang digunakan adalah media massa dan kontruksi sosial, berita, bahasa dan kontruksi realitas faktor-faktor yang membentuk isi media, citra, penelitian kualitatif dan analisis framing. Dari penelitian ini, Majalah TEMPO menggambarkan citra Aburizal Bakrie sebagai sosok yang tidak layak maju menjadi calon presiden Republik Indonesia.Selain permasalahan elektabilitas Ketua Umum Partai Golkar ini beragam permasalahan internal partai juga mengiringi niatnya untuk menjadi calon presiden.


(3)

ABSTACT

This research entitled Citra Aburizal Bakrie Terkait PemiluPresiden 2014 (The main report of Frame Analysis of SIASAT ABURIZAL in TEMPO Magazine 25th November– 1st December 2013 Edition). This research aimed to know how

TEMPO Magazine interpret, understand, and construct of the image of Aburizal Bakrie did.

This research will focus on the qualitative research using content analysis method of qualitative research by using framing analysis as the knife of analysis. Text

analysis of the Image of Aburizal Bakrie correlated with the ecletion of president 2014 will be done using framing which focus on the concept of Gamson

and Modeglani. Based on this concept, frame is seen as the story line which is arranged well and provides meaning construction from the event correlated with a text/discourse. The theory used is mass media and social construction, news, language, and the factors of reality construction creating the content of the media, image, qualitative research and framing analysis.

Based on the result of this research, TEMPO Magazine described that the image of Aburizal Bakrie as a person who does not proper to be a President candidate of Republic of Indonesia. Beside the electability of a chairman of Golkar party, other internal problems are also followed his desire to be a President candidate.


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK…. ... i

KATA PENGANTAR… ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.Paradigma Kajian ... 7

II.2 Uraian Teoritis ... 10

II.2.1 Analisis Framing ... 10

II.2.2 Frame Model Gamson dan Modegliani ... 16

II.2.3 Penelitian Kualitatif ... 22

II.2.4 Berita, Bahasa dan Kontruksi Realitas ... 23

II.2.5 Media Massa dan Kontruksi Realitas Sosial ... 28

II.2.6 Faktor-Faktor yang Membentuk Isi Media... 32

II.2.7 Citra ... 39

II.3 Metode Teoritik ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 45

III.2 Objek Penelitian ... 46

III.3 Subjek Penelitian ... 51

III.4KerangkaAnalisis ... 51

III.5Teknik Pengumpulan Data ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Penelitian ... 54

IV.2 Pembahasan ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan ... 76

V.2 Saran ... 77

DAFTAR REFERENSI ... 81 LAMPIRAN…. ...


(5)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Definisi Framing... 13

2 Framing Analysis Model Gamson dan Modegliani…. 18 3 Kodifikasi Teks I………. 59

4 Kodifikasi Teks II……… 63

5 Kodifikasi Teks III……….. 67


(6)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

7 Proses Kontruksi Sosial Media Massa... 31 8 Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media... 32 9 Cara Kerja Faktor Intrinsik Pekerja Media

Mempengaruhi Isi Media... 33

10 Hubungan Tiga Sumber yang Mempengaruhi


Dokumen yang terkait

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 49 110

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 12

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 2

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 6

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 39

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 3

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 0 6

Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)

0 1 12