Citra Aburizal Bakrie Terkait Pemilu Presiden 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2013)
Edisi 25 November-1 Desember 2013)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata I (SI) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera utara Oleh
IPAK AYU HIDAYATULLAH NURCAYA 100904038
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : IPAKAYU HIDAYATULLAH NURCAYA NIM : 100904038
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judu l Skripsi : CITRA ABURIZAL BAKRIETERKAIT PEMILU PRESIDEN 2014 (Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji : (_______________ )
Penguji : ( _______________ )
Penguji Utama : ( _______________ )
Ditetapkan di : Medan
(3)
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar.
Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama: IPAK AYU HIDAYATULLAH NURCAYA NIM: 100904038
Tanda Tangan: Tanggal:
(4)
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : IPAK AYU HIDAYATULLAH NURCAYA NIM : 100904038
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas : Universitas Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti non Eksklusif (Non Exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : CITRA ABURIZAL BAKRIE TERKAIT PEMILU PRESIDEN 2014(Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).
Dengan Hak Bebas Royalti non Ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media / formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan Pada tanggal : 15 Juli 2014 Yang menyatakan
(5)
Syukur puji peneliti ucapkan atas kehadirat Allah SWT.Sungguh kuasa Sang segala Maha hingga skripsi yang berjudul CITRA ABURIZAL BAKRIE DALAM MEDIA MASSA TERKAIT PEMILU PRESIDEN 2014(Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013)ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam juga peneliti haturkan pada junjungan besar Nabi Muhammad SAW.
Skripsi yang peneliti buat adalah sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di program sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara. Namun secara pribadi peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan sumbangsih langsung untuk studi ilmu komunikasi. Semoga tidak hanya bermanfaat bagi peneliti, tapi juga bagi siapa saja yang berminat mendalami bidang jurnalistik. Bagi peneliti, skripsi ini tidak hanya sebuah syarat namun juga lumbung ilmu yang mampu memperkaya pengetahuan peneliti.
Proses belajar selama empat tahun yang peneliti jalani hingga membuahkan sebuah skripsi ini tentu tidak dijalani peneliti sendiri. Banyak tangan-tangan berharga yang ringan membantu, nasehat-nasehat mulia yang didapat peneliti dari berbagai kalangan civitas akademika maupun lingkungan peneliti menjalani kesehariannya.Semuanya berharga dalam membentuk kedewesaan peneliti.Menempa peneliti untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi sekitarnya.
Terima kasih yang pertama penelitiucapkan kepada kedua orang tua tercinta, kepada ayahanda Hikmat Yasin dan ibunda Nendartik. Terima kasih untuk seluruh cinta dan kasih sayang yang tak henti mengalir deras disetiap nadi peneliti. Begitu juga untuk kakak tercinta Win Kausyar Wanranto dan Novita Al-ihyak Dieniserta adik tercinta Fazar Syukri Nugroho dan Arif Furqan Wantuah, yang menjadi penyempurna dan semangat peneliti dalam menjalani kehidupan.
(6)
hormat peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Fatmawardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dra. Hendra Harahap, M.Si selaku dosen pemimbing yang telah memberi arahan, masukan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini. Terima kasih untuk ilmu dan waktu yang diberikan.
4. Seluruh dosen dan staf dan pengajar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.
5. Keluarga besar peneliti dari ayahanda Hikmat Yasin dan ibunda Nendartik. Untuk doa dan setiap restu baik yang dititipkan lewat ayunan langkah kaki peneliti.
6. Hadissa Primanda, terimakasih telah menjadi sahabat disegala rasa semasa kuliah. Juga penawar segala rasa kegalauan, segala ketidakrasionalan kehidupan.
7. Kakanda Reja Hidayat, yang tak lelah mengirim semangat dan menyertai peneliti dalam setiap keadaan.
8. Izzah Dienillah Saragih, Pebri Hardiansyah Pohan, Debora Blandina Sinambela, Baina Dwi Bestari dan Sri Handayani Tampubolon. Terima kasih atas hari-hari biasa yang selalu kita lalui dengan tidak biasa.
9. Ferdiansyah, Aulia Adam, Guster Cahyo Parluhutan Sihombing, Gio Ovanny Pratama, Audira Ainindyia dan Renti Rosmalis. Adik-adik yang bersamanya hanya ada bahagia dalam proses menjadi dewasa.
10.Febrian Fachri, Januar Rizky, Shahnaz Asnawi Yusuf, Harry Yassir El-Hadiddy Siregar, Andika Bakti, Wan Ulfa Nur Zuhra dan Moyang Kasih Dewi Merdeka.
11.Keluarga besar Pers Mahasiswa SUARA USU. Terimakasih ‘Rumah Tanpa Jeda’ padamu tak sekadar tinggal kenangan sebuah cerita perjuangan.
(7)
kesalahan. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini punya manfaat bagi kita semua.
Medan, 10 Juni 2014 Peneliti
(8)
2014(Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Majalah TEMPO memaknai, memahami dan mengkontruksi citra Aburizal Bakrie.
Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi kualitatif menggunakan analisis framing sebagai pisau analisis.Analisis teks citra Aburizal Bakrie terkait pemilihan presiden 2014 akan dilakukan dengan analisis framing yang merujuk pada konsep Gamson dan Modegliani. Dalam konsep ini, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Teori yang digunakan adalah media massa dan kontruksi sosial, berita, bahasa dan kontruksi realitas faktor-faktor yang membentuk isi media, citra, penelitian kualitatif dan analisis framing. Dari penelitian ini, Majalah TEMPO menggambarkan citra Aburizal Bakrie sebagai sosok yang tidak layak maju menjadi calon presiden Republik Indonesia.Selain permasalahan elektabilitas Ketua Umum Partai Golkar ini beragam permasalahan internal partai juga mengiringi niatnya untuk menjadi calon presiden.
(9)
main report of Frame Analysis of SIASAT ABURIZAL in TEMPO Magazine 25th November– 1st December 2013 Edition). This research aimed to know how TEMPO Magazine interpret, understand, and construct of the image of Aburizal Bakrie did.
This research will focus on the qualitative research using content analysis method of qualitative research by using framing analysis as the knife of analysis. Text
analysis of the Image of Aburizal Bakrie correlated with the ecletion of president 2014 will be done using framing which focus on the concept of Gamson
and Modeglani. Based on this concept, frame is seen as the story line which is arranged well and provides meaning construction from the event correlated with a text/discourse. The theory used is mass media and social construction, news, language, and the factors of reality construction creating the content of the media, image, qualitative research and framing analysis.
Based on the result of this research, TEMPO Magazine described that the image of Aburizal Bakrie as a person who does not proper to be a President candidate of Republic of Indonesia. Beside the electability of a chairman of Golkar party, other internal problems are also followed his desire to be a President candidate.
(10)
KATA PENGANTAR… ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1
1.2 Fokus masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA II.Paradigma Kajian ... 7
II.2 Uraian Teoritis ... 10
II.2.1 Analisis Framing ... 10
II.2.2 Frame Model Gamson dan Modegliani ... 16
II.2.3 Penelitian Kualitatif ... 22
II.2.4 Berita, Bahasa dan Kontruksi Realitas ... 23
II.2.5 Media Massa dan Kontruksi Realitas Sosial ... 28
II.2.6 Faktor-Faktor yang Membentuk Isi Media ... 32
II.2.7 Citra ... 39
II.3 Metode Teoritik ... 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 45
III.2 Objek Penelitian ... 46
III.3 Subjek Penelitian ... 51
III.4KerangkaAnalisis ... 51
III.5Teknik Pengumpulan Data ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Penelitian ... 54
IV.2 Pembahasan ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan ... 76
V.2 Saran ... 77
DAFTAR REFERENSI ... 81 LAMPIRAN…. ...
(11)
Nomor Judul Halaman
1 Definisi Framing... 13
2 Framing Analysis Model Gamson dan Modegliani…. 18 3 Kodifikasi Teks I………. 59
4 Kodifikasi Teks II……… 63
5 Kodifikasi Teks III……….. 67
(12)
Nomor Judul Halaman 7 Proses Kontruksi Sosial Media Massa... 31 8 Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media... 32 9 Cara Kerja Faktor Intrinsik Pekerja Media
Mempengaruhi Isi Media... 33 10 Hubungan Tiga Sumber yang Mempengaruhi
(13)
2014(Analisis Framing Laporan Utama “SIASAT ABURIZAL” di Majalah TEMPO Edisi 25 November-1 Desember 2013).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Majalah TEMPO memaknai, memahami dan mengkontruksi citra Aburizal Bakrie.
Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi kualitatif menggunakan analisis framing sebagai pisau analisis.Analisis teks citra Aburizal Bakrie terkait pemilihan presiden 2014 akan dilakukan dengan analisis framing yang merujuk pada konsep Gamson dan Modegliani. Dalam konsep ini, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Teori yang digunakan adalah media massa dan kontruksi sosial, berita, bahasa dan kontruksi realitas faktor-faktor yang membentuk isi media, citra, penelitian kualitatif dan analisis framing. Dari penelitian ini, Majalah TEMPO menggambarkan citra Aburizal Bakrie sebagai sosok yang tidak layak maju menjadi calon presiden Republik Indonesia.Selain permasalahan elektabilitas Ketua Umum Partai Golkar ini beragam permasalahan internal partai juga mengiringi niatnya untuk menjadi calon presiden.
(14)
main report of Frame Analysis of SIASAT ABURIZAL in TEMPO Magazine 25th November– 1st December 2013 Edition). This research aimed to know how TEMPO Magazine interpret, understand, and construct of the image of Aburizal Bakrie did.
This research will focus on the qualitative research using content analysis method of qualitative research by using framing analysis as the knife of analysis. Text
analysis of the Image of Aburizal Bakrie correlated with the ecletion of president 2014 will be done using framing which focus on the concept of Gamson
and Modeglani. Based on this concept, frame is seen as the story line which is arranged well and provides meaning construction from the event correlated with a text/discourse. The theory used is mass media and social construction, news, language, and the factors of reality construction creating the content of the media, image, qualitative research and framing analysis.
Based on the result of this research, TEMPO Magazine described that the image of Aburizal Bakrie as a person who does not proper to be a President candidate of Republic of Indonesia. Beside the electability of a chairman of Golkar party, other internal problems are also followed his desire to be a President candidate.
(15)
1.1 Konteks Masalah
Pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004 adalah yang pertama kali terjadi dalam sejarah Republik Indonesia. Sebelumnya, pemilihan presiden diadakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR pada masa lalu terdiri dari anggota-anggota DPR, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah. Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, sebagian besar anggota MPR ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden, sehingga memungkinkan Soeharto menjabat presiden berulang kali.
Kala itu pilpres dilaksanakan dua putaran karena sesuai UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, untuk dapat terpilih menjadi presiden, kandidat harus memperoleh minimal 50 persen dari jumlah suara sah dan mendapatkan minimal 20 persen suara di sepertiga propinsi yang ada di Indonesia pada putaran pertama. Apabila tidak ada kandidat yang memenuhi persyaratan tersebut, maka diadakan pemilihan putaran kedua, dimana kandidat yang memperoleh suara terbanyak akan menjadi presiden.
Pada putaran pertama pemilihan presiden 2004 ini ada lima kandidat yang bertarung. Mereka adalah Wiranto, Presiden Megawati, Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wakil Presiden Hamzah Haz.
Wiranto adalah purnawirawan jenderal yang menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ketika terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998. Susilo Bambang Yudhoyono adalah purnawirawan jenderal juga dengan jabatan terakhir adalah Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan. Sedangkan Amien Raisadalah ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat saat ini dan juga tokoh kunci dalam gerakan reformasi.
Dari lima kandidat tersebut, Megawati dan Yudhoyono berhasil masuk dalam putaran kedua pemilihan presiden. Megawati memperoleh 26,6 persen dan Yudhoyono memperoleh 33,6 persen suara sah. Dalam putaran kedua ini,
(16)
Indonesia-Perjuangan yang dipimpinnya, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Damai Sejahtera, dan partai-partai kecil lainnya. Sementara itu, Susilo BambangYudhoyono mendapat dukungan penuh dari Partai Demokrat yang mencalonkannya dan Partai Keadilan Sejahtera serta beberapa partai kecil lainnya. Selain itu, Yudhoyono juga mendapatkan dukungan tidak resmi dari Partai Amanat Nasional yang dipimpin Amien Rais dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Selanjutnya pilpres Tahun 2009 diselenggarakan untuk memilih presiden serta wakilnya periode 2009-2014. Pasangan SBY-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung memperoleh suara 60,8 persen mengalahkan pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto.
Tahun ini pilpres akan kembali digelar pada bulan Juli nanti. Flyer dan spanduk nama-nama bakal calon presiden telah tersebar diseluruh penjuru negeri. Tak terkecuali media massa yang yang kian memberitakan sosok-sosok calon presiden yang siap bertarung menggantikan kepemimpinan SBY dua periode ini. Meski KPU belum resmi mengumumkan nama yang sah, beberapa telah mengikrarkan diri sebagai calon presiden dan wakilnya.
Salah satunya adalah Ketua Umum Partai Golkar yakni Aburizal Bakrie yang telah disahkan menjadi Calon Presiden dari hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Juni 2012 lalu. Tidak hanya mengikrarkan sebagai calon pilpres beberapa strategi untuk menjulang elektabilitas pun dilakukan. Antara lain adalah membentuk Tim ARB yang bertugas menentukan kemana saja Aburizal pergi, termasuk setting pertemuan dan jumlah pesertanya. Tim ARB dipimpin oleh Rizal Malarangeng dan Fuad Hasan Mansyur.
Wajah Aburizal Bakrie muncul setiap waktu di stasiun televisi miliknya. Catatan Komisi Penyiaran Indonesia menunjukkan pariwara Ketua Umum Partai Golkar itu dipasang di TV One kepunyaanya bervariasi sejak pukul 03.00 hingga 23.00. Selain itu berita-berita tentang dia ditayangkan stasiun televisi yang sama setiap hari. Sementara waktu pilpres semakin dekat, aneka lembaga survey yang relative independen menyimpulkan tingkat kepopulerannya masih satu digit. Ia
(17)
dibandingkan dengan tingkat keterpilihan Partai Golkar, yang ia pimpin sejak 2009. (TEMPO, 25 November)
Lalu, siapa sebenarnya sosok Aburizal yang tengah berjuang keras menduduki kursi nomor satu di Indonesia tersebut?. Namanya tentu tidak akan kita jauhkan dari kasus Lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur pada 2006 silam. Juga kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang mengaku mendapat suap dari PT Bumi Resource Tbk untuk memanipulasi pajak perusahaan ini.
Aburizal Bakrie adalah salah satu pengusaha ternama di Indonesia yang awalnya mewarisi usaha ayahnya Achmad Bakrie yakni PT Bakrie Brothers. Ia lahir di Jakarta 15 November 1946. Kemudian Aburizal tumbuh sebagai remaja Ibu Kota ketika usaha ayahnya berkembang pesat. Ia berhasil meraih gelar Insinyur dari Institut Teknologi Bandung.
Sepeninggal Achmad Bakrie (1988). Aburizal melanjutkan tongkat kepemimpinan PT Bakrie Brothers bersama ketiga adiknya. Pada pertengahan 1997, krisis melanda dunia finansial Asia, mulai dari Thailand, dan kemudian menyebar ke semua jurusan, termasuk Indonesia.
Periode sulit itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Pada pertengahan 2001. Bersama adik-adiknya, Aburizal memutuskan untuk merambah bisnis baru, yaitu bisnis energi, khususnya batubara, sebuah bisnis yang waktu itu belum banyak dilirik. Tanpa modal, dengan hanya berbekal kepercayaan, penciuman, serta jaringan perkawanan, Ia mulai mengakuisi beberapa perusahaan batubara. Keberuntungan rupanya datang bergandengan, dan dengan sukses di bidang energi, Ia dan adik-adiknya merambah ke berbagai bidang lainnya secara cukup agresif, seperti properti, perkebunan, dan infrastruktur.
Itulah periode kebangkitan kembali yang cukup mengesankan. Ia berhasil membangun lagi sebuah kelompok usaha yang lebih besar daripada sebelumnya, pada terbitan tahun 2008, Majalah Forbes menempatkannya dalam posisi nomor satu pada daftar orang terkaya di Indonesia.
(18)
Institute, mendirikan Yayasan Bakrie Untuk Negeri, serta Universitas Bakrie yang memberikan beasiswa penuh bagi banyak pelajar dari berbagai daerah. Pada tingkat internasional, Ia membiayai pembentukan Bakrie Chair for Southest Asian Studies of Peace and Democracy di lembaga dunia ternama, Carnegie, Amerika Serikat, serta mendirikan lembaga yang sama di Nanyang Technological University, Singapura.
Di tengah proses kebangkitan kembali bisnis keluarganya, hidup dan karier Ia berubah. Ia beralih, meninggalkan dunia usaha dan masuk dalam dunia pemerintahan. Ia menyerahkan kepemimpinan usaha kepada kalangan profesional. Pada Oktober 2004, Ia dilantik sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dalam kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Setelah lebih setahun sebagai Menko Perekonomian, Ia beralih tugas menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Posisinya digantikan oleh Prof Boediono, yang kemudian menjadi Wakil Presiden dalam pemerintahan SBY berikutnya. Menjelang berakhirnya masa bakti kabinet pertama Presiden SBY pada Oktober 2004, ARB memutuskan untuk terjun langsung dalam dunia politik kepartaian. Bersaing cukup ketat dengan Surya Paloh, ia terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar, menggantikan Jusuf Kalla, dalam Munas (Musyawarah Nasional) di Pekanbaru, Riau. Jalan hidupnya berubah lagi: dari pengusaha nasional, menteri koordinator, kini pimpinan tertinggi partai tertua dan salah satu partai terbesar di Indonesia. Aburizal ditetapkan sebagai kandidat presiden dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke-3 Partai Golkar, Juni 2012. (http//ARB2014.com)
Akhir November tahun lalu, Majalah TEMPO secara khusus menerbitkan sebuah pemberitaan sebagi laporan utama mengenai sosok Aburizal Bakrie (ARB) dalam perannya sebagai calon presiden 2014 ini. Sajian liputan mendalam dengan gaya narasi khas TEMPO membeberkan beragam fakta tentang sosok ARB sebagai calon presiden.
Media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial saling berinteraksi dan berhubungan. Sebaliknya, media hanya dimiliki oleh kelompok
(19)
bahkan menjadi sarana dimana kelompok dominan bukan hanya memantapkan posisi mereka, tetapi juga memarjinalkan dan meminggirkan posisi kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:53). Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. Media juga dipandang sebagai mediator oleh wartawan dalam menuangkan pola pikirnya sehingga mampu membingkai pemberitaan yang ditulisnya.
Perangkat analisis yang digunakan peneliti adalah analisis framing. Framing dalam perspektif ilmu komunikasi dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dam pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2004 : 162).
Sedangkan analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini adalah model framing Framing yang dikembangkan Gamson dan Modigliani memahami framing sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Jadi perangkat wacana akan saling mendukung satu dengan yang lainnya menuju sauatu titik pertemuan yaitu ide sentral dari suatu berita.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti citra Aburizal Bakrie terkait pemilu presiden 2014 di Majalah TEMPO.
(20)
pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicari jawabannya. Dapat juga dinyatakan bahwa perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah (Pohan, dkk, 2012: 10).
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan fokus masalah sebagai berikut:
“Bagaimana Majalah TEMPO mengkontruksi citra Aburizal Bakrie jelang Pemilihan Umum Preisden 2014 ini?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana Majalah TEMPO memaknai, memahami dan mengkontruksi citra Aburizal Bakrie.
2. Untuk melihat perspektif yang ditampilkan Majalah TEMPO dalam memberitakan citra Aburizal Bakrie.
3. Untuk melihat ideologi yang memengaruhi Majalah TEMPO dalam menampilkan berita citra Aburizal Bakrie sebagai calon presiden Republik Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang analisis framing.
2. Secara akademik, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya pengetahuan mengenai analisis framing dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan refensi bersama dalam memahami analisis framing dan masukan bagi masyarakat dalam memaknai sebuah berita.
(21)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma meupakan kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006 : 110).
Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme (2) paradigme kritis dan (3) paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237)
Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut :pertama, objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai.
Kedua, fenomenalisme.Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang teramati.Ketiga, reduksionisme.Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati.Keempat, naturalisme.Alam semesta adalah
(22)
objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa ini (Bungin, 2008:10).
Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai model.Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji dengan metode ilmiah.Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik (Davis dkk, 2010 :14).
Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma klasik (Bungin, 2008 : 238)
Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S. Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001).
Paradigma Konstruktivisme
Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993), gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.Dan gagasan itu lebih
(23)
konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya.Ia juga mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata.Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.Dalam pandangan realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.Sedangkan untuk konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya.Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).
Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Eriyanto dalam bukunya yang berjudul Analisis Framing (2002: 19) menyebutkan bahwa pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaiman media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu:
1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)
2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media
(24)
dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh.
3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik
4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial. 6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang
integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95)
Paradigma Kritis
Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43).
Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6), pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara
(25)
bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat.Bahasa juga disini dianggap bukan sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis.Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)
Paradigma Penelitian
Secara ontologis, paradigma konstruktivieme bersifat relativis.Realitas dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi mental yang diperolehsecara alami melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan sering kalidipertukarkan di antara sejumlah individu.Secara epistemologis, paradigma konstruktivisme bersifattransaksional dan subjektivis.Peneliti dan objek penelitian diasumsikanterhubung secara interaktif sehingga temuan dari penelitian tersebuttercipta seiring berlangsungnya penelitian.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis.Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.
Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).
Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu
(26)
memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).
Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Pada level ontologi, paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus.
Guba dalam bukunya The Paradigm Dialog (1990: 25) menyatakan: “...philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980).Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada.Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.Itu berarti realitas ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya ia menyatakan :
“Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti bahwa kaum konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan.Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai.Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi
(27)
dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir dan penting adalah :
“Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing”
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah”. Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus (Guba, 1990: 26).
Dari beberapa penjelasan Guba tersebut dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai, tidak mungkin bebas nilai. Dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap, tetapi berkembang terus.
2.2Uraian Teoritis
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40).
Menurut Kerlinger, teori merupakan suatu himpunan konstruk atau konsep yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Dalam hal ini, teori juga berfungsi untuk memberi bantuan dalam mempertajam analisis peneliti dalam meneliti pokok permasalahan. Teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:
(28)
2.2.1Analisis Framing
Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini, menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami fenomena-fenomena media mutakhir . (Agus Sudibyo: 2001)
Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan.Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis).Dalam prakteknya, analisis framing juga memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya.
Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi–informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai ‘’seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi.Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut.
(29)
Selanjutnya analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu dan persoalan yang hadir dalam wacana publik.
Agus Sudibyo (2001) mengatakan bahwa media massa dilihat sebagai media diskusi antara pihak-pihak dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda-beda. Mereka berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek wacana.Keterlibatan mereka dalam suatu diskusi sangat dipengaruhi oleh status, wawasan, dan pengalaman sosial masing-masing. Dalam konteks inilah wacana media massa kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya dilakukan dengan cara-cara yang simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacam-macam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang umumnya menyiratkan tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.
Maka jelas terlihat bahwa framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan), melainkan juga berhubungan juga dengan proses produksi berita, kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Bagaimana peristiwa dibingkai, kenapa peristiwa dipahami dalam kerangka tertentu atau bingkai tertentu, tidak bingkai yang lain, bukan semata-mata disebabkan oleh struktur skema wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan peristiwa.
Ide tentang framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955.Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas.
Peneliti yang paling konsisten mendiskusikan dan mengimplementasikan konsep framing adalah Willian A. Gamson.Gamson terkenal dengan pendekatan konstruksionisnya untuk menganalisis wacana komunikasi. Menurut Gamson dan
(30)
Modigliani, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.
Selain Gamson dan Modigliani, berkaitan dengan dilihatnya framing sebagai proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media, Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi framing. Beberapa definisi para ahli tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1. Definisi Framing Menurut Beberapa Tokoh:
TOKOH DEFINISI
Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.
William A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.itu dilakukan
(31)
dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.
David E. Snow and Robert Benfort
Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.
Amy Binder Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.
Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki
Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung utama dari definisi framing tersebut.Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Akibat penonjolan aspek-aspek tertentu ini, karenanya, seperti dikatakan Frank D. Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti.Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu.
Ada dua aspek dalam framing.Pertama, memilih fakta/ ralitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak melihat peristiwa tanpa
(32)
perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan ini diungkapkan dengan, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemaikaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dsb. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how). Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan strukur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).
Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan dan menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi. Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu
(33)
wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak kemana berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut cara pandang tersebut sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005 :223-224).
Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis tersendiri. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).
Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar atau tak terelakkan.
Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial, menurut Robert M. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi
(34)
tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan.
2.2.2Frame Model Gamson dan Modegliani
Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan Frederick (dinyatakan pula oleh William A Gamson dan Andre Modegliani). Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representatif yang mengandung kontruksi makna tertentu.
Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan frederick (dinyatakan pula oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani). Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media; berita dan artikel, terdiri atas package interpretatif yang mengandung konstruksi makna tertentu.Di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condensing symbols.Struktur pertama merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang sedang dibicarakan.Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua sub-struktur, yaitu framing devices dan reasoning devices. Seperti dijelaskan Gamson, framing devices terdiri atas: methapor, exemplars, catchphrase, depiction, dan visual image. Sedangkan reasoning devices terdiri atas: root (analisis kausal), consequencies (efek-efek spesifik), dan appeals to principle (klaim-klaim moral). Lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut:
(35)
FRAMING ANALYSIS
MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI
Sumber : Diadopsi dari William A. Gamson dan Andre Modigliani, ‘’Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach’’, Journal of sociology, Vol. 95, No.1, July 1989, hlm. 3, dalam Siahaan et al., 2001, hlm. 87, Alex sobur hal 177 dan Eriyanto hal 225
(36)
Struktur framing devices (perangkat pembingkai) yang mencakup metaphors (metafora), exemplars (contoh terkait), catchphrases (frase yang menarik), depictions (penggambaran suatu isu yang bersifat konotatif), dan visual images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai) menekankan aspek bagaimana ‘’melihat’’ suatu isu. Struktur reasoning devices (perangkat penalaran) menekankan aspek pembenaran terhadap cara ‘’melihat’’ isu, yakni roots (analisis kausal), appeals to principle (klaim moral), dan consequences (konsekuensi yang didapat dari bingkai).
Secara literal, metaphors dipahami sebagai cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. Henry Guntur Tarigan menilai metafora sebagai sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1990:15).
John Fiske (Imawan, 2000:66) menilai metafora sebagai common sense, pengalaman hidup keseharian yang di-taken for granted masyarakat. Common sense terlihat alamiah (kenyataannya diproduksi secara arbitrer) dan perlahan-lahan menjadi kekuatan ideologis kelas dominan dalam memperluas dan mempertahankan ide untuk seluruh kelas.Metafora berperan ganda; pertama sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi piranti mental; kedua, berasosiasi dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu.
Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran.Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.
Catchphrases, istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu.Dalam teks berita, catchphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.
Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu.Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan
(37)
tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik.Depictions dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi.
Visual images, pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna.Visual image bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak.
Roots (analisis kausal), pemberatan isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebab-akibat yang digambarkan atau dibeberkan.
Appeal to Principle, pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran, dan sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatis, simplistik, dan monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain. Dan pada akhirnya akan didapat konsekuensi dari teks berita, yang terangkum dalam consequences.
Adapun beberapa penelitian yang telah menggunakan framingmodel Gamsom dan Modegliani contihnya, BUNG KARNO DALAM WACANA MEDIA MASSA ORDE BARU: Analisis terhadap Berita-Berita tentang Bung Karno dalam Majalah Tempo dan Majalah Editor Edisi Januari 1988-Juni 1994 dengan Pendekatan Framing. (Agus Sudibyo:2001)
Pembicaraan tentang sejarah Indonesia terasa kurang lengkap tanpa menyebut satu nama, Bung Karno. Sulit untuk disangkal bahwa peranan dan kepeloporan Bung Karno dalam perjalanan sejarah Indonesia sangat dominan.Meminjam kata-kata Mahbub Djunaidi, “Bung Karno adalah potongan kayu bakar yang terbesar gelondongannya yang sudah membakar api nasionalisme Indonesia, membakar api persatuan nation Indonesia, dan membakar api revolusi nasional yang pada puncaknya memerdekakan negeri ini.”
(38)
Bung Karno adalah nation and character builder yang telah membawa bangsa Indonesia ke arah terbentuknya bangsa yang berkpribadian khas. Bung Karno juga nerupakan simbol nasionalisme Indonesia yang berhasil menjembatani perbedaan di antara suku-suku di Indonesia dan menanamkan kepada mereka kesadaran tentang satu bangsa, bangsa Indonesia. Dalam percaturan politik internasional, ia adalah figur negarawan yang representatife pada masanya dan merupakan salah satu dari pemimpin berkarisma istimewa dalam nasionalisme Asia dan Afrika. Berbagai kalangan tanpa terkecuali yang pada awalnya tidak menyukainya, mengakui keberadaan Bung Karno sebagai pemimpin terkemuka di Asia, serta salah satu tokoh politik dunia yang sangat diperhitungkan.
Memahami manusia Soekarno, bagaikan memahami lukisan dengan seribu warna.Meminjam istilah Benda, Bung Karno adalah sosok dramatic personae, sebuah gambaran pribadi yang bukan hanya popular dan karismatik di mata rakyat, tapi juga kontradiktif dan controversial. Bung Karno mewakili sosok pemimpin rakyat yang multidimensional. Tidak ada tokoh di Indonesia yang semarak label seperti Bung Karno: proklamator, Bapak Bangsa, nation and character building, singa podium, agitator ulung, pemimpin absolute-totaliter dan kolaborator Jepang. Sebagian label itu bahkan berasal dari luar negeri, sebagai bukti bahwa ketokohan Bung Karno juga diakui khalayak internasional.
Kompleksitas Bung Karno sebagai seorang pemimpin terlihat dari beragam perspektif yang digunakan masyarakat Indonesia untuk memandang Bung Karno.Disatu sisi, Bung Karno memang dihormati berkat pengorbanan dan kontribusinya dalam sejarah perjuangan bangsa. Di sisi lain, Bung Karno juga dipersalahkan karena tidak mau membubarkan PKI pasca G-30S/PKI 1965, kegagalan ekonomi dan proyek-proyek mercusuar yang tidak efisien di era Demokrasi Terpimpin, serta kisah-kisah asmaranya yang kurang mencerminkan kualitas seorang pemimpin. Bung Karno juga dituduh sebagai penguasa yang cenderung totaliter.
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah bagaimanakah sebenarnya sikap politik Orde Baru terhadap Bung Karno.Harian Merdeka pernah menyimpulkan bahwa negara Orde Baru menggunakan ‘standar ganda’ dalam bersikap terhadap Bung Karno.Rachmawati Soekarnoputri juga pernah
(39)
menyimpulkan ada dualisme sikap Pemerintah terhadap Bung Karno. Pada satu sisi, Pemerintah mengakuinya sebagai pahlawan dan proklamator kemerdekaan, di sisi lain Pemerintah mengizinkan terbitnya buku-buku yang mendeskriditkan dan merusak nama baik Bung Karno, membiarkan pihak-pihak yang berpresepsi bahwa Bung Karno adalah komunis, bahkan melarang berdirinya Universitas Bung Karno.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pers Orde Baru cenderung menghadirkan wacana legitimasi terhadap Bung Karno. Pers Orde Baru sebenarnya cukup legaliter dalam menyoroti kesalahan dan kegagalan Bung Karno dengan kata lain mereka tidak kehilangan daya kritis dalam merekontruksi realitas-realitas Bung Karno. Namun seperti terlihat dalam analisis data kuantitatif, wacana media Orde Baru lebih banyak melahirkan konstruksi sejarah yang favourable dan legitimate tentang Bung Karno.
Kesimpulan ini didukung oleh kecerendungan framing yang ditunjukkan insane pers Orde Baru sendiri dalam mengkontruksi berita-berita tentang Bung Karno.Sebagai contoh, majalah Editor (17/3/1990) berjudul “Agar Bangsa Ini Tidak Pecah” yang mengulas kekerasan sikap Bung Karno untuk tidak membubarkan PKI pasca-G 30 S/PKI 1965.
Kelemahan analisis framingyang terbingkai dari data manifest dan latent dengan akhir analisis latent dan simpulan latent. Objek yang dianalisis khusus tentang berita.Unit analisisnya berupa skema, produksi dan reproduksi berita. Analisis framingternyata masih memerlukan penyempurnaan, misalnya permasalahan model proses analisis framing.
2.2.3Penelitian Kualitatif
Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan dan tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari (dalam Basrowi, 2008: 1).
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman
(40)
tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan.
Penelitian kua litatif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Latar alamiah. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan.
2. Manusia sebagai alat. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.
3. Metode kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. 4. Analisis data secara induktif. Penelitian kualitatif mengutamakan analisis
data secara induktif, dari lapangan tertentu yang bersifat khusus, untuk ditarik suatu proposisi atau teori yang dapat digeneralisasikan secara luas. 5. Teori dari dasar. Penelitian kualitatif lebih menghendaki penyusunan teori
substantif yang berasal dari data.
6. Deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.
7. Lebih mementingkan proses daripada hasil.
8. Ada “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.
9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data. Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik.
10.Desain yang bersifat sementara. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi.
11.Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. (Basrowi, 2008: 20)
2.2.4Berita, Bahasa dan Kontruksi Realitas
Kejadian atau peristiwa yang menghasilkan fakta sangat banyak.Tetapi, tidak semua peristiwa tersebut dapat ditulis dan dikategorikan sebagai sebuah berita jurnalistik.Karena itu, berita pada dasarnya adalah peristiwa yang sudah ditentukan sebagai berita.Ia bukan peristiwa itu sendiri.
Ashadi Siregar dalam buku Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa memberikan pendapat mengenai unsur-unsur nilai berita (news value) dan layak berita (news worthy).Unsur-unsur tersebut yaitu pertama,
(41)
significance (penting).Unsur ini terlihat ketika kejadian atau peristiwa yang ada memengaruhi kehidupan masyarakat.Atau setidaknya memengaruhi kehidupan pembaca.Kedua, magnitude (besar).Unsur ini ada dalam kejadian mengenai angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak.Ketiga, timeless (waktu).Ini menyangkut tentang aktualitas sebuah kejadian, terutama mengenai baru dan tidaknya sebuah peristiwa.Keempat, proximity (kedekatan).Kedekatan yang dimaksud adalah kedekatan terhadap pembaca yang berada dalam lingkungannya.Bisa kedekatan secara emosional, maupun secara geografis.Kelima, prominence (tenar).Kejadian yang menyangkut orang, benda maupun tempat yang terkenal dan berpengaruh bagi banyak orang.Keenam, human interest (manusiawi).Ini berkaitan dengan hal-hal yang menyentuh perasaan atau emosi pembaca.
Sementara itu, Bill Kovach dan Tom Rosensteil memberikan sembilan elemen jurnalisme dalam bukunya The Elements of Journalism.Elemen-elemen ini adalah standar nilai berita dan layak berita yang didasarkan pada wawancara dengan 400 wartawan di seluruh dunia. Sembilan elemen jurnalisme tersebut yaitu, (1) kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat; (3) intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi; (4) praktisi jurnalisme (wartawan) harus menjaga independensi terhadap narasumber berita; (5) jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan; (6) jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; (7) jurnalisme memberitakan hal yang penting menjadi menarik dan relevan; (8) jurnalisme menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; (9) mengikuti hari nurani. Untuk bisa memenuhi nilai berita dan layak berita, sebuah peristiwa tidak harus memenuhi semua unsur di atas.Ia bisa memenuhi semua unsur, tetapi juga bisa hanya memenuhi beberapa unsur. Hal ini biasanya sesuai dengan hak prerogatif penerbitan pers dalam menentukan kebijakan redaksionalnya untuk menentukan unsur-unsur tersebut.
Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan layak berita (news worthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam
(42)
keseluruhan teks berita.Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan. 2.2.5Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial
Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan. Sehingga realitas yang terjadi tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk, cenderung memarjinkan seseorang atau sekelompok orang tertentu (Eriyanto, 2001: 113).
Hal ini terkait dengan visi dan misi, serta ideologi yang dipakai oleh masing-masing media, sehingga kadangkala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak pada siapa (jika yang diberitakan adalah seseorang, kelompok, atau golongan dalam masyarakat yang tergantung pada etika,moral, dan nilai-nilai tertentu), tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan. Hal ini merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkontruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Realitas Sosial adalah hasil kostruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak terlepas dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Beger dan Thomas Luckman. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).
Kontruksi sosial berasal dari filsafat kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh
(43)
Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan id (Bertens, 1999: 89-106). Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Bertens, 1999: 137-139). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada.”
Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’(dalam Suparno, 1997: 24), mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu’ini berarti seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa (Suparno, 1997: 25).
1. Konstruktivismeradikal
Konstruktivismeradikalhanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata.Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran.Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologisme obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif, karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
(44)
2. Realismehipotesis
Bagi realismehipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. 3. Konstruktivismebiasa
Konstruktivismebiasamengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu.Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya.Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2007: 188-189).
Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi
Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.
(45)
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi (Bungin, 2007: 14).
Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstrusinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas.
Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).
Gambar 1
(46)
(Sumber: Bungin, 2008: 204)
2.2.6 Faktor Faktor yang Membentuk Isi Media
Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content, menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media: Individu; Rutinitas media; Organisasi; Ekstra media; dan Ideologi.
Gambar 2
(47)
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 64)
Individual
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media.
Terdapat tiga faktor intrinsik pada pekerja media yang dapat mempengaruhi isi media. Pertama ialah karakteristik pekerja, personaliti, dan latar belakang pekerja. Kedua ialah sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Contohnya ialah keberpihakan politik jurnalis atau keyakinan agama jurnalis. Ketiga ialah orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai penyampai kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif membangun cerita (Soemaker dan Reese, 1996: 64).
Gambar 3
(48)
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 65)
Gambar di atas menunjukkan hubungan di antara faktor-faktor intrinsik jurnalis yang melatabelakangi isi media.Karakteristik, latar belakang dan pengalaman individu mempengaruhi sikap, nilai dan keyakinan yang dimiliki jurnalis dan juga mempengaruhi pengalaman dan latar belakang dalam profesinya.Sebagai contoh, pendidikan terakhir, lingkungan tempat jurnalis dibesarkan, dan karakteristik pribadi jurnalis akan mempengaruhi sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegangnya selama menjadi seorang jurnalis dan juga akan mempengaruhi pengalaman dan dedikasinya sebagai seorang jurnalis. Pengalaman dan dedikasi selama menjadi jurnalis kemudian membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis yang secara langsung mempengaruhi media.Sedangkan sikap, nilai dan keyakinan jurnalis secara tidak langsung mempengaruhi isi media sebatas wewenang jurnalis tersebut dalam organisasi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 65).
Rutinitas Media
Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut
(49)
adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.
Karl Manheim, seorang sosiolog Jerman mengatakan bahwa tiap individu tidak berpikir dengan sendirinya. Seorang hanya berpartisipasi dalam memikirkan lebih jauh apa yang telah dipikirkan oleh orang lain sebelumnya. Mereka berbicara dalam bahasa kelompoknya, dan berpikir dengan cara pikir kelompoknya. Hal tersebut serupa dengan rutinitas yang terdapat pada organisasi media massa.
Rutinitas telah menciptakan pola sedemikian rupa yang terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacaukan. Hal-hal yang memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer) (Shoemaker dan Reese, 1996: 105-108).
Gambar 4
(50)
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 109)
Organisasi
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang mepekerjakan pekerja media dalam usaha untuk memproduksi isi media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan mana yang bukan. Terdapat tujuan yang jelas yang menciptakan salingketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur yang birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: Apa peran organisasi; Bagaimana organisasi terstruktur; Apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; dan Bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker dan Reese, 1996: 142-144).
Dalam organisasi media terdapat tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas
(51)
mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkatan menengah, yaitu manajer, editor, produser dan lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker dan Reese, 1996: 151).
Ekstra media
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media:
1. Sumber berita
Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media.
2. Sumber penghasilan media
Sumber penghasilan media berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media.
(52)
Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
3. Pihak eksternal
Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
Ideologi
Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita mempersepsikan dunia kita dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level paling besar dalam model hierarki pengarus isi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 222).
Ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas.
Raymond William (dalam Eriyanto,2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.
1. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu.
Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demontrasi
(53)
tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu kemacetan lalulintas, dan membuat persahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.
2. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah.
Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa.
3. Proses umum produksi makna dan ide.
Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.
2.2.7 Citra
Citra (image) memiliki banyak arti, yang mungkin merupakan penyebab ia menjadi satu dari sekian banyak kata yang digunakan secara berlebihan. Banyak orang menganggap bahwa citra sebagai lawan dari kenyataan, persepsi dari realitas atau kenyataan juga bisa berbeda-beda, sehingga tak dapat diandalkan sepenuhnya.Pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible), tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya.
Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi (Soemirat, 2004 :112).
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
BIODATA PENULIS
Peneliti lahir di Solo pada 18 April 1992. Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Hikmat Yasin dan Nendartik. Meski mewarisi darah Gayo dari sang Ayah, peneliti dibesarkan sejak lahir di Kota Solo.
Pendidikan dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas peneliti jalani di Solo. Lulus dari SMA Tahun 2010 peneliti melanjutkan pendidikan kuliahnya di Sumatera Utara.Di terima melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara.
Selama masa kuliah peneliti aktif di Organisasi Kemahasiswaan Pers SUARA USU. Selama tiga tahun berproses di Pers Mahasiswa SUARA USU, peneliti mendapat berbagai kesempatan untuk menjadi reporter, redaktur online dan terakhir masa jabatan sebagai pemimpin redaksi.Berbagai pelatihan menulis sempat peneliti ikuti diantaranya Pelatihan Jurnalistik Tingkat Nasional yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan tema Meliput di Wilayah Konflik tahun 2012.
Peneliti juga memiliki pengalaman magang di Harian TRIBUN Medan tahun 2012 dan menjalani Paktik Kerja Lapangan (PKL) di TRANS7 Jakarta tahun 2013.