Nilai-Nilai Sosial Pada Serial Drama Misaeng (Analisis Isi Muatan Nilai-Nilai Sosial Tayangan Serial Drama Korea “Misaeng”)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas
dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian, paradigma
membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan
kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma akan menentukan kualitas
pertanyaan yang akan ditanyakan oleh peneliti dan jenis data yang bagaimana
untuk menghasilkan jawaban (Bulaeng, 2004: 2). Paradigma menawarkan cara
pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia. Perspektif atau paradigma
sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis maupun tindak
perilaku seseorang.
Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu
pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu di
antaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Paradigma tertanam
kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan
pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat
normatif, menunjukkan kepada praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu
melakukan pertimbangan eksistensial dan epistemologis yang panjang (Mulyana,
2003: 9).


2.1.1

Paradigma Konstruktivisme
Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu:

positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto &
Hermawan, 2011: 9). Perspektif atau paradigma yang digunakan peneliti dalam
penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme.
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan
subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya
dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari

8
Universitas Sumatera Utara

9

subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek

sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan
sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksudmaksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151). Setiap
pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan
pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara.
Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif,
Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme
memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi
hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah
menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan
cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2001: 37).
Sejarah

konstruktivisme

dapat

dirunut

pada


teori

Popper

yang

membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau
keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.
Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah,

puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik,
melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini kemudian
berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru
mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan
pengetahuan manusia (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 153).
Konstruktivisme

berpendapat

bahwa


semesta

secara

epistemologi

merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.
Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai
yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek
sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian
paradigma

konstruktivis

mencoba

menjembatani


dualisme

objektivisme-

subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi
ilmu pengetahuan (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151-153).

Universitas Sumatera Utara

10

Littlejohn mengatakan bahwa paradigma konstruktivis berlandaskan pada
ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui
proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27).
Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang
sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah
yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan

bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu (Ardianto
dan Q-Anees, 2007: 154).
Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujuk pada
pengetahuan

yang

dikonstruksi

sudah

ada

di

benak

subjek.

Namun,


konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi
melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Pengetahuan
dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus
dialaminya.
Robyn Penmann (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 158) merangkum kaitan
konstruktivis dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi:
1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek
yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang
dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikasi dianggap sebagai tindakan
sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.
2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang
objektif sebagai diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam
kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa
itulah konstruksi realitas tercipta.
3. Pengetahuan bersifat konstektual, maksudnya pengetahuan merupakan produk
yang dipengaruhi ruang waktu akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran
waktu.
4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara
pandang yang ikut mempengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau


Universitas Sumatera Utara

11

dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “segala
sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan
penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil
pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya.
5. Pengetahuan bersifat sarat nilai. Pandangan ini mendasarkan pada penafsiran
teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman,
latar belakang dan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam
penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang
dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah
menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan
cara apa konstruksi tersebut dibentuk.

2.2 Kajian Pustaka
Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang
mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang

membantu kita memahami sebuah fenomena (West dan Turner, 2009: 49).
Menurut Kerlinger, teori merupakan himpunan konstruk atau konsep, definisi dan
proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan
menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala
tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Teori membimbing riset dan membantu periset
menerangkan gejala, memprediksikan dan mengontrol gejala tersebut.
Singarimbun (dalam Kriyantono, 2010: 43) menyatakan bahwa teori
mempunyai peranan yang besar dalam riset, karena teori mengandung tiga hal:
Pertama ,

teori

adalah

serangkaian

proposisi

antarkonsep


yang

saling

berhubungan. Kedua , teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial
dengan cara menentukan hubungan antarkonsep. Ketiga , teori menerangkan
fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan
dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya.
Dalam penelitian kualitatif teori sifatnya tidak mengekang peneliti. Teori
berfungsi sebagai pisau analisis, membantu peneliti untuk memaknai data, di
mana seorang peneliti tidak berangkat (dilandasi) dari suatu jenis teori tertentu.

Universitas Sumatera Utara

12

Peneliti bebas berteori untuk memaknai data dan mendialogkannya dengan
konteks sosial yang terjadi.
Adapun teori-teori yang dianggap relevan untuk penelitian ini adalah sebagai
berikut:

2.2.1

Komunikasi
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan

manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin
mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia
perlu berkomunikasi. Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu
kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari
kata Latin communis yang berarti “sama”, communico ¸ communicatio atau
communicare yang berarti “membuat sama” (to make common) (Mulyana, 2010:

46). Makna kata ”sama” ini bisa diinterpretasikan dengan ”sama makna”. Jadi,
secara sederhana proses komunikasi bermuara pada usaha untuk mendapatkan
kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan proses
komunikasi tersebut.
Everett M. Rogers, seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika
mendefinisikan komunikasi sebagai proses di mana suatu ide dialihkan dari
sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah
laku mereka. Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D.
Lawrence Kincaid (1981) sehingga melahirkan definisi baru yang menyatakan
bahwa: “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang
pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam” (Cangara, 2005:
19).
Komunikasi merupakan suatu proses sosial di mana individu-individu
menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna
dalam lingkungan mereka. Ketika dipandang secara sosial, komunikasi selalu
melibatkan dua orang yang berinteraksi dengan berbagai niat, motivasi, dan

Universitas Sumatera Utara

13

kemampuan. Komunikasi berlangsung secara berkesinambungan dan tidak
memiliki akhir.
Harold D. Laswell (dalam Cangara, 2005: 2-3) menyebut tiga fungsi dasar
yang menjadi penyebab mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu:
Pertama, adalah hasrat manusia untuk mengontrol lingkungan. Melalui

komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk
dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam
sekitarnya. Melalui komunikasi dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa.
Bahkan melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya,
yakni belajar dari pengalamannya, maupun melalui informasi yang mereka terima
dari lingkungan sekitarnya.
Kedua,

adalah

upaya

manusia

untuk

dapat

beradaptasi

dengan

lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung
bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian di
sini bukan saja terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap
gejala alam yang mempengaruhi perilaku manusia, tetapi juga lingkungan
masyarakat tempat manusia hidup dalam tantangan. Dalam lingkungan seperti ini
diperlukan penyesuaian, agar manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis.
Ketiga, adalah upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi.

Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota
masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku dan peranan.
Misalnya bagaimana sekolah difungsikan untuk mendidik warga negara atau
bagaimana media massa menyalurkan hati nurani khayalaknya.
Ketiga fungsi ini menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam
berhubungan dengan sesama anggota masyarakat. Komunikasi jelas tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Sebab, berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh
langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat.

Universitas Sumatera Utara

14

2.2.2

Komunikasi Massa

2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Massa
Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para
ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya. Pada
dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa, yaitu
media cetak dan elektronik (Nurudin, 2004: 2). Fokus kajian dalam komunikasi
massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menyebarkan
informasi berupa pesan berita, peristiwa atau produk budaya yang mempengaruhi
dan merefleksikan suatu masyarakat.
Komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama antara media
massa dan khalayaknya (Baran, 2012: 7). Studi komunikasi massa mempelajari
pemanfaatan media oleh audiens, dan menjelaskan efek media terhadap human
interaction dalam konteks komunikasi, dan unit analisis komunikasi massa antara

lain pesan, media dan audiens (Liliweri, 2011: 219).

2.2.2.2 Karakteristik Komunikasi Massa
Menurut Ardianto dan Erdinaya (2004: 7-12) terdapat delapan
karakteristik komunikasi massa, yaitu sebagai berikut:
1. Komunikator terlembagakan. Komunikator dalam komunikasi massa bukanlah
satu orang melainkan kumpulan orang-orang. Komunikasi massa melibatkan
lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. Artinya,
pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari
pengumpulan, pengelolaan sampai penyajian informasi.
2. Pesan bersifat umum. Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya
komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk
sekelompok orang tertentu. Pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan di mana
saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin maupun suku bangsa.
3. Komunikannya anonim dan heterogen. Dalam komunikasi massa, komunikator
tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media
dan tidak tatap muka. Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen,
karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat

Universitas Sumatera Utara

15

dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.
4. Media massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa
dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau
komunikan yang dicapainya relatif lebih banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih
dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang
bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. Keserempakan media massa
merupakan keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak
yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada
dalam keadaan terpisah.
5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan. Setiap komunikasi
melibatkan unsur isi dan hubungan sekaligus. Pada komunikasi antar pribadi,
unsur hubungan sangat penting. Sebaliknya pada komunikai massa, yang penting
adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa
berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa
yang akan digunakan.
6. Komunikasi massa bersifat satu arah. Merupakan salah satu kelemahan yang
ada pada komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan komunikasi dengan
menggunakan atau melalui media massa. Hal ini menyebabkan komunikator dan
komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif
menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun di antara
keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam
komunikasi antar pribadi. Kalau pun terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya
memerlukan waktu dan tertunda.
7. Stimulasi alat indra “terbatas”. Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra
bergantung pada jenis media massa yang digunakan oleh komunikan. Pada surat
kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada siaran radio dan rekaman
auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film,
khalayak menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. Hal ini sangat
berbeda dengan komunikasi antar pribadi yang bersifat tatap muka, di mana
seluruh alat indra pelaku komunikasi, baik komunikator dan komunikan, dapat

Universitas Sumatera Utara

16

digunakan secara maksimal. Kedua belah pihak dapat melihat mendengar secara
langsung, bahkan mungkin merasa.
8. Umpan balik tertunda (delayed ). Komunikasi massa tidak mampu menjalankan
fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah.

2.2.2.3 Fungsi Komunikasi Massa
Para pakar mengemukakan tentang sejumlah fungsi komunikasi, kendati
dalam setiap item fungsi terdapat persamaan dan perbedaan. Pembahasan fungsi
komunikasi telah menjadi diskusi yang cukup penting, terutama konsekuensi
komunikasi melalui media massa. Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat
menurut Dominick (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 15-18), terdiri dari
surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan),
transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment (hiburan).

1. Surveillance (Pengawasan)
Media massa merupakan sebuah medium di mana dapat digunakan
untuk pengawasan terhadap aktivitas masyarakat pada umumnya.
Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama,
yaitu:
a. Warning or Beware Surveillance (Pengawasan Peringatan)
Fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa
menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya
gunung merapi, kondisi efek yang memprihatinkan, tayangan
inflasi atau adanya serangan militer.
b. Instrumental Surveillance (Pengawasan Instrumental)
Fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau
penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat
membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Berita tentang
film apa yang sedang dimainkan di bioskop, bagaimana hargaharga saham di bursa efek, produk-produk baru, ide-ide tentang
mode, resep masakan dan sebagainya, adalah contoh-contoh
pengawasan instrumental.

Universitas Sumatera Utara

17

2. Interpretation (Penafsiran)
Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media
massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan
penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri
media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau
ditayangkan. Contoh nyata penafsiran media dapat dilihat pada halaman
tajuk rencana (editorial) surat kabar, pada radio siaran dan televisi,
seperti tayangan acara derap hukum dan tayangan penafsiran sejenis
lainnya. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca
pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut
dalam komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok.
3. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam
sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan
minat yang sama tentang sesuatu. Contoh masyarakat yang tersebar
telah dipertalikan oleh media massa untuk memilih Partai Demokrat.
4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai)

Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga
socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu pada cara di mana

individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang
mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca.
Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak
dan apa yang diharapkan mereka. Dengan kata lain, media massa
mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk
menirunya.
5. Entertainment (Hiburan)

Televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan,
hampir 3/4 bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tayangan
hiburan. Begitu pun radio siaran, siarannya banyak dimuati acara
hiburan. Memang ada beberapa televisi dan radio siaran yang memuat
100% berita. Tetapi televisi dan radio siaran lainnya menyajikan berita

Universitas Sumatera Utara

18

kurang dari 5%. Majalah pun demikian halnya. Ada yang banyak
memuat hiburan, ada pula yang sedikit memuat hiburan.

2.2.3 Analisis Isi (Content Analysis)
2.2.3.1 Pengertian Dasar Analisis Isi
Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat
inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan
memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi
komunikasi (Bungin, 2008: 231). Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap
komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa
verbal maupun non verbal. Sejauh ini, makna komunikasi menjadi amat dominan
dalam setiap peristiwa komunikasi.
Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang mempelopori teknik
symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian

diberi interpretasi. Analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian
sosial. Analisis isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut:
1. Data yang tersedia sebagian besar terdiri dari berbagai bahan yang
terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuscript).
2. Ada keterangan pelengkap atau kerangka teori tertentu yang menerangkan
tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut.
3. Peneliti memiliki kemampuan teknis untuk mengolah bahan/data yang
dikumpulkannya karena sebagian dokumentasi tersebut sangat spesifik.
Analisis isi digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi
yang disampaikan dalam bentuk lambang. Analisis isi dapat digunakan untuk
menganalisis semua bentuk komunikasi, seperti surat kabar, buku, puisi, lagu,
cerita rakyat, lukisan, pidato, surat, peraturan, undang-undang, musik, teater, dan
sebagainya (Rakhmat, 2004: 89). Sebagai contoh, seorang peneliti mungkin ingin
menganalisis isi buku belajar mandiri bagi orang tua guna menentukan jenis-jenis
saran yang diberikan dalam buku tersebut.
Berelson (dalam Bungin, 2008: 232) mendefinisikan analisis isi dengan;

Universitas Sumatera Utara

19

“Content analysis is a research technique for the objective, systematic,
and quantitative description of the manifest content of communication.”
“Analisis isi adalah teknik penelitian yang objektif, sistematis dan
deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak dalam komunikasi.”
Kendatipun banyak kritik yang dapat kita sampaikan pada definisi
Berelson sehubungan perkembangan analisis isi sampai hari ini, namun catatan
mengenai objektif dan sistematik dalam menganalisis isi komunikasi yang tampak
dalam komunikasi, menjadi amat penting untuk dibicarakan saat ini. Salah satu
tekanan Berelson dalam analisis isi, yaitu deskripsi kuantitatif, akan dibicarakan
pada pembicaraan mengenai penelitian kuantitatif. Hal ini menunjukkan bahwa
analisis isi adalah teknik yang bersisi ganda. analisis tersebut dapat digunakan
pada teknik kuantitatif maupun kualitatif, tergantung pada sisi mana peneliti
memanfaatkannya.
Analisis isi kuantitatif memfokuskan risetnya pada isi komunikasi yang
tersurat (tampak atau manifest). Karena itu tidak dapat digunakan untuk
mengetahui isi komunikasi yang tersirat (latent) (Kriyantono, 2010: 251).
Misalnya, mengapa surat kabar A memberitakan konflik Ambon lebih banyak dari
surat kabar lainnya, mengapa RCTI memberitakan isu kenaikan BBM dengan cara
yang berbeda dengan TransTV, dan lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu
analisis isi yang lebih mendalam dan detail untuk memahami produk isi media
dan mampu menghubungkannya dengan konteks sosial/realitas yang terjadi
sewaktu pesan dibuat. Hal ini disebabkan perspektif penelitian isi media kualitatif
selalu melihat pesan-pesan media (teks, simbol, gambar dan sebagainya) sebagai
kumpulan simbol dan lambang representasi kultural atau budaya dalam konteks
masyarakat (produk sosial dan budaya masyarakat). Inilah yang disebut dengan
analisis isi kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti
melihat keajegan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti
memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi
simbolik yang terjadi dalam komunikasi. Dalam penelitian kualitatif, penggunaan
analisis isi lebih banyak ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada pada
komunikasi itu terbaca dalam interaksi sosial, dan bagaimana simbol-simbol itu

Universitas Sumatera Utara

20

terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Dan sebagaimana penelitian kualitatif lainnya,
kredibilitas peneliti menjadi amat penting. Analisis isi memerlukan peneliti yang
mampu menggunakan ketajaman analisisnya untuk merajut fenomena sosial yang
terbaca oleh orang pada umumnya.
Dalam analisis isi kualitatif semua jenis data atau dokumen yang dianalisis
lebih cenderung disebut dengan “text” apa pun bentuknya gambar, tanda (sign),
simbol, gambar bergerak (moving image) dan sebagainya. Atau dengan kata lain
yang disebut dokumen dalam analisis isi kualitatif adalah wujud representasi
simbolik yang dapat direkam/didokumentasikan atau disimpan untuk dianalisis.
Analisis isi kualitatif ini merujuk pada metode analisis yang integratif dan lebih
secara

konseptual

untuk

menemukan,

mengidentifikasi,

mengolah

dan

menganalisis dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansinya.
David L. Altheide (dalam Kriyantono, 2010: 251) mengatakan bahwa
analisis isi kualitatif disebut pula sebagai Ethnographic Content Analysis (ECA),
yaitu perpaduan antara analisis isi objektif dengan observasi partisipan. Artinya,
istilah ECA adalah periset berinteraksi dengan material-material dokumentasi atau
bahkan melakukan wawancara mendalam sehingga pernyataan-pernyataan yang
spesifik dapat diletakkan pada konteks yang tepat untuk dianalisis. Oleh karena itu
peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif harus memerhatikan beberapa
hal (Kriyantono, 2010: 252) :
Pertama adalah context, atau situasi sosial di seputar dokumen atau text

yang diteliti. Di sini peneliti diharapkan dapat memahami the nature
(kealamiahan) dan cultural meaning (makna kultural) dari artifact (teks) yang
diteliti. Contohnya, salah satu hal penting jika peneliti melakukan penelitian
terhadap isi pesan media, yang harus ia pertimbangkan bahwa berita dalam surat
kabar atau dalam siaran berita di televisi merupakan produk budaya dari sebuah
organisasi atau lebih sederhananya berita adalah produk organisasional. Artinya,
jika

peneliti

menganalisis

isi

pesan

suatu

pemberitaan,

ia

harus

mempertimbangkan ideologi organisasi/institusi media massanya.
Kedua adalah process, atau bagaimana suatu produksi media/isi pesannya

dikreasi secara aktual dan diorganisasikan secara bersama. Misalnya, karena

Universitas Sumatera Utara

21

pemberitaan di stasiun televisi adalah produk organisasional, peneliti juga harus
mempertimbangkan bagaimana berita diproses. Bagaimana format pemberitaan
televisi yang dianalisis tadi disesuaikan dengan keberadaan dari tim pemberitaan,
bagaimana realitas objektif diedit ke dalam realitas media massa, dan sebagainya.
Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual/bertahap dari

makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi. Emergence ini akan
membantu peneliti memahami proses dari kehidupan sosial di mana pesan tadi
diproduksi. Di sini peneliti menggunakan dokumen atau teks untuk membantu
memahami proses dan makna dari aktivitas-aktivitas sosial. Dalam proses ini
peneliti akan mengetahui apa dan bagaimana si pembuat pesan dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya atau oleh bagaimana si pembuat pesan mendefinisikan suatu
situasi.
Analisis isi kualitatif bersifat sistematis, analitis tetapi tidak kaku seperti
dalam analisis isi kuantitatif. Kategorisasi dipakai hanya sebagai guide,
diperbolehkan konsep-konsep atau kategorisasi yang lain muncul selama proses
riset. Saat ini telah banyak metode analisis yang berpijak dari pendekatan analisis
isi kualitatif. Antara lain: analisis framing, analisis wacana, analisis tekstual,
semiotik, analisis retorika, dan ideological criticism. Periset dalam melakukan
analisis bersikap kritis terhadap realitas yang ada dalam teks yang dianalisis.
Selain itu ECA mempunyai orientasi yang lebih kepada pengembangan konsep,
koleksi data, dan munculnya analisis data yang mengandalkan pada kemampuan
naratif dari peneliti.
Lewat analisis isi, peneliti dapat mempelajari gambaran isi, karakteristik
pesan, dan perkembangan (tren) dari suatu isi (Eriyanto, 2011: 11). Peneliti tidak
memusatkan perhatian pada apa yang terlihat dalam teks, tetapi makna dari teks
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

22

2.2.3.2 Bentuk Klasifikasi Analisis Isi
Janis membuat klasifikasi-klasifikasi untuk metode analisis isi (Bungin,
2008: 234-235) yakni sebagai berikut:
1.

Analisis Isi Pragmatis (Pragmatic Content Analysis), yakni prosedur
memahami teks dengan mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau
akibatnya yang mungkin timbul, misalnya berapa kali suatu kata tertentu
ditulis atau diucapkan, yang dapat mengakibatkan munculnya sikap suka atau
tidak suka terhadap sebuah rezim pemerintahan.

2.

Analisis Isi Semantik (Semantic Content Analysis), yakni prosedur yang
mengklasifikasikan tanda menurut maknanya, misalnya menghitung berapa
kali kata demokrasi dijadikan sebagai rujukan sebagai salah satu pilihan
sistem politik yang dianut oleh sebagian besar masyarakat dunia. Atau,
misalnya yang lain, berapa kali kata Indonesia disebut oleh Obama sebagai
rujukan contoh negara dengan keragaman suku, budaya dan agama, yang
mampu mempersatukan semuanya dalam bingkai negara kesatuan. Secara
rinci, Janis mengembangkan Analisis Isi Semantik menjadi tiga macam
kategori sebagai berikut:
a) Analisis Penunjukan (Designation Analysis), yakni menggambarkan
frekuensi seberapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, konsep)
dirujuk. Analisis model ini juga biasa disebut sebagai Analisis Isi Pokok
Bahasan (Subject-Matter Content Analysis).
b) Analisis Penyifatan (Attributions Analysis), yakni menggambarkan
frekuensi seberapa sering karakterisasi objek tertentu dirujuk atau disebut
misalnya, referensi kepada ketidakjujuran, kenakalan, penipuan.
c) Analisis

Pernyataan (Assertions

Analysis),

yakni

menggambarkan

frekuensi seberapa sering objek tertentu dilabel atau dikarakteristikkan
secara khusus. Analisis ini juga disebut analisis tematik. contohnya,
referensi terhadap perilaku menyontek di kalangan mahasiswa sebagai
maling atau pembohong, seberapa sering Iran disebut oleh Amerika
sebagai negara yang menantang himbauan masyarakat internasional dalam
hal pembangunan proyek nuklir.

Universitas Sumatera Utara

23

3.

Analisis

Sarana

Tanda

(Sign-Vehicle

Analysis),

yakni

prosedur

mengklasifikasikan isi melalui sifat psikofisik dari tanda (misalnya
menghitung frekuensi berapa kali kata cantik muncul, atau kata negara
Indonesia muncul dalam sambutan Obama ketika berkunjung ke Indonesia).

2.2.3.3 Penggunaan Analisis Isi
Penggunaan Analisis isi tidak berbeda dengan penelitian kualitatif lainnya.
Hanya saja, karena teknik ini dapat digunakan pada pendekatan yang berbeda
(baik kuantitatif maupun kualitatif), maka penggunaan analisis isi tergantung pada
kedua pendekatan ini.
Ada banyak manfaat dalam penggunaan metode analisis isi. Para peneliti
telah menggunakan metode ini bukan hanya untuk mempelajari karakteristik isi
komunikasi, tetapi juga untuk menarik kesimpulan mengenai sifat komunikator.
Keadaan khalayak, maupun efek komunikasi. Penelitian analisis isi pernah
digunakan untuk menganalisis gaya dan teknik propaganda, membandingkan
kecenderungan politik media satu dengan yang lain dan sebagainya. Menurut
Wimmer dan Dominick setidaknya ada lima kegunaan yang dapat dilakukan
dalam penelitian analisis isi (Bungin, 2008: 188-191):
1) Menggambarkan Isi Komunikasi (Describing Communication Content)
Analisis isi berfungsi untuk mengungkap kecenderungan yang ada pada isi
komunikasi, baik melalui media cetak maupun eletronik. Misalnya, penelitian
yang ingin mengetahui apakah pernyataan elite tertentu di media massa
menggunakan gaya komunikasi politik yang agresif, menyerang pihak lain,
atau submisif, yang cenderung diam atau mengalah.
1.

Menguji Hipotesis tentang Karakteristik Pesan (Testing Hypothesis of
Messages Characteristic)

Sejumlah peneliti analisis isi berusaha menghubungkan karakteristik tertentu
dari komunikator (sumber) dengan karakteristik pesan yang dihasilkan.
Sebagai contoh, Lembaga Konsumen Media tahun 1999 meneliti akurasi
berita politik yang ada pada headlines sembilan surat kabar besar di
Indonesia, menemukan bahwa Harian Kompas merupakan media yang paling

Universitas Sumatera Utara

24

akurat, memisahkan fakta dan opini, dan dilengkapi dengan data, dibanding
media yang lain.
2) Membandingkan Isi Media dengan Dunia Nyata (Comparing Media Content
to the “Real World”)
Banyak analisis isi digunakan untuk menguji apa yang ada di media dengan
situasi aktual yang ada di kehidupan nyata. Misalnya, membandingkan
kekerasan yang ada di dunia televisi dengan kekerasan di kehidupan nyata.
3) Memperkirakan Gambaran Kelompok Tertentu di Masyarakat (Assessing the
Image of Particular Groups in Society)

Sejumlah penelitian analisis isi telah memfokuskan dan mengungkap
gambaran media mengenai kelompok minoritas tertentu. Di sini analisis isi
digunakan untuk meneliti masalah sosial tentang diskriminasi dan prasangka
terhadap kelompok minoritas, agama tertentu, etnik, dan lain-lain. Misalnya,
meneliti bagaimana orang kulit hitam ditampilkan dalam film-film Amerika.
Apakah lebih sering sebagai lakon yang baik hati, atau pelaku kejahatan?
Segar dan Wheelar (1971) dalam penelitiannya mendapati bahwa 75% peran
utama dilakukan oleh orang Amerika kulit putih, 6% kulit hitam, dan sisanya
kelompok-kelompok minoritas lainnya.
4) Mendukung Studi Efek Media Massa
Penggunaan analisis isi acapkali juga digunakan sebagai sarana untuk
memulai penelitian efek media massa. Seperti dalam penelitian cultivation
analysis, di mana pesan yang dominan dan tema-tema isi media yang

terdokumentasi melalui prosedur yang sistematik dikorelasikan dengan studi
lain tentang khalayak, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah pesanpesan di media massa tersebut menumbuhkan sikap-sikap yang serupa di
antara para pengguna media yang berat (heavy users). Gerbner, Gross,
Signorielli, Morgan, dan Jacson Beeck (1979) menemukan bahwa penonton
berat TV (heavy viewers) cenderung lebih takut pada lingkungan sekitarnya.
Penelitian Agenda Setting juga merupakan penelitian efek media yang diawali
dengan analisis isi terhadap isi media. Di antara content analysis digunakan
untuk mengetahui Agenda Media, kemudian dikorelasikan dengan Agenda

Universitas Sumatera Utara

25

Publik, yaitu apa yang dianggap penting oleh publik, yang datanya diperoleh
melalui survei.
Berelson (dalam Krippendorf, 1993: 36-37) menyebut 17 kegunaan
analisis isi, yaitu:
1. Mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan dalam isi komunikasi.
2. Melacak perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Menyingkap perbedaan-perbedaan internasional dalam isi komunikasi.
4. Membandingkan media atau “level” komunikasi.
5. Memperhitungkan isi komunikasi dalam hubungannya dengan sasaransasarannya.
6. Mengkonstruksikan dan menerapkan standar-standar komunikasi.
7. Membantu pelaksanaan teknis penelitian (mengkode pertanyaan terbuka
dalam wawancara survei).
8. Menyingkapkan teknik-teknik propaganda.
9. Mengukur “kehandalan” bahan-bahan komunikasi.
10. Menemukan gambaran-gambaran stylistik.
11. Mengidentifikasi niat-niat (intentions) dan karakteristik lain komunikator.
12. Menggambarkan keadaan psikologis seseorang atau kelompok.
13. Mendeteksi eksistensi propaganda (terutama untuk tujuan yang legal).
14. Melindungi intelijensi politik dan militer.
15. Merefleksikan berbagai sikap, kepentingan dan nilai (pola-pola kultural)
berbagai kelompok masyarakat.
16. Mengungkapkan fokus perhatian.
17. Mendeskripsikan respons yang berbentuk sikap dan perilaku terhadap
komunikasi.

2.2.3.4 Kelebihan dan Keterbatasan Analisis Isi
Bungin (2008: 192-193) mengungkapkan bahwa penggunaan analisis isi
memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan utama metode analisis isi adalah
tidak digunakannya manusia sebagai subjek penelitian. Hal ini menyebabkan
penelitian relatif lebih mudah, tidak ada reaksi dari populasi ataupun sampel yang
diteliti karena tidak ada orang yang diwawancarai, diminta mengisi kuesioner,

Universitas Sumatera Utara

26

ataupun diminta datang ke laboratorium. Analisis isi juga relatif murah, tidak
terbentur masalah perizinan penelitian. Bahan-bahan penelitian mudah didapat
terutama di perpustakaan-perpustakaan, atau di bagian dokumentasi audio visual.
Biaya untuk coder relatif lebih murah dibandingkan biaya operasional pengumpul
data untuk survei.
Kekurangan analisis isi terpenting adalah ia hanya meneliti pesan yang
tampak, sesuatu yang disembunyikan dalam pesan bisa luput dari analisis isi. Oleh
karena itu, analisis isi kualitatif seperti semiotic, discourse, analisis framing,
ataupun textual analysis dapat menutupi kekurangan ini. Kekurangan terpenting
lain adalah kesulitan menentukan media atau tempat memperoleh pesan-pesan
yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Meneliti berita kerusuhan,
misalnya, akan kesulitan jika kita menetapkan pengambilan sampel medianya
secara random, baik sistematis maupun simple random. Karena tidak semua media
yang dipilih secara random itu ada berita kerusuhannya.
Kelemahan lain, adalah bahwa pesan komunikasi tidak selamanya
merefleksikan fakta, terkadang memang ada usaha untuk membelokkan dunia
simbolis yang ada di media (pesan) dari realitas yang sesungguhnya. Karena itu
untuk penelitian analisis isi yang bertujuan untuk memahami realitas sosial,
penelitian ini perlu dikonfirmasi dengan penelitian lainnya.

2.2.4

Nilai-Nilai Sosial
Di dalam setiap kehidupan sosial terdapat pandangan tentang sesuatu yang

dianggap baik, patut, layak, pantas, dan biasanya dijadikan sebagai pedoman bagi
tata kelakuan masyarakat. Pedoman tata kelakuan dari pandangan hidup
masyarakat tersebut biasanya dimulai dari pandangan unit kesatuan sosial terkecil,
yaitu keluarga, masyarakat, suku bangsa, hingga bangsa sampai pada masyarakat
internasional (Setiadi & Kolip, 2011: 115).
Secara definitif, Theodorson mengemukakan, bahwa nilai merupakan
sesuatu yang asbtrak yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam
bertindak dan bertingkah laku. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak (Basrowi, 2005: 79-80). Adapun

Universitas Sumatera Utara

27

nilai-nilai yang menyangkut tentang nilai sosial adalah nilai perilaku yang
menggambarkan

suatu

tindakan

masyarakat,

nilai

tingkah

laku

yang

menggambarkan suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat, serta nilai sikap
yang secara umum menggambarkan kepribadian suatu masyarakat dalam
lingkungannya.
Nilai adalah suatu bagian penting dalam kebudayaan. Suatu tindakan
dianggap sah-artinya secara moral dapat diterima-jika harmonis dengan nilai-nilai
yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan
(Narwoko dan Suyanto, 2010: 55). Di dalam masyarakat yang terus berkembang,
nilai senantiasa akan ikut berubah.
Nilai sosial adalah nilai-nilai kolektif yang dianut oleh masyarakat
kebanyakan. Klasifikasi nilai sosial menurut Profesor Notonegoro (dalam Setiadi
dan Kolip, 2011: 124-125) dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia
atau benda-benda nyata yang dapat dimanfaatkan sebagai kebutuhan
fisik manusia.
2) Nilai vital yaitu, meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan
segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan
berbagai aktivitas.
3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi pemenuhan
kebutuhan rohani (spiritual) manusia yang bersifat universal, seperti:
a) Nilai kebenaran dan nilai empiris, yaitu nilai yang bersumber pada
akal manusia (logika, rasio, budi, cipta), misalnya sesuatu itu dianggap
benar atau salah karena akal manusia memiliki kemampuan untuk
memberikan penilaian.
b) Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan
manusia (perasaan atau estetika).
c) Nilai moral/kebaikan, yaitu nilai sosial yang bersumber pada unsur
kehendak, terutama pada tingkah laku manusia antara penilaian
perbuatan yang dianggap baik atau buruk, mulia atau hina menurut
tatanan yang berlaku di dalam kelompok sosial tersebut.

Universitas Sumatera Utara

28

d) Nilai religius, yaitu nilai yang bersumber kepada keyakinan atau
kepercayaan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam buku pengantar sosiologi karangan D.A. Wila Huky (1982),
disebutkan ada beberapa ciri nilai sosial (dalam Basrowi, 2005: 81):
a. Nilai merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi
diantara para anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial, bukan
secara biologis atau bawaan lahir.
b. Nilai sosial ditularkan atau ditransformasikan. Nilai yang menyusun
sistem nilai diteruskan dan ditularkan di antara anggota-anggota
melalui berbagai macam proses sosial seperti akulturasi, difusi dan
lain-lain.
c. Nilai dipelajari. Nilai dicapai dan bukan bawaan lahir. Proses belajar
dan pencapaian nilai-nilai itu dimulai sejak masa kanak-kanak dalam
keluarga melalui sosialisasi.
d. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam usaha
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial.
e. Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak di mana terdapat konsensus
sosial tentang harga relatif dari objek dalam masyarakat. Nilai-nlai
secara konseptual merupakan abstraksi dari unsur-unsur nilai dan
bermacam-macam objek di dalam masyarakat.
f. Nilai cenderung berkaitan satu dengan yang lain secara komunal
untuk membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam masyarakat. Bila
tidak terdapat keharmonisan yang integral dari nilai-nilai sosial, maka
akan timbul masalah sosial.
g. Sistem-sistem nilai sosial bervariasi antara kebudayaan satu dengan
kebudayaan yang lain, sesuai dengan harga relatif yang diperlihatkan
oleh setiap kebudayaan terhadap pola-pola aktivitas dan tujuan serta
sasarannya. Dengan kata lain, keanekaragaman kebudayaan dengan
bentuk dan fungsi yang saling berbeda menghasilkan sistem-sistem
nilai yang saling berbeda pula.
h. Masing-masing nilai mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
setiap orang dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

29

i. Nilai sosial dapat mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang
dalam masyarakat, baik secara positif maupun negatif.

2.2.5

Konfusianisme pada Masyarakat Korea
Pada kehidupan bermasyarakatnya, Korea Selatan tidak akan lepas dari

agama dan kepercayaan yang mereka anut. Sehingga peranan penting yang
dimainkan oleh agama dan kepercayaan di Korea Selatan dapat membentuk
sekaligus mengembangkan budaya dan karakter masyarakatnya. Pengaruh kuat
yang dimiliki oleh agama dan kepercayaan tersebut tercermin dalam pemikiran
dan tingkah laku masyarakat Korea Selatan.
Pada umumnya agama yang dominan dianut oleh bangsa Korea adalah
Budha, Konfusianisme, Kristen dan Katolik. Pada tahun 1995 pemerintah Korea
menyatakan Konfusianisme sebagai agama, tetapi bukan sebagai agama negara
melainkan sebuah kepercayaan yang setara dengan agama. Hampir sebagian
masyarakat Korea yang tidak memiliki suatu agama maupun yang memiliki
agama, dalam menjalankan kehidupannya dipengaruhi oleh Konfusianisme. Hal
ini dikarenakan bila dilihat dari konteks kekinian, Konfusianisme lebih dianggap
sebagai filosofi moral kehidupan ketimbang sebuah agama. Di Korea pada
umumnya Konfusianisme memiliki pengaruh kuat pada kehidupan masyarakat.
Konfusianisme didasarkan pada kepercayaan bahwa hubungan kekeluargaan
adalah dasar hubungan sosial.
Didirikan oleh Konghucu (dilatinkan menjadi Konfusius) pada abad ke-6
Sebelum Masehi, Konfusianisme lebih condong kepada petunjuk etika moral
dibandingkan kepercayaan agama. Konfusianisme adalah sistem ajaran etika kebajikan, kebenaran, kesopanan dan kepemimpinan yang bijaksana – yang
dirancang untuk menginspirasi dan mempertahankan pengelolaan keluarga dan
masyarakat secara tepat (benar). Konfusianisme merupakan kepercayaan bukan
agama karena di dalam sebuah agama terdapat konsep Tuhan. Namun di dalam
Konfusianisme tidak terdapat konsep Tuhan. Walau demikian, para pengikut
ajaran ini telah menganggap Konfusius sebagai orang suci dan dengan taat

Universitas Sumatera Utara

30

mengikuti ajaran-ajaran utama dari sistem yang ia ciptakan (Layanan Informasi
dan Kebudayaan Korea, 2012: 29).
Konfusianisme diperkenalkan bersamaan dengan naskah-naskah tulisan
budaya China pada masa awal perkembangan agama Kristen. Tiga Kerajaan
Goguryeo, Baekje dan Silla meninggalkan catatan-catatan yang menunjukkan
keberadaan awal mulanya pengaruh Konfusianisme. Di kerajaan Goguryeo,
sebuah universitas negeri yang disebut Daehak didirikan pada tahun 372 dan
akademi-akademi Konfusianisme swasta didirikan di propinsi-propinsi. Bahkan
kerajaan Baekje telah mendirikan institusi semacam itu sebelumnya (Layanan
Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012: 29).
Kerajaan Silla Bersatu mengirim delegasi cendekiawan ke daerah Tang di
China untuk mengamati kinerja institusi Konfusianisme secara langsung dan
membawa pulang naskah-naskah tulisan mengenai hal itu. Pada abad ke-10 bagi
Dinasti Goryeo, agama Budha adalah agama negara, dan Konfusianisme menjadi
tulang punggung bagi struktur dan filosofi negara. Ujian masuk pegawai negeri
Gwageo, yang mengadopsi sistem di China pada akhir abad ke-10, sangat
mendorong pikiran orang Korea untuk belajar Konfusianisme klasik serta berhasil
menanamkan secara mendalam nilai-nilai Konfusianisme dalam pikiran rakyat
Korea (Layanan Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012: 30).
Dinasti Joseon, yang didirikan pada tahun 1392, menerima Konfusianisme
sebagai ideologi resmi dan mengembangkan sistem pendidikan, upacara dan
administrasi sipil yang didasarkan pada Konfusianisme. Ketika negara-negara
Barat dan Jepang mulai mulai melakukan serangan-serangan militer pada akhir
abad ke-19 untuk memaksa Korea untuk membuka diri terhadap pengaruh luar,
para penganut Konfusianisme membentuk “tentara kebenaran” untuk berperang
melawan para penyerang asing (Layanan Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012:
30).
Pada zaman itu terdapat juga usaha untuk mengubah Konfusianisme dan
mengadaptasikannya dengan kondisi pada saat itu. Para reformis ini menerima
peradaban Barat yang baru dan berupaya untuk membentuk pemerintahan yang
modern dan independen. Di samping itu, selama masa penjajahan kolonial Jepang

Universitas Sumatera Utara

31

di Korea, para reformis Konfusianisme bergabung dengan banyak pergerakan
kemerdekaan untuk berperang melawan penjajahan Jepang. Kini, upacara
Konfusian untuk menghormati roh para leluhur tetap dilaksanakan dan ketaatan
pada orang tua sangat dihargai sebagai suatu kebajikan dalam masyarakat Korea
(Layanan Informasi dan Kebudayaan Korea, 2012: 31).
Banyak orang mengira bahwa Konfusianisme adalah suatu ajaran filsafat
untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Di Korea, nilai
Konfusianisme mempengaruhi nilai dan norma mengenai pernikahan, keluarga,
politik, dan hubungan sosial lainnya. Etika dan moral orang Korea masih diliputi
oleh pandangan-pandangan konfusianisme. Rasa sayang kepada keluarga, setia
kawan, hormat pada guru, bekerja keras, setia pada pekerjaan dan karakterkarakter lainnya menunjukkan bahwa masih melekatnya nilai-nilai Konfusianisme
pada budaya Korea. Bahkan, hingga saat ini ekspresi bentuk hormat dalam bahasa
Korea masih terus dipergunakan. Ekspresi hormat dengan cara meninggikan
lawan bicara dan merendahkan diri sendiri inipun merupakan ekspresi nilai-nilai
konfusianisme.

2.2.6 Drama Korea
Drama Korea yang ada saat ini telah mengalami perkembangan yang
sangat signifikan dibandingkan dengan drama Korea pada masa lampau. Seni
pertunjukan di Korea telah dikenal luas sejak masa kerajaan Goryeo. Pada saat itu
seni pertunjukan yang terkenal salah satunya adalah tarian, dan merupakan asal
mula pertunjukan drama di Korea. Pada awalnya, drama dan seni pertunjukan di
Korea merupakan pengaruh dari China dan Semenanjung Barat Korea. Hal ini
terbukti pada tarian pada masa Dinasti Goryeo yang merujuk ke China dan
musiknya yang mengalami pengaruh dari pertunjukan seni di Jepang. Pada masa
dinasti Joseon drama dan seni pertunjukan di Korea mengalami masa-masa yang
sulit. Hal ini dikarenakan penyebaran nilai-nilai konfusianisme yang keras di
tengah masyarakat menyebabkan kegiatan seni pertunjukan dan drama di Korea
dibatasi. Pada masa ini kebanyakan pertunjukan drama dan pertunjukanpertunjukan lainnya tidak dicatat atau meskipun dicatat kebanyakan catatan-

Universitas Sumatera Utara

32

catatan tersebut rusak atau hilang pada abad ke-19 karena masalah sosial dan
politik (Hunggyu, 1997: 122).
Menurut catatan sejarah ada lima seni pertunjukan yang sangat terkenal di
Korea, yaitu tari topeng (mask dance), teater boneka (puppet theatre), changguk,
shinpaguk, dan drama modern Korea (Korean modern drama). Tari topeng (mask
dance) biasa disebut talchum di Korea dan merupakan salah satu bentuk drama

tradisional Korea yang masih hidup hingga sekarang. Talchum kadang-kadang
disebut juga sandaenori, talnori, pyolsin kunnori, totpoegi dan tulnorum. Tari
topeng biasanya dipentaskan di tempat yang cukup luas dengan penonton duduk
melingkar mengelilingi tempat pementasan. Secara keseluruhan struktur dari tari
topeng berdasarkan beberapa babak pementasan yang digambarkan secara bebas
dan saling berkaitan antara satu dan yang lainnya. Dalam pementasan tari topeng,
para pemain tidak dibatasi oleh waktu atau bentuk dari tempat pementasan. Para
pemain dalam tari topeng lebih memfokuskan pada alur cerita dan pemecahan
masalah dalam cerita (Hunggyu, 1997: 124).
Di Korea teater boneka (puppet theatre) tradisional biasanya disebut
kkoktukkakshi noreum. Istilah ini berasal dari satu-satunya sandiwara boneka yang

masih hidup di Korea saat ini. Pada awalnya, ad