Bambang Prayitno Pendahuluan Kesimpulan Penelitian Hibah Strategis 2009

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumatera Selatan mempunyai kawasan bergambut seluas 1,4 juta ha atau
16,3 % dari luas wilayah, dan kondisi tersebut merupakan salah satu sumberdaya
alam yang

potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan dan

kesejahteraan seluruh masyarakat.
Pengambilan kayu di lahan gambut di era 1970 yang dikenal dengan
kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera Selatan, seperti Kabupaten
Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, mempunyai dampak yang sangat nyata,
baik terhadap kondisi fisik lahan dan sosio ekonomi masyarakat sekitarnya.
Ekploitasi hutan secara besar besar pada era 1970 an menghasilkan
perubahan yang cukup nyata terhadap kondisi hutan di Sumatera Selatan. Kondisi
degradasi lahan gambut saat ini ditemukan tersebar di Kabupaten Ogan Komering
Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim pada tingkat yang sangat
memprihatinkan.
Keterbatasan informasi dan data tentang hutan rawa gambut di Sumatera

Selatan merupakan salah satu indikasi rendahnya perhatian dari seluruh pihak dan
rendahnya kegiatan penelitian yang dilakukan, disisi lain database merupakan
kebutuhan dasar untuk kegiatan di lahan gambut dalam mendukung pelestarian
sumberdaya alam hutan rawa gambut. Potensi sumberdaya alam hutan gambut
perlu dipertahankan kelestariannya, sehingga peranan hutan gambut tetap mampu
mendukung kehidupan dan lingkungan.
Pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada setiap kondisi dan lokasi secara
tepat, terukur, terkendali, dan berkelanjutan pada suatu kondisi lahan adalah
sangat berperan penting dalam proses konservasi gambut. Adanya konsep Clean
Development Mechanism (CDM) yang memungkinkan dilakukannya perdagangan
karbon (carbon trade) juga membuka peluang untuk memanfaatkan lahan gambut
di Propinsi Sumatera Selatan yang bersifat konservasi.

1

Potensi sumberdaya alam hutan gambut dan potensi kandungan karbon di
lahan gambut Kayuagung setiap tahun terus berkurang akibat dari proses
kebakaran, sehingga kondisi tersebut memacu proses degradasi lahan. Oleh
karena itu dampak kebakaran lahan terhadap karakteristik tanah dan gambut perlu
dilakukan.


B. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik lahan gambut setelah terjadi
kebakaran di dalam kawasan hutan.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaman hayati pada lahan gambut
setelah terjadi kebakaran yang berada di sekitar pemukiman dan di dalam
Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sosioekonomi masyarakat di sekitar
kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.
4. Mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman untuk
kegiatan pertanian dan perkebunan.
5. Mengidentifikasi potensi rehabilitasi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman
yang telah rusak untuk kegiatan penghijauan.

C. Keutamaan Penelitian
Perubahan kondisi lahan dari hutan primer menjadi hutan tersier atau tidak
ada tumbuhan hutan lagi dan tumbuh menjadi tumbuhan pioner generasi baru
merupakan salah satu kondisi yang saat ini banyak dijumpai di kawasan hutan
Sumatera Selatan, terutama di Hutan Rawa Gambut. Kondisi ini merupakan salah
satu dampak dari pemanfaatan hutan secara berlebihan pada era 1970an dan

diteruskan oleh penebangan liar hingga saat ini.
Dampak perubahan hutan alami menjadi hutan tersier atau tidak
bervegetasi mempunyai konsekuensi akan hilangnya keanekaragaman hayati di
kawasan tersebut, baik vegetasi dan biota perairannya. Kondisi lebih parah lagi
adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak
mampu menahan panas matahari, sehingga lahan mudah terbakar. Aktivitas

2

manusia terkadang mempercepat terciptanya degradasi lahan gambut baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dampak kebakaran hutan
dan aktivitas masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap karakteristik gambut dan
keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Data dan informasi dasar tentang kawasan ini tidak tersedia, disisi
lain potensi sumberdaya kawasan ini cukup besar untuk mendukung kehidupan
dan lingkungan, meskipun kondisi kawasan tersebut telah terdegradasi akibat
kebakaran lahan setiap tahunnya dan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat
untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.
Data dan informasi yang didapatkan diharapkan mampu menghasilkan

suatu pikiran sebagai upaya untuk meningkatkan kondisi lingkungan baik
disekitar kawasan dan dalam kawasan hutan produksi terbatas Kayuagung, serta
mencarika solusi terbaik untuk masyarakat sekitar kawasan untuk kegiatan
pertanian dan perkebunan secara baik, dan tidak melakukan kegiatan yang
merusak di kawasan hutan.

3

BAB II. STUDI PUSTAKA

A. Hutan di Propinsi Sumatera Selatan
Kawasan hutan Provinsi Sumatera Selatan yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No: 75/Kpts-II/2001, Tanggal 15 Maret 2001
seluas ± 4.416.837 ha. Luas kawasan hutan ini mencakup ± 40.43% dari luas
Provinsi Sumatera Selatan.

Kawasan hutan ini terdiri dari Kawasan Hutan

Konservasi (16.17%), Hutan Lindung (17.22%) dan Hutan Produksi (66.61%)
seperti disajikan pada Tabel 1.


Tabel 1. Kawasan Hutan di Propinsi Sumatera Selatan
Fungsi Kawasan
Kawasan Hutan Konservasi
 Daratan
 Perairan
Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Hutan Produksi
 Hutan Produksi Terbatas
 Hutan Produksi Tetap
 Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
Total

Luas
Hektar

Persen

714.416
0

760.523

16.17
0
17.22

217.370
2.293.083
431.445
4.416.837

4.92
51.92
9.77
100

Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).
Luas kawasan hutan dalam perkembangannya telah banyak mengalami
perubahan. Berdasarkan hasil tata batas pengukuhan hutan yang telah
dilaksanakan sampai dengan tahun 2003, diketahui bahwa kawasan hutan di

Propinsi Sumatera Selatan seluas 3.774.457 ha yang sesuai fungsinya terdiri dari
kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan
produksi konservasi (HPK)) dan kawasan non budidaya (hutan lindung dan hutan
konservasi).
Ditinjau dari vegetasi yang menutupi kawasan hutan menunjukkan
kecenderungan kerusakan hutan semakin meningkat. Menurut penafsiran citra
landsat, luas kawasan yang berhutan saat ini tinggal 1.429.521 ha (37.87%),
sedangkan sisanya seluas 2.344.936 ha (62.13%) kawasan yang tidak berhutan
(non hutan).
4

Laju pengurangan hutan (deforestasi) di Propinsi Sumatera Selatan
berdasarkan hasil perbandingan Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985
dengan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra Tahun 1998 oleh Pusat Data
dan Perpetaan Badan Planologi Kehutanan diperoleh hasil bahwa selama periode
waktu 12 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan disajikan pada
Tabel 2. Rata-rata laju deforestasi selama periode 1985 sampai 1998 di Sumatera
Selatan ialah 192.824 ha per tahun.

Tabel 2. Deforestasi di Propinsi Sumatera Selatan

Penutupan Lahan

RePPProT (1985)

Dephut (1991)
Ha

Luas areal yang
10.226.300
10.236.090
ditafsir
Hutan
3.562.100
3.438.140
% hutan
34.8
33.6
Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).

Dephut (1998)

10.149.068
1.248.209
12.3

Data diatas mencerminkan adanya perubahan luasan kawasan hutan di
Sumatera Selatan yang signifikan. Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di
Sumatera Selatan saat ini disajikan dalam Tabel 3. Luasan hutan primer dapat
ditemukan di sekitar Pegunungan Bukit Barisan, hutan sekunder di Sumatera
Selatan terlihat hanya pada beberapa lokasi dataran rendah di Kabupaten Musi
Banyuasin, dan hutan lainnya berupa semak belukar.

5

Tabel 3. Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan Di Propinsi Sumatera Selatan.

No.
1.





2.





Fungsi
Hutan

HSA
HL
HPT
HP
Jumlah (1)

HSA
HL
HPT
HP

Jumlah (2)
Luas Hutan Tetap
(1+2)
3
HPK (ha)
Total Luas Hutan
(1+2+3) (ha)

Luas Kawasan Hutan tiap Kab/Kota per Kondisi Penutupan Vegetasi (ha)
OKU,
Muba dan
M. Enim,
Lahat,
OKI dan OI
OKUT,
Banyuasin
Prabumulih Pagaralam
OKUS
Luas yang Berhutan (ha)
211.089
645
724
6.777
29.770
58.771
8.289
8.656
51.372
63.596
81.295
2.817
2.888
18.985
2.882
344.742
138.988
9.742
46.413
767
696.897
150.739
22.010
123.547
97.015
Luas Non Hutan (ha)
131.390
4.183
50.226
2.663
23.059
10.052
96.870
142.365
20.328
77.504
8.101
7.069
43.043
11.120
8.999
222.179
506.112
55.940
142.702
40.980
371.722
614.234
291.574
176.813
150.542

Mura,
Linggau

TOTAL

216.875
9.202
87.893
313.970

465.880
190.648
118.069
628.545
1.403.142

34.377
1.842
17.278
213.565
267.062

245.898
348.961
95.610
1.181.478
1.871.947

1.067.619

764.973

313.584

300.842

247.557

581.032

3.275.607

192.460

188.913

-

67.887

-

50.072

499.332

1.260.079

953.886

313.584

368.729

247.557

631.104

3.774.939

Sumber: Pengolahan Data Dishut Prop. Sumsel (2005) berdasarkan data dari Biphut Wil. II (2001).

6

B. Karakteristik Tanah Gambut
1. Definisi
Definisi tanah gambut oleh Subagyo et al., (2000) tanah gambut terbentuk
dari bahan organik, selanjutnya Wahyunto et al., (2005) menyatakan bahwa tanah
gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisasisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50
cm.
Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral
pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik
>50 cm. Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 1218% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih
segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut
pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).

2. Sebaran Gambut Di Sumatera Selatan
Cadangan gambut di Indonesia sebagian besar terletak di Pantai timur
Sumatera (Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan), Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah dan Irian Jaya. Di Sumatera Selatan sebaran gambut berada di Kabupaten
OKI (500.000 ha), Muba (250.000 ha), Banyuasin (200.000 ha), Muara Enim
(45.000 ha) dan Musi Rawas (35.000 ha) (Gambar 1).
Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli
penutupan vegetasinya (virgin forest) adalah identik dengan luas hutan rawa
gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama
bahan organik sebagai bahan utama gambut.
Luasan hutan gambut pada saat ini cenderung semakin menurun akibat
perubahan peruntukan, yakni dari hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan
peruntuka lainnya. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena sebagian besar
lahan gambut yang digunakan untuk kegiatan tersebut merupakan gambut dalam
yakni mempunyai kedalaman lebih 3 meter.

7

Gambar 1. Peta Sebaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

3. Pembentukan Tanah Gambut
Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya
cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan
terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang
roboh akan diganti oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin dipengaruhi
ketebalan bahan organik. Penumpukan bahan organik dapat berjalan terus karena
sifat permeabilitas ke bawah yang rendah dari tanah-tanah jelek dan air tetap
tergenang.
Gambut terbentuk di daerah rawa-rawa pada zaman Holosen sebagai
akibat dari peristiwa transgesi dan regresi laut karena mencairnya es di kutub.
Pada zaman Pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di bawah permukaan
sekarang. Kenaikan air laut pada zaman berikutnya menyebabkan terbentuknya
rawa-rawa sehingga vegetasi mati, kemudian mengalami dekomposisi lambat.
Proses pembentukan gambut adalah sangat lama dan mencapai ribuan
tahun, artinya seharusnya semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, peneliti dan
lainnya perlu mengetahui dan menghargai, serta menyelamatkan gambut dari

8

kepunahan.

Disisi lain, proses kebakaran gambut yang berakibat kehilangan

gambut hanya memerlukan waktu yang relatif singkat.
4. Karakteristik Tanah Gambut
Karakteristik tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kondisi biologinya.
Vegetasi alami yang tumbuh di lahan ini sangat dipengaruhi oleh salinitas,
kemasaman, dan tekstur tanah. Perbedaan vegetasi sangat dipengaruhi oleh waktu
dan frekuensi genangan.
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan
bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada dibawahnya,
faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan
tanahnya. Di daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus
atau mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai.
5. Vegetasi di Lahan Gambut
Wilayah lahan rawa dapat dibagi atas empat mintakat, yaitu: 1). Tepian
sungai yang dirajai oleh asosiasi jenis prepat atau pedada (Sonnertia sp) dan apiapi (Avicennia sp), 2). Pesisir pantai yang ditempati bakau (Rhizopora sp), 3).
Wilayah kubah gambut (peat dome) yang ditempati vegetasi hutan gambut seperti
ramin (Gonystylus sp), meranti (Shorea albida), terantang (Camriosperma
auricurata), pulai (Alastonia sp) dan lainnya., 4). Pinggir sungai yang bersifat
payau ditempati oleh vegetasi nipah (Nipa fructicans), dan 5). Wilayah yang telah
dibuka kemudian ditinggalkan dan ditumbuhi vegetasi gelam (Samingan, 1979
dalam Noor, 2004)
Tumbuhan di lahan gambut ini memperlihatkan komposisi dan struktur
yang jelas. Komposisi hutan gambut yang spesifik di Kalimantan terdiri dari
asosiasi kayu ramin. Asosiasi dalam tumbuhan dapat menghasilkan tiga lapisan
tajuk yaitu:
a. Tajuk atas terdiri dari kayu ramin, Shorea albida, Tetramerista gabra, Durio
sp, Ctelophon sp, Dyrea sp, Palaquim sp, Kompasia malacensis, dan kayu
besi (Eusideroxlon zwageri).

9

b. Tajuk tengah terdiri dari pepohonan kel;uarga Lauraceae, seperti Alseodaphhe
sp, Endriandra rubescens, litsea sp, Myristica inner, Horsfeldia sp, Garcinia
sp, dan keluarga Euphorbiaceae, Myristiceae, dan Ebennaceae.
c. Tajuk bawah terdiri dari keluarga Annonaceae, anakan dari pohon-pohon dan
semak jenis Crinus sp. (Noor, 2004).
6. Peranan Gambut
Lahan gambut mempunyai peran dalam ekosistem lahan rawa gambut baik
secara hidrologi, pelestarian satwa dan vegetasi. Lahan gambut memegang
peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat
gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah daya menahan air yang
dimilikinya.
Gambut memiliki daya menahan air sangat besar yaitu 300 hingga 800
persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain kemampuannya dalam daya
menahan air, gambut juga mempunyai daya melepas air yakni sejumlah air akan
dilepaskan bila permukaan air diturunkan per satuan kedalaman. Semakin dalam
permukaan air diturunkan akan semakin besar pula air yang akan dilepas.
Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia mulai menonjol sejalan dengan
program transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai
atau pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut: 1).
Keadaan lingkungan tanah gambut, 2). Ketebalan gambut dan keadaan morfologi,
3). Sifat fisik dan kimiawi, dan 4). Perkembangan tanah akibat reklamasi dan
pemilihan teknologi yang tepat.

7. Kebakaran Gambut
Kebakaran hutan dan lahan akibat peningkatan suhu udara baik akibat
perubahan iklim dan aktivitas masusia adalah salah satu faktor penyebab
kerusakan hutan dan lahan. Kebakaran merupakan permasalahan paling besar di
lahan gambut pada saat ini dan mempunyai dampak sangat besar terhadap
kerusakan ekosistem dan keberadaan lahan gambut di Sumatera Selatan.

10

Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut adalah sangat luas yakni
terhadap sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi lahan dan lingkungan seperti asap,
kesehatan, dan lainnya.

Gambar 2. Sebaran Kebakaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

C. Karakteristik Lahan Kering
Lahan adalah bentang alam yang terdiri dari faktor tanah, iklim dan
topografi. Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
untuk pengembangan usaha pertanian terutama untuk memenuhi kebutuhan
sandang dan pangan. Masalah pokok yang sering dihadapi dalam pemanfaatan
lahan adalah terbatasnya kemampuan lahan untuk digunakan secara terus-menerus
bersamaan dengan menurunnya produktivitas lahan.
Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air.
Lahan kering memiliki tingkat kesuburan yang rendah karena kandungan unsur
hara dan bahan organik yang sedikit sehingga menjadi kurang produktif.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2000), sekitar 58,5 % dari seluruh
daratan Indonesia merupakan lahan kering. Luas lahan kering di Indonesia lebih
kurang 70 juta hektar sehingga memberi peluang cukup besar untuk perluasan
pengembangannya (Abdulrachman et al.,1988 dalam Suprapto, 2001), sedangkan
di Sumatera Selatan luas lahan kering yang potensial untuk pengembangan
11

pertanian dan perkebunan mencapai 4,47 juta hektar sehingga memberi peluang
cukup besar untuk

perluasan pengembangannya

(Pusat Penelitian dan

Pegembangan Tanah dan Agroklimat, 2001 dalam Kurnia, 2004).
1. Sifat Fisik Lahan Kering
Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air,
dengan demikian penggunaanya untuk usaha pertanian yang membutuhkan air
dalam jumlah yang sedikit, karena sebagian besar lahan kering di Indonesia
bergantung pada hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.
Tanah di kawasan tropika basah pada umumnya memperoleh energi
matahari dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun.

Kondisi tersebut

menyebabkan tanah menjadi reaktif (peka) dan mempunyai tingkat erosi serta
pencucian (leaching) yang tinggi. Temperatur dan kelembaban udara yang juga
tinggi mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara berlangsung
cepat (Safuan, 2002).
2. Sifat Kimia Lahan Kering
Sebagian besar lahan kering terdapat pada tanah Ultisols, Inceptisols, dan
Oxisols, yang umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Berdasarkan hasil
analisis contoh tanah pada beberapa lahan alang-alang menunjukkan bahwa
tingkat kesuburan tanah umumnya rendah, dicirikan dengan kandungan hara yang
rendah terutama fosfat dan kation-kation dapat tukar seperti Ca, Mg, dan K. Tanah
bersifat masam sampai agak masam, dan sebagian mempunyai kadar aluminium
yang tinggi sampai sangat tinggi pada lapisan bawah sehingga dapat bersifat racun
bagi tanaman.
Kadar bahan organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah serta
kejenuhan basa rendah dan sangat rendah (Mulyani et al., 2001). Pemanfaatan
lahan kering akan sangat penting untuk pengembangan pertanian bila lahan subur
telah beralih fungsi atau berkurang karena dipergunakan untuk keperluan di luar
sektor pertanian.

12

D. Survai dan Evaluasi Lahan
Survai merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari
lingkungan alam dan potensi sumber daya yang dimiliki. Survai tanah memiliki
dua tujuan, yaitu memberi informasi kepada pemakai tanah tentang karakteristik
tanah, bentuk wilayah dan keadaan lainnya; dan menyediakan informasi yang
akan membantu dalam pengambilan keputusan tentang tanah dan rencana
pengembangan wilayah yang di survai. (Hakim et al., 1986).
Menurut Hakim et al., (1986), berdasarkan ketelitian, survai dibagi atas
lima yaitu :
1. Survai eksplorasi, adalah survai pada tingkat lebih kasar yang membuat uraian
singkat mengenai informasi daerah yang belum diketahui. Survai ini
digunakan untuk tujuan survai yang bersifat sangat umum dengan skala
1:500.000-1:2.000.000. Beberapa survai eksplorasi digunakan untuk
menyediakan informasi bagi peta dunia FAO – UNESCO.
2. Survai tinjau, digunakan untuk survai pada wilayah yang luas seperti: negara,
profinsi, atau wilayah pada tingkat skala yang kecil. Umumnya menggunakan
skala 1:250.000. survai pada tingkat ini sering digunakan untuk membuat
interpretasi photo udara, pemetaan yang bervariasi pada kelas-kelas tanah
kebentuk wilayah, asosiasi dan segi-segia tanah tertentu.
3. Survai semi detail, merupakan kelanjutan dari survai tinjau dengan skala peta
1:100.000-1:30.000. survai ini menggunakan kombinasi antara photo udara
dan penjajakan lapangan survai.
4. Survai detail, merupakan survai pada tingkat detail dengan intensitas tinggi
dengan skala 1:25.000-1:10.000. Survai ini, kegiatan dan pelaksanaan survai
sebagian besar dilakukan sebagai pekerjaan lapangan. Survai ini ditujukan
untuk persiapan pelaksanaan suatu proyek melalui penilaian kesesuaian lahan
dari suatu daerah yang terbatas untuk suatu pengembangan tertentu.
5. Survai intensif, digunakan untuk luasan yang relatif kecil (beberapa hektar)
dengan menggunakan intensitas yang sangat tinggi sehingga peta yang
dihasilkan berskala lebih besar dari 1:10.000. survai ini digunakan untuk
penelitian tertentu, dalam survai ini dilakukan penjelajahan keseluruh wilayah
yang memungkinkan penggambaran parameter dan sifat-sifat tanah yang lebih
jelas.

Tujuan dari kegiatan survai adalah mengklasifikasikan dan memetakan
tanah dengan mengelompokkan tanah yang sama atau hampir sama sifatnya dalam
satuan peta tanah yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian tanah atau
melakukan evaluasi lahan dari masing-masing satuan peta tanah tersebut untuk
penggunaan-penggunaan tertentu.

13

Evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses menduga potensipotensi lahan untuk berbagai penggunaannya. Evaluasi lahan pada prinsipnya
adalah mencocokkan (matching) antara kualitas atau karakteristik lahan dengan
kebutuhan penggunan lahan tersebut (Rahman, 1990). Secara umum dikemukakan
oleh Sitorus (1985), bahwa kerangka dasar evaluasi lahan adalah membandingkan
persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan
sumber daya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikirannya adalah
kenyataannya bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang
berbeda-beda.
Didalam pelaksanaan evaluasi lahan sering terbentur oleh faktor-faktor
pembatas seperti iklim (suhu dan curah hujan), topografi (kecuraman lereng),
kondisi perakaran (kedalaman efektif) dan sifat tanah (retensi unsur hara dan
ketersediaan unsur hara). Iklim dan kedalaman efektif tanah merupakan faktor
pembatas yang tidak dapat diubah tingkat kesesuaiannya, sedangkan sifat tanah
yang menyangkut kesuburan dan beberapa sifat fisik tanah masih dapat ditolerir
dengan cara pemupukan dan pengolahan tanah. Karena itu dibutuhkan data
mengenai lahan tersebut yang menyangkut berbagai aspek sesuai dengan rencana
yang sedang dipertimbangkan (FAO, 1976 dan Sitorus, 1985).
Evaluasi lahan merupakan proses perencanan tata guna lahan. Maksud dari
evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe
penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan
yang dimiliki oleh lahan tersebut (Hardjowigeno, 2001).
Dalam evaluasi kesesuaian lahan dapat dibuat beberapa asumsi jenis usaha
perbaikan yang dapat dilaksanakan pada tingkat pengelolaan tertentu antara lain :
a.
b.

c.

Rezim suhu, tidak dapat diperbaiki, sehingga tingkat kesesuaian lahannya
adalah kesesuaian lahan aktual.
Ketersediaan air, jenis perbaikan yang dilakukan adalah irigasi atau
pengairan. Secara umum ketersediaan air merupakan faktor pembatas yang
relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal karena memerlukan baiya
yang relatif besar.
Drainase, dengan perbaikan sistem drainase seperti pembuatan saluran
drainase pada daerah yang tergenang yaitu dengan pembuatan saluran
primer, sekunder dan tersier pada lahan tersebut. Pengelolaan pada tingkat ini
memerlukan biaya yang relatif besar.

14

d.
e.

f.
g.
h.
i.
j.

Tekstur, tidak dapat dilakukan perbaikan sehingga kesesuaian lahannya
adalah kesesuaian lahan aktual.
Kedalaman efektif, umumnya tidak dapat dilakukan perbaikan kecuali pada
lapisan padas lunak dan tipis dengan membongkarnya waktu pengolahan
tanah. Pengelolaan hanya dapat dilakuakn dengan modal dan biaya yang
relatif besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar dan
menengah.
KTK, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran atau
penambahan bahan organik sesuai kebutuhan tanah.
pH, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran sesuai
kebutuhan tanah.
N-total, dengan melakukan pemupukan pupuk N, sesuai dosis yang
dibutuhkan oleh tanaman.
P2O5, dengan melakukan pemupukan pupuk P, sesuai dosis yang dibutuhkan
oleh tanaman.
K2O, dengan melakukan pemupukan pupuk K, sesuai dosis yang dibutuhkan
oleh tanaman.

1. Kesesuaian Lahan dan Klasifikasinya
Lahan terdiri dari lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief,
tanah, hidrologi dan vegetasi yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan
lahan secara potensial (FAO, 1976).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan (jenis
tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (Hardjowigeno, 2001). Adapun jenisjenis kesesuaian lahan antara lain: 1). Kesesuaian lahan aktual dan 2). Kesesuaian
lahan potensial.
Menurut Hadjowigeno (2001), kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian
lahan saat ini dalam keadaan alami pada lahan tanpa mempertimbangkan usaha
perbaikan dan tingkat perngelolaan yang tepat. Untuk menentukan kelas
kesesuaian lahan aktual, mula-mula dilakukan penilaian terhadap masing-masing
kualitas lahan berdasarkan atas karakteristik lahan terjelek atau yang memiliki
kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N).
Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang telah
mempertimbangkan perbaikan pengelolaan yang dibutuhkan, upaya untuk
menentukan jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan, maka perlu diperhatikan
karakteristik lahan yang tergabung dalam masing-masing kualitas lahan.

15

Karakteristik lahan dapat dibedakan menjadi karakteristik lahan yang
dapat diperbaiki dengan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan (teknologi)
yang akan diterapkan, dan karakteristik lahan yang tidak dapat diperbaiki
sehingga tidak akan mengalami perubahan kelas kesesuaian lahan. Sedangkan
lahan yang karakteristik lahannya dapat diperbaiki kelas kesesuaian lahannya,
dapat berubah menjadi satu atau dua tingkat lebih baik.
Tujuan utama klasifikasi kesesuaian lahan adalah untuk memetakan lahan
dengan mengelompokkan lahan-lahan yang sama atau hampir sama sifatnya ke
dalam satuan peta lahan yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian untuk
penggunaan-penggunan tertentu.
Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan
kesesuaiannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Konsep terpenting dalam
klasifikasi kesesuaian lahan adalah kesesuaian lahan aktual dan potensial (Sitorus,
1985). Kelas kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan terhadap
penggunaan lahan yang ditentukan tanpa ada perbaikan yang berarti. Sedangkan
kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian lahan yang ditentukan setelah
dilakukan perbaikan utama yang diperlukan. Acuan evaluasi lahan menurut
CSR/FAO (1983), terdapat 15 karakteristik lahan yang dikelompokkan menjadi 7
kualitas lahan yang biasa digunakan (Tabel 4).

Tabel 4. Faktor Penentu Kualitas Lahan
Simbol
Kualitas lahan
t
Regim temperatur
1.
w
Ketersediaan air
1.
2.
Kondisi perakaran
r
1.
2.
3.
f
Rotensi unsur hara
1.
2.
n
Ketersediaan unsur hara 1.
2.
3.
x
Tingkat keracunan
1.
s
Kondisi fisik lingkungan 1.
2.
3.

Karakteristik lahan
Suhu rata-rata tahunan (°C)
Bulan kering (