Mengoptimalkan Proses dan Hasil Implemen

1

Mengoptimalkan Proses dan Hasil Implementasi Dualisme Kurikulum
(Matematika) Sekolah untuk Memecahkan Permasalahan Pendidikan
Anak Bangsa
Oleh: Dr.Dadang Juandi, M.Si.
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Pendahuluan
Dalam Pasal 3 UU No 20 Sisdiknas Tahun 2003 disebutkan bahwa Tujuan
Pendidikan Nasional adalah Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Tujuan mulia tersebut sejatinya dapat terwujud salah
satunya melalui implementasi kurikulum di sekolah formal dengan segala
pendukungnya. Karena secara konseptual kurikulum merupakan suatu respon
pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi
muda bangsanya. Kurikulum harus menjamin pemberdayaan siswa pada semua aspek
kompetensi, yang memungkinkan siswa siap menjadi warga masyarakat yang
bermutu, yang meliputi semua kesempatan belajar yang diselenggarakan oleh sekolah
(Saylor,1974 dalam Wahyudin, 2013). Oleh karena itu pihak sekolah harus
memberdayaan siswa dengan segala cara, menata proses pembelajaran sesuai situasi

dan lingkungannya. Untuk menjamin terjadinya proses pemberdayaan tersebut, guru
memiliki peranan yang sangat vital.
Seiring dengan pergantian kepemimpinan nasional menjelang akhir tahun
2014 yang cukup berdampak pada banyak hal, termasuk terhadap dunia pendidikan.
Tak dapat dipungkiri bahwa sebelum masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono
berakhir, dunia pendidikan kita disibukkan oleh program nasional yang sangat
menyita perhatian banyak pihak, yaitu program pelaksanaan Kurikulum 2013.
Kesibukkan tersebut dengan mudahnya dapat dihentikan oleh kekuatan politik negeri
ini, dunia pendidikan sepertinya tidak pernah luput dari intervensi kepentingan
politik.
Kurikulum 2013 yang semula digadang-gadang sebagai salah satu upaya yang
akan mampu memperbaiki kualitas pendidikan anak bangsa, ternyata dalam waktu
yang tidak lama menjadi meleleh oleh hiruk pikuknya pergantian kekuasaan.
Diberlakukannya kurikulum 2013 secara serentak tanpa persiapan yang dianggap
memadai, khususnya kesiapan guru, menjadi alasan utama untuk tidak diteruskan

2

implementasinya oleh penguasa baru, bahkan tidak terdapatnya hasil riset unggulan
yang merekomendasikan bahwa kurikulum sebelumnya (KTSP) benar-benar telah

gagal, juga semakin memperkuat untuk dihentikannya kurikulum 2013, khususnya
untuk sekolah yang baru melaksanakannya hanya satu semester. Namun untuk
sekolah yang sudah melaksanakannya tiga semester boleh memilih melanjutkan atau
kembali ke KTSP. Jika merujuk ungkapan Ketua Umum PB PGRI Sulistiyo yang
mengatakan bahwa masalah dalam K-2013 muncul karena kerangka pikir yang sukar
dipahami, metode pembelajaran yang direkomendasikan sulit diterapkan, desain pelatihan
guru tidak efektif, dan evaluasi yang sangat membebani. Di luar itu, masih ada kesiapan guru
dan buku siswa yang kedodoran sehingga ia anggap melahirkan 'malapetaka' bagi
kebanyakan sekolah.

Persoalan memilih melanjutkan kurikulum 2013 atau kembali ke KTSP
tidaklah semudah mengubah ‘lilin menjadi mainan’ atau sebaliknya, tetapi benarbenar memunculkan berbagai masalah yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya.
Tentu saja selain program pendukung implementasi Kurikulum 2013 seolah-olah
seperti kurang berguna, masalah berikutnya adalah terjadinya dualisme kurikulum di
sekolah, yang terpaksa harus dijalankan.
Bagi beberapa guru yang selama ini menganggap bahwa KTSP lebih baik bagi
mereka, kebijakan pemerintah untuk kembali ke KTSP seperti memiliki semangat
baru yang selama ini rontok oleh kerepotan memahami dan melaksanakan kurikulum
2013, sementara bagi mereka yang merasa telah berhasil mengubah mind set,
kebijakan tersebut seperti penjegalan semangat dalam memperbaiki proses

pendidikan. Dan bagi mereka yang berada di sisi yang lain, yaitu tidak suka dengan
KTSP atau Kurikulum 2013, stagnan terhadap perubahan, dan tidak termotivasi
mengubah mind set, nampaknya cenderung tidak peduli terhadap apa pun yang akan
terjadi, karena urusan berdiri di depan kelas adalah hak guru sepenuhnya. Jadi
kurikulum mana pun yang harus dilaksanakan, tidak mampu mempengaruhi sikap dan
perilaku mereka di depan kelas.
Perlu diketahui bahwa sebelum Kurikulum 2013 diberlakukan, masih banyak
para guru yang belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan
tuntutan KTSP. Hasil survey Juandi dan Suherman (2013) terhadap 31 guru Sekolah
Dasar, 28 guru MTs, 130 guru SMP, dan 14 guru SMA/SMK yang mengikuti
Pelatihan dan Latihan Profesional Guru (PLPG) rayon 10 Jawa Barat, dengan
menggunakan angket tentang pembelajaran yang disebar selama kurang lebih 3 bulan
diperoleh beberapa kesimpulan, (1) Kondisi pembelajaran matematika di SD-MI
masih belum terlaksana secara optimal, mayoritas guru belum menyajikan

3

pembelajaran yang inovatif, belum membelajarkan siswa dengan menggunakan
pendekatan kontekstual, jarang mempersiapkan diri sebelum pembelajaran
dilaksanakan, pada saat pelaksanaan pembelajaran masih orientasi pada kegiatan

yang berpusat pada guru, memberikan banyak intervensi, kurang berupaya
membelajarkan siswa, dan pada kegiatan akhir pembelajaran masih orientasi pada
latihan soal rutin. (2) Pada umumnya guru merasa kesulitan dalam merancang bahan
ajar yang konstruktivis, merasa kesulitan mempraktekan pembelajaran yang inovatif,
dan kesulitan dalam membuat alat evaluasi untuk mengukur kemampuan tingkat
tinggi. (3) Mayoritas guru menganggap bahwa kegiatan latihan soal agar siswa
sukses dalam ujian nasional lebih penting daripada pengembangan kompetensi
melalui pembelajaran inovatif yang memerlukan banyak waktu.
Walau pun hasil survey tersebut bukan gambaran umum secara nasional, namun
setidaknya memberikan informasi bahwa pelaksanaan kurikulum KTSP belum
mampu memberdayakan guru dalam meningkatkan kompetensinya, hal ini tentu pada
gilirannya akan berdampak pada siswa, siswa yang belajar dengan guru yang
demikian, sangat mungkin menjadi siswa yang kompetensinya belum sesuai dengan
tuntutan kurikulumnya. Jika terjadi seperti itu maka dengan berganti kurikulum yang
baru pun, belum tentu berhasil, bahkan guru yang sebelumnya masih kurang
kompeten menjadi semakin dibingungkan oleh tuntutan pembelajaran dalam
kurikulum baru yang notabene cukup seiring dengan kurikulum sebelumnya dalam
tataran filosofi dan tuntutan kinerja guru, yaitu terjadinya pembelajaran yang sudent
centre bukan yang teacher centre. Guru guru yang terus membudayakan pembelajaran
yang teacher centre sangat mungkin merupakan pewaris budaya yang mereka terima

sebelumnya yang memang sulit diubah, sebagaimana dikemukakan Barody (2014)
bahwa mengubah budaya (mengaja) itu sangat sulit, guru yang telah magang atau
praktek mengajar cenderung melaksanakan pembelajaran yang seperti mereka terima
dari guru mereka. Oleh karena itu untuk mengubah prilaku mengajar para guru
diperlukan persiapan matang, pelatihan yang berbasis kinerja yang sangat terukur dan
berkesinambungan. Konsep pelatihan model Kurikulum 2013 yang menyisakan
banyak kebingungan bagi guru sendiri, model ini nampaknya tidak cocok dengan
guru-guru kita. Hanya guru yang mau berinovasi saja yang dapat diandalkan untuk
menjalankan kurikulum yang sesuai dengan amanah konstitusi.
Hasil penelitian Turmudi, dkk. (2012) memperlihatkan bahwa guru-guru yang
tergabung dalam MGMP Matematika Rayon Bandung Barat dan Rayon Bandung
Utara mulai menampakkan kesadaran dalam menerima gagasan-gagasan
pembaharuan pendidikan matematika. Melalui refleksi yang dilakukan pada setiap

4

akhir Open Lesson para peserta sudah mulai menunjukkan rasa antusiasme yang
tinggi. Indikator kehadiran yang konsisten bahwa jumlah 24 orang relatif tetap dapat
menghadiri pertemuan demi pertemuan di Rayon Bandung Barat. Hal serupa juga
ditemui pada Rayon Bandung Utara. Data wawancara baik di Bandung Barat maupun

Bandung Utara memperlihatkan bahwa para peserta justru berada lebih jauh dari
keadaan yang diharapkan. Semula peneliti menduga bahwa para peserta hanya
mengikuti prosedur yang ada, namun ternyata sudah melampaui batas-batas
berinovasi. Peningkatan profesionalisme guru melalui model lesson study sepertinya
lebih menjanjikan daripada yang lainnya, sehingga dimungkinkan dapat memperbaiki
standar proses pembelajaran.
Diberlakukannya dualisme kurikulum sekolah tentu menambah beban bagi
sekolah karena harus memisahkan sekaligus menggabungkan beberapa hal yang harus
disesuaikan dengan beberapa aspek penting kurikulum tersebut. Telah diketahui
bahwa Bahan Uji Publik Kurikulum 2013, disebutkan bahwa ada empat elemen
perubahan dari KTSP 2006 ke kurikulum 2013, yaitu (1) standar isi, (2) standar
proses, (3) standar penilaian dan (4) standar kompetensi lulusan. Dalam tulisan ini
akan dibahas berbagai masalah pencapain kualitas anak didik melalui implementasi
dualisme kurikulum sekolah, khususnya dalam pembelajaran matematika berdasarkan
kekuatan dan kelemahan yang mungkin dimiliki sekolah, guru, siswa dan stakeholder
lainnya.
Dualisme Kurikulum dalam Standar Isi
Dipandang dari standar isi kurikulum 2013 tidak lebih padat dari KTSP, bahkan
terdapat pengurangan beberapa bidang studi seperti TIK dan Bahasa Sunda, dalam
pelajaran matematika terjadi pertukaran penempatan materi dalam

semester
tertentuseperti trigonometri dan logika, tetapi hal tersebut tidak terlalu menyulitkan
guru untuk menyampaikannya kepada siswa, guru tetap dapat menyampaikan materi
sesuai dengan kurikulumnya, meskipun terjadi adanya materi pada semester kedua
ternyata sudah disampaikan pada semester satu. Terjadinya penambahan jam pada
kurikulum 2013 dan kembali berkurang pada saat kembali ke KTSP hanya berdampak
pada pemenuhan kebutuhan jam mengajar bagi guru yang harus 24 jam. Perubahan
sistem: ada matapelajaran wajib dan ada matapelajaran pilihan. Jumlah jam
bertambah 1 JP/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Untuk tingkat
SMK Penambahan jenis keahlian berdasarkan spektrum kebutuhan (6 program keahlian, 40
bidang keahlian, 121 kompetensi keahlian). Pengurangan adaptif dan normatif,
penambahan produktif. Produktif disesuaikan dengan trend perkembangan di Industri

5

Dualisme dalam Standar Proses
Standar Proses KTSP diatur dalam Permendiknas No 41 Tahun 2007, sedangkan
standar proses Kurikulum 2013 diatur dalam Permendikbud No 65 Tahun 2013.
Kedua peraturan menteri ini masing-masing menjadi dasar hukum pelaksanaan
pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mencapai

kompetensi lulusan. Dalam hal ini, dengan berlakunya Permendikbud No 65 Tahun
2013 maka Permendiknas No 41 Tahun 2007 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada
Permendikbud No 65 Tahun 2013 pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah selanjutnya disebut Standar Proses merupakan
kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan
menengah untuk mencapai kompetensi lulusan. Terdapat beberapa permasalahan
berkaitan dengan standar proses KTSP 2006; yang sudah ada upaya perbaikan pada
kurikulum 2013. Bagaimana jika kedua kurikulum tersebut diberlakukan?
Dualisme dalam Orientasi Pembelajaran: Pengembangan Kognitif dan Karakter
Pada KTSP proses pembelajaran lebih diorientasikan pada pencapaian aspek
pengetahuan (cognitive) yang secara dominan dilakukan di dalam kelas. Pencapaian
kompetensi disasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sehingga jika
siswa mendapat nilai yang mencapai KKM maka dapat dianggap pembelajaran telah
selesai, aspek sikap (affective) dan keterampilan (psycomotoric) sama sekali tidak
menjadi acuan yang seimbang dengan aspek kognitif, padahal jika kita telaah kembali
tujuan pendidikan nasional seperti yang diungkapkan di atas, ketiga aspek tersebut
sudah tercakup didalamnya, yaitu berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa dalam KTSP diperlukan perubahan yang lebih
mengarah pada tujuan nasional tersebut.

Dengan orientasi pembelajaran seperti di atas, hal tersebut mempengaruhi cara
guru melaksanakannya di depan kelas, mereka cenderung menyajikan pembelajaran
yang monoton, mendominasi pembicaraan, memperbanyak latihan, kurang
kontekstual, dan jarang mengajukan masalah yang menantang siswa untuk berpikir,
berdiskusi, berkomunikasi, dan enggan melakukan inovasi pembelajaran. Walau pun
pada perjalanannya telah dicoba diberikan berbagai ilmu tambahan berkaitan dengan
kemampuan pedagogis didaktis berupa pelatihan pembelajaran kontekstual, realistik,
dan pembelajaran terbuka, tetapi tetap saja mengubah manusia (guru) itu sangat sulit.
Diperlukan usaha yang lebih keras untuk memperbaikinya secara sistemik, sehingga
muncullah Kurikulum 2013, walau pun datangnya kurang tepat waktu.
Pada KTSP 2006, bagian inti pembelajaran harus memuat (a) eksplorasi, (b)
elaborasi, dan (c) konfirmasi. Ketiga aspek ini dipahami guru sebatas prosedur yang
harus ditulis dalam RPP, karena pada pelaksanaannya tidak terjadi sebagaimana
mestinya, padahal secara konseptual ketiga proses tersebut bisa menjembatani

6

kepakuman komunikasi antara guru dan siswa, tetapi guru yang seharusnya menjadi
fasilitator, kurang memahami perannya, sehingga akhirnya pembelajaran didominasi
oleh guru. Dalam pemebalajaran matematika misalnya, sering ditemukan

’malapraktek pembelajaran’, dimana guru merencanakan pembelajaran yang
kontekstual atau pembelajaran terbuka (open ended), tapi ketika diobservasi
pemebelajaranya tidak menampakkan kesesuaian antara RPP dan implementasinya.
Ketika harus menerapkan KD dimana siswa harus ‘mampu menerapkan konsep ilmu
matematika dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari’, maka guru
merasa cukup dengan hanya memberikan latihan berupa soal-soal terapan, tidak
melalui implementasi berupa meyajikan bahan ajar yang menantang untuk
memecahkan masalah.
Kembali kepada tujuan pendidikan nasional, yaitu Berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, yang diwujudkan dalam
KTSP terlalu berorientasi pada pencapaian kognitif, maka pada Kurikulum 13 sudah
lebih diakomodir, dimana tuntutan proses dan hasil belajar berorientasi pencapaian
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Jadi elemen perubahan pada standar proses,
khususnya pada pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dalam KTSP, gagian inti
RPP nya harus memuat (a) eksplorasi, (b) elaborasi dan (c) konfirmasi diubah
menjadi melalui proses (a) mengamati, (b) menanya, (c) mengolah,(d) menalar, (e)
menyajikan, dan menyimpulkan, , selanjutnya disebut 5M. Dengan 5M tadi untutan
tercapainya aspek sikap dan keterampilan diharapkan dapat dicapai dimana melalui

seluruh pembelajaran bidang studi secara utuh dapat membentuk karakter peserta
didik, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Tetapi apakah dengan adanya perubahan pada standar proses serta merta dapat
mengubah kinerja guru dan memperbaiki kualitas pembelajarannya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas kompetensi peserta didik? Pertanyaan sulit ini tidak bisa
dijawab dalam satu baris, karena berdasarkan beberapa hasil pengamatan dan
pengalaman guru sendiri, ternyata lebih banyak guru yang merasa kesulitan dengan
pembelajaran saintifik, kesulitan membuat bahan ajar, dan bahkan sangat kesulitan
dalam mengadaptasi bahan ajar yang disediakan dalam buku kurikulum 2013.
Selanjutnya dengan adanya kebijakan dualisme yang terpaksa dilakukan
beberapa sekolah, maka masalah lainnya akan bermunculan, dalam pengertian jika
keduanya dilaksanakan secara ideal sesuai tuntutan masing-masing kurikulum, tentu
bukanlah hal mudah. Guru akan semakin kerepotan dalam pelaksanaannya,
diperlukan pelatihan yang lebih jelas dan terarah agar mereka dapat melaksanakan
amanah pembelajaran sesuai dengan tuntutan yang diminta. Meski pun pembelajaran
dengan pendekatan saintifik masih mengandung aspek-aspek eksplorasi, elaborasi,
dam konfirmasi, pada umumnya guru masih perlu banyak bantuan dalam
melaksnakannya.
Tetapi jika kita menengok proses pembelajaran di negara-negara yang sudah
maju, akan kita sadari bahwa pembelajaran yang bersifat teacher center itu memang

7

sudah lama mereka tinggalkan, mereka sedemikian jauh merombak system
pembelajaran dari yang mekanistik menuju yang realistic, dari yang copy method ke
yang open ended, dan dari yang conventional ke yang contextual. Oleh karena itu
dengan kurikulum mana pun, KTSP atau Kurikulum 2013, permasalahan pokoknya
ada pada kinerja guru yang harus sudah lebih kompeten dan profesional. Untuk
melahirkan guru-guru yang lebih kompeten, diperlukan system perekrutan,
penyeleksian, dan terutama pembinaan yang berkelanjutan berdasarkan azas
pemerataan dan keadilan. Semua guru berhak mendapatkan pembinaan yang layak
dan professional, dimana pun ia ditempatkan tidak menjadi masalah. Untuk
mendapatkan pembinaan yang layak, lebih baik mewajikan kepada mereka
menyisihkan sebagaian uang tunjangan profesinya untuk kepentingan pengembangan
profesi, daripada kewajiban menjalankan pembelajaran yang terlalu banyak, tetapi
dijalankan secara tidak profesional.
Berkaitan dengan pendidikan kaakter, Dalam Pedoman Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusun oleh tim penulis naskah dari
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan
Nasional (2010), pada prinsipnya pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak
dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran,
pengembangan diri, dan budaya sekolah. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal
dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan
bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal
pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu
nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip tersebut, peserta didik belajar
melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan
mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai mahluk sosial.
Ada pun tujuan-tujuan dari pendidikan budaya dan karakter bangsa, adalah
sebagai berikut:
1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia
dan warganegara yang memiliki nilai-bilai budaya dan karakter bangsa;
2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan
dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa;
4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri,
kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar
yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa
kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

8

Yang menjadi masalah dalam pengembangan pendidikan karakter adalah
bagaimana cara mengintegrasikannya dalam mata pelajaran, pada umumnya para
guru masih belum optimal, apalagi jika pembelajarannya dilaksanakan secara
konvensional. Pengintegrasian karakter/sikap dalam pembelajaran pada
matapelajaran-matapelajaran secara praktik dapat dijelaskan dengan alur
pengembangan sebagai berikut. Proses perancangan dan pembelajaran dimulai dari
KI-3 (pengetahuan) ke KI-4 (keterampilan) dan selanjutnya memberikan dampak
terhadap terbentuknya kompetensi dasar pada KI-2 (sikap sosial) dan KI-1 (sikap
spiritual). Pada proses perancangan, setelah KI-3 dan KI 4-tuntas dianalisis,
selanjutnya adalah menurunkan materi yang relevan beserta rancangan skenario
pembelajarannya, termasuk penugasan dan penilaian. Berdasarkan aktivitas belajar
dan penugasan tersebut, dirancang indikator KD pada KI-1 dan KI-2 dengan cara
diintegrasikan.
Urutan perancangan dan pelaksanaan pembelajaran mulai dari KI-3 menuju KI-4
sesuai dengan kenyataan bahwa keterampilan hanya dapat dibangun dengan hasil
yang baik melalui pengetahuan. Keterampilan yang tidak melalui proses pengetahuan
tampaknya tidak akan menghasilkan k arya yang baik. Dalam proses pemerolehan
pengetahuan dan keterampilan inilah sikap diintegrasikan ke dalam suatu
matapelajaran, dan akhirnya ke seluruh matapelajaran, berkontribusi terhadap
pembentukan sikap.
Melalui pembelajaran saintifik memang sangat dimungkinkan tumbuhnya
kebiasan-kebiasaan yang memunculkan karakter-karakter yang diharapkan. Jadi
kembali kepada masalah penerapan di dalam kelas. Guru sebagai ujung tombak
peningkatan kualitas pendidikan harusnya dapat menjadi andalan.
Dualisme dalam Penjurusan dan Peminatan
Proses penjurusan dalam KTSP, siswa yang berminat pada studi tertentu
masih terpaksa harusmempelajari beberapa mata pelajaran yang tidak diminati tapi
telah dikemas pada suatu jurusan. Siswa yang hanya berminat pada fisika tapi tidak
tertarik dengan biologi yang banyak hapalannya, terpaksa harus mempelajari biologi.
Demikian juga jika seorang siswa lebih berminat mempelajari bahasa Jepang
daripada bahasa Jerman. Tidak bisa memaksakan diri karena di sekolahnya tidak
tersedia pelajaran bahasa Jepang. Jadi sistem penjurusan merupakan salah satu
kelemahan KTSP sehingga menjadi salah satu elemen perubahan dalam Kurikulum
2013. Dengan sistemn penjurusan belum tentu juga dapat mengakomodasi keperluan
siswa yang akan belajar di luar negeri. Apakah dengan dualisme kurikulum berarti
memberlakukan kembali system penjurusan? Hal ini akan mendapat tantangan yang
berat bagi siswa dan sekolah. Tetapi dengan system peminatan pun kebanyakan
sekolah merasa belum siap, hasil diskusi penulis dengan beberapa guru matematika di
Kota Bandung, mayoritas merasa perlu pembinaan khusus dari para matematikawan
untuk mensukseskan jalur peminatan ini.

9

Dualisme dalam Proses Penilaian, Autentik dan Non Autentik
Proses evaluasi antara KTSP dan Kurikulum 2013 yang sangat berbeda
memberikan beban tersendiri bagi guru dan sekolah, pada KTSP penilaian lebih
diorientasikan pada pengukuran aspek kognitif, sedangkan pada Kurikulum 2013
penilaian dilakukan secara autentik dan meliputi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Penilaian aspek kognitif melalui penggunaan KKM, dan proses
evaluasi pembelajaran dilakukan melalui tes, maka nilai yang ditampilkan siswa
sangat mungkin tidak benar-benar menunjukkan kemampuan dirinya. Dengan sistem
penilaian autentik menggunakan kriteria minimal, dan mengunkur semua aspek
dalam pembelajaran, maka diharapkan siswa benar-benar telah menampilkan seluruh
kompetensi hasil belajarnya. Namun pada kenyataanya, untuk menjalankan dua
system penilaian juga cukup merepotkan, mungkin bukan dalam hal menghasilkan
nilai akhir tetapi dalam prosesnya akan cukup rumit. Diantaranya sekolah harus
menyediakan dua model raport, wali kelas harus menulis ulang raport untuk kelas
yang kembali ke KTSP.
Dualisme: Penggunaan Buku Teks dan Penyusunan Bahann Ajar Sendiri
Pada masa KTSP 2006, SK dan KD diturunkan dari mata pelajaran memuat
pokok-pokok bahasan tertentu. Pokok bahasan disusun dalam suatu buku teks/buku
pelajaran untuk siswa. Pokok-pokok bahasan/materi pelajaran untuk tiap KD yang
harus dicapai siswa, dan sudah dikemas secara rinci dalam satu buku pelajaran, guru
cukup memindahkannya ke papan tulis, dan menyampaikan kembali sepeti yang
tertulis di buku teks, hal in sangat menguntungkan bagi guru yang tidak memahami
betul inti sari materi, karena tidak perlu mngemas bahan ajar sendiri, cukup meminta
siswa memopelajarinya, dan guru memberikan latihan soal. Penggunaan lembar kerja
siswa tidak menolong siswa memahami materi secara mendalam, karena sibuk
dengan mengisi LKS yang hanya mematri penyelesian soal yang bolong-bolong.
Kegiatan siswa mengisi LKS seringkali dimanfatkan guru untuk menyelesaikan
urusan administrasi yang harus disetorkan, dengan demikian penggunaan buku teks
dan LKS tanpa pengawasan pembelajaran yang baik, membuat guru menjadi lalai dan
tidak focus terhadap tujuan pembelajaran seutuhnya. Hal ini juga memungkinkan
guru untuk mengejar target materi dalam kurikulum tersebut.
Penggunaan buku teks tersebut kurang meberi kesempatan kepada guru untuk
menyusun bahan ajar sendiri, guru cenderung memilih model pembelajaran yang
berorientasi pada buku teks yang ada, dan pemilihan metode pembelajaran langsung
merupakan metode yang paling banyak dipilih guru. Idealnya pembelajaran dirancang
sendiri oleh guru, dengan bahan ajar yang paling sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan, dan keragaman ssiwanya, dan kemampuan mengembangkan bahan ajar
merupakan salah satu kompetensi yang harus guru miliki, agar situasi belajar dalam
kelas menjadi efektif untuk mencapai kompetensi tertentu, guru harus menyusun
bahan ajarnya sendiri. Pembelajaran yang memperhatikan keberagaman siswa
cenderung lebih efektif dan menarik (Pass, van Merrinhoer, dan van Gog, 2011).

10

Menyelenggarakan pembelajaran yang bersifat kontekstual, bukan hanya
membahas materi yang termuat dalam buku pelajaran, tetapi harus sesuai konteks
dimana satuan pendidikan berada. Selama masa KTSP terdapat kecenderungan bahwa
satuan pendidikan dalam menyusun kurikulumnya tanpa mempertimbangkan kondisi
satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah secara memadai.
Dalam kurikulum 2013, dimana guru diwajibkan mengembangkan bahan ajar sendiri,
hal ini merupakan salah satu bentuk kebebasan guru dalam mengembangkan perankat
pembelajaran, tetapi karena terbiasa berbasis pada buku teks, maka ketika mnerima
buku kurikulum 2013 yang agak berbeda dengan buku teks dalam KTSP, guru kurang
dapat mengadaptasi apa yang terdapat dalam buku teks tersebut. Kondisi tersebut
merupakan salah satu kelemahan mendasar dalam implementasi kurikulum 2013,
tetapi hal ini tidak terdeteksi secara dini karena sewaktu pelatihan, guru kurang
mendapat kesempatan untuk mempraktekannya secara langsung, kosep pelatihan oleh
guru IN kepada guru lain menjadi kurang efektif.
Kesimpulan
Berkaitan dengan diberlakukannya dualisme kurikulum di beberapa sekolah,
berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Dari aspek standar isi sekolah pada umumnya dapat menyesuaikan dengan
kondisi yang ada, baik guru, buku, dan sumber daya lainnya.
2. Dari aspek standar proses terdapat berbagai kendala serius, terutama kemauan
dan kemampuan guru dalam mengimplementasikan model pembelajaran yang
seharusnya mengaktifkan siswa, memilih standar proses berdasarkan
kurikulum 2013 merupakan pilihan yang lebih strategis untuk mencapai
tujuan yang lebih konprehensif.
3. Dari aspek standar penilaian sebaiknya mengkombinasikan kedua kurikulum,
tetapi tetap dapat mengakses seluruh komponen baik pengetahuan, sikap, dan
keterampilan dengan memilih proses yang tidak terlalu mberatkan guru.
4. Program pembinaan dan pengembangan professional guru harus terus
diupayakan, sebaiknya dipilih yang berbasis praktik lapangan secara kolegiat
dan kolaboratif, bukan berbasis ceramah.
5. Pengembangan karakter melalui pembelajaran berbasis penemuan harus terus
diupayakan, karena hal tersebut akan menjadi penciri anak bangsa.
6. Dengan dibentuknya Dirjen Keguruan oleh Kementrian sekarang nampaknya
akan membawa angina segar dan gairah baru dalam upaya pembinaan profesi
guru, semoga hal tersebut menjadi pendorong bagi semua pendidik untuk
terus merespon dengan baik upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan
anak bangsa ini.

11

Daftar Pustaka

Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Juandi, D. (2011). Membantu Calon Guru mengembangkan Kompetensinya.
MakalaPengabdia Kepada Masyarakat. Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI.
Juandi,D. dan Suherman,E. (2013). Profil Pembelajaran Guru Matematika di Jawa
Barat. Jurnal Sigma Didaktika vol.2 no.2.
Kemendiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan
Nasional. Jakarta: Kemendiknas.
Pass,F.,van Merrienhoer,J.J.G.,&van Gog,T.(2011). Designing Instruction for the
contemporary learning landscape. Dalam K.Harris, S.Graham, &T.Urdan
(Penyunting), APA Educational Psychology.Handbook: vol.3.Application to
learning and teaching.Washington:American Psychologycal Association.
Turmudi, Juandi,D., Wihatma,U. dan Harningsih,E. (2012). Peningkatan Kesadaran
Berinovasi Dalam Pembelajaran Matematika Guru Smp Melalui Lesson
Study. Proceeding Seminar Internasional Lesson Study. FMPIPA UPI.
Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Kurikulum 2013.
Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses KTSP 2006.
Wahyudin (2013). Analisis Kurikulum Matematika Sekolah. Makalah Pengabdian
Pada Masyarakat. Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. (Tidak
Diterbitkan).

12

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Identitas
Nama lengkap
Tempat dan Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Agama
Status
Alamat Rumah

Pekerjaan
Jabatan/Gol.
Alamat Kantor

: Dr. Dadang Juandi, M.Si.
: Tasikmalaya, 17 Januari 1964
: Laki-laki
: Islam
: Menikah dengan Dra.Hj.Faridah Millah, SH.,M.H.
: Jl. Pasir Kemiri Blok B No.19 Cigugur Girang
Kec, Parongpong Kab. Bandung Barat Rt18/Rw.02
Telp. HP No. 082218400272
E-mail: dadang.juandi@upi.edu
: PNS/ Dosen Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI
: LektorKepala/Pembina/IV
: Jl. Dr. Setiabudi No. 229 Bandung
Telp. (022) 2004508

RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI
Tahun
Lulus

Jenjang

Perguruan Tinggi

Jurusan/Bidang Studi

1989

S1

IKIP Bandung

Pendidikan Matematika

1997

S2

UGM Yogyakarta

Matematika

2006

S3

Universitas Pendidikan Indonesia

Pendidikan Matematika

PELATIHAN PROFESIONAL
Tahun

Pelatihan

Penyelenggara

2010

Pelatihan fineTurning calon dosen PPG

UPI

2011

Pelatihan Penjaminan Mutu Manajemen

Satuan Penjaminan Mutu
UPI

2012

Pelatihan Standar Nasional

Satuan Audit Internal UPI

2013

Pelatihan Intruktur Kurikulum Nasional

PENGALAMAN JABATAN

Depdikbud

13

Jabatan

Institusi

Tahun... s.d. ...

Ketua Program Studi
Pendidikan Matematika

Pendidikan
MatematikaFPMIPA
IKIP/UPI Bandung

2017-sekarang

Ketua Pelaksana Program
PPG Matematika

Pendidikan
MatematikaFPMIPA UPI
Bandung

210-sekarang

SPESIALISASI MENGAJAR
Mata Kuliah

Jenjang

Institusi/Jurusan/Program

Kalkulus, Teori
Sampling, Teori Bayes,
Statistika Terapan,
Statistika Matematis,
Metode Penelitian

S1, S2, S3

Pendidikan
Matematika/Matematika

A.

Tahun.. s.d. ..
1990-sekarang

Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi

Judul
Penilai Teknis Buku Pelajaran Matematika yang
diselenggarakan oleh Pusbuk Depdiknas
Penyusun Pedoman Bimbingan Teknis Peningkatan
Kemampuan Profesional Guru SMA
Penenelaah Buku Kurikulum 2013
Ketua reviuer Artikel Jurnal Pendidikan Matematika

Penerbit/Jurnal
Buku SMP/SMA
Dikmen
Puskurbuk
APMI

”Sigma Didaktika”
Penulis dan reviuer Soal UMPTN

DIKTI

PENGHARGAAN/PIAGAM
Tahun

Bentuk Penghargaan

Pemberi

2002

Piagam Tanda Kehormatan

Presiden Megawati

2012

Satya Lencana Karya Bakti Satya

Rektor UPI

2012

Akademisi Berprestasi Tingkat Universitas

Rektor UPI

14

PENGALAMAN ORGANISASI
TAHUN
1987SEKARAN
G
2012SEKARAN

NAMA ORGANISASI

TEMPAT

ANGGOTA KLUB

UPI

KELUARGA BUMI SILIWANGI
KETUA

ASOSIASI

PENDIDIK

BANDUNG

MATEMATIKA INDONESIA

G
2013SEKARAN
G

WAKIL

GUBERNUR

BIDANG

PENDIDIKAN,
INDONESIAN

WILAYAH JABAR,DKI,
BANTEN

MATHEMATICAL

SOCIETY
Bandung,
Dosen yang berangkutan,
.
Dr. H. Dadang Juandi, M.Si
NIP. 196401171992021001