Makalah Informed Consent dan Penelitian

PENGERTIAN INFORMED CONSENT DAN PENELITIAN KESEHATAN

Oleh:
Solihin Niar Ramadhan 110110110195
Bima Rizki Nurrahman 110110110237
Trian Christiawan 110110110244

Dosen:
Dr.Hj.Efa Laela Fakhriah. S.H.,M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah merupakan
hak asasi manusia. Pada pasal 28 H dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan jidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam rangka mempertahankan kesehatan yang
optimal harus dilakukan bersama-sama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi
dari kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan
yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menempatkan tenaga
keperawatan sebagai tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan pasien
sebagai pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir 24 jam bersama pasien dan
memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain.
Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik
dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan
kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga
kesehatan yang menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain. Perjalanan
awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan) saja yang tidak membutuhkan
profesionalisme. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan praktek keperawatan, perawat
sudah diakui sebagai suatu profesi, sehingga pelayanan atau asuhan keperawatan yang
diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan.
Dalam


memberikan

pelayanan

kesehatan,

perawat

harus

terlebih

dahulu

memberikan informed consent kepada pasien. Persetujuan tindakan medik atau informed
consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan, tetapi setiap tindakan medik yang
mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang

hendak memberikan persetujuan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya

untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang
pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.
Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6 ayat 1
sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah
dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain dengan pengetahuan
atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah
(operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau
perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan
tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan
yang akan dilakukan.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk memberikan informed
consent yang jelas, bisa dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik)

dan dapat menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek
medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan
perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi di Indonesia.
Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed consent yang kurang
jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek baru mulai bermunculan.
Dalam hal ini pun berkaitan dengan Penelitian Kesehatan. Penelitian kesehatan
merupakan langkah metode ilmiah yang berorientasikan atau memfokuskan kegiatannya
pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan. Kesehatan itu sendiri terdiri dari
dua sub bidang pokok, yakni pertama kesehatan individu yang berorientasikan klinis,
pengobatan. Sub bidang kedua yang berorientasi pada kelompok atau masyarakat, yang
bersifat pencegahan. Selanjutnya sub bidang kesehatan inipun terdiri dari berbagai disiplin
ilmu, seperti kedokteran, keperawatan, epidemiologi, pendidikan kesehatan, kesehatan
lingkungan, manajemen pelayanan kesehatan, gizi dsb. Sub bidang tersebut saling
berkaitan dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya. Sehingga
berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian kesehatan dapat diartikan sebagai suatu
upaya untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam bidang
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative serta masalah yang

berkaitan dengan unsure tersebut; dengan mencari bukti dan dilakukan melalui langkahlangkah tertentu yang bersifat ilmiah, sistematis dan logis.


B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Informed Consent dan bagaimana pengaturannya lebih jauh?
2. Apa itu Penelitian Kesehatan dan bagaimana kaitannya dengan hukum kesehatan saat
ini?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Informed Consent
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan,
seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap
tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan
kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi
dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan
ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas
informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak
yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat

dua unsur pokok, yakni:
1.

Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis)

untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan
kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan
resiko yang akan ditanggung oleh pasien.
2.

Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk

memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan
kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk
menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian
informasi seperlunya oleh tenaga medis.
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien
maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam
pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi

yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu
diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan
bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan
pokok yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu
dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya
memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan
ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:
a.

Standar praktek profesional (the professional practice standard)

b.

Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)

c.

Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)


Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuan yang
diberikan

pasien

atau

keluarganya

atas

dasar

penjelasan

mengenai

tindakanmedik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian
diatas


PTM

adalah

persetujuan

yang

diperoleh

sebelum

melakukan

pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent
hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat
berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan
perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum
Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu

perjanjjian yaitu:
a.

Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan

penipuan.
b.

Para pihak cakap untuk membuat perikatan

c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Sejarah Informed Consent.
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih
baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang
secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan
tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap
para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap
kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci
percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned

consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis.
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan
dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien
yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima
lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam
pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir
panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat
pernyataan sebagai berikut.

Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan
dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama,
orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilainilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung
jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil
inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien,
kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk
berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin,
berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan
kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien
sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek
rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi
pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan
untuk memberikan dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu
memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya
dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan
bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed
consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan
pertama-tama melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara
pengaduan hukum.

Fungsi Informed Consent



Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan



nasibnya sendiri
Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health








care receiver = HCR)
Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi
terhadap diri sendiri.

Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :


promosi otonomi individu.



Proteksi terhadap pasien dan subjek.



Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.



Mendorong adanya penelitian yang cermat.



Promosi keputusan yang rasional



Menyertakan publik Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan baik lisan maupun tulisan.

Tujuan Informed Consent:


Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya.



Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 ).

Dasar Hukum Informed Consent.
.

Dasar hukum informed consent


UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 56 tentang Kesehatan



Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan



Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS



Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam
medis/ Medical record



Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medis



Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS



Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang
Informed Consent



Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang
Bedah Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau
Jaringan Tubuh Manusia

Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent


Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat

umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.


Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis

(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989
Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan
medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed
consent)
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat noninvasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya
sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan suatu posisi dalam
masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan
profesi keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang berinteraksi
dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak langsung terutama pasien sebagai
konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Peran perawat professional dalam pemberian informed consent adalah dapat
sebagai client advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab
untuk membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai

pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil
persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A
client advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi
pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.

Hal – hal yang dapat di informasikan
Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan,
maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi
yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian
yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien.
Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat
alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika
seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi
dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan
terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang
ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme.
Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter
harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin
timbul.
Rujukan atau konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan
dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien
tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya
dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan,
biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau
tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari
dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian
beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan
merupakan bagian dari informed consent.

Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan
hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak
saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap
tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun
hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan

medis

yang

merugikan

pasien,

maka

sudah

dapat

dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara
umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan
digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu
tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa
tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara
pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak
mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh
dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga
belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah
hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

B. Pengertian Penelitian Kesehatan
Penelitian kesehatan merupakan langkah metode ilmiah yang berorientasikan atau
memfokuskan kegiatannya pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan.
Kesehatan itu sendiri terdiri dari dua sub bidang pokok, yakni pertama kesehatan individu
yang berorientasikan klinis, pengobatan. Sub bidang kedua yang berorientasi pada
kelompok atau masyarakat, yang bersifat pencegahan. Selanjutnya sub bidang kesehatan
inipun terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, keperawatan, epidemiologi,
pendidikan kesehatan, kesehatan lingkungan, manajemen pelayanan kesehatan, gizi dsb.
Sub bidang tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat
pada umumnya. Sehingga berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian kesehatan dapat

diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam bidang kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative serta
masalah yang berkaitan dengan unsure tersebut; dengan mencari bukti dan dilakukan
melalui langkah-langkah tertentu yang bersifat ilmiah, sistematis dan logis.
Tujuan Penelitian Kesehatan
Secara umum tujuan penelitian kesehatan menurut Notoatmodjo, yaitu :
1. Menemukan atau menguji fakta baru maupun fakta lama sehubungan dengan bidang
kesehatan.
2. Melakukan analisis terhadap hubungan antara fakta-fakta yang ditemukan dalam
bidang kesehatan.
3. Menjelaskan tentang fakta yang ditemukan serta hubungannya dengan teori yang telah
ada.
4. Mengembangkan metode atau konsep baru dalam pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat.
Manfaat Penelitian Kesehatan
Secara singkat, manfaat dari penelitian kesehatan yaitu :
1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menggambarkan tentang keadaan atau status
kesehatan individu, kelompok atau masyarakat.
2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan sumber daya
dan kemungkinan sumber daya tersebut guna mendukung pengembangan pelayanan
kesehatan.
3. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan kajian untuk mencari sebab masalah kesehatan
atau kegagalan yang terjadi dalam pelayanan kesehatan. Sehingga dapat dijadikan
acuan untuk mencari solusi atau alternatif penyelesaian masalah.
4. Hasil penelitian kesehatan dapat dijadikan sarana untuk menyusun kebijakan
pengembangan pelayanan kesehatan.
Jenis Penelitian Kesehatan
Pengelompokan jenis penelitian kesehatan bermacam-macam. Hal ini tergantung dari
metode yang dipakai. Berdasarkan metode, penelitian kesehatan dapat digolongkan menjadi
2 kelompok, yaitu :
1. Metode penelitian survey
Dalam penelitian survey, hasil dari penelitian tersebut merupakan hasil dari
keseluruhan walalupun tidak dilakukan ke seluruh populasi namun hanya diambil sampel.

Hasil dari sampel tersebut dapat digeneralisasikan sebagai hasil populasi. Metode ini
digolongkan menjadi 2 bagian yaitu deskriftif dan analitik.
a. Survey deskriftif
Dalam survey deskriftif, peneliyian diarahkan untuk mendeskripsikan atau
menguraikan suatu keadaan di dalam satu komunitas. Seperti distribusi penyakit,
distribusi jenis kelamin atau karakteristik lainnya.
b. Survey analitik
Pada survey analitik, penelitian diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan
atau situasi. Analitik pada dasarnya digunakan untuk menjawab pertanyaan mengapa
(why?). survey analitik terbagi 3, yaitu :
o

Cross sectional
Dalam penelitian cross sectional, pengumpulan data baik variable dependent

maupun independent dan factor-faktor yang mempengaruhinya dikumpulkan
dalam waktu yang bersamaan.
o

Retrospective study
Penelitian ini bertujuan melihat fenomena pada masa lalu. Pengumpulan data

dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi dan dilihat apakah ada keterkaitan
dengan masa lalu. Contoh apabila mencari hubungan antara merokok dengan
kanker paru. Maka dimulai dengan mencari data kasus penderita kanker paru
kemudian ditanyakan riwayat merokok di masa lampau.
o

Prospective study
Penelitian ini bertujuan melihat fenomena ke depan. Dimulai dengan melihat

variable penyebab dan dilihat dampaknya di masa datang. Misalnya untuk melihat
hubungan antara alcohol dengan kejadian chirosis hati, dimulai dengan
mengumpulkan data pengguna alcohol lalu diteruskan dengan obeservasi ke
depan apakah yang menggunakan alcohol positif menderita chirosis hati atau
tidak.
2. Metode penelitian eksperimen
Penelitian eksperimen, peneliti melakukan perlakuan pada responden dan mengukur
akibat atau pengaruhnya. Perlakukan dapat berupa sengaja atau terkontrol. Misalnya
penelitian tentang dampak terapi music terhadap tingkat kecemasan pasien yang akan
dilakukan operasi.
Namun apabila dilihat dari segi kegunaanya, maka penelitian kesehatan dapat digolongkan
menjadi :
1. Penelitian dasar (basic of fundamental research)

Penelitian ini dilakukan untuk memahami gejala yang muncul pada suatu masalah.
Kemudian gejala tersebut dianalisa dan kesimpulannya menjadi teori atau pengetahuan
yang baru.
2. Penelitian terapan
Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki atau memodifikasi system atau program
yang sudah ada. Penelitian dilakukan dengan menerapkan suatu system atau metode
baru namun masih uji coba.
3. Penelitian tindakan
Penelitian ini dilakukan untuk mencari suatu dasar pengetahuan praktis guna
memperbaiki situasi di suatu komunitas. Penelitian biasanya dilakukan dimana
penyelesaian masalah perlu dilakukan. Misalnya penelitian tindakan untuk peningkatan
kesehatan masyarakat transmigrasi.
4. Penelitian evaluasi
Penelitian dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanan suatu program
dalam rangka mencari umpan balik. Misalnya meneliti tingkat kepuasan pasien di rumah
sakit setelah menerapakn konsep keperawatan primer.
Riset Keperawatan
Penelitian keperawatan merupakan bagian integral dari penelitian bidang kesehatan yang
lebih memfokuskan pada bidang keperawatan. Penelitian tersebut dapat dilakukan pada
pasien, sumber daya bidang keperawatan atau pendidikan keperawatan. Penelitian
keperawatan harus mempunyai batasan yang jelas tetapi tidak menutup kemungkinan akan
berkembang di luar wilayah yang telah dibatasi. Adapun ruang lingkup penelitian
keperawatan meliputi :
1. Keperawatan dasar
Lingkup penelitian ini adalah segala bentuk penelitian yang berfokus pada ilmu
keperaeatan dasar, seperti masalah pendidikan kesehatan/keperawatan, pemenuhan
kebutuhan dasar manusia, komunikasi dalam keperawatan, manajemen pelayanan
keperawatan, dokumentasi keperawatan atau penerapan teori keperawatan. Contoh :
a. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap peningkatan kemampuan keluarga dalam
perawatan luka DM.
b. Studi tentang pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan PPOK.
c. Pengaruh “Touching” dalam komunikasi perawat terhadap kecemasan pasien pre
operasi.
d. Model praktik keperawatan yang harus diterapkan di Puskesmas A.
e. Pendokumentasin pemberian obat oleh perawat di ruang rawat inap RS “B”

2. Keperawatan klinik
Ruang lingkup penelitian ini membahas tentang berbagai masalah yang terjadi dalam
aplikasi klinik baik medical bedah, anak, maternitas, gawat darurat atau jiwa. Contoh :
a. Pengaruh massasse terhadap nyeri persalinan.
b. Penerapan konsep bermain di ruang rawat inap anak di RS “B”
c. Pelaksanaan perawatan luka DM di ruang rawat inap RS “C”
d. Tingkat kecemasan pada klien dengan tuberkulosa paru yang dirawat di RS “C”
e. Penanganan fraktur terbuka di unit gawat darurat RS “C”
3. Keperawatan komunitas
Ruang lingkup penelitian bidang ini yaitu masalah yang terjadi di masyarakat baik
kelompok khusus ataupun keluarga. Dapat berupa masalah yang berkaitan dengan
aspek keperawatan atau factor yang berkaitan dengan masalah kesehatan di
masyarakat. Contoh :
a. Tingkat ketergantungan lansia penderita rheumatoid arthritis di kecamatan “D”
b. Peran keluarga dalam pemberian pada penderita Tb di kecamatan “D”
c. Pelaksanaan PHBS di tempat umum di kecamatan “D”
d. Mekanisme koping keluarga dengan anggota keluarga yang mempunyai masalah
kesehatan.

BAB III

PENUTUP


Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan,
seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap
tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent
merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk
memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat
membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam
pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas
informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihakpihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed
consent” memuat dua unsur pokok, yakni:
1.

Hak

pasien

(atau

subjek

manusiawi

yang

akan

dijadikan

kelinci

percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga
medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila
kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien.
2.

Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan

untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional
dapat diberikan kapada pasien.


Penelitian kesehatan merupakan langkah metode ilmiah yang berorientasikan atau
memfokuskan kegiatannya pada masalah-masalah yang timbul di bidang kesehatan.
Kesehatan itu sendiri terdiri dari dua sub bidang pokok, yakni pertama kesehatan
individu yang berorientasikan klinis, pengobatan. Sub bidang kedua yang
berorientasi

pada

kelompok

atau

masyarakat,

yang

bersifat

pencegahan.

Selanjutnya sub bidang kesehatan inipun terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti
kedokteran,

keperawatan,

epidemiologi,

pendidikan

kesehatan,

kesehatan

lingkungan, manajemen pelayanan kesehatan, gizi dsb. Sub bidang tersebut saling
berkaitan dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya.
Sehingga berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian kesehatan dapat diartikan
sebagai suatu upaya untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam bidang kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative serta
masalah yang berkaitan dengan unsure tersebut; dengan mencari bukti dan
dilakukan melalui langkah-langkah tertentu yang bersifat ilmiah, sistematis dan logis.

DAFTAR PUSTAKA



Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005.Bioetik dan
Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit
Pustaka Dwipar.



J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.



M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta. 1999.



Anonim. (2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap Tindakan
Medis.http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenolakan.htm. Diakses
pada tanggal 11 Oktober 2014, pukul 12.36 WIB



Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”.http://www.scribd.com/doc/
22040447/All-About-Informed-Consent. Diakses pada tanggal 11 Oktober, pukul
12.38 WIB