TAP.COM - PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT SECARA TRADISIONAL OLEH ... - UNS

BIODIVERSITAS
Volume 7, Nomor 3
Halaman: 245-250

ISSN: 1412-033X
Juli 2006
ELRGLYG

Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh
Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara
Traditonal use of medicinal herbs by local community of Wawonii island, Southeast Sulawesi
MULYATI RAHAYU♥, SITI SUNARTI, DIAH SULISTIARINI, SUHARDJONO PRAWIROATMODJO
“Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122.
Diterima: 17 April 2006. Disetujui: 22 Mei 2006.

ABSTRACT
Twice field works to Wawonii Island was carried out in 2003 and 2004, in order to collect data on utilization of medicinal plants by local
people. Two villages of Wawonii, which occupied by Wawonii tribe, were selected as study sites. Based on the study of 73 plants species,
which uses by local people as traditional medicine and after having child were recorded. Similar to order inland areas of Indonesia, forest
clearances and process of modernization was also occurred in this study area. Consequence the effect of those activities expected will be
affect in lost of local knowledge and destruction of natural resources. For that reason a study on utilizes of medicinal plant by local people is

needed.
© 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: traditional medicine; Wawonii tribe; Southeast Sulawesi.

PENDAHULUAN
Salah satu ciri budaya masyarakat di negara berkembang adalah masih dominannya unsur-unsur tradisional
dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini didukung oleh
keanekaragaman hayati yang terhimpun dalam berbagai
tipe ekosistem yang pemanfaatannya telah mengalami
sejarah panjang sebagai bagian dari kebudayaan. Salah
satu aktivitas tersebut adalah penggunaan tumbuhan
sebagai bahan obat oleh berbagai suku bangsa atau
sekelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman. Tradisi
pengobatan suatu masyarakat tidak terlepas dari kaitan
budaya setempat. Persepsi mengenai konsep sakit, sehat,
dan keragaman jenis tumbuhan yang digunakan sebagai
obat tradisional terbentuk melalui suatu proses sosialisasi
yang secara turun temurun dipercaya dan diyakini
kebenarannya. Pengobatan tradisional adalah semua
upaya pengobatan dengan cara lain di luar ilmu kedokteran

berdasarkan pengetahuan yang berakar pada tradisi
tertentu (Sosrokusumo, 1989). Hubungan antara manusia
dengan lingkungannya ditentukan oleh kebudayaan
setempat sebagai pengetahuan yang diyakini serta menjadi
sumber sistem nilai (Tax, 1953). Sistem pengetahuan yang
dimiliki masyarakat secara tradisi merupakan salah satu
bagian dari kebudayaan suku bangsa asli dan petani
pedesaan (Brush, 1994).
Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau kecil yang
terletak di jazirah tenggara propinsi Sulawesi Tenggara.
Pulau ini dihuni oleh beberapa kelompok sosial masyarakat,
dan kelompok masyarakat asli yang dikenal dengan
sebutan etnis/suku Wawonii. Sekitar tahun 1985 lahan di
♥ Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
e-mail: [email protected]

beberapa kawasan pulau ini dibuka untuk areal perkebunan
coklat, namun setelah pembukaan hutan dan kayu hasil

penebangan diangkut ke luar pulau, rencana tersebut
hingga saat ini tidak direalisasikan (Kendari Express,
21/02/2000). Proses modernisasi yang masuk ke pulau ini
dan munculnya beberapa masalah seperti tekanan
ekonomi, pertambahan penduduk, sosial budaya dan
peraturan baru, memacu terjadinya kerusakan atau
hilangnya sumberdaya hayati yang belum terkaji.
Keanekaragaman dan potensi sumberdaya hayati serta
pengetahuan lokal masyarakat setempat belum pernah
diteliti. Waluyo (1991) mengemukakan bahwa modernisasi
dengan mudah telah menggeser sejumlah pengetahuan asli
suku bangsa di luar pulau Jawa.
Dari uraian di atas dikhawatirkan akan terjadi kerusakan
atau hilangnya sumberdaya hayati maupun pengetahuan
tradisional suku Wawonii, salah satu suku asli di Indonesia.
Kenyataan membuktikan bahwa pengetahuan lokal telah
teruji secara turun temurun dan tidak sedikit sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penelitian pemanfaatan tetumbuhan antara lain sebagai
obat tradisional yang digunakan oleh masyarakat lokal di
pulau Wawonii perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan

dapat menambah khasanah pengetahuan tumbuhan obat
Indonesia dan menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya
seperti fitokimia, fisiologi perbanyakan dan lain-lain serta
dapat memberi masukan kepada instansi terkait dalam
pengelolaan lingkungan.

BAHAN DAN METODE
Penelitian pemanfaatan tumbuhan obat tradisional oleh
masyarakat Wawonii dilakukan di desa Wawolaa dan
Lampeapi, Kecamatan Wawonii, Kabupaten Kendari,
Propinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan dalam

246

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 3, Juli 2006, hal. 245-250

dua kali kunjungan pada bulan April-Mei 2003 dan bulan
April-Mei 2004. Setiap kunjungan berlangsung selama dua
minggu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survei
eksloratif yaitu wawancara dan pengamatan langsung di

lapangan. Wawancara ditujukan terhadap pemuka adat,
sando/tabib, serta masyarakat pengguna atau mengenal
tumbuhan obat. Setiap tumbuhan berkhasiat obat dicatat
nama lokalnya, bagian yang digunakan, serta cara
penggunaan dan kegunaannya. Jenis-jenis tumbuhan yang
belum diketahui nama ilmiahnya, diambil contohnya, dibuat
herbarium untuk diidentifikasi di Herbarium Bogoriense
guna mengetahui nama ilmiahnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan umum lokasi penelitian
Desa Wawolaa dan Lampeapi merupakan dua di antara
delapan desa di Kcamatan Wawonii (Pulau Wawonii),
Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Pulau ini terdiri
dari empat kecamatan yaitu: Wawonii, Waworete, Wawonii
Selatan, dan Wawonii Timur. Kata wawonii berasal dari dua
kata, yaitu: “wawo” yang berari di atas atau daratan, dan
“nii” berarti kelapa. Secara harfiah kata wawonii artinya
daratan/pulau yang ditumbuhi pohon kelapa, sesuai dengan
kenyataan bahwa di sepanjang tepi pantai sekeliling pulau

ini didominasi tanaman kelapa.
Kedua desa di atas dapat dapat dicapai dengan kapal
kayu atau ferri dari kota Kendari (ibukota propinsi Sulawesi
Tenggara) menuju ke Langara (ibukota kecamatan
Wawonii) dengan waktu tempuh berkisar 3 jam, dilanjutkan
dengan kendaraan roda dua selama 30 menit (Wawolaa)
dan 1 jam (Lampeapi). Desa Wawolaa merupakan hasil
pemekaran dari desa Waworope dan secara resmi
terbentuk pada tahun 1971. Desa ini terletak pada
ketinggian sekitar 100-250 m dpl., terdiri dari 3 dusun
dengan jumlah penduduk 743 jiwa dari 54 kepala keluarga
(KK). Kelompok sosial masyarakat yang menghuni desa ini
terdiri dari 9 suku bangsa dan sebagian besar berasal dari
suku Wawonii (etnik asli, 60%). Desa Lampeapi merupakan
desa tua dan pelabuhan ferri pertama sebelum Langara.
Desa ini terletak pada ketinggian sekitar 10-150 m dpl.,
terdiri dari 3 dusun dan dihuni oleh 220 KK. Penduduknya
sebagaian besar etnik asli (suku Wawonii, 90%) serta
pendatang dari Bugis, Flores, dan Jawa. Pemukiman
penduduk terkonsentrasi di sepanjang jalan utama desa.

Sumber utama mata pencaharian penduduk kedua desa
ini adalah bertani dengan sistem ladang berpindah yang
ditanami palawija dan sayuran; kebun yang menetap
diusahakan untuk tanaman tahunan (kelapa, coklat, jambu
mete, dan lada). Mata pencaharian tambahan masyarakat
adalah mengambil hasil hutan berupa kayu (untuk perahu),
rotan, dan madu. Dalam mengambil hasil hutan ini,
masyarakat
setempat
belum
mengikuti
peraturan
pelestarian. Fasilitas kesehatan terdapat di kedua desa ini
seperti Puskesmas di desa Lampeapi dan Puskesmas
pembantu di desa Wawolaa yang ditangani oleh mantri
kesehatan dan bidan. Fasilitas kesehatan ini dimaksudkan
untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat setempat
dalam
memperoleh
pelayanan

kesehatan
tanpa
mengurangi peranan pengobatan tradisional setempat.
Masyarakat Wawonii dan status pengetahuannya tentang
tumbuhan obat
Suku Wawonii merupakan salah satu etnis asli di
Sulawesi Tenggara. Etnis ini umumnya berdiam dalam
wilayah kabupaten Kendari (Konawe), khususnya di pulau

Wawonii yang terletak berseberangan dengan ujung
tenggara jazirah Sulawesi Tenggara. Sebagian dari
masyarakat ini berdiam pula di bagian utara pulau Buton
(Melalatoa, 1995). Seperti halnya masyarakat pedalaman
lainnya di Indonesia, masyarakat Wawonii juga memiliki
sistem pengetahuan tentang pengelolaan keanekaragaman
sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya. Salah satu
sistem pengetahuan tersebut adalah pemanfaatan
tetumbuhan untuk pemenuhan kehidupan sehari-harinya,
antara lain sebagai bahan obat tradisional. Dalam penelitian
ini, tumbuhan obat adalah semua jenis tumbuhan yang

dapat digunakan sebagaian ramuan obat, baik secara
tunggal maupun campuran yang dianggap dan dipercaya
dapat menyembuhkan suatu penyakit atau dapat
memberikan pengaruh terhadap kesehatan.
Tidak semua masyarakat Wawonii di lokasi penelitian
memiliki tingkat pengetahuan yang sama dalam
memanfaatkan tumbuhan obat. Hal tersebut sangat terkait
dengan
ilmu
pengetahuan
seseorang.
Umumnya
kepercayaan tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu
jenis tumbuhan obat tidak hanya diperoleh dari
pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai
religius. Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit
tergantung dari sudut pandang masing-masing orang.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan
yang tidak seimbang, sehingga dapat mempengaruhi
kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacammacam, ada yang datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan

ada yang berasal dari makhluk halus/jahat. Oleh karena itu
para sando selalu mengadalkan pengobatannya dengan
senantiasa memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat
Fasilitas kesehatan modern terdapat di lokasi penelitian,
namun sando masih berperan dalam pengobatan penyakit
dan perawatan pra dan paska persalinan. Tercatat 73 jenis
tumbuhan, terdiri dari 70 marga dan 43 suku, yang
digunakan oleh masyarakat setempat sebagai obat
tradisional (Tabel 1). Dari 73 jenis tetumbuhan tersebut 68
jenis digunakan untuk pengobatan penyakit dan 16 jenis
digunakan untuk perawatan persalinan. Beberapa jenis di
antaranya mempunyai manfaat ganda. Masyarakat
setempat memberikan nama lokal tumbuhan dengan cara
yang tergolong sederhana, misalnya untuk jenis-jenis
benalu diberi nama susuan tomi, jenis tumbuhan liana
berbatang kuning disebut oyong kuni, jenis tumbuhan yang
menempel pada tumbuhan/pohon lain namun bukan parasit
disebut apa-apa, tumbuhan yang berkhasiat sebagai
penutup luka dengan urat putus disebut umpu iya dan lainlain. Tumbuhan obat ini umumnya merupakan tumbuhan

liar di semak-semak belukar, atau gulma di pekarangan dan
pada lahan pertanian. Di hutan primer kura eya jarang
sekali ditemukan tumbuhan berkhasiat obat, melainkan
untuk bahan bangunan/rumah. Menurut sando, jenis-jenis
tumbuhan obat yang umum ditemukan di hutan primer
antara lain kompanga (Alstonia scholaris (L.) R.Br.), kayu
cina (Leptospermum amboinense Blume), oyong kuni
(Arcangelisia flava (L.) Merr. dan Fibraurea tinctoria Lour.
Besar kemungkinan jenis-jenis tumbuhan obat tersebut
akan tersingkir demi peningkatan produktivitas lahan
pertanian, oleh karena itu perlu adanya upaya
pembudidayaan/konservasi untuk menanggulangi erosi
sumberdaya tumbuhan berguna ini.
Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam perawatan
paska persalinan tergolong sedikit dibandingkan dengan
daerah lainnya di Indonesia, misalnya Lombok, Nusa
Tenggara Barat tercatat 44 jenis (Rahayu dkk. 2002) atau di

RAHAYU dkk. – Tumbuhan obat tradisional di pulau Wawonii

Ciomas, Jawa Barat tercatat 37 jenis (Setyowati-Indarto
dan Siagian, 1992). Hal ini kemungkinan disebabkan cukup
seringnya kunjungan (sekali dalam seminggu) dan
pemberian obat dan vitamin oleh bidan. Dari hasil
wawancara dengan sando di desa Wawolaa diketahui ibu
yang baru melahirkan dianjurkan untuk meminum air
rendaman abu panas hasil pembakaran di dapur. Menurut
mereka air abu ini lebih berkhasiat daripada air rebusan
ramuan/racikan jamu. Selama mengkonsumsi air abu ini,
ibu tersebut harus berpantang untuk minum dan makan
hidangan yang panas. Untuk mempercepat pemulihan
kesehatan ibu yang baru melahirkan, sando di desa
Lampeapi mengurung ibu tersebut dalam tikar yang
dilingkarkan. Dalam kurungan tersebut diletakkan pula abu
panas yang dapat juga ditambahkan akar loiya le
(Cymbopogon citratus (DC.) Stapf) dan buah lasi daru
(Amomum compactum Soland. ex Maton). Untuk
membuktikan keabsahan tradisi tersebut perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
Penggunaan daun kapupu (Crinum asiaticum L.) dalam
perawatan paska persalinan bertujuan untuk merapatkan
atau mengecilkan kembali vagina. Cara penggunaannya
yaitu daun yang telah dicuci bersih, dipanaskan di bara api
(dilayukan), kemudian ditapelkan ke bagian vagina. Umbi
tumbuhan ini digunakan juga oleh masyarakat Saluan
(Sulawesi Tengah) sebagai penutup luka, bahkan diperdagangkan sebagai bahan campuran bedak untuk menghilangkan noda-noda pada wajah (Rahayu dkk., 1999).
Hoinu (Abelmoschus esculentus (L.) Moench.) juga
merupakan salah satu tumbuhan yang digunakan dalam
perawatan paska persalinan yaitu dengan cara
mengkonsumsi sayuran dari daun dan buahnya. Tanaman
ini bukan tumbuhan asli Indonesia, diduga berasal dari Asia
Tenggara (Siemonsma, 1994), namun telah beradaptasi
dengan kondisi alam pulau Wawonii dan diperkirakan telah
dibudidayakan oleh masyarakat setempat lebih dari 100
tahun yang lalu. Diduga bibit atau biji jenis tumbuhan ini
dibawa masuk oleh saudagar-saudagar dari luar ke Pulau
Wawonii melalui Pulau Buton (Bau-Bau) yang merupakan
pintu gerbang perdagangan rempah-rempah untuk
kawasan Indonesia bagian timur. Penanaman tumbuhan ini
umumnya bersamaan dengan penanaman padi ladang,
pemanenan pertama dilakukan setelah 3-4 bulan masa
tanam. Pemanfaatan lain tumbuhan ini sebagai obat yaitu
untuk obat penurun panas/demam dengan cara menumbuk
daun tua kemudian ditapelkan di dahi.
Penggunaan daun daru (Costus speciosus (Koenig) J.E.
Smith) sebagai pencegah kehamilan (KB) dan perawatan
paska persalinan (untuk mempercepat keluarnya darah
nifas) perlu mendapat perhatian serius. Di Indonesia
tumbuhan ini dapat ditemukan hampir di seluruh daerah
dan pembudidayaannya mudah dilakukan. Komponen aktif
yang berperan dalam mencegah terjadinya proses
kehamilan/kontrasepsi adalah diosgenin (Lubis dkk., 1980) .
Di India, rimpangnya dimakan dan digunakan juga sebagai
obat rhematik, radang paru-paru, dan demam (Burkill,
1935). Di daerah lain di Indonesia, air tangkai batangnya
digunakan sebagai obat luar untuk radang mata (van
Steenis-Kruseman, 1953) dan rimpangnya untuk obat
penyakit kelamin atau sipilis, sedangkan air sari batangnya
untuk obat disentri (Burkill, 1935). Potensi jenis ini sebagai
obat alami cukup besar, sehingga perlu ditindak lanjuti.
Daun ombu (Blumea balsamifera (L.) DC.), rimpang kuni
(Curcuma domestica Valeton.) dan daun lewe sena (Piper
betle L) digunakan dalam perawatan paska persalinan,
sebagaimana dilakukan juga oleh masyarakat lokal lain di
Indonesia (Rahayu dkk., 2002; Sunarti dan Rahayu, 1997;

247

Siagian dkk., 1994). Daun muda dan buah malaka (Psidium
guajava L.) digunakan untuk obat diare. Daun palan singa
(Senna alata L.) untuk obat penyakit kulit (panu) dan batang
oyong kuni (A. flava) untuk obat sakit kuning. Hal ini
tampaknya juga umum digunakan masyarakat lokal lain di
Indonesia (Sastroamidjojo, 1988; Heyne, 1987).
Dari 68 jenis tumbuhan obat, sebagian besar digunakan
sebagai obat penurun panas atau demam yaitu hoinu (A.
esculentus), kompanga (Alstonia scholaris (L.) R.Br.),
kepaya (Carica papaya L.), kawu-kawu (Ceiba pentandra
(L.) Gaertn.), bontu (Hibiscus tiliaceus L.), tanga-tanga
(Jatropha curcas L), langsat (Lansium domesticum Correa),
kayu cina (L. amboinense) dan punti bugisi (Musa sp.). Di
antara 9 jenis tumbuhan obat ini, yang paling sering dan
umum digunakan oleh masyarakat Wawonii untuk obat
penurun panas adalah C. papaya, mengingat jenis ini
mudah didapatkan dan merupakan tanaman budidaya yang
umum dijumpai di pekarangan atau kebun. Cara penggunaannya dengan meminum rebusan daun tua (kuning), sedang
air rebusan akar berkhasiat sebagai obat malaria.
Penggunaan J. curcas sebagai obat penurun panas
adalah dengan cara meminum, terutama air rebusan biji,
namun hal ini perlu penelitian lebih lanjut, misalnya dosis
pemakaiannya, mengingat minyak bijinya mengandung
asam palmitik, asam stearik, asam oleik, asam linoleik, dan
senyawa racun ester yaitu diterpen 12-deoxy-16hydroxyphorbol (Susiarti dkk.,1999). Senyawa racun ini
dapat menyebabkan iritasi yang kuat pada usus, bahkan
dapat mematikan. Tumbuhan ini berasal dari Amerika Latin,
menyebar luas ke kawasan tropis lainnya (Backer dan
Bakhuizen van den Brink, 1968). Di lokasi penelitian
seringkali dibudidayakan sebagai tanaman pagar.
Le (Imperata cylindrica (L.) Raeusch) merupakan salah
satu gulma yang sulit dibasmi, namun akarnya berkhasiat
sebagai obat darah tinggi atau penyakit dalam.
Penggunaannya dengan cara merebus akar dan dapat
dicampur dengan daun tokule (Kleinhovia hospita L),
kemudian airnya diminum. Jonathan dan Hariadi (1999)
melaporkan pemanfaatan alang-alang sebagai obat
tradisional di Asia Tenggara sangat bervariasi antara lain
untuk untuk obat penurun panas/demam, mual-mual, beriberi, sakit kuning, asma, flu, mimisan, batuk, dan sakit
ginjal. Penggunaan K. hospita dapat secara tunggal yaitu
dengan cara menyeduh air daunnya yang tua (kuning) dan
telah dikeringkan seperti meminum teh, sedangkan daun
mudanya dapat dijadikan sayur. Menurut Perry dan Metzger
(1980) daunnya mengandung asam prussic, triterpinoid,
dan sejumlah minyak atsiri; berkhasiat sebagai antipiretik
(menurunkan demam) dan antisipilis. Latif (1977)
mengemukakan bahwa daun dan kulit batang K. hospita
mengandung senyawa sianogenik yang berkhasiat sebagai
pembasmi ektoparasit seperti kutu, sedangkan ekstrak
daunnya mempunyai aktivitas sebagai anti tumor pada
tikus. Di Pulau Wawonii, jenis ini banyak ditemukan di tepi
sungai atau semak-semak belukar yang agak lembab. Atas
anjuran Dinas Kesehatan setempat, dalam tiga tahun
terakhir, di desa Lampeapi jenis ini mulai ditanam di
pekarangan rumah sebagai tumbuhan obat dan sayur.
Kulit kayu A. scholaris dan L. domesticum digunakan
juga sebagai obat malaria oleh beberapa etnis lain di
Indonesia (Uji, 1995). Caranya kulit kayu direbus dan airnya
diminum. A. scholaris, A. flava, dan F. tinctoria merupakan
tiga jenis tumbuhan obat langka di Indonesia (Mogea dkk.,
2001; Moelyono dan Sidik, 1999.). Populasi jenis pertama
masih banyak dijumpa di lokasi penelitian, sedangkan
populasi kedua jenis lain tergolong jarang dijumpai.

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 3, Juli 2006, hal. 245-250

248

Tabel 1. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan obat di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
No

Nama ilmiah

ACANTHACEAE
1. Strobilanthes sp.
AMARYLLIDACEAE
2. Crinum asiaticum L.
ANARDIACEAE
3. Lannea coromandelica (Houtt.) Merr.
APOCYNACEAE
4. Alstonia scholaris (L.) R.Br.
ARACEAE
5. Acorus calamus L.
ARECACEAE
6. Areca catechu L.
ASCLEPIADACEAE
7. Dischidia sp.
8. Hoya sp.
ASTERACEAE
9. Ageratum conyzoides L.
10. Blumea balsamifera (Bl.) DC.
11. Elephantopus scaber L.
12. Wedelia biflora (L.) DC.

BIGNONIACEAE
13. Crescentia cujete L.
BOMBACACEAE
14. Ceiba pentandra (L.) Gaertn.
CARICACEAE
15. Carica papaya L.
CLUSIACEAE
16. Callophyllum inophyllum L.
COMBRETACEAE
17. Terminalia catappa L.
EUPHORBIACEAE
18. Euphorbia hirta L.
19. Jatropha curcas L.

20. Jatropha multifida L.
21. Manihot esculenta Crantz.
22. Phyllanthus urinaria L.
FABACEAE
23. Crotalaria incana L.
24. Mimosa pudica L.
25. Senna alata (L.) Roxb.
26. Sesbania grandiflora (L.) Pers.
GOODENIACEAE
27. Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb.
LAMIACEAE
28. Hyptis brevipes Poit.
LAURACEAE
29. Persea americana Mill.
LECYTHIDACEAE
30. Barringtonia racemosa (L.) Spreng.
LORANTHACEAE
31. Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.
32. Scurrula atropurpurea (Blume) Danser
MALVACEAE
33. Abelmoschus esculentus (L.) Moench
34. Hibiscus tiliaceus L.
35. Sida rhombifolia L.
MARANTHACEAE
36. Donax cannaeformis (G.Forst.) K.
Schum.

Nama lokal

Bagian yang
digunakan

Cara penggunaan

Kegunaan

Umpu iya

Daun

Ditumbuk, ditapel

Penutup luka dengan urat terputus

Kapupu

Daun

Dipanaskan, ditapel

Perawatan paska persalinan

Kayu jawa

Daun, kulit kayu
Kulit kayu

Ditumbuk, ditapel
Direbus, diminum

Penutup luka
Perawatan paska persalinan, luka dalam

Kompanga

Kulit kayu

Direbus, diminum

Obat malaria, penurun panas

Daria

Rimpang

Ditumbuk, ditapel

Penurun panas

Wua

Buah muda

Direbus, diminum

Obat diabetes

Apa-apa
Kaapa-apa

Daun
Buah

Direbus, diminum
Dimakan

Obat sesak nafas
KB

Ewo bonto
Ombu

Daun
Daun

Penutup luka
Obat penyakit dalam, sakit kepala,

Kateba
Komba-komba

Daun
Semua bagian

Ditumbuk, ditapel
Direbus, diminum
Ditumbuk, ditapel
Direbus, diminum
Ditumbuk, ditapel
Direbus, diminum

Taku

Kulit kayu

Direbus, diminum

Obat diabetes

Kawu-kawu

Daun

Ditumbuk, ditapel

Penurun panas

Kepaya

Akar, daun tua

Direbus, diminum

Obat malaria, penurun panas, penyakit
dalam, perawatan paska persalinan

Dongkala

Getah daun

Diteteskan

Obat tetes mata (kena debu)

Tolike

Akar

Direbus, diminum

Penawar keracunan makanan

Siku-siku mata
Tanga-tanga

Getah
Getah

Obat tetes mata (bintik putih)
Obat sakit gigi, obat sakit telinga
Obat sakit cacar, obat panas dalam.

Dium
Pasikela keu
Campa siba
bogorang

Getah
Daun
Daun

Diteteskan
Diteteskan
Diremas, + air,
diminum
Diteteskan
Diremas, digosokkan
Direbus, diminum

Kariri

Daun

Kamba mai
tangkaro
Palan singa
Tamba dawa

Semua bagian

Ditumbuk, diteteskan Obat tetes mata (gatal-gatal), sakit
Direbus, diminum
pinggang
Direbus, diminum
Obat penenang

Daun
Daun

Diremas, digosokkan Obat sakit kulit (panu)
Ditumbuk, ditapel
Antiseptik

Bontolo

Daun

Direbus, diminum

Obat pegal linu

Kapo podi

Daun

Direbus, diminum

Obat penyakit dalam

Apokat

Daun

Direbus, diminum

Obat darah tinggi

Puta

Daun

Ditumbuk, ditapel

Penutup luka

Susuan tomi

Semua bagian
Semua bagian

Direbus, diminum
Direbus, diminum

Obat sesak nafas
Obat sesak nafas

Hoinu
Bontu
Kuku ruso

Daun
Ditumbuk, ditapel
Daun muda, buah Dimasak, dimakan
Daun
Ditumbuk, ditapel
Akar
Direbus, diminum

Penurun panas,
perawatan paska persalinan
Penurun panas
Tonikum

Nene

Batang dalam

Penutup luka

Ditumbuk, ditapel

Perawatan paska persalinan
Penutup luka
Obat diabetes, perawatan paska
persalinan

Penutup luka
Obat sakit kulit (panu)
Obat darah tinggi, pegal-pegal

RAHAYU dkk. – Tumbuhan obat tradisional di pulau Wawonii

249

Tabel 1. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan obat di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara (lanjutan).
No

Nama ilmiah

MELASTOMATACEAE
37. Melastoma malabathricum L.
MELIACEAE
38. Lansium domesticum Correa
MENISPERMACEAE
39. Arcangelisia flava (L.) Merr.
40. Fibraurea tinctoria Lour.

Nama lokal

Dikunyah-kunyah

Obat sakit gigi

Langsat

Kulit kayu

Direbus, diminum

Obat malaria, penurun panas.

Oyong kuni

Batang

Direbus, diminum

Oyong kuni

Batang
Batang

Obat sakit kuning, penyakit dalam,
perawatan paska persalinan, sesak nafas
Direbus, diminum
Obat penyakit dalam, sakit kuning
Ditumbuk, diteteskan Obat tetes mata (merah)
Direbus, diminum
Tonikum

Getah
Getah
Daun

Diteteskan
Diteteskan
Direbus, diminum

Obat tetes mata (merah dan gatal)
Obat tetes mata (merah dan gatal)
Perawatan paska persalinan

Keu dawa

Daun

Direbus, diminum

Perawatan paska persalinan

Punti bugisi

Pucuk daun

Dimasak, dimakan

Penurun panas

Belai laro

Kulit kayu, daun

Direbus, diminum

Obat penyakit dalam

Kayu cina
Malaka

Daun
Buah muda,
daun

Direbus, diminum
Dimakan

Penurun panas, batuk
Obat diare

Akar

Direbus, diminum

Obat sakit kuning

Pucuk batang
bagian dalam

Diremas-remas,
digosok

Obat sakit kulit (panu)

Pate-pate le

Semua bagian

Direbus, diminum

Penawar keracunan makanan

Lewe sena

Daun

Direbus, diminum

Perawatan paska persalinan, wasir

Umpu iya

Daun

Ditumbuk, ditapel

Obat luka terpotong dengan urat putus

Tula gadi
Loiya le

Rebung
Akar

Le

Akar

Dimasak, dimakan
Ditumbuk, ditapel
Direbus, diminum
Direbus, diminum

Obat diabetes, sakit kuning
Obat patah tulang
Perawatan paska persalinan
Obat darah tinggi, obat penyakit dalam

Hakawo

Akar

Dicampur minyak

Obat urut

Kaca piring
Oombu

Daun
Daun

Ditumbuk, digosok
Direbus, diminum

Obat sariawan
Obat sesak nafas

Diperas, + air,
Obat batuk
diminum
Diperas, + air,
Obat batuk
diminum
Ditumbuk, diteteskan Obat tetes mata (merah dan gatal)

56. Imperata cylindrica (L.) Raeusch.
POLYGALACEAE
57. Polygala paniculata L.
RUBIACEAE
58. Gardenia jasminoides Ellis
59. Lasianthus sp.
RUTACEAE
60. x Citrofortunella microcarpa (Bunge)
Wijnandss
61. Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle

Lemo sari

Buah

Lemo nipi

Buah

62. Lunasia amara Blanco

Keu wia

Kulit batang
bagian dalam

SAPOTACEAE
63. Palaquium obovatum (Griffith.) Engl.
Keu mea
STERCULIACEAE
64. Kleinhovia hospita L.
Tokulo
VERBENACEAE
65. Gmelina elliptica J.E. Smith
Tara
ZINGIBERACEAE
66. Amomum aculateum Roxb.
Kasubeo
67. Amomum compactum Soland. Ex MatonLasi daru
68. Costus speciosus (Koenig) J.E. Smith Daru
69.
70.
71.
72.
73.

Rimpang
Rimpang
Batang dalam
Rimpang
Rimpang

Curcuma domestica Valeton.
Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Etlingera elatior (Jack) R.M. Smith
Languas galanga (L.) Stuntz.
Zingiber purpureum Roxb.

Kegunaan

Buah

OPHIOGLOSSACEAE
49. Helminthostachys zeylanica (L.) Hook. Paku rano
PANDANACEAE
50. Freycinetia sp.
Tole bahu
PASSIFLORACEAE
51. Passiflora foetida L.
PIPERACEAE
52. Piper betle L.
PLUMBAGINACEAE
53. Plumbago zeylanica L.
POACEAE
54. Bambusa vulgaris Schrader
55. Cymbopogon citratus (DC.) Stapf

Cara penggunaan

Rodu

41. Tinospora crispa (L.) Hook. f. & Thoms.Pai
MORACEAE
42. Ficus miquelii King
Kampu loli
43. Ficus septica Burm. f.
Limboni
MORINGACEAE
44. Moringa pterygosperma Gaertn.
MUSACEAE
45. Musa sp.
MYRSINACEAE
46. Embelia cf. ribes Burm. f.
MYRTACEAE
47. Leptospermum amboinense Blume
48. Psidium guajava L.

Bagian yang
digunakan

Kuni
Kuni tanpu
Sikala
Rampa
Bangule

Batang dalam

Ditumbuk, diteteskan Obat tetes mata (merah dan gatal)

Daun

Dimasak, dimakan

Obat sakit kuning, penyakit dalam

Daun

Direbus, diminum

Obat cacing

Rimpang
Buah
Daun

Ditumbuk, ditapel
Direbus, diminum
Direbus, diminum
Ditumbuk, ditapel
Direbus, diminum
Direbus, diminum
Ditumbuk, dihirup
Digosokkan
Digosokkan

Mempercepat matangnya bisul
Perawatan paska persalinan, tonikum
Perawatan paska persalinan, KB
Perawatan paska persalinan.
Obat batuk
Obat mual-mual
Obat sakit kulit (panu)
Obat kudis

250

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 3, Juli 2006, hal. 245-250

Pulau Wawonii dikenal juga sebagai pemasok ikan
untuk kota Kendari. Pembersihan dan cara pengolahan
yang kurang sempurna seringkali menyebabkan ikan
kurang layak dikonsumsi karena dapat menyebabkan
keracunan bahkan mematikan bagi konsumen. Guna
menanggulangi keracunan ini masyarakat Wawonii
menggunakan dua jenis tumbuhan yaitu pate-pate le
(Passiflora foetida L.) dan tolike (Terminalia catappa L).
untuk menetralkan racun tersebut. Kulit batang dan akar T.
catappa kaya akan kandungan tannin, sedangkan P. foetida
mengandung senyawa alkaloid (Perry dan Metzger, 1980).
Komponen aktif yang terdapat dalam kedua senyawa
tersebut diduga berperan sebagai penetral racun ikan.
Kedua jenis tumbuhan tersebut banyak ditemukan di
Indonesia. Jenis pertama merupakan tumbuhan liar di
daerah pegunungan atau pada daerah yang berudara sejuk
dan lembab, sedangkan jenis kedua banyak dibudidayakan
sebagai tanaman peneduh di daerah dataran rendah.
Dari hasil wawancara dengan sando dan masyarakat
setempat diketahui jumlah jenis tumbuhan obat yang
ditemukan relatif sedikit dibandingkan dengan yang mereka
ketahui. Hal ini diduga terkait dengan semakin luasnya
pembukaan kawasan semak belukar dan hutan untuk lahan
pertanian. Dari hasil pengamatan diketahui pewarisan
pengetahuan lokal ini ke generasi muda tidak berlangsung
baik terutama pengetahuan tumbuhan obat tradisional.
Faktor peningkatan kesehatan dari pemerintah terutama
kunjungan dari dinas kesehatan dan pemberian obat dan
vitamin merupakan salah satu penyebab terjadinya erosi
pengetahuan tumbuhan obat tradisional, oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian jenis-jenis tumbuhan obat yang
berpotensi untuk dikembangkan dan digalakkannya
pelatihan/penyuluhan kepada generasi muda tentang
manfaat tumbuhan obat dan pelestariannya.

KESIMPULAN
Di pulau Wawonii, tercatat 73 jenis tumbuhan yang
digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahan obat
tradisional dan perawatan paska persalinan. Tiga jenis di
antara tetumbuhan obat tersebut termaksud dalam daftar
tumbuhan langka di Indonesia, yaitu: Alstonia scholaris (L.)
R.Br., Arcangelisia flava (L.) Merrill, dan Fibraurea tinctoria
Loureiro. Pembukaan semak belukar dan hutan
mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam tumbuhan
obat ini, beserta pengetahuan tradisional masyarakat akan
kegunaannya. Analisis komponen kimia tumbuhan obat
tersebut perlu diintensifkan untuk mengetahui peranannya
dalam proses penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen v.d. Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. 1.
Groningen: Wolter-Noordhoff N.V.
Brush, S.B. 1994. A non-market approach to proctecting biological research.
In: Greaves, T. (editor). Intelectual Property Right for Indigenous People.
Oklahoma City: Society for Applied Anthropology.

Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of Economic Product of the Malay Peninsula.
London: Government of the Strait Settlement and Federated States by
the Crown Agents for the Colonies.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Penerjemah: Badan Litbang
Kehutanan. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Jonathan, J. and B.P.J. Hariadi. 1999. Imperata Cirillo. In: de Padua, L.S., N.
Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens (eds). Plants Resources of
South-East Asia No. 12 (1). Medicinal and Poisonous Plant 1. Leiden:
Backhuys Publishers.
Kendari Express. 21/02/2000. Pembukaan Hutan Alam Untuk Pembangunan
Perkebunan di Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus di Pulau Wawonii,
Propinsi Sulawesi Tenggara.
Latif. A. 1997. Kleinhovia hospita L. In: Hanum, I.F. dan L.G.J. van der
Maesen (eds). Plant Resourses of South-East Asia No. 11. Auxiliary
Plants. Bogor: PROSEA.
Lubis, I., S.H. Aminah-Lubis, dan S. Sastrapradja. 1980. Costus, sumber
nabati baru untuk bahan kontrasepsi. Risalah Simposium Penelitian
Obat II. Departemen Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB dan Fotum
Penelitian Jamu Gugus Bogor. Bogor, 24-25 Nopember 1977.
Melalatoa, M.J. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Moelyono, M.W. dan Sidik. 1999. Potensi hutan tropika Indonesia dalam
pembangunan obat tradisional. Seminar Nasional Tumbuhan Obat
Hutan Tropika Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor, 29 April 1999
Mogea, J.P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, dan Irawati.
2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biologi-LIPI.
Perry. L.M. and J. Metzger. 1980. Medicinal Plants of East and Southeast
Asia: Attributed, Properties and Uses. Cambridge: The MIT Press.
Rahayu, M., Rugayah, Praptiwi, dan Hamzah. 2002. Keanekaragaman
pemanfaatan tumbuhan obat oleh suku Sasak di Taman Nasional
Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat. Prosiding Simposium Nasional II
Tumbuhan Obat dan Aromatik. Kehati, LIPI. Apinmap, Unesco dan
JICA. Bogor, 8-10 Agustus 2001.
Rahayu, M., Wardah, dan Hamzah. 1999. Pemanfaaatan tumbuhan sebagai
obat tradisional oleh suku Saluan, Sulawesi Tengah. Seminar
PERHIPBA Cabang Jakarta. Universitas Pancasila, Depok, 23 Juli 1999.
Sastroamidjojo, A.S. 1988. Obat Asli Indonesia. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Setyowati-Indarto, N. dan M.H. Siagian. 1992. Beberapa jenis tumbuhan
perangsang persalinan di Ciomas, Bogor. Prosiding Seminar dan
Lokakarya Etnobotani I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Departemen Pertanian RI, LIPI, Perpustakaan RI. Cisarua-Bogor, 19-20
Februari 2001.
Siagian, M.H., M. Rahayu, dan Z. Fanani. 1994. Pemanfaatan tumbuhan
untuk perawatan sebelum dan sesudah persalinan oleh suku Dayak
Tunjung di Kalimantan Timur. Prosiding Simposium Penelitian Bahan
Obat Alami VIII. PERHIPBA dan Balitro, Bogor, 24-25 Nopember 1994.
Siemonsma, J.S. 1994. Abelmoschus esculentus (L.) Moench. In:
Siemonsma, J.S. and K. Piluek (eds). Plant Resources of South-East
Asia No. 8 Vegetable. Bogor: PROSEA.
Sosrokusumo, P. 1989. Pelayanan pengobatan tradisional di bidang
kesehatan jiwa. Dalam: Salan, R., Boedihartono, P. Pakan, Z.S.
Kuntjoro, dan I.B.I. Gotama (ed.). Lokakarya tentang Penelitian Praktek
Pengobatan Tradisonal. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Deparetem Kesehatan Republik Indonesia. Ciawi, 14-17
Desember 1988.
Steenis-Kruseman, M.J. van. 1953. Select Indonesia Medicinal Plants.
Organization for Scientific Research in Indonesia. Bulletin No. 18.
Austust 1953 Hal: 1-90.
Sunarti, S. dan M. Rahayu. 1997. Pemanfaatan tumbuhan obat untuk
perawatan sesudah persalinan di desa Sukaresmi, Bogor. Simposium
Nasional Penelitian Bahan Obat Alami IX. PERHIPBA dan Fakultas
Farmasi UGM. Yogyakarta, 12-13 Nopember 1997.
Susiarti, S., E. Munawaroh, and S.F.A.F. Horsten. 1999. Jatropha L. In: de
Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens (eds). Plants
Resources of South-East Asia. No. 12 (1). Medicinal and Poisonous
Plant 1. Leiden: Backhuys Publishers.
Tax, S. 1953. An Appraisal of Anthropologi Today. Chicago: University of
Chicago Press.
Uji, T. 1995. Pemanfaatan tumbuhan anti malaria pada beberapa suku di
Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Etnobotani II Buku I.
Yogyakarta, Puslitbang Biolodi-LIPI, Fakultas Biologi-UGM dan Ikatan
Pustakawan Indonesia. Yogyakarta, 24-25 Januari 1995.
Waluyo, E.B. 1991. Perkembangan pemanfaatan tumbuhan obat di luar
pulau Jawa. Prosiding Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropika
Indonesia. IPB, Bogor, 15 Mei 1991.
.