Pengamatan ilmiah dan bahasa ilmiah

Pengamatan ilmiah dan bahasa ilmiah
BAB
PEMBAHASAN

A. Pengamatan Ilmiah
Secara umum dapat dipahami, bahwa pengamatan adalah hasil tanggapan dari indera
terutama mata terhadap obyek tertentu sehingga menimbulkan kesan pada rasio (nalar) tentang
pengertian. Indera merupakan salah satu alat untuk memperoleh dan mengembangkan
pengetahuan. Firman Allah :" Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar
kamu bersyukur". (QS. An-Nahl (16) : 78)
Dalam ayat diatas dijelaskan, bahwa ada satu kegaiban dan keajaiban yang dekat pada
manusia. Manusia mengetahui fase-fase pertumbuhan janin, tetapi manusia tidak mengetahui
bagaimana jalannya proses perkembangan janin yang terjadi dalam rahim itu sehingga mencapai
kesempurnaan.[1]
Selanjutnya, diantara indera-indera eksternal hanya pendengaran dan penglihatan yang
disebut, karena keduanya merupakan alat-alat utama yang membantu seseorang dalam
memperoleh pengetahuan akan dunia fisik.[2]
Dalam proses ini terdapat rahasia hidup yang tersembunyi, Allah Ta'ala mengeluarkan
manusia dari rahim ibu, pada waktu itu ia tidak mengetahui apa-apa. Allah telah memberikan
potensi pada setiap manusia berupa kemampuan untuk menggunakan inderanya, dan dengan alat

yang diberikan Allah kepada manusia inilah, manusia mulai dapat mengenal alam fisik di

lingkungannya, sebagai kelengkapan dari kedua indera, ini Allah juga telah pula memberikan
hati atau kadang disebut dengan budi (af-idah) atau sering disebut juga fu'ad.
Bila kita rangkum potensi manusia untuk memahami dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, adalah berupa :
1.

Indera eksternal, atau yang biasa dikenal dengan panca indera, dimana dengan indera ini
pengamatan dan ekperimen dapat dilakukan;

2. Intelektual, atau biasa disebuat dengan rasio (logika), dan tentunya yang tidak dikotori dengan
sifat-sifat buruk yang menguasai kehendak-kehendak dan khayalan-khayalan, serta bebas dari
peniruan buta (taqlid);
3.

Inspirasi, hal ini berada diluar dari kemampuan nalar manusia, karena datangnya atau
kehadirannya bisa begitu saja datang atau secara tiba-tiba saja terbesit di dalam benak kita (tanpa
proses pembelajaran).
Ketiga potensi yang ada pada manusia diatas, saling menunjang antara yang satu dengan

yang lain. Indera untuk mengamati atau observasi terhadap gejala-gejala alam, kemudian rasio
untuk berfikir tentang rahasia di balik fenomena alam yang beaneka ragam, dan imajinasi untuk
mengembangkan hasil- hasil penemuannya, dan dari hasil penemuan-penemuan yang
diperolehnya itu, selanjutnya diolah, diteliti lebih lanjut, dan yang kemudian diterapkan menjadi
teknologi seperti yang ada sekarang ini, salah satunya adalah apa yang sedang kita pergunakan
sa'at ini (internet).
Jadi jelaslah kiranya dari uraian-uraian diatas, bahwa Al-Qur'an memberikan peluang
kepada manusia untuk menggunakan pengamatan dan penalarannya untuk memahami dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.

Mansur Malik mengemukakan konsep penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an, sebagai
berikut[3] :
Pertama, Penalaran ilmiah dalam Al-Qur'an, ialah upaya untuk menarik pada suatu
kesimpulan, adakalanya melalui kerja-sama antara akal (rasio) dengan panca indera, atau hanya
dengan mempergunakan daya akal dengan cara menghubungkan pengertian-pengerti an yang
terkait dalam suatu hal.
Kedua, Alasan-alasan yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan ialah ;
1.

Alasan-alasan yang bersifat induktif, artinya dari fakta-fakta yang khusus ditarik pada

kesimpulan yang umum.

2. Alasan yang bersifat deduktif, yakni penafsiran kesimpulan berdasarkan ketentuan umum yang
telah diakui kebenarannya.
3. Al-Qur'an juga meng-isyaratkan diperlukannya penalaran yang bersifat analistis, yaitu penalaran
mengenai obyek pikir atas bagian untuk mengenal hakikat, sifat, atau peran masing-masing
bagian tersebut. Dengan kata lain, hakekat; menggambarkan esensi pokok keberadaan suatu
wujud: ciri, sifat dan fungsi dari wujud tersebut baik secara internal maupun wujud eksternal.[4]
Ketiga, disamping diperlukan penalaran kualitatif terhadap fenomena sosial, Al-Quran
meng-isyaratkan pula penalaran kuantitatif berkenaan dengan fenomena alam.
Keempat, Al-Qur'an menekankan perlunya dicapai kualitas tertinggi hasil berfikir yang
disebut dengan al-haqq (kebenaran), yakni dapat ditemukan atau dibuktikannya kebenaran suatu
informasi atau ajaran, teori atau hukum, maupun hikmah penciptaan dan pengaturan alam.
Kelima, Guna menguji suatu kebenaran, Al-Qur'an menyuruh melakukan verifikasi dan
dengan ilmu yang dimiliki, dan mendorong untuk membuat prediksi.

Keenam, Seiring dengan petunjuk-petunjuk bagaimana cara berfikir yang baik, Al-Quran juga mengingatkan kesalahan-kesalahan dalam berfikir, terutama kesalahan yang disebabkan
subyektifitas pemikir atau karena faktor penginderaan kita yang acapkali keliru atau terbatas
kemampuannya.
Untuk itu, patutlah kita menyadari betapa lemah dan terbatasnya potensi inderawi kita,

dan begitu pula halnya dengan rasio yang juga tidak mampu menangkap hal-hal diluar
jangkauannya, maka satu-satunya cara adalah dengan bantuan petunjuk Allah Ta'ala berupa
wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, wahyu memegang perananan penting,
manakala manusia biasa tidak lagi mampu mengungkap kebenaran melalui pengamatan maupun
penalaran, dikarenakan ada beberapa hal yang memang tidak mungkin indera atau rasio (logika)
dapat mengungkapkannya.
Oleh karena manusia biasa tidak bisa atau tidak dapat menerima wahyu sebagaimana para
Nabi dan Rasul, maka diturunkanlah Al-Qur'an melalui Rasulullah Muhammad s.a.w, sebagai
"wahana konsultatif" untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dengan keyakinan bahwa kebenaran Al-Qur'an adalah "mutlak", namun untuk mencapai
kebenaran tersebut manusia memerlukan upaya bukan hanya orang perorang, dan disamping itu
juga bilamana perlu, dengan menggunakan pendekatan "inter-disipliner" , artinya untuk
memecahkan persoalan hidup manusia baik masa kini maupun untuk masa yang akan datang,
terutama berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Coba perhatikan alasannya mengapa kita memerlukan juga pendekatan inter-disipliner? ,
ada isu menyesatkan perihal berkembangnya cerita bahwa dewasa ini, dunia kedokteran di Barat

dapat menghidupkan jenazah, juga tentang media elektronik yang telah berhasil menangkap
bayangan orang yang telah mati ratusan tahun yang lalu.[5]

Hal ini merupakan tugas manusia, terutama umat Islam yang telah merindukan kejayaan
kembali dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. sebagaimana yang telah pernah
dicapai pada zaman keemasannya, (lih. The Golden Age of Islam. pen)
Bila wahyu itu merupakan petunjuk langsung yang diberikan kepada para Nabi dan
Rasul-Nya, maka praktis para manusia biasa (termasuk ilmuwan), tidak mungkin mendapatkan
wahyu, tidak juga orang-orang yang mengaku telah memperoleh wahyu, seperti apa yang akhirakhir ini berkembang ditengah masyarakat kita yang jelas-jelas menyesatkan. Alasannya jelas
dan tegas, bahwa Allah ta'ala tidak mengutus Nabi atau Rasul-Nya lagi, setelah Rasulullah
Muhammad s.a.w, yang adalah penutup para Nabi.
Dengan demikian dapat kita simpulkan berdasarkan ayat-ayat yang telah kita singgung
diatas, bahwa wahyu memegang peranan penting dalam proses pengembangan ilmu
pengetahuan, terutama bila menghadapi persoalan yang belum dapat atau tidak bisa dipecahkan
oleh kemampuan indera maupun rasio. agar manusia tidak tersesat karena hanya mengandalkan
kemampuannya, maka wahyu merupakan penuntun ke jalan yang benar.
Untuk itu, orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan penghambat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah tidak benar!, dan menghadapi orangorang yang menyebarkan alasan itu, hendaklah kita sebagai umat Islam harus berhati-hati
menyikapinya, dan ironisnya isu tersebut justru di-hembuskan ditengah-tengah atau di-kalangan
para ilmuwan Muslim, yang jelas maksudnya agar para ilmuwan Muslim itu di-dalam melakukan
kajian ilmiahnya berlepas diri dari Al-Qur'an, yang sebenarnya justru melindunginya dari
kesesatan berpikir.


Atas dasar sekedar kenyatan tersebut diatas, maka ada beberapa saran yang semoga
bermanfaat :
1.

Sudah sa'atnya para ilmuwan menyadari sepenuhnya, bahwa betapapun hebatnya manusia
sehingga dapat menguasai alam ini. pada hakikatnya tetap adalah mahluk yang lemah yang
penuh denga keterbatasan, untuk itu dengan kemajuan yang diperoleh hendaknya tidak untuk
menyombongkan diri serta menjauhi Sang Maha Pencipta Seluruh Alam Semesta.

2.

Telah dikemukakan, bahwa Al-Qur'an bukanlah penghambat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, melainkan Al-Qur'an sebagai nara sumber yang dijadikan landasan
berpikir oleh ilmuwan muslim pada masa lalu. Karena itu, hendaknya mendapat perhatian yang
serius untuk dikaji kembali bukan hanya ayat-ayat tersurat saja, melainkan juga pada ayat yang
tersirat berupa fenomena alam dan isinya.
Demikian sekedar kajian kita dalam artikel kali ini, dan apabila ada yang salah itu pasti
datangnya dari saya, untuk itu saya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.

B. Bahasa ilmiah

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota
masyarakat untuk saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam
pengertian bahasa ilmiah yaitu : suatu susunan bahasa yang dipakai pengguna baik lisan maupun
tulisan dengan menggunakan istilah-istilah yang telah dibakukan.
1. Ciri-ciri Bahasa Ilmiah adalah sebagai berikut :
a) Bahasa Ilmiah harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar ataupun mendua.
b) Bahasa Ilmiah mendefinisikan secara tepat istilah, dan pengertian yang berkaitan dengan suatu
penelitian, agar tidak menimbulkan kerancuan.
c) Bahasa Ilmiah itu singkat, jelas dan efektif.

2. Ragam Bahasa Ilmiah :
a)

Cendekia, Bahasa yang cendekia mampu membentuk pernyataan yang tepat dan seksama,
sehingga gagasan yang disampaikan penulis dapat diterima secara tepat oleh pembaca.

b)

Lugas, Paparan bahasa yang lugas akan menghindari kesalah-pahaman dan kesalahan
menafsirkan isi kalimat dapat dihindarkan. Penulisan yang bernada sastra perlu dihindari.


c) Jelas, Gagasan akan mudah dipahami apabila (1) dituangkan dalam bahasa yang jelas dan (2)
hubungan antara gagasan yang satu dengan yang lain juga jelas. Kalimat yang tidak jelas,
umumnya akan muncul pada kalimat yang sangat panjang.
d) Formal, Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah bersifat formal. Tingkat keformalan
bahasa dalam tulisan ilmiah dapat dilihat pada lapis kosa kata, bentukan kata, dan kalimat.
Kalimat formal dalam tulisan ilmiah dicirikan oleh; (1) kelengkapan unsur wajib (subyek dan
predikat), (2) ketepatan penggunaan kata fungsi atau kata tugas, (3) kebernalaran isi, dan (4)
tampilan esei formal. Sebuah kalimat dalam tulisan ilmiah setidak-tidaknya memiliki subyek dan
predikat.
e)

Obyektif, Sifat obyektif tidak cukup dengan hanya menempatkan gagasan sebagai pangkal
tolak, tetapi juga diwujudkan dalam penggunaan kata.

f)

Konsisten, Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah, sekali digunakan sesuai dengan kaidah maka
untuk selanjutnya digunakan secara konsisten.


g)

Bertolak dari Gagasan, Bahasa ilmiah digunakan dengan orientasi gagasan. Pilihan kalimat
yang lebih cocok adalah kalimat pasif, sehingga kalimat aktif dengan penulis sebagai pelaku
perlu dihindari.

h)

Ringkas dan Padat, Ciri padat merujuk pada kandungan gagasan yang diungkapkan dengan
unsur-unsur bahasa. Karena itu, jika gagasan yang terungkap sudah memadai dengan unsur
bahasa yang terbatas tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
Secara praktis pengamatan ilmiah dan bahasa ilmiah adalah merupakan suatu himpunan
yang sangat baik, bisa kita lihat bahwa suatu pengamatan yang ilmiah jika disertai dengan
bahasa-bahasa yang ilmiah dapat menambah gairah dalam memahami secara mendalam apa yang
akan kita kemukakan, seperti halnya pemahaman tentang ilmu yang telah kita amati.
Dalam bidang keilmuan, suatu pengamatan yang dilakukan secara ilmiah dapat
menambah kelogisan suatu ilmu. Ditambah dengan beberapa bahasa ilmiah yang dibubuhkan,
akan menambah daya tarik tersendiri bagi seseorang untuk menekuni dunia keilmuan tersebut.

Muhammad Fuad, Abd. Al-Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfas Al-Qur'an AlKarim, (Dar Al-Fikr li al-Taba'ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, Beirut, 1980), hal.121-123

[1]

[2] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur'an (The Holy Qur'an and The
Science of Nature), Terjemahan Agoe Effendi, (Bandung : Mizan, 1991), hal.83
[3] Mansur Malik, Penalaran Ilmiah dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Disertasi, IAIN, 1989)

C.A. Qadir, (peny), Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Terjemahan Bosco Carvalo,
dkk, (Jakarta: Yayasan Obor, 1988), hal. vii
[5] DR. Imam Syafi'ie, Konsep Ilmu Pengetahuan Dalam Al-Qur'an, Ed.1, cet.1
(Yogyakarta: UII Press,2000), hal. 138-139
[4]