Media Massa dan Ruang Publik dalam Persp

MEDIA MASSA DAN RUANG PUBLIK
DALAM PERSPEKTIF KEKUASAAN FOUCAULDIAN
Joesana Tjahjani – Program Studi Prancis FIB UI

Latar Belakang Akademis Michel Foucault

Foucault lahir pada tanggal 15 Juni 1926 di kota Poitiers, Prancis. Masa studinya
dilalui dengan banyak tekanan psikologi. Meskipun demikian, sesungguhnya ia seorang
siswa yang cemerlang. Karir akademiknya dimulai pada dasawarsa 1960, tatkala ia
memegang posisi penting di beberapa universitas Prancis, khususnya pada saat terpilih
mengampu mata kuliah Sejarah Sistem Pemikiran di Collège de France yang prestigius.
Sejak tahun 1970an, Foucault sangat aktif dalam bidang politik. Ia mendirikan Groupe
d'information sur les prisons (Kelompok penebar informasi tentang penjara), dan buah

pikirannya sering sekali terkait dengan kaum yang terpinggirkan. Foucault juga sering
menjadi pengajar tamu di universitas di luar Prancis, khususnya di Amerika Serikat dan
di Universitas California di mana ia mengajar berkala setiap tahun. Filsuf besar ini
meninggal pada bulan kelahirannya tahun 1984 karena AIDS.
Sesungguhnya tidak mudah membayangkan Foucault sekedar sebagai seorang
filsuf. Selain di bidang filsafat, pendidikan akademis dan fokus pemikirannya lebih
banyak tertuang pada bidang psikologi, sejarah, kedokteran, dan ilmu-ilmu sosial. Pada

saat yang bersamaan, sastra dan politiklah yang menggugah hasratnya. Sementara itu,
hampir seluruh karya Foucault dapat dibaca sebagai karya filsafat yang memiliki 2 (dua)
sisi. Yang pertama mengusung kritik terhadap filsafat tradisional berdasarkan perilaku
historis baru; sedangkan sisi lain karya Foucault menjadi engagement (keterlibatan) kritis
dari sudut pandang filsuf tradisional.

1

Perspektif Baru tentang Kekuasaan dan Pengetahuan

Salah satu tesis Foucault yang menarik adalah mengenai hubungan antara
kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasaan, yang didefinisikan dengan sudut pandang yang
agak berbeda oleh Foucault, dimaknai tidak dalam istilah “kepemilikan” di mana
seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Konsep kekuasaan pada zaman feodal
bersifat agraris yaitu berhubungan dengan kepemilikan dan penguasaan tanah sebagai
sumber ekonomi, sedangkan pada abad XVI sampai abad XVIII, konsep kekuasaan
bersifat industrial dalam pabrik-pabrik. Hubungannya bersifat top-down atau atas-bawah,
represif, dan menindas untuk kepentingan penguasaan, terutama kapitalisme. Sampai saat
itu, kekuasaan dijalankan dalam rangka pengawasan. Pada masyarakat modern,
kekuasaan diwujudkan dalam bentuk kedaulautan, hukum, dan undang-undang melalui

penerapan disiplin demi membentuk stabilitas dan kohesi sosial. Dalam hal ini,
kekuasaan tidak dimiliki, melainkan dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana
terdapat sejumlah posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan lainnya. Fokus
perhatian Foucault bukan pada kekuasaan dalam konteks bernegara sebagai struktur
masyarakat tertinggi, karena menurutnya, strategi kekuasaan bersifat menyebar dan
merata dalam setiap relasi sosial. Di mana pun terdapat aturan, sistem regulasi, di mana
pun manusia mempunyai hubungan dengan yang lainnya dan dengan dunia, di situlah
kekuasaan bekerja.
Pemikiran Foucault tentang kekuasaan dengan perspektif baru ini kemudian
dilanjutkannya dengan dialektika kekuasaan dan pengetahuan. Bagi Foucault, kekuasaan
dan pengetahuan ibarat dua sisi dari satu mata uang. Di satu pihak, kekuasaan
terartikulasi melalui pengetahuan ; di lain pihak, pengetahuan selalu mempunyai efek
kekuasaan. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa;
pengetahuan itu sendiri inklusif di dalam jejaring relasi kuasa. Untuk memahami
kekuasaan, diperlukan analisis mengenai produksi pengetahuan yang melandasi
kekuasaan karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan melalui
pengetahuan dan wacana tertentu, yang pada gilirannya menghasilkan kebenaran. Oleh
Foucault, kebenaran tidak dipahami sebagai sesuatu yang jatuh dari langit, bukan juga
sebuah konsep yang abstrak. Kebenaran hadir karena diproduksi, dan setiap kekuasaan
2


berpretensi menghasilkan dan memproduksi kebenaran yang disebarkan melalui wacana
yang dibentuk oleh kekuasaan. Perlu dipahami bahwa Foucault tidak bermaksud
mengatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama
melalui normalisasi dan regulasi. Publik tidak dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat
wacana. Dalam hal ini, kekuasaan disalurkan melalui hubungan sosial, yang kemudian
memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku (baik-buruk) sebagai bentuk
pengendalian perilaku. Pada kategori perilaku yang buruk, pelaksanaan hukuman
terhadap pelanggaran diarahkan pada kesadaran, hasrat, dan kehendak individu. Dalam
strategi baru ini, kekuasaan tidak lagi menyentuh tubuh fisik, melainkan jiwa, pikiran,
kesadaran, dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di
dalam tubuh masyarakat. Dalam masyarakat modern kapitalis, pada dasarnya kehidupan
tidak diatur dan dikontrol melalui sebuah kekuasaan yang bersifat tunggal dan represif,
tetapi melalui sebuah mekanisme, aturan, dan serangkaian tata cara.
Mekanisme kontrol dan pembentukan individu yang patuh dan berdisiplin adalah
wujud kekuasaan yang ada di mana-mana (omniprésent). Kekuasaan beroperasi melalui
konstruksi berbagai pengetahuan dalam wacana tertentu. Foucault berpendapat bahwa
hubungan antara signifiant (penanda) dan signifié (petanda) tidak hanya bersifat
referensial, melainkan juga kreatif dan produktif. Wacana yang dihasilkan oleh hubungan
perlambangan ini tercipta melalui bahasa, moralitas, hukum, dan lain sebagainya, yang

tidak hanya merujuk pada sesuatu, tetapi menghasilkan perilaku, nilai, dan ideologi.
Foucault menyumbangkan satu perspektif yang sangat orisinal dalam membaca dan
memahami kekuasaan. Baginya, kekuasaan sesungguhnya tidak sesederhana seperti apa
yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial selama ini. Dalam pandangan Marx,
kekuasaan bersifat represif tatkala terwujud menjadi ideologi kelas, sedangkan Gramsci
mengembangkan kekuasaan dalam konsep “hegemoni” di mana dominasi berlangsung
tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan dari pihak
yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan
bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kolektif,
melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi.
Sebagai salah satu tokoh yang paling menonjol dalam jajaran filsuf pemikir kritis,
Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih
3

membaca realitas pada ukuran mikro. Pasien, orang gila, pelaku tindak kriminal,dan
komunitas mikro lainnya adalah « tokoh-tokoh » yang dipilih Foucault dengan sepenuh
kesadaran untuk merepresentasikan pemikirannya, termasuk latar rumah sakit, penjara,
barak tentara, dan pabrik-pabrik. Pandangan dialektik Foucault tentang kekuasaan dan
pengetahuan membawa pemahaman pada pembongkaran kolaborasi antara kedua hal
tersebut. Dalam konteks aktual masyarakat Indonesia, pemikiran Foucault dapat

dimanfaatkan untuk membaca ruang publik kita saat ini.

Ruang Publik: Dialektika Kekuasaan dan Pengetahuan

Jürgen Habermas, dalam bukunya The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1989), menyebutkan bahwa

sejarah berdirinya ruang publik tak lepas dari peran dan inisiatif kelompok borjuis
sebagai kaum pemilik modal. Dalam hal ini, ruang publik menjadi ajang dan wahana
intersubjektif yang membentuk opini publik. Selanjutnya, opini publik ini berperan dalam
pengambilan keputusan pada tingkat struktural tertinggi atau negara. Namun, ruang
publik telah mengalami perubahan struktur seiring bangkitnya kapitalisme. Peran
penguasa ekonomi dalam dinamika ruang publik semakin kuat. Media massa, khususnya
televisi, sebagai ruang publik, telah berubah menjadi institusi bisnis besar-besaran.
Kebutuhan akan biaya produksi yang sangat besar telah mengubah televisi menjadi ruang
konsumsi massa yang dikendalikan oleh para pemilik modal.
Pertanyaan yang dapat dilontarkan adalah apa yang tersuguh di televisi kita? Dan
seberapa jauh tayangan di televisi-televisi kita menciptakan wacana kebenaran (menurut
istilah Foucault) untuk selanjutnya membentuk kearifan publik? Mudah untuk menjawab
pertanyaan pertama, tidak demikian halnya untuk pertanyaan kedua. Stasiun televisistasiun televisi kita seakan-akan berlomba memperlihatkan siapa yang terdepan, tidak

dengan menyajikan tayangan bermutu yang mencerdaskan dan mencerahkan wawasan
pemirsanya, namun dengan membalikkan fungsi ruang publik dengan hanya
membicarakan urusan pribadi orang-orang terkenal.
Para selebriti yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah pekerja seni,
khususnya para artis. Yang disajikan di layar kaca kita adalah mulai dari kelahiran cucu
4

pertama Roy Marten, sampai sang kakek yang harus berada di balik jeruji besi karena
keterlibatannya dengan narkoba, hubungan jarak jauh Aca dan Irwansyah yang terancam
putus, proses gugat cerai Maia terhadap Ahmad Dhani, sang suami yang
mengatasnamakan agama untuk mengepalai rumah tangganya, kisah rujuk penyanyi
dangdut Kristina, serta liputan spesial menyusul berita wafatnya komedian Taufik
Savalas dan Basuki. Sebaliknya, berita duka yang mengabarkan kepergian salah seorang
tokoh demokrat besar di negeri ini, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof.
Dr. Fuad Hassan, hanya mendapat porsi kecil dalam pemberitaan di televisi. Tokoh-tokoh
politik atau yang dekat dengan kehidupan politik yang ditampilkan tidak lepas dari ruang
lingkup infotainment, misalnya skandal seks seorang anggota DPR dengan penyanyi
dangdut Maria Eva, atau kelahiran anak Mayangsari dari hasil hubungannya dengan anak
mantan Presiden Soeharto. Mungkin benar apa yang pernah dikemukakan oleh Veven SP
Wardhana dalam Kompas, infotainment di Indonesia lebih dimaknai sebagai informasi

tentang dunia hiburan daripada informasi yang dikemas dalam format hiburan.

Pembahasan tentang urusan pribadi para selebriti dalam televisi yang merupakan ruang
publik telah menjadi suatu habitus baru, karena masyarakat dibiasakan menerima
informasi yang sesungguhnya tidak menyentuh kehidupan pribadi mereka sendiri.
Selain tayangan kehidupan pribadi para artis, porsi besar lainnya dalam program
di stasiun televisi kita adalah sinetron yang ditujukan bagi pemirsa muda usia. Pada
umumnya, tema sentral sinetron-sinetron, yang ada di sebagian besar stasiun televisi,
adalah kisah percintaan kaum remaja atau perjuangan kaum tertindas dalam menghadapi
kesewenangan kalangan berpunya. Ironisnya, tokoh-tokoh yang dipilih untuk
memerankan kaum tertindas biasanya adalah para bintang muda yang sesungguhnya
mewakili dunia gemerlap. Dapat dibayangkan intensitas dan efektivitas empati yang
tumbuh dalam diri pemirsa muda belia tersebut.
Program televisi seharusnya menjadi ajang komunikasi antara produsen teks
budaya (khususnya pemilik modal dan seniman) dan khalayak masyarakat sebagai
pembaca teks. Komunikasi itu semestinya terjalin melalui negosiasi pembacaan tanda
untuk mencapai kesepakatan dan kesepahaman budaya, mengingat dalam sebuah sirkuit
kebudayaan, tidak hanya terdapat aspek produksi dan konsumsi, tetapi juga berbagai
aspek lain seperti distribusi, regulasi, representasi dan pembentukan identitas yang saling
5


terkait erat. Apabila Foucault berpendapat bahwa hubungan antara simbol dan yang
disimbolkan tidak hanya bersifat referensial, melainkan juga kreatif dan produktif, dan
bahwa wacana yang dihasilkan oleh hubungan perlambangan ini tidak hanya merujuk
pada sesuatu, tetapi menghasilkan perilaku, nilai, dan ideologi, pertanyaannya adalah
perilaku, nilai, dan ideologi seperti apa yang dapat dihasilkan dari struktur dominan kaum
pemilik modal yang berada di balik simbol-simbol budaya pertelevisian kita. Kalangan
intelektual bisa saja mengeritik keras program-program di televisi seraya mengecam
ketidakpedulian kaum pemilik modal untuk berpartisipasi aktif mencerdaskan kehidupan
bangsa, namun para konglomerat ini berkilah bahwa program-program di televisi dipilih
menurut selera pasar. Siapa mendominasi siapa? Mungkin inilah realitas postmodern
yang dimaksud oleh Baudrillard tempat kebudayaan uang memiliki peran yang sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan postmodern, menurut filsuf Prancis
itu, lebih mengutamakan medium dari pada pesan, fiksi dari pada fakta, serta estetika dari
pada etika. Dan sebagai konsekuensi logisnya, citra dan fakta terbangun dalam sifat
hiperrealitas sehingga realitas semu mengalahkan realitas yang sesungguhnya.
Pada titik inilah, semestinya para intelektual Cultural Studies berperan melakukan
evaluasi moral atas masyarakat modern di negara kita, khususnya refleksi kritis terhadap
tayangan-tayangan di televisi. Sebagai media massa (atau ruang publik) yang masuk
secara intim ke ruang pribadi pemirsa, dapat dibayangkan kekuasaan televisi dalam

membentuk tatanan nilai dan ideologi pada diri masyarakat luas. Jika yang tersaji terusmenerus adalah realitas semu, dengan dunia gemerlap kaum selebriti, bagaimana kearifan
publik dapat ditumbuhkan dalam memandang dan menyikapi realitas hidup yang
sesungguhnya. Jumlah jari tangan kita masih lebih banyak dari keseluruhan jumlah
tayangan di televisi Indonesia yang berkualitas, atau yang mengajarkan atau
menumbuhkan sikap kritis pada diri pemirsanya.
Jika merujuk pada konsep Foucault tentang dialektika kekuasaan dan
pengetahuan, apa yang dapat disimpulkan dari keberadaan televisi Indonesia saat ini?
Televisi pada saat ini memang tidak lagi dimanfaatkan sebagai penyampai ideologi dari
struktur masyarakat tertinggi atau konteks kenegaraan seperti yang terjadi pada zaman
Orde Baru, namun, meski dalam konteks kebebasan reformasi saat ini sekali pun, televisi
kita sesungguhnya tidak menawarkan ideologi alternatif yang berperan serta
6

mencerdaskan

masyarakat

dan

kehidupan


berbangsa.

Alih-alih

menyuarakan

permasalahan yang dialami kaum tertindas agar mendapat perhatian dan empati publik,
para penguasa ekonomi di negara ini memperlihatkan kekuasaannya atas pilihan tayangan
televisi justru dengan memanfaatkan pengetahuan bahwa mimpi dan realitas semu, di
mana substansi dikalahkan oleh sensasi, adalah hiburan yang dianggap paling pantas
diberikan.
Selain televisi yang dapat dijadikan salah satu contoh untuk membahas masalah
ruang publik di tanah air, ruang publik lain yang dapat diulas berkaitan dengan masalah
agama. Di Indonesia, dengan Islam sebagai agama mayoritas, kehadiran agama di ruang
publik dapat diartikulasikan sebagai kewajiban menegakkan hukum dan syariat Islam.
Kebebasan ruang publik pasca Orde Baru dimanfaatkan terutama oleh kelompokkelompok Islam garis keras untuk mendominasi ruang publik. Berbeda dari zaman Orde
Baru tatkala kebebasan ruang publik sangat dibatasi oleh negara, termasuk kebebasan
menyuarakan kepentingan agama mayoritas sekali pun sehingga yang terbentuk adalah
wacana Islam Indonesia, pada era reformasi saat ini, wacana Islam sebagai ideologi

alternatiflah yang mengemuka. Atas nama rambu-rambu SARA, pemerintah Orde Baru
telah berhasil menghalangi penelusupan posisi dominan Islam di ruang publik kita.
Sementara itu, saat ini, atas nama demokrasi, kelompok-kelompok Islam berhaluan garis
keras memperlihatkan posisi dominan dalam penguasaan ruang publik, mulai dari media
massa sampai pranata politik.
Sesuai dengan pandangan Foucault bahwa kekuasaan diwujudkan dalam bentuk
kedaulautan,

hukum,

dan

undang-undang

melalui

penerapan

disiplin,

RUU

Antipornografi dan Antipornoaksi, misalnya, diajukan dalam rangka membentuk
stabilitas dan kohesi sosial. Foucault juga mengatakan bahwa mekanisme kontrol dan
pembentukan individu yang patuh dan berdisiplin adalah wujud kekuasaan yang ada di
mana-mana (omniprésent). Hal itu dapat dilihat contohnya melalui peran siar agama yang
dikumandangkan melalui suara menara mesjid yang membahana di setiap pelosok kota.
Uniknya, suara dari menara mesjid ini mampu menyaingi bahkan mengalahkan teknologi.
Jika pada hari-hari biasa, undangan untuk menghadiri pengajian majelis taklim atau berita
duka disampaikan lewat suara dari menara mesjid itu, pada bulan Ramadhan, pengeras
suara dari rumah suci ini dimanfaatkan tidak hanya untuk membangunkan orang (baik
7

muslim maupun non-muslim) untuk bersantap sahur, tetapi juga untuk membuat pemilik
warung membuka warungnya demi kepentingan umat.
Toleransi beragama di negeri ini dimaknai dengan fokus pada agama mayoritas.
Pemeluk agama minoritas, bahkan pemeluk agama mayoritas yang tidak sepaham atau
yang tidak menyetujui cara-cara penguasaan ruang publik yang dilakukan, harus
menerima normalisasi dan regulasi yang ditentukan. Dalam hal ini, seperti kata Foucault,
kekuasaan disalurkan melalui institusi keagamaan (mesjid) yang membentuk hubungan
sosial, dan selanjutnya memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku. Masyarakat
digiring untuk menjalankan, tanpa protes, apa yang disiarkan oleh menara mesjid. Dan
jika mereka tidak melakukannya, tekanan sosial akan bertindak sebagai pelaksana
hukuman. Begitu pula dalam hal pelanggaran norma susila misalnya, hanya sedikit kasus
yang menerapkan pelaksanaan hukuman fisik, sebagian besar diarahkan pada, sekali lagi,
tekanan sosial untuk menyentuh kesadaran, hasrat, dan kehendak individu.
Seharusnya sebagaimana yang diidealkan sendiri oleh Jurgen Habermas, ruang
publik yang berada di luar kontrol negara mampu memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi politik yang egaliter dan toleran.
Dengan keterbukaan dan egalitarianisme ruang publik ini, masyarakat dapat berdiskusi
dan berdebat mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama.
Pada kenyataannya, seperti yang telah diuraikan, diskusi dan debat dilakukan tidak dalam
suasana keterbukaan dan egalitarian. Ruang publik, khususnya yang berkaitan dengan
kehidupan beragama, menyiratkan pola hubungan sosial seperti yang termaktub dalam
konsep dialektika kekuasaan Foucault. Jika terus-menerus diterapkan seperti ini, yang
tersimpan dalam benak masyarakat adalah dikotomi baik-buruk, benar-salah, suci-sesat,
yang pada gilirannya akan menumbuhkan sikap dan perilaku manichéen, yakni hanya
melihat dari hitam-putih sesuatu saja. Pertanyaannya kemudian adalah apa relevansi dari
interaksi ruang publik dan memori kolektif.
Memori kolektif kerap kali dibentuk oleh ruang publik. Memori merupakan
pengalaman masa lalu yang melekat (tentu ada yang tidak melekat) dan aktif di benak
kita sehingga ia membentuk kita. Hubungan kita dengan memori itu juga sering
tergantung pada kemampuan kita untuk mengumpulkan pengalaman sebelumnya,
sedangkan kemampuan untuk mengingatnya sering tergantung pada kekuatan lingkungan
8

di mana kita berada. Memori seseorang hanya akan menjadi bagian dari memori kolektif
bila ia mampu membawa atau mentransformasi memori pribadi ke memori kolektif.
Ruang publik berperan dalam merajut memori kolektif, meskipun ia juga sangat berperan
dalam proses pelupaan (atau pengabaian) kolektif.
Dalam hal ini, kita perlu merujuk Maurice Halbwachs yang mengembangkan
konsep memori kolektif. Filsuf dan sosiolog Prancis itu menekankan betapa kuatnya
pengaruh memori kolektif pada pembentukan identitas individu dan komunitas mulai dari
keluarga, penganut agama atau paham kepercayaan, dan kelas sosial. Memori ini tidak
tersimpan secara pasif dalam benak masyarakat, namun tumbuh secara dinamis melalui
konteks keseharian, khsususnya melalui apa yang ada dalam ruang publik. Dengan
mengingat bahwa ruang publik bisa dibaca sebagai teks yang berfungsi untuk
mengkonstruksi makna dan nilai, penting kiranya untuk selalu bersikap kritis membaca
ruang publik kita sendiri.

Penutup

Ruang publik dalam masyarakat Indonesia saat ini, melalui contoh kasus televisi
dan opini kelompok agama mayoritas dalam tulisan ini, memperlihatkan fungsinya
sebagai suatu medium melalui cara-cara kelompok dominan mempersuasi dan
mengkomunikasikan produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki sehingga
tampak seperti suatu wacana yang absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan,
dalam hal ini konglomerat pertelevisian dan pemuka agama, akan efektif berdasarkan
pada kenyataan bahwa anggota masyarakat menerima konsep, opini, dan pandangan
kelompok dominan ini serta menerimanya sebagai kebenaran dan kewajaran, atau
fenomena munculnya kesadaran palsu.
Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, ruang publik semestinya
mampu menjadi ajang diskusi masyarakat untuk mengembangkan budaya partisipasi
politik yang egaliter dan toleran. Ruang publik seharusnya menjadi arena penyemaian
makna sekaligus pertarungan makna yang kemudian diharapkan menjadi memori
kolektif. Pada kenyataannya, ruang publik yang ada saat ini malah melahirkan manusia
modern tanpa daya, karena telah kehilangan kebebasan dan sifat individualitasnya, akibat
9

mengonsumsi dan mengadopsi kepribadian yang ditawarkan oleh pola-pola budaya dalam
ruang publik. Masyarakat Indonesia masa kini tergantung pada otoritas anonim di mana
diri pribadi digantikan oleh kedirian sosial yang harus diperankan.

10

RUJUKAN KEPUSTAKAAN
Geertz, Clifford. ”Blurred Genres: The Refiguration of Social Thought” dalam Critical
Theories since 1945. The American Scholar , vol. 49 no. 2: 1980, hal. 165-179.

Foucault, Michèl. Histoire de la sexualité, Vol. 1: La volonté de savoir , Paris: Gallimard,
1976.
Hall, Stuart et al. 1996. Culture, Media, Language. London-New York: Routledge.
Hobsbawm, Eric. ”Introduction: Inventing Tradition” dalam The Invention of Tradition,
2-14.
Kusno, Abidin. ”Ruang Publik dan Tipologi Memori Kita”, Simposium FIB UI, 10
Agustus 2007.

11