TINJAUAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISL

MATA KULIAH PENGANTAR USHUL FIQIH
TUGAS MAKALAH
TINJAUAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Dosen : H.M. Imamudddin, Lc. MA

Penyusun
Muhammad Said Hannaf

145020501111025

Muhammad Fikri

145020501111033

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNVERSITAS BRAWIJAYA
2015

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI

i

KATA PENGANTAR

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1

1.2 Rumusan Masalah

3

1.3 Tujuan Masalah


3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Hukum dan Hadist

4

2.2 Perbedaan Penyebutan Sunnah, Hadist, Khabar dan Atsar

11

2.3 Klasifikasi Hadis

12

2.4 Latar belakang munculnya kodifikasi Hadist

16

2.5 Urgensi kodifikasi hadist sebagai sumber hukum Islam


23

2.6 Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam

23

BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

25
26

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah yang Tuhan yang Maha Kuasa, karena
berkat pertolongan melalui doa kepada-Nya serta usaha kita dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul Tinjauan Hadist sebagi sumber hukum Islam yang membahas
tentang kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam makalah ini dibuat dengan
tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pengantar Ushul Fiqih.
Makalah Ini membahas kedudukan hadis sebagai dasar hukum Islam serta
berkaitan denganperan dan fungsi hadist serta kodifikasi hadist. Kemudian hal yang
terpenting adalah pemahaman muslim dalam melakukan istinbath penggalian hukum
yang menghasilkan produk hukum yang bersumber dari hadist.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Imamuddin selaku dosen pembimbing
mata kuliah Pengantar Ushul Fiqih, kemudian pihak-pihak yang telah berperan
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini membutuhkan saran dan kritik yang
membangun untuk meningkatkan kualitas makalah ini. Akhir kata Semoga makalah
yang kami buat dapat bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 2 Maret 2015

ii

Tinjauan Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam
1. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tinjauan hadist sebagai sumber hukum Islam adalah mengungkap pentingnya hadist
sebagai sumber hukum islam dan perkembangan hadist dalam kodifikasi karena hal tersebut
memengaruhi kesempurnaan hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Dengan
anugerah yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kemuliaan kepada Nabi
Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta menjadikannya
sebagai rosul terakhir umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ajaran Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, serta memperbaiki akhlak.
Ilmu Ushul Fiqh tidak dapat terlepas dari sunnah karena sumber pedoman dan
penyelesaian masalah yang berkaitan dengan syariat Islam diperjelas dalam sunnah Rosululloh
Salallahu Alaihi Wasallam. Berdasarkan sabda Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam.

‫ه سنة رسوْ له‬

‫ كت‬: ‫تر ْكت فيْك ْم أ ْمريْن ل ْن تضلوْ ا م تمس ْكت ْم ب م‬

artinya, “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, dimana kalian tidak akan tersesat selagi
memegang teguh keduanya yaitu kitabulloh dan sunnah nabi-Nya” (HR. Muslim)1.
Berdasarkan pernyataan hadist tersebut, pedoman hidup seorang muslim tidak dapat
dilepaskan dari sunnah Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam. Lebih lanjut dalam al Quran

surah An Nisa ayat 802

             
80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka

Mengandung pemahaman bahwa seorang muslim dilarang untuk mengingkari segala
yang bersumber dari Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam setiap muslim sangatlah penting
mempelajari hadist setelah mempelajari kitab suci al Quran. Kemudian dengan pengetahuan
atas hadist dapat memberi kita pemahaman mendasar atas pentingnya peran ushul fiqh
1

(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh
Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
1

tersebut menysumullkan khazanah fiqh setiap muslim. Dengan demikian seorang muslim dapat
memahami Islam lebih baik.
Lebih lanjut berbagai tantangan memengaruhi pemikiran sebagian umat islam, dan
dinamika hadist sebagai dasar hukum Islam. Berbagai tantangan yang muncul adalah paham

ingkar sunnah serta kemunculan orang-orang yang mengkafirkan sesama muslim yang
menggunakan dalil sunnah yang dhaif sebagai landasan berpikir. Tentunya hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor pembelajaran dan pemahaman setiap individu terhadap dalil hadist
tersebut. Proses perbaikan adalah langkah utama yang tepat dilakukan. Karena masyarakat
muslim harus senantiasa memurnikan ajarannya..
Sejak zaman Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam proses pendidikan dalam keilmuan
hadits pun sesungguhnya telah ada, jadi ilmu ushul fiqh bukanlah ilmu Islam yang kontemporer.
Kemudian urgensi mempelajari ushul fiqh yang harus diperhatikan oleh seorang muslim jika
ingin menyampaikan sebuah dalil yang bersumber dari sunnah Rosululloh Salallahu Alaihi
Wasallam.

Dan ia merupakan atsar yang masyhur dari Rosululloh sallallahu 'alaihi
wasallam,"Barangsiapa menceritakan hadits dariku, yang mana riwayat itu diduga adalah
kebohongan,maka dia (perawi) adalah salah satu dari para pembohong tersebut." Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki'
dari Syu'bah dari al Hakam dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Samurah bin Jundab. (dalam
riwayat lain disebutkan) dan juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah
telah menceritakan kepada kami Waki' dari Syu'bah dan Sufyan dari Habib dari Maimun bin Abu
Syabib dari al-Mughirah bin Syu'bah keduanya berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda tentang hal tersebut."3


3

Shahih Muslim.

. Da’wahrights. Hal

2

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Ghundar dari Syu'bah (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari
Manshur dari Rib'i bin Hirasy bahwasanya dia mendengar Ali berkhuthbah, dia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian berdusta atas namaku,
karena siapa yang berdusta atas namaku niscaya dia masuk neraka." 4
Kemudian hadist Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam tersebut mengalami periodisasi
yang memengaruhi kesempurnaannya sebagai sumber hukum Islam. Hadist Rosululloh
Salallahu Alaihi Wasallam mengalami beberapa fase sebelum kodifikasi seperti sekarang ini.
Hadist menjadi bagian sangat penting dalam melengkapi sumber hukum Islam yang memiliki

sejarah kodifikasi maka penting membahas hal yang berkaitan sejarah singkat hadist.
Kemudian pembelajaran terhadap hadis ini perlu dilakukan dengan benar pula terhadap al
Quran karena keduanya merupakan sumber pedoman hukum Islam yang saling terkait dan
tidak dapat dipisah.
1.1.

Rumusan Masalah

1. Definisi hadist dan pengaruhnya terhadap pendapat ulama
2. Klasifikasi hadist dan kodifikasi hadist
3. Seberapa penting kodifikasi hadist memengaruhi perkembangan hadist sebagai sumber
hukum Islam.
4. Bagaimana kedudukan hadist sebagai sumber utama hukum Islam setelah al Quran
5. Bagaimana hubungan hadist sebagai sumber hukum dengan al Quran
1.2.

Tujuan Makalah

1. Dapat memahami pentingnya hadist sebagai sumber hukum Islam
2. Mengetahui kedudukan hadist yang fundamental sebagai hukum Islam

3. Mengetahui perbedaan makna hadist dalam perbedaan definisi
4. Dapat membangun pemikiran mendasar syummul islam melalui hadist.
4

Ibid

3

2. PEMBAHASAN
2.1. Definisi Hukum dan Hadist
1. Definisi Hukum
Sebelum membahas mengenai definisi hadist, definisi hukum harus dipahami terlebih
dahulu karena pada pembahasan lebih lanjut hadist menjadi sumber penggalian hukum
(istinbath). Bagaimana hadist sebagai sumber hukum menjadi produk fiqh yang telah melalui
analisis yang tepat. Lebih lanjut proses istinbath tersebut memiliki kaidah kaidah yang telah
ditetapkan oleh para ulama salaf, tentunya hadist sebagai sumber hukum perlu dipahami
dengan benar.
Selanjutnya mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:

Artinya, “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan oran dewasa dan berakal sehat, baik bersifat

imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sesuai sebab, syarat dan penghalang”.5

“Khithab Allah” dalam definisi di atas adalah kalam Allah atau titah Allah yang melekat
dalam dirinya, bersifat azali; tidak ada awalnya. Kemudian yang dimaksud dengan yang
menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang
berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan serta ucapan, seperti gibah
(menggunjing) dan namimah (mengadu-domba) 6
Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha’) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu,
baik tuntuan itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud takhyir (fakultatif)
adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi
yang sama. Sementara yang dimaksud wadh’i (mendudukkan sesuautu) adalah memposisikan
sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.
Definisi hukum di atas merupakan definisi hukum sebagai kaidah, yakni patokan perilaku
manusia.7
Definisi hukum tersebut membantu menjelaskan fungsi hadis sebagai sumber hukum
Islam. Mayoritas ulama ushul fiqh berkata bahwa hukum berkaitan dengan tindakan-tindakan

5

Ushul Fiqh, Andewi Suhartini, Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam, 2012.
Ibid
7
Ibid
6

4

orang-orang mukallaf yang mengandung perintah mengerjakan atau menjalani, membolehkan
atau menajdikan sesuatu sebagai adanya yang lain.

2. Definisi hadis sebagai sumber hukum Islam
Hadis sebagai sumber hukum Islam yang fundamental memiliki keterkaitan makna dengan
definisinya. Didalam al Quran, terdapat 23 kali penggunaan kata hadis dalam bentuk mufrad
atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak. 8 Dalam pengertiannya secara etimologis diatas,
karena keabsahannya, hadis menjadi sangat tinggi sebagai sumber hukum Islam setelah al
Quran. hal berikut dapat dilihat dalam beberapa contoh yang tercantum dalam al Quran QS
6:68, QS 20:9, QS 39:23, QS 66:3. QS 68:44.

   

         
 
 
 
   
  
 
  
 
   
 
  
       
  
  
 
   
      
        
68. dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka
sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan
ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).

 
 
  
 
 
 
   
 
 
9. Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?

 

   
 
   
  
    

 
  
 
     
      
 
  
    
  
      
 
    
 
 
  
   
 
                    
23. Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)
lagi berulang-ulang

 
    
 
  
 
  
 
  
  
  
 
 
    
   
 
 
      
 
8

Jurnal AL-FIKR Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010, Kedudukan dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
5

44. Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini
(Al Quran). nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak
mereka ketahui,

Sejumlah ulama membedakan definisi hadist, sunnah, khabar dan atsar serta terjadi
perbedaan definisi ketiganya menurut ulama hadis, ulama ushul dan ulama fiqh. Secara
terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits.
Kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak
berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :
"Segala perkataan Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, perbuatan, dan hal ihwalnya". 9
Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan
tentang Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya".10
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :
"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam. baik berupa
perkataan, perbuatan,taqrir, maupun sifatnya".11
Dari ketiga pengertian tersebut, terdapat kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam
mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, baik perkataan maupun
perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan
definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen
hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara
eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya
secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :

"Segala perkataan Nabi Salallahu Alaihi Wasallam yang dapat dijadikan dalil untuk
penetapan hukum syara'".12

9

Hujair AH. Sanaky, Hadist Pada Masa Nabi. Makalah UII Yogyakarta 1999.

10

Ibid
11 Studi Perbandingan Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag. Pustaka Pelajar. hal 91
12 Hujair AH. Sanaky, Hadist Pada Masa Nabi. Makalah UII Yogyakarta 1999.

6

Berdasarkan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan
yaitu ;
"Memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasululloh,
tanpa menyinggung-nyinggung perilaku dan ucapan sahabat atau tabi'in”.
Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup
segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, baik
berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya
menyangkut aspek perkataan nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum
syara'.
Kemudian definisi sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau
yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa
(lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan,
dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Pengertian khabar selain istilah hadits dan sunnah, terdapat istilah khabar dan atsar.
khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu
dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata khabar sama artinya dengan
hadits.
Artinya: “Hampir-hampir akan ada seseorang di antara kamu yang akan berkata, “Ini Kitab
Allah. Apa yang halal di dalamnya kami halalkan. Dan apa yang haram di dalamnya kami
haramkan. “Ketahuilah, barang siapa sampai kepadanya suatu ‘khabar’ dari aku, ‘lalu ia
dustakan berarti ia telah mendustakan tiga orang’ dia mendustakan Allah, mendustakan RasulNya, dan mendustakan orang yang menyampaikan berita itu” (HR. Ahmad dan Ad- Darimi).13
Pengertian Sunnah terbagi atas tiga displin ilmu pertama Pengertian sunah secara
terminologi bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqih, dan ilmu ushul fiqih.
Menurut ulama ahli hadis, sunah identik dengan hadis,yaitu semua yang disandarkan kepada
Nabi Muhamad Salallahu Alaihi Wasallam., baik perkataan, perbuatan,ataupun ketetapannya
sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau sesudah menjadi Rasul.
Menurut ulama ushul fiqih, sunah diartikan :
Artinya: “Semua yang lahir dari Nabi , selain Al-Quran, baik berupa perkataan, perbuatan,
ataupun pengakuan.”14

13
14

Ushul Fiqh, Andewi Suhartini, Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam, 2012.
Ibid hal. 7

7

Jelasnya, setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Salallahu Alaihi Wasallam.,
yang berkaitan dengan hukum dinamakan hadist. Adapun sunah menurut para ahli fiqih, di
samping mempunyai arti seperti yang dikemukakan para ulama ushul fiqih, juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pengertian, “Perbuatan yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.”

15

Dari beberapa pengertian

di atas, tampak bahwa sunnah/hadis menurut ulama ahli hadis itu mempunyai pengertian lebih
luas daripada menurut ulama ahli ushul. Ulama ahli hadis memandang bahwa semua yang
datang dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, (perkataan, perbuatan, dan taqrir) baik yang
berkaitan dengan hukum atau tidak. Sedangkan menurut ulama ahli ushul hanya terbatas pada
sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Di luar hukum bukan dinamakan hadis, seperti cara
berpakaian, cara makan, dan sebagainya
Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima
oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga di kalangan
Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komunitas
muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah.
Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan
oleh umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu
mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti membawa
jaminan teologis. Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat
yang secara tegas memerintahkan umat islam unuk taat kepada Allah dan juga kepada RasulNya, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:

‫ومااتكم الرسول فخذوه وما نھاكم عنھ فأنتھوا‬
Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah.
Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah dan
larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang orang yang beriman. Dengan
demikian ayat ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena itu
kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis logis dari keimanan seseorang.
Dalam surat al-Nisa’ ayat 80 juga dikemukakan :

             
15

AL-FIKR

Volume 332 14 Nomor 3 Tahun 2010 hal 332

8

80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka

Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan
salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepad Allah. Hanya saja perlu dipertegas bahwa
indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati dan
larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam kapasitasnya
sebagai Rasulullah.
Pada ayat lain, bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi panutan yang baik bagi
umat islam seperti dalam surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan :

                 
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi orangorang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka cara
meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak sezaman
dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan mempelajari, memahami dam
mengikuti berabgai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadisnya. Dari petunjuk ayat-ayat
diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan sumber ajaran Islam di samping alQur’an.
Orang yang menolak hadis sebagi sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya
menolak al-Qur’an. Walaupun demikian, tetap saja ada orang yang menolak hadis sebagi
sumber ajaran Islam baik di kalangan orang Islam maupun orientalis. Mereka umumnya
memahami bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an
tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk beliau di luar al-Qur’an. Namun demikian
ada juga orientalis yang menolak pandangan semacam itu, misalnya DS. Margoliout. Ia
berpendapat bahwa bagaimanapun juga dalam al-Qur’an Nabi selalu disebut bergandengan
dengan Tuhan.
Hal demikian, hanya menunjuk pada konteks al-Qur’an sendiri bahwa otoritas Tuhan dan
otoritas Nabi Muhammad sebagi instrumen kemanuisaan bagi wahyu Ilahiah sehingga tidak
dapat dibedakan satu sama lain dan hanya ada al-Qur’an sebagi satu-satunya rujukan. Pada
9

titik ini dapat dimengerti bahwa Muhammad tidak memiliki sunnah ekstra Qur’anik yang dapat
direkam dalam hadis. Penolakan otoritas hadis Nabi bukan hanya berkembang pada tradisi
kesarjanan barat tetapi juga berkembang dalm kesarjanaan Islam. Terdapat sejumlah ulama
dan intelaktual islam yang hanya menerima otoritas Al-Qur’an seraya menolak otoritas hadfis
Nabi sebagi sumber ajaran Islam. Mereka ini lebih dikenal sebagi inkar sunnah. Cukup banyak
argumen yang mereka kedepankan untuk menolak otoritas hadis. Selain mengajukan argumen
aqli dan naqli mereka juga mengemukakan argumen-argmen historis serta argumen lainnya.
Argumen yang bersifat naqliyah misalnya mereka mengemukakan alQur’an surat al-Nahl ayat
89 dan al-An’am ayat 38:

                 
        
89. (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan
Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al
Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.

Tentunya berdasarkan ayat al Quran yang menjelaskan tentang kewajiban seorang
muslim untuk taat kepada Alloh, Rosul serta Ulil Amri merupakan ciri-ciri yang menjelaskan
kelemahan argumentasi kaum ingkar sunnah. Kalangan ulama ada yang membedakan hadis
dari sunnah, terutama karena memang kedua kata itu secara etimologis memang berbeda.
Kata hadist lebih banyak mengarah kepada ucapan Nabi; sedang sunnah lebih banyak
mengarah kepada tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi dalam beragama. Namun
demikian, semua ahlu sunnah sepakat bahwa kedua kata itu hanya merujuk kepada dan
berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. 16

. Dalam jurnal AL-FIKR Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010.

16

10

2.2. Perbedaan penyebutan Sunnah, Hadist, Khabar, dan Atsar.
Perbedaan hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar dari keempat istilah yaitu
Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk
maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu
pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir
dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits
Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih. Tetapi
berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar terdapat sedikit
perbedaan yang perlu diperhatikan menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits
maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari
penjelasan ulama yang telah dibahas.
Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber
dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi
Salallahu Alaihi Wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau
perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
b. Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu
yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi Salallahu Alaihi Wasallam., Hadits sebagai
sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam. Tetapi ada
ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar
merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, maupun dari
yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi Salallahu Alaihi
Wasallam. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada
yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".
c.

Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan

khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam., sahabat dan tabi'in. "Az
Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf.
Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul Salallahu Alaihi Wasallam.
(hadits marfu)". Dengan demikian, hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan
11

kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam., sahabat dan tabi'in.

2.3. Klasifikasi Hadis
1. Berdasarkan Bentuknya
Dikemukakan oleh Zakiyuddin Sya’ban17, bahwa para ulama umumnya membagi sunnah
menjadi tiga macam, yaitu :
a. Sunnah Qauliyah
Yaitu hadis-hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi Sallahu Alaihi Wasallam dalam
berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah, yang kemudian dinukil oleh para
sahabat dalam bentuknya yang utuh seperti apa yang diucapkan oleh Nabi Sallahu Alaihi
Wasallam tersebut. Diantara contoh-contohnya
b. Sunnah Fi’liyah
Yaitu hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Sallahu Alaihi
Wasallam yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat, kemudian disampaikan kepada
orang lain.
c. Sunnah Taqriyyah
Yaitu

perbuatan

dan

ucapan

para

sahabat

yang

dilakukan

dihadapan

atau

sepengetahuan Nabi Sallahu Alaihi Wasallam tetapi beliau mendiamkannya dan tidak
menolaknya. Sikap diam Nabi Sallahu Alaihi Wasallam tersebut dan tidak menolak atas
perbuatan atau ucapan para sahabat itu, merupakan tanda persetujuan Nabi Sallahu
Alaihi Wasallam.
2. berdasarkan jumlah perawinya
a. Sunnah Mutawattir
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang jumlahnya banyak dan diyakini
mustahil adanya kedustaan. Sunnah mutawattir tingkatan rawinya mulai dari sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in. Oleh karena itu, sunnah mutawattir ini hadis yang paling tinggi derajatnya, sunnah
mutawattir merupakan hujjah yang paling kuat di samping al Quran. Hadis mutawattir dibagi
menjadi dua pertama mutawattir dari segi maknanya, maksudnya dari segi lafal hadis yang
17

Studi Perbandingan Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag. Pustaka Pelajar.

12

diriwayatkan tidak berbeda. Kedua mutawattir maknawi. Hadis ini berbeda dari segi lafalnya
akan tetapi berbedavdari segi maknanya. Hal ini terjadi karena sahabat yang meriwayatkan
mengambil maknanya saja sedangkan dari lafalnya mereka membuat sendiri. 18
b. Sunnah Masyhur.
Yang dimaksud dengan sunnah masyhur adalah hadis yang di riwayatkan oleh dua orang atau
lebih tetapi belum mencapai derajat mutawattir. Hadis ini tersebar dikalangan tabi in dan tabiut
tabi in. Dijelaskan oleh hafiz Al Din al Nafasi bahwa hadis masyhur merupakan hadis ahad yang
kemudian menyebar di kalangan orang banyak terutama pada generasi tabi in dan tabiut tabi in
hadis masyhur terbagi atas dua.
1. Hadis Muthlaq
Hadits yang termasyhur di kalangan ahli hadits dan yang lainnya (golongan ulama ahi ilmu dan
orang umum)

“seorang muslim itu ialah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan
lidah dan tangannya”.19
Hadits diatas diriwayatkan pula oleh Abu Daud, an Nasai, at Turmudzy dan ad Darimi dari
sahabat yang berbeda; Jabir, Abu Musa, Abdullah bin Amr bin al Ash.
2. Hadis Muqoyyad
Hadits yang termasyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya termasyhur di
kalangan ahli hadits saja, atau ahli fiqih saja, dan sebagainya.
Contoh Hadits Masyhur Muqoyyad :

“bahwa rasul berkunut sebulan lamanya, setelah ruku, untuk mendo’akan keluarga Ri’’in dan
Dzakwan”20
Hadits diatas hanya masyhur di kalangan para Muhadditsin saja

18

ibid
Yayasan Bina Ukhuwah. Mustolahah Hadis. 2010. Hal 9
20
Ibid hal 13
19

13

c. Sunnah Ahad
Sunnah ahad merupakan hadis yang di riwayatkan oleh Nabi Sallahu Alaihi Wasallam tetapi
tidak mencapai derajat mutawattir. Menurut Abdul Karim Zaidan sunnah ahad adalah hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah orang tetapi tidak mencapai derajat mutawatir baik pada masa
tabi in maupun tabiut tabi in.
Hadis Ahad terbagi menjadi 2
1. Hadits Aziz
Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rowi, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada
satu thobaqoh saja.
Contoh Hadits Aziz :

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga aku lebih ia cintai dari pada ia
mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya”21
Yang meriwatkan hadits diatas dari Anas bin Malik hanya dua tabi’i, yaitu Qatadah dan Abdul
Aziz bin Shuhaib, demikian juga perowi setelah tabi’in hanya dua orang juga, yaitu; Husain al
Mu’allim dan Syu’bah.
2. Hadits Gharib
Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di
tingkatan mana saja kesendirian dalam sanadnya itu terjadi.


Klasifikasi hadits gharib

Ditinjau dari bentuk penyendirian rawi hadits gharib terbagi dua :
1. Gharib Mutlaq
Hadits yang penyendiriannya itu terjadi di pangkal sanad atau Ashlu sanad (tabi’in bukan
sahabat).

21

Ibid hal 13

14

Contoh hadits ghorib muthlaq :

Hadits diatas hanya diriwayatkan oleh tabi’in Abu Sholih saja dan Abu Sholih pun hanya dari
Abdullah bin Dinar saja
2. Gharib Nisby.
Hadits yang penyendiriannya itu berkaitan dengan sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang
rawi. Contoh hadits gharib Nisby :

Hadits diatas diriwayatkan oleh perowi semuanya penduduk Bashrah.
Ulama ushul kontemporer mayoritas membagi hadits berdasarkan jumlah perawinya
dengan tiga tingkatan, tetapi Imam al Ghazali dalam kitab al Mustafa membagi menjadi dua
macam yaitu sunnah mutawatir dan sunnah ahad. Al Ghazali menyebut sunnah dengan istilah
khabar. Kemudian mayoritas ulama hadits membaginya pun menjadi dua, ulama hadits
memasukkan sunnah masyhur kedalam sunnah ahad.

22

22

Studi Perbandingan Ushul Fiqh, Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag. Pustaka Pelajar. hal 97

15

2.4. Latar Belakang Munculnya Kodifikasi Hadits
Pada abad pertama Hijriah sampai hingga akhir abad petama Hijriah, hadits hadits itu
berpindah dari mulut kemulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada
kekuatan hafalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat untuk membukukan
hadits, karena hafalan mereka terkenal kuat.
Namun demikian, upaya perubahan dari hafalan menjadi tulisan sebenarnya sudah
berkembang di saat masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada masa Umar Bin Khattab menjadi
khalifah kedua juga merencanakan penghimpunan hadits-hadits Rasul dalam satu kitab, namun
tidak diketahui mengapa niat itu batal atau urung dilaksanakan. Dikala kendali Khalifah
dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 Hijriah, seorang khalifah
dari Dinasti Umayyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal sebagai Khalifah
Rasyidin yang kelima, tergerak hatinya membukukan hadits karena dia khawatir para perawi
yang membendaharakan hadits di dalam dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak
dibukukan akan lenyap dan dibawa oleh para penghafalnya ke dalam alam barzah dan juga
semakin banyak kegiatan pemalsuan hadits yang dilakukan, yang dilatar belakangi oleh
perbedaan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam dan semakin luasnya daerah
kekuasaan Islam maka semakin komplek juga permasalahan yang dihadapi umat Islam.
a. Penulisan Hadits
Sejarah penghimpunan hadits secara resmi dan massal baru terjadi setelah Khalifah Umar
bin Abdul Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk menuliskannya.
Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kepala Negara, dan dikatakan massal karena
perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadits. Di antara Gubernur Madinah yang
menerima instruksi untuk mengumpulkan dan menuliskan hadits, yaitu Abu Bakar ibn Hazm,
Umar bin Abdul Azis berkata kepada Hazm:
“Perhatikanlah apa yang bisa diambil dari hadits Rasulullah dan catatlah, saya khawatir akan
lenyapnya ilmu ini setelah ulama wafat daangan terima kecuali yang benar-benar hadits dari
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam, hendaklah kalau seberkas ilmu dan majlis ta’lim agar
orang yang tidak tahu menjadi tahu karena ilmu merubah keadaan dia menjadi terang”23

23

Ditjen Pendidikan Tinggi Islam. Modul 5 Hadist sebagai Sumber Hukum Islam. 2009

16

Dalam intruksi tersebut Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan menuliskan
hadits yang berasal dari:
a. Koleksi Abu Bakar bin Hazm itu sendiri.
b. Amrah binti Abd. Ar-Rahman (w.98 H), seorang faqih, dan muridnya sayyidah Aisyah r.a.
c. Al Qasim Ibn Abu Bakar Al Siddiq (w.107 H) seorang pemuka tabi’in dan salah seorang
Fuqaha yang tujuh.
Abu Bakar bin Hazm melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa juga
dilaksanakan oleh Muhammad Ibn Syiihab Al-Zuhri (w.124 H), seorang ulama besar di Hijaz
dan Syam, kedua ulama di ataslah sebagai pelopor dalam kodifikasi hadits berdasarkan
perintah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Meskipun Abu Bakar bin Hazm dan Al Zuhri telah
berhasil menghimpun dan mengkodifikasi hadits, akan tetapi kerja kedua ulama tersebut telah
hilang dan tidak bisa dijumpai lagi sampai sekarang.
b. Sistem Pembukuan Hadits
Sistem pembukuan Hadits pada awal pembukuannya, hanya sekedar mengumpulkan saja
tanpa memperdulikan selektifitas terhadap susunan Hadits Nabi, apakah termasuk di dalamnya
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, “Ulama diperiode ini cenderung mencampuradukkan antara
hadits Nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in, mereka belum mengklasifikasikan kandungan
nash-nash menurut kelompoknya” (Masfuk Zuhdi, 1993: 81)
Dengan demikian pembukuan hadits pada masa ini boleh dikatakan cenderung masih
bercampur baur antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in.
c. Tokoh-Tokoh Pengumpul Hadits
Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan ibnu Shihab Al Zuhri, perode sesudahnya
bermunculan ahli hadits yang bertugas sebagai kodifikasi hadits jilid ke-2 yaitu:
2.4.

Di Mekkah, Ibn Jurraj (w.150 H);

2.5.

Di Madinah, Abu Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H);

2.6.

Di Basrah, Ar Rabi’ Ibn Shahih (w.160 H), Said Bin abi Arubah (w.156 H) dan

Hamud bin Salamah (w. 176 H);
2.7.

Di Kufah, Sofyan Tsauri (w.161 H);

2.8.

Di Syam/ Sriya, Al Auza’I (w.156 H);

2.9.

Di Wasith/Iraq , Hasyim (w.188 H);

2.10.

Di Yaman, Ma’mar (w.153 H);
17

2.11.

Di Khurasan/ Iran, jarir Bin Abdul Namid (w.188 H dan Ibnu Mubarrak (w.181

H)(Musthafa Siba’I, tt: 168).
d. Kitab-kitab Hadits yang ditulis pada abad II Hijriah
Kitab-kitab yang disusun pada periode ini jumlahnya relatif sedikit yang sampai kepada umat
Islam hari ini, di antara karya monumental yang dihasilkan oleh karya terdahulu yang sampai
pada masyarakat muslim saat ini adalah:
a. Al Muwatha, oleh Imam Malik
b. Al Musnad, Oleh Imam Syafi’i
c.

Iktilaf Al Hadits, oleh Imam Syafi’i

Hadits ini dipandang unggul dan menempati kedudukan istimewa di kalangan para ahli hadits
dan penggiat ilmu ini.
d. Ciri-ciri Kitab Hadits yang ditulis pada abad II Hijriah.
1. Pada umumnya kitab-kitab hadits pada masa ini menghimpun hadits-hadits Rosululloh serta
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.
2. Himpunan hadits pada masa ini masih bercampur baur dengan topik yang ada seperti
bidang Tafsir, Sirah, Hukum, dan lainnya.
3. Di dalam kitab-kitab hadits pada periode ini belum dijumpai pemisahan antara hadits-hadits
yang berkualitas shahih, hasan dan dha’if.

f. Hadits Pada Masa III Hijriah, Masa Pemurnian, Penshahihan dan penyempurnaan
Kodifikasi.
Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Al Ma’mun sampai pada awal
pemerintahan khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini ulama
memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadits
Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits yang
semakin marak. Kegiatan Pemalsuan Hadits Pada abad ke-II hijriah telah banyak melahirkan
para Imam Mujtahid di berbagai bidang, di antaranya di bidang Fiqih dan Ilmu Kalam. Meskipun
dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, akan tetapi mereka saling menghormati tetapi
memasuki abad ke-3 Hijriah, para pengikut masing-masing imam berpendapat bahwa imamnya lah yang benar, sehingga menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Di
18

antara pengikut fanatik akhirnya menciptakan hadits-hadits palsu dalam rangka memaksakan
pendapat mereka. Dan setelah Khalifah Al Ma’mun berkuasa mendukung golongan Mu’tazilah.
Perbedaan pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan siapa yang tidak sependapat akan
dipenjara dan disiksa, salah satu Imam yaitu Imam Ahmad bin Hambal yang tidak
mengakuinya. Setelah pemerintahan Al Muwakkil, maka barulah keadaan berubah positif bagi
ulama.
Upaya Pelestarian Hadits
Di antara kegiatan yang dilakukan oleh para ulama Hadits dalam rangka
memelihara kemurnian Hadits Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah:
1. Perlawatan ke daerah-daerah;
2. Pengklasifikasian hadits kepada: Marfu’, Mawquf, dan Maqthu’;
3. Penyeleksian kualitas hadits dan pengklasifikasian kepada: Shahih, Hasan, Dha’if.
Tokoh-tokoh Pengumpul Hadits
Di antara tokoh-tokoh Hadits yang lahir pada masa ini adalah:
Ali Ibn Madany, Abu Hatim Ar Razy, Muhammad Ibn Jarir ath Thabary, Muhammad Ibn Sa’ad,
Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al Bukhari Muslim, An Nasa’i, Abu Daud, At Turmudzy, Ibnu
Majah, Ibnu Qutaibah Ad Dainury.
Kitab-Kitab Hadits pada abad III Hijriah
Di abad ke-3 Hijriah ini telah muncul berbagai kitab Hadits yang Agung dan
monumental serta menjadi pegangan umat islam sampai sekarang diantaranya adalah:
1. Kitab Shahih Bukhari.
2. Kitab Shahih Muslim.
3. Kitab Sunan Abu dawud
4. Kitab Suann At Thurmudzy
5. Kitab Sunan An Nasa’i
6. Kitab Sunan Ibn Majah.
7. Musnad Ahmad.

19

g. Hadits pada abad IV sampai V (Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan
Penghimpunan)
Kegiatan periwayatan hadits pada periode ini Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al
Muktadir sampai Khalifah Al Muktashim. Meskipun kekuasaan Islam pada periode ini mulai
melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu
Khan, cucu dari Jengis Khan, kegiatan para Ulama Hadits tetap berlangsung sebagaimana
periode-periode sebelumnya, hanya saja hadits-hadits yang dihimpun pada periode ini tidaklah
sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadits yang dihimpun
pada periode ini diantaranya adalah:
1. Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah (313 H)140
2. Al Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)
3. Al Musnad oleh Abu Amanah ( 316 H)
4. Al Mustaqa oleh Ibn Jarud
5. Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi
Setelah lahirnya karya-karya di atas, maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya
hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada, dengan bentuk kegiatan mempelajari,
menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.Bentuk penyusunan
kitab hadits pada masa periode iniPara Ulama Hadits periode ini memperkenalkan sistem baru
dalam penusunanhadits , yaitu:
a) Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan sebagianmatan hadits
tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu,baik dari sanad kitab hadits yang
dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainya contohnya:
1. Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)
2. Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad Khalaf Ibn Muhammad al Wasithi(w 401 H)
3. Athraf Al Sunnah al Arrba’ah, oleh Ibn Asakir al Dimasyqi (w 571 H)
4. Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al Maqdisi ( 507 H)
b) Kitab Mustadhrak, kitab ini memuat matan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhar iatau
Muslim, atau keduanya, atau lainnya, dan selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan
hadits tersebut dengan sanadnya sendiri, contoh:
1. Mustadhrak Shahih Bukhari, oleh Jurjani
2. Mustadhrak Shahih Muslim, oleh Abu Awanah (316 H)
20

3. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu Bakar ibn Abdan al Sirazi (w.388 H)
c) Kitab Mustadhrak, kitab ini menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat syarat Bukhari
dan Muslim atau yang memiliki salah satu dari keduanya, contoh:
1. Al Mustdhrak, oleh Al Hakim ( 321-405 H)
2. Al Ilzamat, oleh Al Daruquthni (306-385 H)
d) Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadits-hadits yang termuat dalam kitab-kitab yang telah
ada, yaitu yang menghimpun hadits Shahih Bukhari dan Muslim.
Contohnya:
1. Al Jami’ bayn al Shahihaini , oleh Ibn Al Furat ( Ibn Muhammad Al Humaidi (w.414 H)
2. Al Jami’ bayn al Shahihaini, oleh Muhammad Ibn Nashir al Humaidi (488 H)l
h. Hadits pada abad ke VII sampai sekarang (masa Pensyarahan, Penghimpunan,Pentakhrij-an dan Pembahasannya)
Kegiatan periwayatan hadits pada periode ini
Periode ini dimulai sejak kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad ketika ditaklukkan oleh
tentara Tartar (656 H/1258 M), yang kemudian Kekhalifahan Abbasiyah tersebut dihidupkan
kembali oleh Dinasti Mamluk dari Mesir, setelah mereka menghancurkan bangsa Mongol
tersebut. Pembaiatan khalifah oleh Dinasti Mamluk hanyalah sekedar simbol saja, agar daerahdaerah Islam lainya dapat mengakui Mesir sebagai pusat pemerintahan dan selanjutnya
mengakui Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam, akan tetapi pada abad ke-8 H,
Utsman mendirikan kerajaan di Turki di atas puing-puing peninggalan Bani Saljuk di Asia
Tengah, sehingga bersama-sama dengan keturunan Utsman menguasai kerajaan-kerajaan
kecil yang ada disekitarnya, dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniyah yang berpusat di
Turki.
Dengan berhasilnya mereka menaklukkan Konstantinopel dan Mesir serta meruntuhkan
Dinasti Abbasiyah, maka berpindahlah kekuasaan Islam dari Mesir ke Konstantinopel. Pada
abad ke-13 Hijriyah (awal abad ke-19 H) Mesir dengan dipimpin oleh Muhammad Ali, mulai
bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa waktu silam. Namun Eropa yang dimotori
oleh Inggris dan Perancis semakin bertambah kuat dan berkeinginan besar untuk menguasai
dunia, mereka secara bertahap mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke19 M sampai ke awal abab 20 M, hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa,
21

kebangkitan kembali dunia Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan
dengan keadaan dan kondisi-kondisi dunia Islam di atas, maka kegiatan periwayatan hadits
pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazah dan Mukatabah. Sedikit sekali
ulama hadits pada periode ini melakukan periwayatan hadits secara hafalan sebagaimana
dilakukan oleh yang ulama Mutaqaddimin.
Diantaranya yaitu:
1. Al Traqi (w.806 H/1404 M) dia berhasil mendiktekan hadits secara hafalan kepada 400
majelis, sejak 796 H/1394 M dan juga menulis beberapa kitab hadits.
2. Ibn Hajar al Asqalani (w. 852 H/ 1448 M) seorang penghafal hadits yang tiada
tandingannya pada masa itu. Dia telah mendiktekan hadits kepada 1000 majelis dan
menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadits.
3. Al Sakhawi (w.902 H/1497 M) murid Ibn Hajar yang telah mendiktekan hadits kepada
1000 majelis dan menulis sejumlah buku.
Bentuk penyusunan kitab hadits pada periode ini:
Pada periode ini para ulama hadits mempelajari kitab-kitab hadits yang telah ada, dan
selanjutnya mengembangkannya atau meringkasnya sehingga menghasilkan jenis karya
sebagai berikut:
1. Kitab Syarah, yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadits dari
kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lainnya yang bersumber dari Alquran dan
hadits, ataupun kaidah-kaidah syara’ yang lainnya. Contohnya:
a.

Fath Al bari, Oleh Ibn Hajar al Asqalani, yaitu syarah shahih kitab Al Bukhari.

b.

Al Minhaj, oleh Al Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.

c.

Aun al-Ra’hud, oleh Syams al Haq al Achim al Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
2. Kitab Mukhtashar, yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadits, seperti

Mukhtashar Shahih Muslim oleh Muhammad Fu’ad abd al Baqi.
3. Kitab Zawa’id, yaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari kitab tertentu yang tidak
dimuat.

22

2.5. Urgensi Kodifikasi hadis sebagai sumber hukum Islam
Kodifikasi hadist sangat penting memengaruhi perkembangannya sebagai sumber hukum
kedua Islam. Karena kodifikasi hadist menunjukkan keabsahan hadist sebagai sumber hukum
Islam setelah al Quran. Kodifikasi hadis menunjukkan proses yang ilmiah dan terstruktur
terhadap hadist. Proses yang panjang dan mengalami dinamika dalam setiap prosesnya
tersebut memperkuat hadist untuk diterima oleh seluruh golongan umat Islam.
Proses kodifikasi hadis pun melalui pengujian yang serupa dengan kodifikasi al Quran
tentunya validitas hadist yang digunakan sebagai sumber hukum Islam harus diterima oleh
mayoritas muslim.

2.6. Kedudukan Hadist sebagai Sumber hukum Islam
Fungsi hadis
Melihat penjelasan hukum yang disampaikan al Quran merupakan penjelasan yang
bersifat umum. Tentunya sulit ditafsirkan dalam bentuk amaliyah. Oleh karena itu fungsi yang
paling utama dari hadist adalah menjelaskan hukum yang bersumber dari al Quran. Hal
tersebut telah tercantum dalam al Quran An Nahl : 64,

               
64. dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Karena memiliki fungsi utama menjelaskan sumber hukum yang berasal dari al Quran
hadis adalah al Bayani bagi al Quran. Berdasarkan kedudukannya itulah hadis memiliki fungsi
sebagai berikut :
1. Menguatkan dan menegaskan hukum hukum yang tersebut dalam al Quran atau
disebut ta’kid atau taqrir. Dalam hal ini hadis menguatkan dalil dalam al Quran yang
belum kuat penjelasannya.
2. Memberi penjelasan terhadap hal yang masih samar
3. Merinci apa apa yang ada dalam al Quran disebutkan secara garis besar
4. Membatasi hal yang dijelaskan al Quran secara umum
5. Memperluas maksud sesuatu yang tersebut dalam al Quran

23

Contoh hadist menjelaskan arti kata al Quran seperti kata “sholat” yang masih samar atau
ijmal, karena sholat juga dapat diartikan berdoa. Seperti yang dipahami saat itu. Kemudian Nab

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

ANALISIS KONTRIBUSI MARGIN GUNA MENENTUKAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PRODUK DALAM KONDISI KETIDAKPASTIAN PADA PT. SUMBER YALASAMUDRA DI MUNCAR BANYUWANGI

5 269 94

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18