BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lanjut Usia - Rizal Al Fauzi BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lanjut Usia

  1. Definisi Lanjut usia merupakan kejadian yang akan dialami oleh semua orang yang diberi umur panjang, dan tidak dapat dihindari oleh siapapun. Proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang dideritanya disebut sebagai menuan = aging (Constantinides, 1994 dalam Darmojo, 2006).

  Usia lanjut adalah sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).

  Batasan umur menurut organisasi kesehatan dunia World Health

  

Organisation (WHO) dalam Maryam (2008), ada empat tahap lanjutan usia

  meliputi :

  a. Usia pertengahan (Middle Age) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

  b. Lanjut usia (Elderly) yaitu seseorang yang yang berusia antara 60-74 tahun.

  c. Lanjut usia tua (Old) yaitu seseorang yang berusia antara 75-90 tahun .

  d. Usia sangat tua (Very Old) yatu seseorang yang berusia diatas 90 tahun Sedangkan batasan lansia menurut Eliopoulus (2010) sebagai berikut.

  a. Setengah tua yaitu seseorang yang berusia antara 60 sampai 74 tahun.

  b. Tua yaitu seseorang yang berusia antara 75 sampai 100 tahun.

  c. Sangat tua yaitu seseorang yang berusia lebih dari 100 tahun. Pada lansia ada lima klasifikasi, yaitu :

  a. Pralansia Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun (Maryam, 2008)

  b. Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

  c. Lansia resiko tinggi Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003) d. Lansia potensial Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa (Depkes RI, 2003). Lansia potensial tidak tergantung pada umur, karena tidak ada batasan dan kisaran umumnya. Semua lansia yang memiliki ketrampilan dapat berpotensi menghasilkan barang dan jasa.

  e. Lansia tidak potensial Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003). Seperti halnya lansia potensial, lansia tidak potensial juga tidak bergantung pada umur. Diantara mereka pasti ada yang masih mampu dan tidak mampu mencari nafkah, ketidakmampuan lansia dalam mencari nafkah bisa disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis.

  2. Teori Penuaan Penuaan adalah suatu proses menghilang secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Darmojo, 2006). Adapun proses tua ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kmunduran fisik, antara lain kulit mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan mulai berkurang, mudah lemah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah. Kemunduran lain yang terjadi adalah kemampuan- kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal atau ide baru.

  Hardyminoto (2005) menyatakan teori biologis tentang proses penuaan, antara lain :

  a.

   Teori Genetika

  Teori ini menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya proses penuaan. Teori ini mengakui adanya mutasi somatik yang mengakibatkan kegagalan penggandaan DNA.

  b.

Teori Non Genetik

  Teori ini terbagi lagi dalam beberapa teori : (1) Teori Radikal Bebas

  Radikal bebas yang terdapat di lingkungan mangakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.

  (2) Teori Cros Link Molekul kolagen dan zat kimia mengubah fungsi jaringan dan mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku pada proses penuaan.

  (3) Teori kekebalan (Immunologic Teory) Perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya keseimbangan dalam sel T sehingga produksi antibody dan kekebalan menurun.

  (4) Teori psikologis Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuran mental dan keadaan fungsional yang efektif.

  3. Perubahan pada lansia Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari perubahan fisik, perubahan mental dan perubahan psikososial.

  a. Perubahan fisik Hutapea (2005) menyatakan perubahan fisik yang dialami oleh lansia adalah: (1) Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh menjadi rentan terhadap alergi dan penyakit.

  (2) Konsumsi energi turun secara nyata diikuti dengan menurunnya jumlah energi yang dikeluarkan tubuh.

  (3) Air mengalami penurun secara signifikan karena bertambahnya sel- sel yang mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.

  (4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan mencerna makanan serta penyerapan mulai lamban dan kurang efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi. (5) Perubahan pada sistem metabolik, yang mengakibatkan gangguan metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi menurun juga karena timbunan lemak.

  (6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat, kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang, pendengaran berkurang, reaksi lambat, fungsi mental menurun, dan ingatan visual berkurang.

  (7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat. (8) Menurunnya elastisitas dan fleksibilitas persendian.

  b. Perubahan Mental Perubahan mental lansia dapat berupa perubahan sikap yang semakin egosentrik, mudah curiga, dan bertambah pelit atau tamak bila memiliki sesuatu. Lansia mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyarakat. Sikap umum yang ditemukan pada hamper setiap lansia yaitu keinginan untuk berumur panjang. Jika meninggal pun, mereka ingin meninggal secara terhormat dan masuk surga. Faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu 13 perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan (Nugroho, 2008).

  c. Perubahan Psikososial Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun, seseorang akan mengalami kehilangan, yaitu kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan teman dan kehilangan pekerjaan (Nugroho, 2008).

B. Tidur

  1. Definisi Seperti yang telah diketahui, tidur merupakan proses fisiologis yang amat penting untuk manusia dan merupakan kebutuhan yang mesti dipenuhi oleh manusia (Burton, 2007). Tidur suatu keadaan dimana ketidaksadaran natural, ketika aktivitas otak tidak terlihat (selain daripada pertahanan fungsi tubuh dasar yang berlanjutan, contohnya pernafasan) tetapi bisa dideteksi dengan penggunaan elektroensefalogram (EEG).

  Tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi oleh semua orang. Dengan tidur yang cukup, tubuh baru dapat berfungsi secara optimal. (Mubarak, 2007).

  2. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan faktor yang mempengaruhi tidur meliputi:

  a. Penyakit Sakit dapat mempengruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya: penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfe) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur. b. Latihan dan kelelahan Keletihan akibat aktifitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energy yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yag telah melakukan aktifitas dan mencapai kelelahan maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur.

  c. Stress psikologis Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa.

  Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur.

  d. Obat Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic (banyak kencing) menyebabkan seseorang menjadi insomnia, anti depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur.

  e. Nutrisi Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat proses tidur, karna adanya tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang juga dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur. f. Lingkungan Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur, begitu juga sebaliknya apabila kaadaan lingkungan tidak aman dan nyaman akan mempersulit terjadinya tidur.

  g. Motivasi Merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur.

  h. Gaya hidup Seseorang yang sering berganti jam kerja harus mengatur aktivitas agar bisa tidur pada waktu yang tepat.

  3. Fisiologi tidur Fisiologi tidur dapat diterangakan melalui gambaran aktifitaas sel-sel otak selama tidur. Aktifitas tersebut dapat direkam melalui gelombang otak pada elektroensefalogram (EEG), gerakan mata dan gerakan otot pencatatan variabel tersebut dikenal sebagai polisomnografi, pada EEG dapat tergambarkan fase yang terjadi pada proses tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak selama tidur.

  Tidur terbagi menjadi 2 tipe, yaitu Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Tipe Rapid Eye Movement (REM). Tidur REM disebut juga

  

tidur D atau bermimpi karna dihubungkan dengan mimpi atau dengan tidur

  paradox karna EEG aktif selama fase ini. Tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang lamabat tidur atau tidur S. Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 staduim, lalu diikuti oleh fase REM. Kebutuhan tidur akan berkurang dari usia bayi sampai usia lanjut. Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam perhari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-8 jam/hari pada orang dewasa, pada umur 40-60 tahun 7 jam/hari, pada umur 60 tahun keatas 6 jam/hari. Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:

  a. Tidur Stadium Satu Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali di bangunkan.

  b. Tidur Stadium Dua Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari fase pertama.

  d. Tidur Stadium Tiga Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya, tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata. e. Tidur Stadium Empat Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan, fase tidur NREM biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada awal REM pertama, prosesnya berlangsung lebih cepat dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, denyut nadi bertambah, tonus otot menunjukan relaksasi yang dalam (Japardi, 2002).

  4. Fisiologi tidur pada lansia menurut Eliopoulos (2010) dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Table 1.1. Fisiologis tidur pada lansia

  Tahapan Karakteristik Perbedaan pada dewasa tua NREM: I Lansia mulai mengantuk dapat Lansia lebih banyak menghabiskan dengan mudah terbangun jika waktu ditahap ini, kemungkinan besar tidak terganggu, akan mencapai karna lansia saring terbangun; tahap berikutnya dalam peningkatan jumlah aroulsal dan beberapa menit. pergeseran kedalam tidur non REM.

  

II Tahapan yang paling dalam Tidak ada perubahan signifikan pada

mencapai relaksasi pada lansia pada tahapan yang paling dalam seseorang, kelopak mata mencapai relaksasi. tertutup, dan dapat dengan mudah terbangun .

  III Awal fase tidur nyenyak, suhu Lansia akan mengalami penurunan pada dan denyut jantung bearkurang, fase tidur nyenyak dengan denyut otot-otot rileks, lebih sulit untuk jantung berkurang, dan otot rileks sulit dibangunkan. dibangunkan.

  IV Dalam tidur dan relaksasi Mungkin lenyap sama sekali pada usia semua fungsi tubuh berkurang, yang sangat tua. tahap tidur IV tidak cukup stimulus, dapat menyebabkan disfungsi emosional. REM Gerakan yang cepat, terjadi Lansia mengalami penurunan karena (TahapV) peningkatan tanda-tanda vital jumlah mengurangi waktu tidur pada

  (kadang-kadang tidak teratur), umumnya. akan masuk tidur REM kira- kira sekali setiap 90 menit tidur stadium IV, tidak cukup tidur REM, dapat menyebabkan disfungsi emosional, termasuk psikosis.

C. Gangguan Tidur

  (1) Definisi Insomnia merupakan gangguan tidur utama dalam memulai dan mempertahankan tidur di kalangan lansia, sehingga insomnia didefinisikan sebagai keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang disebabkan dari sulitnya memasuki tidur, sering terbangun malam hari kemudian sulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi, dan tidur yang tidak nyenyak (Joewana, 2005).

  Insomnia adalah ketidakmampuan memperoleh secara cukup kualitas dan kuantitas tidur. Ada 3 macam insomnia yaitu initial insomnia, intermitten

  insomnia, terminal insomnia (Tarwoto & Wartonah, 2006) .

  Insomnia diklasifikasikan menjadi beberapa tipe menurut Joewana (2005), antara lain: a. Tidak dapat atau sulit tertidur (insomnia initial). sering ditemui pada ansietas pasien muda, berlangsung

  insomnia initial

  dalam waktu 1-3 jam dan kemudian karena kelelahan, pasien tertidur juga.

  b. Terbangun tengah malam beberapa kali (insomnia i n t e r m i t t e n ) .

  insomnia intermitten yaitu Pasien dapat tertidur dengan mudah tetapi

  setelah 2-3 jam tidur pasien terbangun lagi, dan terulang beberapa kali dalam satu malam. c. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini (insomnia terminal).

  

insomnia terminal yaitu pasien dapat tidur dengan mudah dan cukup

  nyenyak, tetapi pagi buta pasien sudah terbangun lalu tidak dapat tidur lagi keadaan ini sering dijumpai pada keadaan depresi.

  Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dibagi menjadi 4 tipe (Turana, 2007). Antara lain :

  a. Transient insomnia: insomnia yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang berlangsung sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan mudah oleh pasien sendiri. Adapun faktor yang memicu antara lain akibat lingkungan tidur yang berbeda, gangguan irama sirkadian sementara akibat rotasi waktu kerja, stress situasional akibat lingkungan kerja baru, dan lain-lainnya. Transient insomnia biasanya tidak memerlukan terapai khusus dan jarang membawanya pasien ke dokter.

  b. Short-term insomnia: berlangsung 1-6 bulan dan biasanya disebabkan oleh kejadian-kejadian stress yang lebih persisten, seperti kematian salah satu anggota keluarga. c. Recurrent insomnia: kondisi ini lebih jarang dari pada transient insomnia.

  Kondisi ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara tidur dan bangun. Ketidakseimbangan ini dapat terjadi sementara ataupun seumur hidup. Kejadian berulang ini bisa terjadi akibat perubahan fisiologi seperti sirkulasi premenstrual ataupun perubahan psikologik seperti depresi, kambuhnaya perubahan perilaku tertentu seperti kecanduan obat, dan lain sebagainya.

  (2) Jenis gangguan tidur, Stanley (2007) : (a) Insomnia jangka pendek

  Berakhir beberapa minggu dan muncul lagi akibat pengalaman stress yang bersifat sementara seperti kehilangan orang yang dicintai, tekanan di tempat kerja, atau takut kehilangan pekerjaan. (b) Insomnia sementara

  Gelisah yang tidak sering terjadi yang disebabkan oleh perubahan- perubahan lingkungan seperti jet lag, konstruksi bangunan yang bising atau pengalaman yang menimbulkan ansietas. (c) Insomnia kronis

  Berlangsung selama 3 minggu atau seumur hidup. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis, penggunaan obat tidur berlebihan, gangguan jadwal tidur bangun, dan masalah kesehatan lainnya.

  3. Faktor-faktor yang mempengaruhi insomnia Joewana (2005) menyatakan tidak semua insomnia didasari oleh adanya suatu kondisi psikopatologik, insomnia dapat pula disebabkan oleh beberapa hal berikut: (a) Suara atau bunyi.

  Biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara atau bunyi sehingga tidak mengganggu tidurnya. Hal terpenting bukan intensitasnya tetapi makna dan suara itu. Misalnya seseorang yang takut diserang atau dirampok, pada malam hari ia terbangun berkali-kali hanya karena suara yang halus sekalipun. (b) Suhu udara.

  Kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara yang menyenagkan bagi dirinya, akan tetapi bila suhu udara rendah mereka memakai selimut, bila suhu udara tinggi mereka memakai pakaian tipis, insomnia ini sering dijumpai di daerah tropis.

  (c) Tinggi tekanan udara.

  Insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai pada pendaki gunug yang lebih dari 3500 meter diatas permukaan laut, hipoksia dapat mempengaruhi sleep promoling system secara langsung.

  (d) Penggunaan bahan-bahan stimulant susunan saraf pusat.

  Bahan-bahan seperti kopi yang mengandung kafein, tembakau yang mengandung nikotin dan obat pengurus badan yang mengandung amfetamin atau yang sejenisnya dapat menimbulkan Insomnia.

  (e) Penyakit jasmani tertentu.

  Penyakit yang dimaksud antara lain tumor otak, demam, kehamilan normal trimester ketiga, diabetes militus, penyakit jantung koroner. (f) Penyakit psikiatrik.

  Penyakit psikiatrik biasanya ditandai dengan adanya insomnia seperti pada gangguan afektif, gangguan keperibadia dan gangguan stress pasien trauma.

  4. Faktor resiko insomnia.

  Turana, (2007) menyatakan beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan insomnia Antara lain: a. Emosi.

  Transient dan recurrent insomnia biasanya disebabkan oleh gangguan

  emosi. Memendam kemarahan, cemas, atau pun depresi bisa menyebabkan insomnia. b. Kebiasaan.

  Insomnia disebabkan oleh kebiasaan buruk seperti Penggunaan kafein berlebih, alkohol yang berlebihan, tidur yang berlebihan, merokok sebelum tidur dan stress kronik. Faktor lingkungan seperti bising, suhu yang ekstrim, dan perubahan lingkungan bisa menyebabkan transient dan

  recurrent insomnia .

  c. Jenis kelamin.

  Insomnia lebih banyak menyerang wanita dibanding pria dengan presentase (20-50% wanita lebih tinggi dari pada pria). Wanita lebih sering menderita insomnia karna siklus menstruasinya. 50% wanita dilaporkan menderita kembung yang menggangu tidurnya 2-3 hari disetiap siklusnya. Peningkatan kadar progesterone menyebabkan rasa lelah pada awal siklus.

  d. Insomnia disebabkan penyakit kronis yang menimbulkan nyeri (misalnya arthritis), terbatas pergerakan, kesulitan bernafas.

  5. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan penyebab insomnia pada lansia, yaitu:

  a. Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka masih semangat sepanjang malam, b. Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari,

  c. Gangguan cemas dan depresi,

  d. Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman, e. Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada malam hari, f. Infeksi saluran kemih.

  6. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan dampak insomnia, yaitu:

  a. Gangguan antesi, memori, mood depresi,

  b. Sering terjatuh,

  c. Penurunan kualita hidup,

  d. Tubuh letih, dan lesu pada saat bangun, e. Cepat marah, sulit bergaul.

  7. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan cara mengatasi insomnia, yaitu : a. Melakukan pijatan.

  Pijatan dapat melakukan masalah dengan gangguan tidur, karna pijatan punggung dengan usapan yang perlahan (slow stroke back massage) usapan dengan lotion/balsam memberikan sensasi hangat dengan mengakibatkan dilatasi pada pembulu darah lokal.

  b. Melakukan olah raga secara teratur.

  Olah raga teratur dapat membantu masalah dengan tidur, karena sirkulasi darah dan kerja organ tubuh akan menjadi lebih baik. Olah raga yang cukup (tidak berlebihan) akan menyebabkan tubuh terutama otak akan menjadi rileks dan segar. Namun hindari olah raga waktu tidur.

  c. Menghindari mengkonsumsi kafein. d. Mandi dalam air hangat sebelum tidur.

  e. Menghindari alkohol dan obat-obatan.

  8. Skala Insomnia Untuk mengukur derajat insomnia digunakan kuesioner Kelompok

  Studi Psikiatri Biologi Jakarta- Insomnia Rating Scala (KSPBJ-IRS). KSPBJ-

  IRS digunakan untuk Croos

  • – Check Insomnia pada lansia. Skala ini terdiri dari 11 butir pertanyaan, adapun cara pengisiannya dengan cara memberi tanda Contreng ( ) dari masing-masing pertanyaan yang memiliki skor 1 sampai 4. Berikut dari masing-masing skor:

  1= tidak ada keluhan insomnia 2= insomnia ringan 3= insomnia sedang 4= insomnia sangat berat

  Keterangan jumlah skor Skor 1: 11-19 = tidak ada keluhan insomnia Skor 2: 20-27 = insomnia ringan Skor 3: 28-36 = insomnia sedang Skor 4: 37-44 = insomnia sangat berat

D. Nyeri

  1. Pengertian Nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri (Prasetyo, 2010 dalam Andarmoyo, S, 2013).

  Nyeri yaitu suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori maupun emosional yang berhubungan dengan risiko atau aktualnya kerusakan jaringan tubuh (Tournaire & Theau-Yonneau, 2007 dalam Judha dkk, 2012).

  2. Fisiologi nyeri Menurut Potter & Perry (2006), munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah

  nociceptor, nociceptor merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang

  memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kantong empedu.

  Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa kimiawi, termal, listrik atau mekanis. Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan berupa implus-implus nyeri ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis tersebut, yaitu serabut A (delta) yang bermielin rapat dan serabut lamban (serabut C).

  Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C, serabut-serabut aferen masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn

Dorsal horn terdiri dari beberapa lapisan atau lamina yang saling berikatan.

lapisan dua dan tiga diantaranya membentuk substantia gelatinosa yang merupakan saluran utama implus.

  Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur 19 spinothalamus dan spinoreticular

  (SRT) yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi nyeri. Proses

  tract

  transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalur nonopiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari talamus, yang melalui otak tengah dan medula, ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan impuls supresif.

  nociceptor

  Serotonin merupakan neurotransmiter dalam impuls supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor yang ditansmisikan oleh serabut A. Jalur non-opiate merupakan jalur desenden yang tidak memberikan respons terhadap naloxone yang kurang diketahui mekanismenya.

  3. Klasifikasi Menurut Smeltzer & bare, 2002 dalam Andarmoyo, S, 2013 nyeri diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan durasinya, yaitu: a. Nyeri akut

  Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu yang singkat yaitu dari beberapa detik hingga enam bulan.

  b. Nyeri kronis Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.

  4. Prasetyo, 2010 dalam Andarmoyo, S, 2013 mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri antara lain: a. Usia.

  Usia merupakan variabel penting dalam mempengaruhi nyeri khususnya pada anak-anak dan lansia.

  b. Jenis kelamin.

  Secaara umum, laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri (Gil, 1990 dalam Perry & Potter, 2006). c. Kebudayaan.

  Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka (Perry & Potter, 2006).

  d. Makna nyeri.

  Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyerinya dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. (Perry & Potter, 2006) .

  e. Perhatian.

  Tingkat seseorang pasien memfokuskan perhatianya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2006).

  f. Keletihan Keletihan atau kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan sensasi nyeri semakain intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri sering kali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap (Potter & Perry, 2006). g. Pengalaman sebelumnya.

  Apabila individu sejak lama sering serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan hasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterprestasikan sensasi nyeri akibatnya, klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2005) h. Gaya koping.

  Pengalaman nyeri seseorang bisa tidak berarti. Seringkali pasien merasa kehilangan kontrol dari kemampuan untuk mengontrol lingkungan, Coping

  

style sering akan mempengaruhi banyaknya nyeri yang diterima. Seseorang

  yang bersikap introvert dia akan memiliki control diri yang lebih baik terhadap lingkungannya dibandingkan dengan oaring yang memiliki sikap extrovert terhadap nyeri yang dirasakan. Pasien yang memiliki ketergantungan minimal terhadap penggunaan analgesin akan mempunyai kontrol yang lebih baik dari pada pasien dengan ketergantungan tinggi (Perry & Potter, 2006). i. Dukungan keluarga dan sosial.

  Faktor lain yang berpengaruh cukup signifikan dalam merespon nyeri adalah kehadiran dan dorongan dari orang lain. Seseorang dengan kelompok social budaya yang berbeda berharap dapat menyampaikan keluhan nyerinya sesuai dengan keinginannya. Orang yang mengalami nyeri seringkali memiliki ketergantungan terhadap anggota keluarganya untuk memberikan dukungan, bantuan atau pencegahan terhadap nyeri yang dirasakan. Ketidak hadiran keluarga dan teman dekat seringkali akan membuat nyeri yang dialami semakin meningkat (Perry & Potter, 2006).

  5. Skala intensitas nyeri.

  Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individu dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik juga tidak memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.

  Intensitas nyeri bisa diukur dengan menggunakan alat yang berupa

  Verbal Descriptor Scale (VDS), Numerik Rating Scale (NRS) dan Visual Analog Scale (VDS).

  a.

   Verbal Descriptor Scale (VDS)

  Skala pendeskripsi verbal atau Verbal Descriptor Scale (VDS) Merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis.

Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak tersa nyeri” sampai “nyeri tidak tertahan”. Perawat menunjukan skala tersebut dan meminta klien untuk

  memilih intensitas nyeri terbaru yang di rasakan. Perawat juga menanyakan kepada klien seberapa jauh nyeri paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. VDS memungkinkan klien akan memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan sebuah nyeri yang dirasakan oleh klien.

  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri tidak terkontrol

Gambar 2.1 Verbal Descriptor Scale (VDS) b. Numerik Rating Scale (NRS) Skala penilaian numerik atau Numerik Rating Scale (NRS) lebih digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan 0-10.

  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2.2 Numerik Rating Scale (NRS)

  c. Visual Analog Scale (VAS) Skala analog visual atau Visual Analog Scalae (VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberikan kebebasan penuh kepada klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu kata (Potter & Perry, 2006).

  Tidak nyeri nyeri sanagt hebat Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS).

  6. Mekanisme Penurunan Nyeri.

  Mekanisme penurunan nyeri ini dapat dijelaskan dengan teori gate control yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan memblok transmisi nyeri pada gerbang (gate) dan teori Endorphin yaitu menurunnya intensitas nyeri dipengaruhi oleh meningkatnya kadar endorphin dalam tubuh. Dengan pemberian terapi back massage dapat merangsang serabut A beta yang banyak terdapat di kulit dan berespon terhadap masase ringan pada kulit sehingga impuls dihantarkan lebih cepat. Pemberian stimulasi ini membuat masukan impuls dominan berasal dari serabut A beta sehingga pintu gerbang menutup dan impuls nyeri tidak dapat diteruskan ke korteks serebral untuk diinterpretasikan sebagai nyeri (Guyton & Hall, 2007).

E. Tulang Belakang

  1. Pengertian Tulang belakang (columna vertebralis) merupakan pilar yang kuat, melengkung dan dapat bergerak yang menopang tengkorak, dinding dada, dan ekstremitas atas, menyalurkan berat badan ke ekstermitas bawah, dan melindungi medulla spinalis (Gibson, 2002 dalam Baida, 2012).

  2. Anatomi dan fisiologi tulang belakang.

  Vertebrae, discus interverralia, ligamen antara spina, spinal cord, saraf, otot punggung, organ-organ dalam di sekitar pelvis, abdomen dan kulit yang menutupi daerah punggung ini semua merupakan struktur utama dari tulang punggung.

  Unit struktural tulang belakang lumbal dalam berbagai sikap tubuh dan gerakan dapat ditinjau dari sudut mekanika. Tulang belakang lumbal yang menopang badan dapat dipelajari dengan diskus intervertebralis antara L-5 sampai S-1 atau L-4 dan L-5 sebagai titik tumpuan. Bila mengangkat beban berat, tangan, lengan dan badan dapat dianggap sebagai lengan beban posterior pendek, yang bergerak dari pusat diskus intervertebralis sampai prosessus spinosus belakang (Gibson, 2003 dalam Baida, 2012).

  Tulang belakang terdiri dari 33 ruas yang merupakan satu kesatuan fungsi dan bekerja sama melakukan tugas seperti; a. Memperhatikan posisi tubuh gerak.

  b. Menyangga berat badan.

  c. Fungsi pergerakan tubuh.

  d. Pelindung jaringan tubuh.

  Tulang belakang pada saat berdiri mempunyai fungsi sebagai penyangga badan, sedangkan pada saat jongkong atau memutar, tulang belakang berfungsi sebagai penyokong pergerakan tersebut. Struktur dan peranan yang komplek pada tulang belakang inilah yang seringkali menyebabkan masalah (Cock, 2008).

  Tulang belakang tersusun dari beberapa tulang, antara lain sebagai berikut: a. Tulang leher (servikal)

  Atlas disebut ruas pertama tulang leher, sedangkan ruas kedua disebut tulang pemutar. Tulang leher terdiri atas 7 buah tulang yang bertugas menopang kepala, leher, dan menggerakkan kepala untuk menunduk serta menengadah kesamping kiri dan kanan.

  b. Tulang punggung (dorsalis) Tulang punggung memiliki 12 buah tulang yang bersifat agak kaku sebab tulang-tulang dibagian ini hampir semuanya dipersatukan oleh tulang rusuk.

  c. Tulang pinggang (lumbal) Ada 5 buah tulang yang menyusun tulang pinggang pada daerah ini, biasanya sering terjadi gangguan, misalnya nyeri atau pegal linu. d. Tulang sacral Penyusun tulang ini adalah tulang kelangkang yang berjumlah 5 buah dan tulang ekor yang berjumlah 4 buah. Tulang-tulang ini membentuk sebagai tulang pinggul.

Gambar 2.4 Tulang Belakang

F. Nyeri Tulang Belakang

  1. Pengertian

  Low back pain (LBP) adalah nyeri di daerah punggung antara sudut

  bawah kosta (tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor). Nyeri juga bisa menjalar ke daerah lain seperti punggung bagian atas dan pangkal paha (Rakel, 2002). LBP atau nyeri punggung bawah merupakan salah satu dari gangguan musculoskeletal, gangguan psikologis dan akibat dari mobilisasi yang salah dan dapat menimbulkan rasa pegal, linu, ngilu atau tidak enak pada daerah lumbal berikut sakrum (Idyan, 2007 dalam Baida, 2012).

  low back pain adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah,

  juga merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikal atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri kearah tukai dan kaki. Nyeri yang berasal dari daerah punggung bawah dapat dirujuk ke daerah lain atau sebaliknya nyeri yang dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (Mahadewa & Sri, 2009).

  2. Klasifikasi Bimariotejo (2009) menyatakan perjalanan kliniknya LBP terbagi menjadi dua jenis, yaitu: a. Acute Low Back Pain

  Acute low back pain ditandai dengan rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba dan rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute

  low back pain dapat disebabkan karena luka traumatik seperti kecelakaan

  mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanan awal nyeri pinggang akut terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik.

  b. Chronic Low Back Pain Rasa nyeri pada chronic low back pain bisa menyerang lebih dari 3 bulan.

  Rasa nyeri ini dapat berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, , proses degenerasi discus intervertebralis dan tumor.

  rheumatoidarthritis

  3. Tanda dan Gejala Black & Jacob (2005) menyatakan berdasarkan pemeriksaan low back

  pain dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu:

  a. Simple back pain (LBP sederhana) dengan karakteristik sebagai berikut: (1) Nyeri yang terasa pada daerah lumbal atau lumbosakral tanpa penjalaran atau keterlibatan neurologis.

  (2) Nyeri mekanik merupakan derajat nyeri yang bervariasi setiap waktu dan tergantung dari aktifitas fisik.

  (3) Kondisi sederhana pasien secara umum adalah baik.

  b. Low back pain dengan keterlibatan neurologis, dibuktikan dengan adanya satu atau lebih tanda dan gejala yang mengidikasikan adanya keterlibatan neurologis.

  (1) Gejala: nyeri yang menyerang kearea lutut, tukai, kaki ataupun adanya rasa baal didaerah nyeri (2) Tanda: terdapat tanda seperti iritasi radikular, gangguan motorik maupun sensorik atau reflex.

  c. Red flag LBP dengan kecurigaan mengenai adanya cedera atau kondisi patologis yang berat pada spinal. Karakteristik umum: (1) Trauma fisik berat seperti jatuh dari ketinggian atau kecelakaan kendaraan motor.

  (2) Nyeri non mekanik yang konstan dan progresif. (3) Ditemukan nyeri abdominal atau torakal.

  (4) Nyeri hebat pada malam hari yang tidak membaik dengan posisi terlentang.

  (5) Riwayat atau ada kecurigaan kanker, HIV atau keadaan patologis lainnya yang dapat menyebarkan kanker.

  (6) Penggunaan kortikosterid jangka panjang. (7) Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, menggigil dan demam.

  (8) Fleksi lumbal sangat terbatas dan persisten. (9) Saddle anesthesia atau adanya inkontinensia urin.

  4. Patofisiologi Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibelitas, sementara disisi lain tetap dapat memberiakn perlindungan yang maksimal terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting pada aktivitas menggangkat ini. Menggangkat beban berat pada posisi membungkuk menyamping menyebabkan otot tidak mampu mempertahankan posisi tulang belakang thorakal dan lumbal, sehingga pada saat sendi faset (facet join) lepas dan disertai tarikan dari samping, terjadi gesekan pada kedua permukaan facet sendi menyebabkan ketegangan otot didaerah tersebut yang akhirnya menimbulkan keterbatasan gesekan pada tulang belakang. Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan pergerakan berlebih dapat menyebabkan tulang dapat berkaitan nyeri punggung (Dewanto, dkk., 2009).

  Diskus intervensi akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartogo denagn matriks gelatinus. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, menderita stress mekanis paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang menyebabkan nyeri menyebar sepanjang saraf tersebut.

  Sekitar 12% orang dengan nyeri punggung bawah yang menderita Hernia (HNP) (Dewanto, dkk., 2009).

  Nukleus Pulposus

  5. Faktor Risiko Faktor resiko nyeri pinggang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, etnis, merokok, pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat yang berulang-ulang, membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal spinal dan Universitas Sumatera Utara faktor psikososial (Bimariotejo, 2009).

  Faktor resiko yang positif untuk low back pain adalah usia atau bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek, masalah psikologik dan psikososial, merokok, kecanduan obat, nyeri kepala, skoliosis mayor (kurva lenih dari 80%) serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti duduk dan mengemudi, mengemudi truk, duduk atau berdiri jam-jam (posisi tubuh kerja yang statistic), getaran, mengangkat, membawa beban, menarik beban, membungkuk dan memutar (Mahadewa & Sri, 2009).

  Irwanashari (2010) menyatakan faktor resiko low back pain bervariasi diantaranya: a. Faktor fisiologi (1) Umur.

  Pada usia 30 tahun seseorag akan mengalami degenerasi pada tulangnya yang berupa kerusakan jaringan, pergantian jaringan parut, pengurangan cairan. Hal tersebut menyebabkan stailitas pada tulang dan otot menjadi berkuarang.

  (2) Jenis kelamin.

  Jenis kelamin seseorang sangat mempengaruhi tingkat resiko keluhan low back pain. Hal ini terjadi karena secara fisiologis kemampuan otot wanita lebih rendah dari pada pria. Beberapa peneliti menunjukan prevalensi beberapa kasus musculoskeletal disorders lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada wanita (Tarwaka, dkk, 2004).

  (3) Obesitas.

  Obesitas adalah terjadinya penimbunan lemak berlebih dari

  jaringan lemak tubuh. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu berlebihan dibandingkan dengan keluhan kelebihan tersebut disimpan dalam jaringan lemak. Seseorang dikatakan obesitas apabila mempunyai berat badan lebih dari 20% berat badan ideal. Berat badan yang berlebihan menyebabkan tonus otot abdomen lemah, sehingga pusat gravitasi seseorang akan terdorong ke depan dan menyebabkan lordosis, akan bertambah yang kemudian menimbulkan kelelahan pada otot paravertebrata, hal ini merupakan resiko low back pain.

  (4) Merokok.

  Kebiasaan merokok akan mengurangi aliran darah ke punggung dan dapat memperlemah cakram antar ruas. Nikotin mengakibatkan aliran darah pada bantalan atara tulang punggung berkurang. Beberapa penelitian membuktikan bahwa merokok dapat meningkatnya keluhan otot, itu sangat erat hubungan dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok.

  b. Faktor psikologis (1) Stres.

  Stress walapun bukan penyebab langsung, Stress juga dapat meningkatkan ketegangan otot dan menyebabkan spasme otot.

  (2) Neurosis.

  Neurosis dapat dikenali dengan gejala-gejala yang menyertainya dengan kecemasan. Kecemasan akan membuat sakit dan nyeri pada otot.

  (3) Histeria.

  Histeria merupakan bagian dari neurosis, dapat membuat sakit dan nyeri pada otot.

  (4) Reaksi konvensi.

  Reaksi konvensi disebabkan dimanaseseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang tinggi, namun efeknya tidak dapat dieksresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari ingatan. Karna reaksi konvensi juga dapat menyebabkan ketegangan pada otot.

  c. Faktor lingkungan (1) Pekerjaan.

  Faktor resiko low back pain sangat berpengaruhi terhadap seseorang yang bekerja terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan fisik tinggi seperti perawat. (2) Aktivitas fisik.