AGUS KURNIADI HK. BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Lanjut Usia

1. Pengertian Lansia

  Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara langsung menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak- anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia perkembagan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Di masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011).

  Menua atau menjadi tua menurut Nugroho (2008) adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Lansia adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup (Darmojo, 2004).

  15

  2. Klasifikasi Lansia

  WHO mengklasifikasikan lansia menjadi beberapa, yaitu : lansia usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lansia (elderly) 60-74 tahun, lansia tua (old) 75-90 tahun, dan lansia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).

  Sedangkan klasifikasi lansia menurut Smith dan Smith (1999) dalam Tamher dan Noorkasiani (2009) menggolongkan lanjut usia menjadi 3 yaitu young old (65-74 tahun); midle old (75-84 tahun); dan old (lebih dari 85 tahun).

  3. Teori Penuaan

  Penuaan merupakan proses yang normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan akan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai tahap usia dan perkembangan tertentu (Stanley, 2007).

  Teori yang menjelaskan tentang terjadinya penuaan secara umum dibagi menjadi dua bagian menurut Donlon (2007), yaitu : teori biologi dan psikososial.

  a. Teori Biologi Teori biologi merupakan teori yang menjelaskan mengenai proses fisik penuaan yang meliputi perubahan fungsi dan struktur organ, pengembangan, panjang usia dan kematian (Christofalo, 1996; Stanley, 2007).

  Perubahan dalam tubuh terutama perubahan secara molekuler dan seluler dalam sistem organ utama, kemampuan untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Teori biologis juga menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur panjang, perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler. Teori biologi terdiri atas : teori genetika, teori wear and tear, riwayat lingkungan, teori imunitas, dan teori neuroendokrin.

  1. Teori Genetika Penuaan merupakan suatu proses perubahan struktur sel dan jaringan yang secara tidak sadar diwariskan dari waktu ke waktu.

  Teori genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen. Proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi yang tidak sesuai dari inti sel. Molekul DNA menjadi saling bersilangan (crosslink) dengan unsur lain sehingga mengubah informasi genetik. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kesalahan tingkat seluler yang mengakibatkan sistem dan organ tubuh tidak berfungsi.

  Pada manusia, berlaku program genetik jam biologi dimana program maksimal yang diturunkan adalah selama 110 tahun. Sel manusia normal akan membelah 50 kali dalam beberapa tahun. Sel secara genetik diprogram untuk berhenti membelah setelah mencapai 50 divisi sel, pada saat itu sel akan mulai kehilangan fungsinya (Miller, 1999).

  2. Teori wear and tear Teori wear and tear (dipakai dan rusak) menurut Stanley (2007) menjelaskan bahwa penumpukan sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA sehingga mengakibatkan terjadinya kesalahan tingkat seluler dan akhirnya organ tubuh tidak berfungsi dengan baik. Radikal bebas adalah contoh sampah metabolisme yang akan menyebabkan kerusakan. Radikal bebas dapat berupa atom atau molekul dengan suatu elektron yang tidak berpasangan hasil dari metabolisme. Hal ini menyebabkan radikal bebas sangat reaktif. Pada keadaan normal radikal bebas akan dihancurkan dengan cepat oleh enzim pelindung tetapi beberapa radikal bebas dapat lolos dari proses perusakan tersebut dan akhirnya menumpuk di dalam struktur bioligis. Hingga akhirnya hal ini menyebabkan kerusakan.

  3. Riwayat Lingkungan Dalam teori ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan, antara lain zat karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma, dan infeksi. Faktor- faktor tersebut tidak menjadi faktor utama dalam penuaan tetapi merupakan faktor yang mempercepat penuaan (Stanley, 2007).

  4. Teori Imunitas Teori ini menjelaskan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan sistem imun seseorang. Seiring bertambahnya usia maka fungsi

  

endokrin juga menurun sehingga sering muncul penyakit autoimun seperti arthritis rheumatoid dan alergi terhadap makanan dan faktor lingkungan lainnya. Perubahan sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak adanya keseimbangan dalam sel- T intuk memproduksi antibodi dan kekebalan tubuh menurun (Toni & Hardiwinoto, 1999).

  5. Teori Neuroendokrin Teori ini menurut Stanley (2007) menitik beratkan pada kelainan sekresi hormon yang dipengaruhi oleh sistem saraf. Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses dan bereaksi terhadap perintah. Hal ini di interpretasikan dengan adanya tindakan melawan, ketulian dan kurangnya pengetahuan.

  Pengeluaran hormon diatur oleh hipotalamus dan hipotalamus juga merespon tingkat hormon tubuh sebagai panduan untuk aktivitas hormonal. Pada lansia, hipotalamus kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan sebagai reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi kurang sensitif. Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat dapat disekresi dan mengalami penurunan keefektivitasan (Miller, 1999).

  b. Teori Psikososial Dalam teori ini terdapat beberapa teori antara lain : teori kepribadian, teori tugas perkembangan, teori disengagement, teori aktivitas, dan teori kontinuitas.

  1. Teori Kepribadian Kepribadian manusia adalah aspek yang berkembang pesat pada tahun akhir perkembangannya. Penuaan juga berpengaruh pada kepribadian lansia tersebut. Teori pengembangan kepribadian yang dikembangkan oleh Jung menyebutkan bahwa terdapat dua tipe kepribadian yaitu introvert dan ekstrovert. Lansia akan cenderung menjadi introvert kerenan penurunan tanggungjawab dan tuntutan dari keluarga dan ikatan sosial (Stanley, 2007).

  2. Teori Tugas Perkembangan Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai tahap-tahap spesifik dalam kehidupannya. Pencapaian dan kepuasan yang pernah dicapai akan mempengaruhi perasaan lansia. Pada kondisi tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk memiliki rasa penyeselan atau putus asa (Stanley, 2007).

  3. Teori Disengagement Teori Disengagement (pemutusan hubungan) menjelaskan bahwa lansia akan mengalami suatu tahapan menarik diri dari kegiatan bermasyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan merasa bahagia apabila perannya dalam masyarakat telah berkurang dan tanggung jawabnya sudah dilanjutkan oleh generasi muda. Pada kondisi tidak danya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk memiliki rasa penyeselan atau putus asa (Stanley, 2007).

  4. Teori Aktivitas Teori ini merupakan teori lawan dari teori disengagement, menurut teori ini untuk menuju lansia yang sukses diperlukan aktivitas yang terus berlanjut. Selain itu, aktivitas juga sangat penting untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang kehidupan manusia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik yang berkesinambungan akan memelihara kesehatan sepanjang kehidupan (Stanley, 2007).

  5. Teori Kontinuitas Teori ini juga dikenal sebagai teori perkembangan. Teori ini menjelaskan tentang dampak dari kepribadian pada kebutuhan untuk tetap melakukan aktivitas atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dimasa tua. Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat berlangsung hingga usia lanjut dan akan semakin menurunkan kualitas hidup (Suhartin, 2010).

B. Gangguan Pola Tidur

  1. Tidur

  Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi (Japardi, 2002).

  Tidur adalah keadaan perilaku ritmik dan siklik yang terjadi dalam lima tahap (empat tahap non- rapid eye movement (NREM) dan satu tahap

  rapid eye movement (REM)). Istirahat dan tidur merupakan salah satu

  kebutuhan dasar manusia yang penting dan harus terpenuhi. Tidur yang normal melibatkan 2 fase yaitu gerakan bola mata cepat atau rapid eye

  movement (REM) dan gerakan bola mata lambat atau non-rapid eye movement (NREM). Selama tahap NREM seseorang mengalami 4 tahapan

  siklus tidur. Tahap 1 dan 2 merupakan karakteristik tidur dangkal dan seseorang lebih mudah terbangun. Tahap 3 dan 4 merupakan tidur dalam (Potter & Perry, 2006).

  2. Gangguan Pola Tidur

  Pola tidur adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu yang relatif menetap dan meliputi jadwal masuk tidur dan bangun, irama tidur, frekuensi tidur dalam sehari, mempertahankan kondisi tidur, dan kepuasan tidur (Prayitno, 2002).

  Gangguan pola tidur adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami resiko perubahan jumlah dan kualitas pola istirahat yang menyebabkan ketidak nyamanan (Japardi, 2002).

  Spencer & Brown (2007) menyatakan bahwa wanita lebih sering mengalami gangguan pola tidur dengan ketidak nyamanan saat terjadi kondisi fisik yang menurun. Perubahan itu menimbulkan perasan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini mendorong wanita kurang percaya diri, dan tidak mampu menghadapi suatu masalah, munculnya dugaan akan bahaya yang mengganggu rasa aman sehingga mempengaruhi gangguan tidurnya (Prasodjo, 2006).

  Gangguan tidur menurut Amir (2007) diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu Gangguan tidur primer, Gangguan tidur terkait gangguan mental lain, Gangguan tidur akibat kondisi medik umum dan Gangguan tidur akibat zat. Dissomnia adalah suatu kelompok gangguan tidur yang heterogen termasuk insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, dan gangguan tidur irama sirkadian. Parasomnia adalah suatu kelompok gangguan tidur termasuk: gangguan mimpi menakutkan (nightmare disorder), gangguan teror tidur, dan gangguan tidur berjalan (Prayitno, 2002).

  Prayitno (2002) mengungkapkan dari gangguan tidur primer tersebut, yang berkaitan dengan usia lanjut adalah insomnia dan hipersomnia primer.

  Kriteria diagnostik untuk insomnia primer adalah kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama sekurangnya satu bulan. Gangguan tidur yang disertai keletihan pada siang hari menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

  Nurmianto (2004) menjelaskan bahwa gangguan tidur dapat menimbulkan masalah yang efek pada manusia dalam pekerjaan dan hubungan keluarga, serta mengurangi aktivitas sosial. Ketika kurang tidur seseorang akan berpikir dan bekerja lebih lambat, membuat banyak kesalahan, dan sulit untuk mengingat sesuatu. Hal ini mengakibatkan penurunan kesehatan pada lansia.

  Dalam sumber lain disebutkan bahwa gangguan tidur yang tidak segera diatasi dalam jangka waktu yang lama akan berhubungan dengan penyakit- penyakit serius seperti tekanan darah tinggi, serangan jantung, gangguan jantung, stroke, kegemukan, dan luka akibat kecelakaan. Selain itu gangguan tidur juga dapat berpengaruh terhadap masalah kesehatan psikis seperti depresi, gangguan jiwa, kerusakan mental, mempengaruhi pertumbuhan janin dan anak-anak, serta terjadinya penurunan kualitas hidup (Alawiyah, 2009).

  Menurut penelitian Doghramji (2009), penanganan yang tidak segera dilakukan pada orang yang mengalami insomnia atau gangguan tidur lainnya dapat menyebabkan kerusakan fungsional tubuh sehingga memerlukan biaya perawatan yang mahal. Dikatakan pula bahwa tidur yang berlebih tanpa diiringi kualitas tidur yang baik juga dapat berhubungan dengan meningkatnya angka kematian, kesakitan, dan kecelakaan yang dapat mengancam jiwa (Handayani, 2008).

3. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tidur

  Terdapat 4 faktor etiologi gangguan tidur (Wikipedia, 2012), diantaranya yaitu: a. Faktor biologi dan psikologi

  Dilihat dari segi anatomi, fisiologi dan biokimia dari otak dapat dikemukakan bahwa proses tidur dan bangun sangat erat hubungannya, bahkan diatur oleh sistem bangun (arousal system) dan sistem tidur (hypnagogic system) yang terdapat dalam otak. Pada umumnya dianggap bahwa dalam formatio reticularis terdapat pengaturan tidur dan bangun.

  Bila formatio reticularis (ascending reticular system) berada dalam keadaan aktif, maka dikirimkannya isyarat- isyarat ke korteks yang menyebabkan seseorang bangun. Sebaliknya apabila dalam sistem retikuler terdapat keadaan yang kurang aktif, maka impuls yang dikirim ke korteks dan pusat- pusat lain dan otak kurang, sehingga seseorang menjadi mengantuk. Kedua sistem bangun dan tidur bersama- sama bekerja untuk mencapai keseimbangan yang wajar (Aemilianus, Stefanus & Servas, 2012).

  Namun, pada beberapa individu terdapat predisposisi, yaitu adanya sistem bangun yang lebih peka atau sistem hipnagogik yang kurang sempurna, sehingga ada kecenderungan untuk bangun pada rangsang yang sedikit. Diduga pada orang dengan insomnia kronik terdapat predisposisi individual ini. Sistem bangunnya berada dalam kedaan keaktifan berlebih yang kronik. Pada mereka dengan ciri- ciri ini tampak adanya denyutan jantung yang lebih cepat dibandingkan dengan orang lain, begitupun suhu badannya yang lebih tinggi. Seseorang yang menderita keadaan keaktifan fisiologik yang berlebihan ini, dapat terangsang pula keadaan mentalnya menjadi cemas, tegang, frustrasi, sehingga dapat memperkuat ketidakmampuan tidur (Anonim, 2012).

  Di samping predisposisi fisiologik ini terdapat pula kondisi- kondisi atau penyakit fisik yang mempengaruhi tidur. Sebagai contoh dapat disebut:

  1) Rasa nyeri yang hebat dan terus menerus. Setiap jenis perasaan nyeri dapat menjadikan seseorang mengalami insomnia. Pada siang hari seseorang dapat melupakannya dan tidak merasakan nyeri, tetapi di malam hari mulailah dirasakan nyeri tersebut, sehingga terganggulah tidurnya. 2) Apnoe sewaktu tidur. 3) Mioklonus nokturnal 4) Faktor dietetik (malnutrisi) 5) Efek obat dan efek putus obat 6) Faktor psikologik.

  b. Faktor penyalah gunaan zat/ obat adiktif atau intoksikasi Sebagaimana tadi telah dikatakan, mereka yang menderita insomnia sering berusaha mengobati diri sendiri dengan menggunakan alkohol atau obat- obat penenang, dengan akibat ketergantungan terhadap obat- obat itu. Walaupun pada mulanya alkohol memperbaiki masuknya tidur, tetapi kualitas tidur itu sendiri adalah kurang dalam, sehingga mereka yang menggunakan alkohol untuk tidur pada pagi harinya sering bangun dengan perasaan kurang segar.

  Pada penggunaan obat- obat penenang perlu diperhatikan adanya rebound phenomena yang dirasakan oleh yang bersangkutan sebagai sesuatu yang tidak enak. Untuk menghilangkan efek samping dari obat penenang, maka digunakan obat penenang lagi dan seterusnya, sehingga timbul ketergantungan psikik yang dapat menjadi ketergantungan fisik. Perlu dipikirkan pula kemungkinan bahwa para penyalahguna obat atau zat yang menimbulkan ketergantungan, ada kalanya melakukannya untuk mengobati diri sendiri, yaitu pada penyakit fisik atau gangguan psikiatrik. Ada pula obat- obat tertentu yang dapat menimbulkan insomnia, seperti derivat- derivat amfetamin, MAO inhibitors dan obat- obat untuk menguruskan tubuh.

  c. Faktor lingkungan atau kebiasaan yang kurang baik.

  Dalam kategori etiologik di sini dapat disebut tempat tidur yang kurang nyaman, kamar tidur terlalu terang atau terlalu berisik, iklim yang terlalu panas, dan sebagainya. Di samping itu dapat pula disebut makan atau minum hal- hal yang merangsang sebelum tidur, seperti kopi atau teh kental, makan terlalu banyak sebelum tidur, tidur terlalu lama pada hal- hal besar, sehingga terjadi insomnia pada malam harinya yang juga dikenal dengan Sunday night insomnia, melakukan usaha yang memerlukan pikiran yang intensif sebelum tidur, seperti main bridge.

  d. Pengkondisian negatif (negative conditioning) Keadaan ini terjadi apabila seseorang mengalami ketakutan untuk tidak bisa tidur dan untuk keperluan itu ia melakukan ritual- ritual atau perbuatan- perbuatan tertentu dengan maksud bisa tidur. Namun ini mempunyai akibat sebaliknya, yaitu tidak bisa tidur. Penderita dengan gangguan ini begitu takut untuk tidak bisa tidur, sehingga akhimya apa yang ditakutkan itu terlaksana benar- benar (self full filling prophecy).

  Ada pula yang sebelumnya adalah orang yang dapat tidur dengan normal, tetapi sewaktu mengalami suatu stres melakukan kebiasaan- kebiasaan yang kurang baik untuk tidur. Setelah stres hilang, dia tetap menderita insomnia. Keadaan ini juga disebut insomnia psiko- fisiologik (Salan, 1988) .

4. Fisiologi Tidur

  Tidur merupakan irama biologis yang kompleks. Apabila jam biologis seseorang sama dengan pola terjaga dan tidur, orang tersebut berada dalam sinkronisasi sirkadian. Hal ini berarti seseorang terjaga ketika fungsi fisiologis dan psikologisnya paling aktif dan tertidur ketika fungsi fisiologis dan psikolgisnya paling tidak aktif. Perubahan irama sirkadian seeorang berubah sesuai pola kebiasaan yang terjadi lebih dari 5 kali berturut- turut.

  Irama sirkadian ini dimulai saat minggu ketiga kehidupan seseorang (Kozier dkk, 2011).

  Tahapan tidur pada manusia melalui dua tahap yaitu tidur NREM (Non Rapid Eye Movement) dan REM (Rapid Eye Movement). Tidur NREM terbagi atas empat tahap, antara lain :

  1. Tahap I Tidur sangat ringan dimana individu merasa mengantuk dan rileks, bola mata bergerak- gerak dari satu sisi ke sisi lain. Tidur ini berlangsung beberapa menit dan pada tahap ini individu mudah sekali untuk terbangun.

  2. Tahap II Tahap ini individu tertidur ringan dan diikuti dengan penurunan proses tubuh. Tidur ini berlangsung antara 10- 15 menit dan merupakan 40- 45% dari total tidur.

  3. Tahap III Tahap ini frekuensi jantung dan proses tubuh menurun. Individu sulit untuk bangun dan kehilangan refleknya.

  4. Tahap IV.

  Tahap terakhir tidur NREM, dimana disebut sebagai tidur dalam. Tubuh menjadi sangat rileks dan sering terjadi mimpi serta dengkuran.

  Tahap tidur yang kedua merupakan tidur REM (Rapid Eye Movement) biasanya kembali setiap 90 menit dan berlangsung sekitar 5 sampai 10 menit. Selama tidur REM otak menjadi sangat aktif dan metabolisme otak meningkat 20%. Pada fase ini individu bisa sangat sulit dibangunkan dan dapat terbangun secara spontan (Kozier ddk, 2011).

  Siklus tidur individu melalui tahapan NREM dan REM. Siklus tidur komplit biasanya berlangsung 1,5 jam. Dalam siklus tidur pertama seseorang melalui tiga tahap tidur NREM pertama dengan total waktu 20 sampai 30 menit. Kemudian tidur memasuki tahap IV NREM dengan waktu 39 menit. Setelah itu tidur kembali ke tahap III dan II selama 20 menit. Kemudian individu masuk ke siklus tidur REM pertama selama 10 menit dan akhirnya kembali ke tahap I tidur NREM (Kozier dkk, 2011).

5. Kebutuhan Tidur Lansia

  Kebutuhan tidur lansia adalah sekitar 6 jam setiap malam. Sekitar 20% sampai 25% tidur berupa tidur REM. Tidur tahap ke IV menurun dan pada beberapa keadaan tidak terjadi tahap IV. Banyak lansia terbangun di malam hari dan seringkali mereka memerlukan waktu yang lama untuk dapat kembali tidur (Kozier dkk, 2011).

  Khasanah (2012) menyatakan perubahan tidur normal pada lansia adalah terdapat penurunan pada NREM 3 dan 4, dimana lansia hampir tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam. Perubahan pola tidur lansia disebabkan oleh perubahan sistem neurologis yang secara fisiologis akan mengalami penurunan jumlah dan ukuran neuron pada sistem saraf pusat. Hal ini mengakibatkan fungsi neurontransmiter pada sistem fisiologi neurologi menurun, sehingga distribusi norepinefrin yang merupakan zat yang merangsang tidur juga menurun. Lansia yang mengalami hal tersebut akan mengalami gangguan tidur.

  Oliveira (2010) mengungkapkan perubahan tidur yang mempengaruhi kualitas tidur dan berhubungan dengan proses penuaan antara lain peningkatkan latensi tidur, penurunan efisiensi tidur, bangun lebih awal, mengurangi tahapan tidur nyenyak dan gangguan irama sirkardian, peningkatan tidur siang. Selain itu, jumlah waktu yang diperlukan untuk tidur lebih dalam menurun. Lansia juga merasa sulit untuk tertidur dan tetap tidur.

6. Kualitas tidur

  Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun.

  Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek subjektif seperti tidur dalam dan istirahat (Khasanah & Hidayati, 2012).

  Tidur yang berkualitas tinggi adalah tidur yang nyenyak, tidak terlalu sering terbangun di tengah malam, dan apabila terbangun akan mudah untuk tertidur kembali serta tidak mengalami gangguan-gangguan yang berarti (Handayani, 2008).

  Hidayat (2007) dalam Khasanah & Hidayati (2012) menyatakan kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukan tanda- tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan menjadi tanda fisik dan tanda psikologis.

  Tanda- tanda fisik akibat kekurangan tidur antara lain : ekspresi wajah (area gelap disekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung) , kantuk yang berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi. Sedangkan tanda- tanda psikologis antara lain : menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas, daya ingat menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan mengambil keputusan menurun.

  Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Quality of Sleep

  Index (PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat ini

  terdiri dari 19 poin pertanyaan yang berada didalam 7 kompenen nilai dan 5 pertanyaan untuk lansia. 19 pertanyaan itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan dengan tidur seperti durasi tidur, latensi tidur, dan masalah tidur. Setiap komponen skor memiliki rentang nilai 0-3. Ketujuh komponen dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor lebih tinggi 5 menandakan kualitas tidur yang buruk (Buysse dkk., 1988; UPSM, 2001).

C. Terapi Benson

  1. Definisi Terapi Benson Terapi Benson adalah suatu tehnik pengobatan untuk membantu menghilangkan gangguan pola tidur pada lansia. Disebut terapi Benson karena tehnik ini ditemukan oleh salah seorang profesor, penulis, ahli jantung dan pendiri Harvard Mind/ Body Medical Institute suatu instiusi dibidang kesehatan yang meneliti kekuatan pikiran dan tubuh sebagai pengobatan yang diprakarsai oleh Dr Hebert Benson pada tahun 1960- 1970.

  Tehnik ini semula dikenal dengan istilah Relaxation Response yaitu kemampuan pribadi seseorang untuk mendorong tubuhnya agar melepaskan zat kimia dan sinyal otak yang membuat otot- otot dan organ lebih lambat dan meningkatkan aliran darah ke otak

  Tehnik relaksasi Benson pada dasarnya berlawanan dengan reaksi

  (fight or flight) respon. Menurut Benson (2000) menggunakan tehnik

  relaksasi lebih bermanfaat karena melawan efek fisiologis dari stres seperti mencederaai diri sendiri atau fight or flight response. Seringkali individu memilih untuk melawan atau menangkal perubahan fisiologis tidak nyaman seperti ketegangan otot, sakit kepala, sakit perut, balap detak jantung dan pernapasan dangkal. The fight or flight response bisa menjadi berbahaya bila menimbulkan sering. Ketika tingkat tinggi hormon stres disekresikan sering, mereka dapat berkontribusi untuk sejumlah kondisi medis yang berkaitan dengan stres seperti penyakit jantung, penyakit gagal ginjal, kelelahan adrenal dan banyak lagi.

  Terapi Benson adalah cara yang bermanfaat untuk mematikan fight or

  flight respon dan membawa tubuh kembali ke tingkat pra- stres. Benson

  (2000) menjelaskan respon relaksasi sebagai keadaan fisik relaksasi yang mendalam yang melibatkan bagian lain dari sistem- sistem saraf kita saraf parasimpatis. Penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan rutin Respon Relaksasi dapat membantu masalah kesehatan yang disebabkan atau diperburuk oleh stres kronis seperti fibromyalgia, penyakit gastrointestinal, insomnia, hipertensi, gangguan kecemasan dan lain- lain.

  Berbagai macam metode untuk memperoleh Respon Relaksasi termasuk visualisasi, relaksasi otot progresif, energi penyembuhan, akupunktur, pijat, teknik pernapasan, doa, meditasi, tai chi, qi gong, dan yoga. Relaksasi dapat juga dapat dicapai dengan menghilangkan diri dari pemikiran sehari- hari dan dengan memilih kata, suara, frase, doa atau dengan fokus pada pernapasan yang dipilih. (Benson, 2000)

  Benson (2000) mengungkapkan salah satu hal yang paling berharga yang dapat kita lakukan dalam hidup adalah belajar mendalami relaksasi dengan meluangkan waktu setiap hari untuk menenangkan pikiran kita sehingga dapat menciptakan kedamaian batin dan kesehatan yang lebih baik. Hal ini juga berlaku dalam penyembuhan dari gangguan pola tidur. Selama proses pemenuhan energi, pasien bisa rileks, menenangkan pikiran dan pengalaman menenangkan efek sementara penyembuh melakukan karyanya. Energi penyembuhan pasien telah mengalami hasil yang mendalam tidak berbeda dengan hasil yang terlihat pada studi Dr Benson.

  Terapi Benson menurut Green & Setyawati (2005) yaitu suatu tehnik pengobatan untuk membantu menghilangkan gangguan pola tidur pada lansia. Cara pengobatan ini merupakan bagian pengobatan spiritual. Pada tehnik ini pengobatan sangat fleksibel dapat dilakukan dengan bimbingan mentor, bersama- sama atau sendiri. Tehnik ini merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang- ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Tehnik pengobatan ini dapat dilakukan setengah jam dua kali sehari.

  2. Prosedur Terapi Benson Waktu terbaik untuk berlatih Respon Relaksasi adalah hal pertama di pagi hari selama sepuluh sampai dua puluh menit. Berlatih hanya sekali atau dua kali sehari dapat cukup untuk melawan respon stres dan membawa relaksasi dan kedamaian batin (Benson, 2000).

  Langkah- langkah respons terapi ini dapat dilakukan menurut Green & Setyawati (2005) adalah sebagai berikut :

  a. Pilihlah satu kata maupun kalimat singkat sesuai keyakinan dan memiliki arti khusus. Dapat berupa kalimat dzikir atau kalimat spiritual yang akan digunakan, seperti: Alhamdulillah, Subhanallah, Allahu Akbar, Astaghfirullah, Asmaul husna.

  b. Atur posisi yang nyaman. Dapat dengan duduk bersila, tangan berada di lutut atau berdiri sambil berayun maju mundur dan berdoa.

  c. Pejamkan mata dengan wajar.

  d. Kendurkan otot- otot.

  e. Bernapaslah secara alamiah. Mulai mengucapkan kalimat spiritual yang dibaca secara berulang- ulang dengan khidmat pada saat menghembuskan nafas.

  f. Bila ada pikiran yang mengganggu, kembalilah fokuskan pikiran.

  g. Tehnik ini dipraktekan selama 10 atau 20 menit.

  h. Untuk berhenti duduk terlebih dahulu dan beristirahat selama 1 atau 2 menit dan menghentikan pengulangan kata yang dipilih. Buka pikiran kembali. Barulah berdiri dan melakukan kegiatan kembali. i. Praktekan tehnik ini dua kali sehari. Akan lebih efektif bila metode ini dilakukan dalam keadaan perut kosong.

  Herbert Benson (2000) menyebutkan tehnik ini dapat diubah misalnya tidak dengan posisi duduk tapi dilakukan sambil melaksanakan gerakan jasmani.

  3. Manfaat Terapi Benson Manfaat dari tekhnik terapi Benson adalah menurut Green &

  Setyawati (2005), adalah:

  a. Mengatasi gangguan pola tidur

  b. Mengurangi nyeri c. Mengatasi kecemasan.

D. KERANGKA TEORI

  Terapi Benson Faktor yang mempengaruhi tidur:

  1. Biologi & psikologi Gangguan

  Lansia pola tidur

  2. Penggunaa Obat

  3. Pengkondisian negatif

  4. Lingkungan

  a. Mengatasi gangguan pola tidur Kualitas tidur

  b. Mengurangi nyeri meningkat c. Mengatasi kecemasan

Gambar 2.1 Joewana (2005).

  Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti

  E. KERANGKA KONSEP

  Variabel bebas Variabel terikat Terapi Benson Gangguan Pola Tidur

  Lansia

Gambar 2.2 Kerangka Konsep.

  F. Hipotesis

  Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian (Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori diatas maka hipotesis penelitian ini adalah : Ha : Ada pengaruh terapi Benson terhadap gangguan pola tidur lansia di Kelurahan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.

  Ho : Tidak ada pengaruh terapi Benson terhadap gangguan pola tidur lansia di Kelurahan Sumpiuh Kabupaten Banyumas.