1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Adhy Pramudya Bab I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena hiperrealitas dan simulakra menjadi topik yang menarik perhatian

  akademisi dan peneliti dalam lima tahun terakhir ini. Xemandros (2010) mengkaji iklan sebagai media yang sarat dengan hiperrealitas. Penelitian tersebut menyatakan bahwa iklan sebagai media promosi, seringkali memberikan informasi yang salah kepada konsumen. Kesalahan informasi tersebut ditandai dengan penawaran produk yang dikemas dengan cara yang berlebih dan melampaui batas. Meski begitu, masyarakat tetap tertarik dengan tampilan produk yang diiklankan. Kebohongan iklan pada akhirnya dinyatakan telah membuat masyarakat menjadi konsumtif. Kondisi demikian seringkali membuat konsumen terlena dengan tampilan luar iklan. Hal itu menjelaskan bahwa konsumen tidak lagi bergantung pada kebutuhan primer akan tetapi mengejar prestise dari nilai pemujaan sebuah produk. Oleh sebab itu, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa informasi yang terkandung di dalam iklan merupakan informasi yang salah atau hiperrealitas. Adapun pendekatan yang digunakan dalam adalah semiotika.

  Jusliswara (2014) meneliti perihal simbol-simbol yang terdapat di dalam film

  

Tom & Jerry justru menggambarkan wujud kekerasan secara visual. Film tersebut

  secara visual memang menampilkan perihal jenaka dengan konflik-konflik yang ditampilkan oleh kucing dan tikus. Meski begitu, tampilan kartun binatang itu justru mengandung citra kekerasan secara simbolik. Adapun teori yang digunakan untuk meneliti tanda-tanda kekerasan visual di dalamnya menggunakan pendekatan analisis simulakra.

  1 Peristiwati (2015) juga menganalis Facebook sebagai media jejaring sosial yang dijadikan alat komersial secara online. Penelitian tersebut membahas tentang transaksi jual beli yang dilakukan di dalam Facebook merupakan persoalan yang dialami oleh mahasiswi Universitas Brawijaya. Atas dasar itu, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa online shop dan tindakan konsumtif yang dilakukan oleh mahasiswi Brawijaya telah melampaui batas atau hiperrealitas. Pendekatan teori yang digunakan untuk menganalisis persoalan tersebut adalah etnologi digital.

  Sehubungan dengan itu, Saputra (2016) menelaah hiperrealitas relasi yang terdapat di dalam sinetron Tetangga Masa Gitu?. Penelitian tersebut membongkar bagaimana peran dan kedudukan perempuan yang mengambil alih kekuasaan laki-laki sebagai kepala keluarga. Adanya hal tersebut menganggap bahwa perempuan mengubah kedudukan patriarki yang biasanya dikuasai oleh laki-laki untuk mengubah kondisinya menjadi terbalik. Hal tersebut akhirnya disimpulkan sebagai hiperrealitas peran dan kedudukan perempuan yang terdapat pada sinetron Tetangga Masa Gitu?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut ialah semiotika.

  Serupa dengan kajian tersebut, Fitria (2017) menyelidiki persoalan foto-foto yang diunggah ke dalam sosial media oleh masyarakat perkotaan di Jakarta sebagai fenomena hiperrealitas. Foto-foto makan cantik yang diunggah ke dalam sosial media, dikaji sebagai hal yang berbeda dari fakta sebenarnya. perihal tersebut ternyata menampilkan perbedaan kondisi pelaku pada apa yang diunggah dengan kondisi yang sebenarnya. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masyarakat melakukan kegiatan sosial media sebagai simulasi media. Sejalan dengan itu, pendekatan yang digunakan untuk menyelidiki fenomena tersebut yakni teori simulasi dalam pandangan Jeand Baudrillard.

  Sehubungan dengan hal tersebut, fenomena hiperrealitas dan simulakra, juga terdapat pada karya sastra. Karya sastra sebagai dunia rekaan, seringkali terdapat simulakra dan hiperrealitas di dalamnya. Cerita yang dimuat di dalam karya sastra, pada hakikatnya merupakan respon pengarang terhadap kenyataan sosial yang diceritakan ulang menggunakan imajinasi dan simbol-simbol tertentu. Meski karya sastra dianggap sebagai wakil dari kenyataan sosial, namun apa yang digambarkan di dalamnya sebenarnya ialah imajinasi dan fantasi belaka. Apa yang dianggap nyata di dalam karya sastra tidak lain hanyalah realitas artifisial. Itulah kenapa, simulakra kehidupan yang berkembang pada cerita seringkali mengandung muatan kenyataan yang berlebih, yang melampaui kenyataan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, imajinasi yang telah dikreasikan oleh pengarang seolah-olah tampak seperti nyata namun sejujurnya hanya realitas fiktif belaka. Itulah sebabnya, kenyataan yang melampaui tersebut dinamakan hiperrealitas.

  Adapun cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013 ternyata mengandung hiperrealitas dan simulakra. Apalagi hiperrealitas dan simulakra itu terdapat di dalam cerpen Aku, Pembunuh Munir, karya Seno Gumira Adjidarma. Persoalan yang muncul di dalamnya terlihat sangat menyinggung kebudayaan dan kemanusiaan dengan nada provokatif. Cerpen tersebut menggambarkan dialog seorang tokoh yang menjadi dalang di balik pembunuhan aktivis Munir. Tokoh yang menyebut diri sebagai ―aku‖ di dalam cerita berbicara secara dramatis tentang apa dan bagaimana dirinya yang menyatakan sebagai anjing kurap karena dialah yang menjadi aktor intelektual pembunuhan Munir.

  Adapula cerpen ―Ulat Bulu & Syekh Daun Jati‖, karangan Agus Noor, yang melukiskan cerita pembunuhan di tahun 1965 telah mengakibatkan terjadinya wabah ulat bulu yang sangat mengerikan. Munculnya perihal tersebut oleh orang-orang kampung Jatilawang direpresentasikan sebagai jelmaan korban pembantaian orang- orang yang dituduh sebagai komunis.

  Hiperrealitas dan simulakra di dalam cerita berikutnya terdapat pada cerpen ―Serigala di Kelas Almira”, gubahan Trianto Triwikromo. Latar cerita tersebut digambarkan di sebuah sekolah merah putih dengan suasana yang sangat riuh.

  Kegaduhan yang terjadi disebabkan karena anak-anak sedang berperangai seolah-olah mereka adalah satwa liar. Hal tersebut disebabkan karena guru kelasnya menyuruh mereka untuk bercerita tentang pengalaman mimpi yang terjadi tadi malam. Kondisi itu akhirnya membuat kepala sekolah menganggap guru kelas yang mengajar anak- anak itu telah melampaui batas. Itulah sebabnya, sang guru pun dianggap gila dan dijebloskan ke rumah sakit jiwa

  Hiperrealitas dan simulakra berikutnya terdapat dalam cerpen ―Kota Tanpa

  Kata dan Air Mata

  ‖, ciptaan Noviana Kusuma Wardhani. Cerpen tersebut melukiskan tentang masyarakat kota yang terbiasa berinteraksi melalui jejaring sosial. Munculnya budaya virtual sebagai identitas modern secara nyata telah menjadi penyekat interaksi sosial antara masyarakat tradisional dan masyarakat modrn. Persoalan ini juga bernada sangat provokatif. Penggambaran cerita yang seolah-olah menyoroti kondisi itu secara dekat terasa sebagai sindiran pada para pengguna media sosial yang memanfaatkan teknologi secara berlebihan.

  Tidak kalah penting pula, cerpen ―Menebang Pohon Silsilah‖, tulisan Indra Tranggono. Secara simultan, cerpen tersebut berkisah tentang seorang anak yang menganggap ayahnya sebagai serigala ketika mencalonkan diri sebagai presiden. Hal itu ternyata memicu kebencian sang anak manakala ayahnya terbukti telah menjadi presiden. Pada saat itu, rezim kekuasaan yang digenggam oleh sang ayah dinarasikan sebagai rezim serigala. Itulah sebabnya, sang anak yang memandang masa-masa gawat itu tergerak melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menumbangkan tampuk kekuasaan yang pada saat itu digenggam oleh serigala.

  Cerpen ―Laki-Laki Tanpa Celana‖, yang dikarang oleh Joko Pinurbo, juga tidak kalah menarik. Dengan caranya sendiri cerpen itu mengilustrasikan seorang tokoh yang memuja puisi sebagai syair keramat. Sebagai seorang yang gandrung dengan puisi, ia meyakini bahwa membaca puisi baginya seringkali lebih mujarap daripada minum obat. Sejalan dengan itu, puisi baginya juga diyakini sebagai mantra yang dapat mengusir makhluk halus. Puisi yang selalu ia puja-puja, pada akhirnya telah menjerumuskan dirinya tersesat dengan benar ke dalam rimba puisi.

  Secara sederhana, uraian di atas menunjukan bahwa cerpen-cerpen tersebut telah diolah dengan gaya pengungkapan yang disisipi simbol-simbol dan perlambang untuk membuat cerita menjadi melampaui batas. Cara penyampaian yang cenderung imajinatif dan penuh reka ulang tersebut pada akhirnya menimbulkan realitas yang baru. Itulah sebabnya, persoalan hiperrealitas dan simulakra dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013 penting untuk diungkap. Topik tersebut akan dikaji dengan pendekatan hipersemiotika.

  B. Rumusan Masalah

  Adapun rumusan masalah penelitian adalah:

  1. Apa saja persoalan hiperrealitas dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013?

  2. Bagaimana proses simulakra dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013? C.

   Tujuan

  1. Mendeskripsikan apa saja persoalan hiperrealitas dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013.

  2. Mendeskripsikan proses simulakra dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013.

  D. Manfaat 1. Teoritis

  Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman tentang hiperrealitas dan simulakra dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013. Selain itu, penelitian ini juga dapat menambah wahana teori sastra postmodern bagi kalangan akademisi maupun praktisi sastra di Indonesia umumnya dan di kalangan Program Studi bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhamadiyah Purwokerto khusunya.

2. Praktis

  Secara praktis, penelitian ini dapat membantu pembaca untuk memaknai hiperrealitas dan simulakra di dalam kumpulan cerpen pilihan kompas 2013. Di sisi lain, penelitian ini dapat menjadi jembatan untuk menanggapi persoalan hiperrealitas dan simulakra dalam kebudayaan mutakhir.