KONSEP KESETARAAN TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM - Test Repository

  k o n s e p k e s e t a r a a n t a n g g g u n g j a w a b SUAMI - ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM

  u S K R I P S I

  Diajukan untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh

  Gelar Sarjana adalam Ilmu Tarbiyah Oleh:

  ANI RAHMAWATI NIM. 11406190

  SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

  2008 Jl. Tentara Pelajar No. 02 Telp. (0298) 323706, 323433 Fax. (0298) 323433 Salatiga 50721 e -m a il:

NOTA PEMBIMBING

  Lamp. : 3 (tiga) eksemplar Hal : Naskah Skripsi

  Sdri. Ani Rahmawati

  NIM. 11406190

  Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga Di

  Salatiga Assalamu’alaikum wr. wb.

  Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : ANI RAHMAWATI NIM : 11406190 Jurusan/Program : Tarbiyah / Ekstensi Judul : KONSEP KESETA RAAN TANGGUNG JAWAB

SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM

  Dengan ini kami mohon agar naskah skripsi tersebut segera di munaqosahkan. Demikian harap menjadikan perhatian.

  Wassalamu'alaikum wr. wb.

  Salatiga, Agustus 2008 Pembimbing, Muna Erawati, S.Psi., M.Si.

  NIP. 150293624

  S E K O L A H T I N G G I A G A M A IS L A M N E G E R I (S T A IN ) S A L A T IG A Tentara P elajar 02 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721

  Website :

  

PENGESAHAN SKRIPSI

  Judul K O N SEP K ESETA RA A N TANGGUNG JA W A B SUAM I

  IS T E R I DALAM PEN D ID IK A N ANAK M EN U RU T P E R S P E K T IF FE M IN ISM E ISLAM Nama ANI RA H M A W A TI NIM 11406190

  Program Studi Pendidikan Agam a Islam (PAI)

  24 Sya'ban 1429 H Salatiga,-----------------------------

  26 Agustus 2008 M Dewan Penguji,

  Ketua Sekretaris

  Im am Sutom o, M. Ag, NIP. 150216814 NIP. 150247014 Drs. H. S a'adi, M . Ag.

  A bdul Aziz N. P NIP. 150256821 NIP. 150299

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

  Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ani Rahmawati NIM :11406190 Jurusan : Tarbiyah-PAI Program : Ekstensi

  Alamat : Kaliwaru RT 28/05 Tengaran Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah benar-benar asli karya saya sendiri.

  Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

  Tengaran, Agustus 2008 Yang menyatakan,

  NIM. 11406190

  

M O T T O

i \

  U ja

  I i gt1 a JiL j gii* Uuih

  

“Dunia adalah tempat kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah

isteri yang salihah” (HR. Muslim)

  PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan kepada:

  

1. Suami tercinta Muhyidin bin Ahmad Soemyani

  2. Ananda Nufeisa Sakhiya binti Muhyidin

  3. Ayahanda Muhammad Sholeh bin Munjahid

  4. Ibunda Sudaryati binti H. Muhyidin

  5. Ibu Mertua Machsunah binti Sanusi

  6. Keluarga Besar Muhammad Sholeh

  7. Keluarga Besar Ahmad Soemyani

KATA PENGANTAR

  Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya. Sholawat serta salam mudah-mudahan tercurahkan ke pangkuan Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarganya dan segenap pengikutnya.

  Selanjutnya kepada pihak-pihak yang telah turut membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada yang terhormat: 1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M. Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga.

  2. Ibu Muna Erawati, S.Psi., M.Si. yang dengan penuh lapang dada membimbing, memberi nasihat dan arahan sejak awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini.

  3. Bapak dan Ibu Dosen STATN Salatiga serta segenap civitas akademika khususnya kepada Bapak Muhtarom Effendhi, S.H. dan staf perpustakan STAIN Salatiga yang telah memberikan layanan perpustakaan dengan ramah dan baik, dan terutama membantu penulis memperoleh data dan literatur yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

  4. Ayahanda Muhammad Sholeh dan Ibunda Sudaryati yang ridla dan doa restunya senantiasa penulis harapkan.

  5. Suami tercinta Muhyidin Abu Nufeisa yang telah membantu dalam banyak hal selama perkuliahan terutama dalam proses pembuatan dan pengetikan skripsi ini.

  6. De Mus, Mbak Pah dan Mbah Putri yang telah membantu pengasuhan putri penulis, sehingga penulis mempunyai kesempatan lebih banyak dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada semuanya, penulis berdoa jazakumullahu khairal jaza

  Penulis sadar sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oieh sebab itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

  Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya dan semoga mendapatkan ridla dari Allah SWT. Amin.

  Salatiga, Agustus 2008 P e n u l i s

  

ABSTRAK

ANI RAHMAWATI (NIM 11406190) KONSEP KESETARAAN TANGGUNG JAWAB

SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF

FEMINISME ISLAM

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut perspektif feminisme Islam. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan menggali informasi dan teori dari buku, internet, dan sumber-sumber lain yang relevan.

  Untuk mendapatkan gambaran tentang tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut perspektif feminisme Islam, penelitian ini menggunakan wawasan teori feminisme. Selanjutnya, wawasan teori feminisme tentang tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak tersebut dianalisis dengan pandangan Islam. Langkah tersebut dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan yang membahas tentang topik bersangkutan.

  Akhirnya disimpulkan bahwa menurut perspektif feminisme Islam, suami-isteri mempunyai tanggung jawab yang setara dalam pendidikan anak meskipun kesetaraan tersebut bukan kesetaraan 50/50. Hal ini disebabkan isteri mempunyai keistimewaan kodrati dalam pendidikan anak, seperti mengandung dan menyusui, yang tidak dimiliki oleh suami. Suami- isteri merupakan dwi tunggal yang bersama-sama menjalankan tugas pendidikan anak dalam keluarga, yang mana dibutuhkan adanya kerja sama dan saling pengertian diantara keduanya.

  DAFTAR ISI

  

  

  

  

  

  A. Konsep keluarga

   BAB II : PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

  

  

  

  

  

  

  BAB I : PENDAHULUAN

  

  

  

  

  

  BAB III : WAWASAN TEORI FEMINISME TENTANG TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK

  

   BAB IV : TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM

  A. Tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut B. Perspektif feminisme Islam tentang kesetaraan tanggung jawab

  

  

   DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  BABI PENDAHULUAN

  A. L atar B^iakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia dengan tabiat suka mempunyai anak sebagai salah satu perhiasan hidup dan sumber kebahagiaan jika anak-anaknya saleh. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran 3 :1 4 :

  “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.1 Juga dalam Surah Al Kahfi 18 : 46:

  'Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. *

  2 Keluarga dalam pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang isteri.2 Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang lelaki dan seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya. Dengan kata lain, keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus dimana yang satu merasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat.

  Suami-isteri merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Ketika kedua suami isteri tersebut dikaruniai seorang anak atau lebih maka anak-anak tersebut menjadi unsur utama ketiga pada keluarga melengkapi dua unsur sebelumnya. Suami, isteri dan anak mempunyai peranan penting dalam membina dan menegakkan keluarga. Suami berfungsi sebagai tongkat utama keluarga, pencari rejeki, pimpinan,teladan yang baik dan sumber terpenting dalam pendidikan dan bimbingan. Isteri berfungsi sebagai sumber utama bagi ketenteraman, ketenangan dan kasih sayang dal&m keluarga. Sedangkan anak merupakan sumber kebahagiaan suami-isteri sebagai penerus generasi.

  Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama.3 Dalam keluarga, tiap individu berkembang dan disitulah terbentuknya tahap-tahap awal proses pemasyarakatan (.socialization), dan melalui interaksi dengannya ia memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan dengan itu ia memperoleh ketenteraman dan ketenangan.

  Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, PT. Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004, him. 290

3 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995, him.

  Islam memandang keluarga sebagai lembaga hidup manusia yang dapat memberi kemungkinan celaka atau bahagianya anggota-anggota keluarga selama hidup di dunia dan akhirat. Allah SWT memerintahkan setiap manusia untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka sebagaimana firmanNya:

  ^ l i i t ijii ' , t S S * S * s s l — ' 135 I p ; 3 - jj f

  • * ,

  X ■** ^ C ) 3 j A l ^ l Qj) v'! »j V ^ I N-p

  “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengeijakan apa yang diperintahkan”.4 Penjagaan tersebut dilakukan dengan ketaatan kepada Allah SWT dan menuruti segala perintahNya serta menjauhi laranganNya. Rasulullah SAW menjadikan pendidikan anak sebagai tanggung jawab penuh kedua orang tua.5 Diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

  A j

  I AJl^»*nn Aji J « l Vj ^ lia “Tidak ada seorang pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, atau Nasrani, atau

  Majusi”.6

4 QS. At Tahrim 66 : 6

  5 Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, terj. Kuswandani, Al Mizan, Bandung, 1997, him. 36 - 37

  6 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhori, Shahih Bukhori : Jilid 3, Maktabah Dahlan, Indonesia, Tanpa Tahun, him. 1951

  Isteri/ibu dalam Islam dipandang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari suami/bapak dalam pendidikan anak, karena Islam menitikberatkan pendidikan anak atas dasar cinta kasih sayang, sedang yang paling besar cin*? kasihnya dalam keluarga terhadap anak adalah kaum ibu.7 Namun begitu, bapak pun juga mempunyai pengaruh dari kekuasaannya dalam keluarga.

  Seiring dengan perkembangan zaman, tatanan kehidupan masyarakat di sekeliling kita telah mengalami perubahan yang banyak dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satu diantaranya adalah meningkatnya keterlibatan perempuan di dunia publik. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi banyak perusahaan yang mempekeijakan perempuan, yang mana hal ini akan mempengaruhi berkurangnya lapangan keija bagi kaum lelaki.

  Sebagai akibatnya adalah munculnya fenomena wanita karir dan bapak rumah tangga sehingga isteri lebih banyak berada di luar rumah dan sebaliknya suami lebih banyak berada di rumah. Dengan demikian, tanggung jawab pendidikan anak yang semula lebih dibebankan kepada isteri berubah kepada suami.

  Kompilasi Hukum Islam pasal 77 ayat (30) menyebutkan bahwa suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agama.8 Dengan demikian, suami-isteri memiliki tanggung jawab yang setara dalam pendidikan anak.

  Uraian di atas mendorong dan menjadi latar belakang penelitian bagi penulis untuk menggali dan mempelajari serta mewujudkannya dalam sebuah penelitian dengan memilih judul : “KONSEP KESETARAAN TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM”.

  7 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama : di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, him. 80

  8 Wahyu Widiana, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Jakarta, 2001, hlm.43

  B. Rumusan Masalah

  Dalam penelitian ini pokok masalah dirumuskan sebagai berikut:

  1. Apakah hakikat keluarga menurut Islam?

  2. Bagaimanakah tanggung jawab suami-isteri dalam perspektif ekofeminisme?

  3. Bagaimanakah tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan 'anak menurut perspektif feminisme Islam?

  C. Tujuan penelitian

  Penelitian tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut konsep feminisme Islam ini bertujuan:

  1. Untuk mengetahui hakikat keluarga menurut Islam.

  2. Untuk mengetahui tanggung jawab suami-isteri dalam perspektif ekofeminisme.

  3. Untuk mengetahui tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut perspektif feminisme Islam.

  D. Kegunaan Penelitian

  Penelitian tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut konsep feminisme Islam ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis.

  1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut konsep feminisme Islam.

  2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif dan pelurusan penerapan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik dalam keluarga. E. Metode Penelitian

1. Metode Kajian

  Yang dimaksud metode kajian dalam penelitian ini adalah semua rangkaian kegiatan sebagai upaya menarik kesimpulan dari hasil kajian teori yang mendukung penelitian ini. Untuk menganalisa kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut konsep feminisme Islam, penulis menggunakan metode,

  pertama metode deskriptif yaitu dengan seteliti mungkin seluruh perkembangan,

  dengan peralihan-peralihan dan pengaruh-pengaruh satu sama lain antara arti-arti, diuraikan secara lengkap dan teratur. Kedua metode penalaran yang meliputi: a. Deduktif, yaitu berpikir dari dalil yang umum kepada peristiwa khusus.

  b. Induktif, yaitu pemakaian konsep yang ada dipelajari sebagai case-study, untuk menginventarisasikan segala arti, mengikuti semua hubungannya dan membentuk suatu sintesis.9

F. Definisi Istilah

  Penelitian dalam skripsi ini merupakan studi eksploratif - deskriptif yang akan menggambarkan serta mengecek prinsip- prinsip atau pernyataan {proporsi) umum dan menambah isi himpunan pengetahuan mengenai kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut feminisme Islam.

  Di sini perlu dikemukakan penegasan masalah sesuai dengan topik penelitian ini dengan menjelaskan definisi konseptual dan definisi secara operasional agar diperoleh kesatuan konseptual dan pemahaman masalah.

  Adapun kata kunci dari penelitian ini yang perlu dijelaskan adalah kesetaraan, tanggung jawab, suami, isteri, dan pendidikan anak.

1. Kesetaraan

  Kesetaraan berarti keadaan yang sebanding, seimbang dan sederajat.10 9 Anton Bakker, Achmad Charris Zubair, M etodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, him.

  79-81

  2. Tanggung jawab

  Tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau te»jadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan."

  3. Suami

  Suami berarti lelaki yang menjadi pasangan hidup seorang' perempuan.1

  1 Suami yang telah mempunyai anak selanjutnya disebut bapak.

  1

  12

  4. Isteri

  Isteri berarti perempuan yang telah menikah atau yang bersuami.13 Isteri yang telah mempunyai anak selanjutnya disebut ibu.

  5. Pendidikan Anak

  Terdapat sejumlah formulasi pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam dengan batasan yang sangat variatif. Diantara batasan yang sangat variatif tersebut antara lain:

  a. Ahmad Tafsir : pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai ajaran Islam.14 b. Samsul Nizar : pendidikan merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna {insan kamit). Melalui sosok pribadi yang demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis bagi dunia maupun akhirat.15

  10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, him. 820

  11 Ib id , him. 899

  12 Ibid, him. 860

  13 Ibid, him. 420 14 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, him.

  32

  15 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, him. 38 c. Abdul Hamid : pendidikan adalah proses pembentukan kepribadian yang seimbang dan sempurna dalam segenap aspek baik kejiwaan, akal, hati nurani, tingkah laku, sosial, dan jasmani serta kemampuan untuk berakomodasi dengan lingkungan hidupnya.16 d. M. Sahlan Syafei : pendidikan adalah proses membimbing anak iintuk mencapai kedewasaan.17

  Anak berarti turunan yang kedua atau manusia yang masih kecil.18 Anak menjadi generasi penerus bagi orang tua. Jadi pendidikan anak berarti proses pemberian bimbingan kepada generasi penerus agar ia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang mempunyai kepribadian seimbang dan sempurna dalam segenap aspek.

5. Feminisme Islam

  Feminisme adalah suatu aliran yang mendasarkan pemikirannya pada upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan adanya penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat serta adanya tindakan secara sadar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.19 Dalam Islam, feminisme merupakan alat analisis maupun gerakan yang selalu bersifat historis-kontekstual dalam menjawab masalah- masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan, dan ketidaksejajaran dipandang dari perspektif agama.

  Dengan demikian konsep feminisme Islam tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak berarti bagaimana cara pandang/perspektif feminisme Islam mengenai kesamaan atau kesederajatan tugas dan kewajiban suami- isteri sebagai orang tua dalam mendidik anak.

  16 Abdul Hamid Ash-Shoeid, U susu At-Tarbiyah Al-Islamiyah f i As-Sunnah An-Nabawiyah, Dar al- Arabiyah, Kairo, Tanpa Tahun, him. 25

  17 M. Sahlan Syafei, Bagaimana Mendidik Anak, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, him. 2

  18 W J,$. Poerwadarminta, op.cit., him. 38

  19 Tim Penulis, Pengantar Kajian Jender, Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, him. 87-88

G. Sistematika Penelitian

  Pembahasan dalam penelitian tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut konsep feminisme Islam ini menggunakan sistematika penelitian yang dapat digambarkan sebagai berikut: Bagian muka terdiri dari halaman sampul, lembar logo, lem bu persetujuan pembimbing, lembar persetujuan dan pengesahan, pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi.

  Bagian isi terdiri dari: Bab I : Pendahuluan Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, definisi istilah dan sistematika penelitian.

  Bab II : Kajian Pustaka Bab ini memuat tiga sub bab yaitu: A. Konsep keluarga dalam Islam B. Konsep anak dalam Islam C. Peranan keluarga dalam pendidikan anak Bab III : Penyajian Data Bab ini memuat tiga sub bab yaitu: A. Teori feminisme B. Kesetaraan jender dalam feminisme C. Ekofeminisme sebagai teori alternatif feminisme Bab IV : Analisis Bab ini memuat dua sub bab yaitu: A. Tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak B. Kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak Bab V : Penutup Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

  BAB II PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA A. Konsep Keluarga

1. Pengertian keluarga Keluarga merupakan sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan pernikahan.

  Di dalamnya hidup bersama sepasang suami-isteri secara sah karena pernikahan. Mereka sehidup semati, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin.

  Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.

  Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah.1

  Pada dasarnya keluarga adalah sebuah komunitas dalam “satu atap”. Kesadaran untuk hidup bersama dalam satu atap sebagai suami-isteri dan saling berinteraksi dan berpotensi untuk mempunyai anak dan pada akhirnya membentuk komunitas baru yang disebut keluarga. Karenanya keluarga pun dapat diberi batasan 1

1 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga : Sebuah perspektif

  Pendidikan Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, him. 16 sebagai sebuah “grup” yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita yang sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak.

  Jadi, keluarga dalam bentuk yang mumi merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat manusia.2 3

  Batasan keluarga di atas merupakan batasan keluarga secara umum. Teijadinya pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang wanita tidak selalu diikuti dengan lahirnya seorang anak. Keluarga adalah masyarakat terkecil sekurang-kurangnya terdiri dari pasangan suami-isteri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka. Jadi setidak-tidaknya keluarga adalah pasangan suami-isteri, baik mempunyai anak atau tidak sama sekali.

  Sifat-sifat keluarga yang terpenting adalah hubungan suami-istri, bentuk pernikahan dimana suami-isteri diadakan dan dipelihara, susunan nama-nama dan istilah termasuk cara menghitung keturunan, milik atau harta benda keluarga, dan pada umumnya keluarga mempunyai tempat tinggal bersama (rumah bersama).4

  Ketika sebuah keluarga terbentuk, komunitas baru karena hubungan darah pun terbentuk pula. Di dalamnya ada suami, isteri dan anak sebagai penghuninya. Saling berhubungan, saling berinteraksi di antara mereka melahirkan dinamika kelompok karena berbagai kepentingan, yang terkadang bisa memicu konflik dalam keluarga.

  Misalnya, konflik antara suami-isteri, konflik antara ayah dan anak, konflik antara ibu dan anak, dan konflik antara anak dan anak, bahkan konflik antara ayah, ibu dan anak.

  2 Hartono dan Amicum Aziz, Ilmu Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, him. 79

  3 Marsudi Sukamo, Buku Pintar Keluarga Muslim, Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan Propinsi Jawa Tengah, Semarang, 2001, him. 2

  4 Hartono dan Amicum Aziz, op.cit., him. 79

  Ketika konflik lahir, keluarga bahagia dan sejahtera sebagai suatu cita-cita bagi pasangan suami-isteri sukar diwujudkan. Penyebabnya bisa karena perbedaan pandangan, perbedaan latar belakang kehidupan, masalah ekonomi, harga diri, intervensi orang ketiga dalam masalah keluarga, dan sebagainya. Setiap orang tidak ingin ada konflik dalam keluarganya, karena hal itu disadari atau tidak dapat mengancam keutuhan keluarga. Tetapi pada umumnya, konflik ringan dalam keluarga selalu saja ada dan hal itu sukar untuk dihindari. Namun yang terpenting adalah berusaha agar konflik tersebut tidak sampai memicu kehancuran keutuhan keluarga.

  Oleh karena itu, konflik dalam keluarga harus diminimalkan untuk mewujudkan keluarga seimbang. Keluarga seimbang ditandai dengan adanya keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dan ibu, antara ayah dan anak, serta antara ibu dan anak. Setiap anggota keluarga tahu tugas dan tanggung jawab masing- masing uan dapat dipercaya.

  Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pemikiran sosial modem yang mengatakan bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat dimana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian besarnya, bersifat hubungan-hubungan langsung.5 Dalam keluarga tiap individu tumbuh dan berkembang dan disitulah tahap-tahap awal proses pemasyarakatan mulai terbentuk. Melalui interaksi-interaksi dalam keluarga tiap individu memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup.

5 Hasan Langgulung, M anusia dan pendidikan: Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, PT.

  Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004, him. 290

  13 Menurut pandangan individu, keluarga merupakan simbol bagi ciri-ciri yang mulia seperti keimanan yang teguh kepada Allah, pengorbanan, kesediaan berkorban untuk kepentingan kelompok, cinta kepada kebaikan, kesetiaan dan lain-lain yang dengannya keluarga dapat menolong individu untuk menanamkannya pada dirinya.

  Keberadaan keluarga diperlukan individu bukan hanya pada tingkat awal hidupnya dan pada masa kanak-kanak, tetapi ia memerlukannya sepanjang hidupnya, sebagai kanak-kanak, remaja, dewasa, orang tua, dan orang tua bangka untuk menanamkan pada dirinya rasa kasih sayang, rasa tenteram dan ketenangan.

  Pentingnya keluarga tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat. Keluarga menjadi ukuran ketat atau lemahnya suatu masyarakat, yakni jika keluarga kuat masyarakat pun kuat, dan jika lemah maka masyarakat pun lemah. Jika susunan dan struktur keluarga sehat, maka struktur masyarakat pun sehat, sedang kalau sakit maka masyarakat pun sakit, selanjutnya kehidupan akhlak dan sosialnya sendiri akan runtuh sebab runtuhnya dasar-dasar dan unsur-unsurnya yang terpenting.

  Oleh sebab kepentingan yang berganda yang dimiliki oleh keluarga inilah maka Islam berusaha keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan mengusahakan segala jalan untuk menolong keluarga untuk menjadi kuat dan berpadu. Islam memberi perhatian kepada keluarga sebelum terbentuknya. Perhatian ini berterusan sesudah keluarga terbentuk, memberi petunjuk kepada anggotanya tentang cara-cara bekeija sama antar anggotanya untuk menguatkan dan mengokohkannya supaya dapat memikul tanggung jawab besar yang dipikulnya, yakni pendidikan, bimbingan dan pemeliharaan.

  2. Fungsi keluarga Allah SWT memerintahkan setiap orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka sebagaimana firmanNya:

  ^ GJ l U t ijS j 1 j l 5 1 j fa 1 1^5 i y**\e. ' -y f s ^ s % -y ' i < 1 t t *•

  O O ^ a

  I L« ajjl (jj -fa*> il J-ii Ji»*^Lp “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.6 Menjaga diri berarti bahwa setiap orang yang beriman harus dapat melakukan

  se ’f education, dan melakukan pendidikan terhadap anggota keluarganya untuk

  mentaati Allah dan RasulNya.7 Dalam pandangan Islam, seseorang yang tidak berhasil mendidik diri sendiri mustahil akan dapat melakukan pendidikan kepada orang lain.

  Oleh karena itu, untuk dapat menyelamatkan orang lain, seseorang harus terlebih dahulu menyelamatkan dirinya dari api neraka. Tidak ada seorang yang tenggelam „ yang mampu menyelamatkan orang lain yang sama-sama tenggelam.

  Rasulullah SAW pun menjadikan pendidikan anak sebagai tanggung jawab penuh kedua orang tua. Tentang hal ini beliau bersabda: AJJC-J <jc-

  £ \ j “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban”.

  (HR. Bukhori Muslim)8

  6 QS. AtTahrim 66 : 6

  

7 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, him. 104

  8 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhori, Shahih B ukhari: Jilid 3, Maktabah Dahlan, Tanpa Tahun, him. 2144

  Dengan adanya tanggung jawab dan kewajiban orang tua terhadap anak tersebut, maka fungsi dan tugas orang tua adalah sebagai berikut:9 a. O rang tua sebagai pendidik keluarga

  Orang tua adalah pendidik yang pertama dsan utama yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan ruhani anak.10 1 Pendidikan 1 dalam rumah tangga bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan.11 Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergav.lan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.

  Para orang tua pada umumnya merasa bertanggung jawab atas segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan lagi bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar terpikul kepada orang tua baik diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hatinya atau tidak. Hal itu merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan tanggung jawab tersebut karena telah merupakan amanahNya yang dibebankan kepada mereka.

  Orang tua dengan pengaruhnya yang besar dapat membimbing jiwa anaknya yang sedang berkembang ke arah cita-cita yang mereka inginkan. Seorang ibu dipandang mempunyai pengaruh lebih terhadap anak karena rasa cinta kasihnya lebih besar dibanding ayah. Walaupun demikian, ayah pun mempunyai pengaruh dari kekuasaannya dalam keluarga. Ayah dan ibu merupakan dwi

  9 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, him. 74 - 83

  10 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, him. 42

11 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1982, him. 34

  tunggal yang bersama-sama menjalankan tugas pendidikan dalam keluarga. Di antara keduanya harus ada kerja sama dan saling pengertian sebaik-baiknya agar tidak timbul kontradiksi dalam menunaikan tugas tersebut baik yang bersifat pedagogis maupun psikologis.

b. Orang tua sebagai pelindung/pemelihara keluarga

  Disamping kekuasaan pendidikan, orang tua mempunyai tugas/kekuasaan kekeluargaan, yakni orang tua harus memelihara keselamatann kehidupan keluarganya baik moral maupun materialnya.

  Jaminan material bagi kelangsungan hidup keluarga antara lain berupa nafkah, baik sandang, pangan, maupun papan. Hal ini bertujuan agar keluarga dapat hidup sejahtera dan bahagia.

  Sebagai realisasi tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak, ada empat aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua.12 Empat aspek yang menjadi tiang utama dalam pendidikan anak tersebut adalah:

  1) Pendidikan ibadah Dalam pendidikan ibadah, orang tua memberikan bimbingan tentang kaifiyah untuk menjalankannya yang lebih bersifat fiqhiyah. Disamping itu, orang tua perlu menanamkan nilia-nilai yang terkandung dalam ibadah tersebut,

  b) Pokok-pokok ajaran Islam dan membaca Al Qur’an Pendidikan dan pengajaran Al Qur’an serta pokok-pokok ajaran Islam yang lain telah disebutkan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib:

12 M. Chabib Thoha, op.cit., him. 105-109

  a I c . j 4- ( ji jS Il

  “Sebaik-baik dari kamu adalah orang yang belajar Al Qur’an, kemudian mengajarkannya”. (HR. Bukhori)13 Penanaman nilai-nilai yang baik yang bersifat universal kapan pun dan dimana pun dibutuhkan oleh manusia. Penanaman nilai-nilai baik tersebut tidak hanya berdasarkan pertimbangan waktu dan tempat. Penanaman pendidikan ini harus disertai dengan contoh konkret yang masuk fikiran anak, sehingga penghayatan mereka disertai dengan kesadaran rasional, sebab dapat dibuktikan secara empirik di lapangan.

  c) Pendidikan akhlakul karimah Tekanan utama pendidikan keluarga dalam Islam adalah pendidikan akhlak, dengan jalan melatih anak membiasakan hal-hal yang baik, menghormati kedua orang tua, bertingkah laki yang sopan, baik dalam perilaku sehari-hari maupun dalam bertutur kata. Pendidikan akhlah tidak hanya dikemukakan secara teoritik melainkan disertai contoh-contoh konkret untuk dihayati maknanya.

  d) Pendidikan aqidah Islamiyah Aqidah merupakan inti dari dasar keimanan yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Hal ini telah disebutkan dalam Al Qur’an: j

j J J a J ^ • j ! 4 iitj j j / d S ^ S [ d r * - ^

j i j L u 3 ^ 3 <-4~ 3!3

  “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".14

  Praktek pendidikan Islam inilah yang dapat dipedomani bagi umat Islam, yang menyangkut empat aspek utama tersebut, yakni pendidikan ibadah, pendidikan nilai dan pengajaran Al Qur’an, pendidikan akhlakul karimah, serta pendidikan aqidah Islamiyah.

3. Syarat-syarat Pembentukan Keluarga

  Islam menyadari akan pentingnya sebuah keluarga, oleh karena itu ia berusaha keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan mengusahakan segala jalan untuk menolong keluarga untuk menjadi kuat dan berpadu. Dalam pembentukan sebuah keluarga yang berfungsi sebagai wadah yang akan mendidik anak, Islam memberikan syarat-syarat yang telah ditentukan Allah SWT seperti persyaratan keimanan, persyaratan akhlak dan persyaratan tidak adanya hubungan darah.15 Persyaratan tersebut sebagaimana termaktub di dalam beberapa ayat di antaranya:

a. Persyaratan keimanan

  Allah SWT melarang pernikahan dengan orang yang berbeda agama, seperti tersebut dalam firmanNya:

  14 QS. Lukman 31 : 13

  

15 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Ruhama, Jakarta, 1995, him. 55

  “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu, dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.16

b. Persyaratan akhlak

  Allah SWT melarang pernikahan dengan orang yang berzina, seperti tersebut dalam firmanNya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.17

c. Persyaratan tidak ada hubungan darah

  Allah SWT melarang pernikahan dengan orang yang masih dalam hubungan kekerabatan, seperti tersebut dalam firmanNya:

  16 QS Al Baqarah 2 : 221

  17 QS An Nur 2 4 : 3

  20 ✓ ^ J'* x 'j ^ " ' s . s ^ ~ ~ j’ 9 X ^ ^ ^ ^ y ^ _ ■ *" X y * * j l j

  

£ ) L £ = -*4 I <^J L « j J L* ^ f l ^ L l o J l ^ , j* j£ = = » jl U r c ^ j L4 I

ij

  ^ L*j L 2-4^ “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.18

  C^UjJ psillL>-J p s iL ^ P j p = = u ’^ p -lj p o b j j p s i L ^ l ^ = a j p Cw*J> ^ ^ 4 =p : » ^ lj i l l j j o p jjf ff o ? d ^ = =4^ 6 3 p v ^

  0 # Crf f -b ^ il> - 'S i ijijS O 1 j^ i P 4i)l ^ ■ j l «^J * l L u J j

  9 L o SfJ ^ *1 j j c j > o £)ij

  1 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak- anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.19

  18 QS. An Nisa 4 : 22

  19 QS. An-Nisa 4 : 23

  21 Setelah syarat-syarat tersebut di atas terpenuhi, maka dilaksanakanlah

  pernikahan menurut ketentuan yang diwajibkan Allah SWT. Setelah adanya ikatan pernikahan, maka masing-masing pasangan suami-isteri mempunyai hak dan kewajiban yang ditentukan. Mereka dibekali dengan beberapa petunjuk dalam mendayungkan bahtera kehidupan dengan kasih sayang dan kepatuhan kepada ketentuanNya, agar mereka dapat meraih ketentraman dan kebahagiaan (sakinah). Firman Allah SWT:

  ZSjA * , s ' s s s9' . s ' »£ > f ^ s * s ' s ' s , i _

  IfcJ! t»-'jjl

  I W * c m

  viAJ’3 j o ! 4“* ^ J j

  “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.20

  ‘ Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk doa ketika akan melakukan hubungan intim suami-isteri sebagai berikut:

  L a (jU a A u ill L ' ' ' y j j ^jU sU uuih L iu a» »11 A li!

  “Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari karunia (anak) yang Engkau berikan kepada kami”. (HR. Bukhori Muslim) Setelah terbentuknya keluarga muslim yang memenuhi persyaratan yang ditentukan Allah SWT, dan keluarga tersebut telah siap untuk mendapatkan keturunan, beberapa petunjuk dan pedoman yang membantu tercipianya kehidupan sakinah pun telah dipahami dan dilaksanakan, maka selanjutnya keluarga muda itu memohon kepada Allah SWT supaya mereka dikaruniai anak/keturunan yang saleh. Allah SWT memberi petunjuk doa yang baik diucapkan:

  “Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".21 Dengan doa di atas keluarga tersebut memohon perlidungan Allah SWT dari godaan setan, baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi anak atau keturunannya.

  Demikianlah, Islam memberi perhatian kepada keluarga sebelum terbentuknya. Perhatian ini berterusan sesudah keluarga terbentuk, memberi petunjuk kepada anggotanya tentang cara-cara bekeija sama antar anggotanya untuk menguatkan dan mengokohkannya supaya dapat memikul tanggung jawab besar yang dipikulnya, yakni pendidikan, bimbingan dan pemeliharaan. Tidak ada suatu undang-undang keluarga dalam Islam yang akan membahayakan kemasalahatan keluarga termasuk talak dan berpoligami. Sebab kedua hal ini dibenarkan untuk menghadapi masalah-masalah yang tidak dapat dihadapi selain dari cara itu.

21 QS Ali Imron 3 :3 8

  B. Konsep Anak Kejadian anak merupakan kehendak Allah SWT semata, yang menciptakan semua manusia serta segala sesuatu yang ada.22 Pandangan terhadap ar.ak sering ditentukan oleh cara seseorang dalam mengajar dan mengasuh mereka. Dalam kaitannya dengan hal itu maka perlu dibahas beberapa pandangan mengenai hakikat anak.

1. Anak sebagai orang dewasa mini

  Anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk mini, terutama di Eropa pada abad pertengahan. Yang membedakan anak dengan orang dewasa hanya ukuran dan usianya saja. Anak justru diharapkan bertingkah laku sebagai orang dewasa.

  Bahkan ai berbagai dunia ketiga, yakni di Amerika Latin dan Asia, anak-anak diharapkan produktif secara ekonomi.23 Anak-anak menjadi anggota keluarga yang ikut bekerja sebagaimana orang dewasa yang lain, walupun usia mereka masih empat, lima, atau enam tahun.

  Mendorong anak bertingkah laku seperti orang dewasa dapat menimbulkan konflik antara harapan dan kemampuan. Apabila pendidik menuntut anak bertingkah laku seperti orang dewasa, berarti hal itu berbeda dari kenyataannya sebagai anak, sehingga harapan para pendidik seperti itu tidak realistis.

2. Anak sebagai orang yang berdosa

  Pandangan anak sebagai orang berdosa yang berarti bahwa tingkah lakunya yang menyimpang merupakan dosa keturunan terjadi pada abad ke-14 sampai abad ke-18. Orang tua menganggap perbuatan anak yang bersalah sebagai dosa. Pandangan tersebut terus menetap dan muncul dalam kepercayaan orang tua, sehingga tingkah