KONSEP GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

KONSEP GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Abdul Karim

Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia E-mail: abdulkarim678@gmail.com

Fazzan

Jabatan Fiqh dan Ushul, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia

E-Mail: fazzan75@gmail.com

Zulqarnain

Jabatan Fiqh dan Ushul, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia

E-Mail: izul1975@gmail.com

Naskah diterima tanggal 15 Maret 2016, revisi I tanggal 18 April 2016, dan revisi II tanggal 22 Mei 2016

Abstract: Gratification has been practiced by Muslim since centuries ago untill now. Basically, gratifica- tion is a paying a tribute from one to another. But today, there is a legislation rule ban gratification practice. Therefore, this study will be examined the concept of gratification based on Islamic law. This study used descriptive-analytic method and normative approach, which means gratification concept is observed as accord- ing to al-Qur’an, hadist and opinion of theologians. The result of this study shows that, gratification has a very broad meaning in Islam, which may take forms in any kinds of tributes or charity. The gratification concept sometimes means shadakah, hibah, gift and risywah. The sort of gratification in Islam is classified to positive categories and negative categories. Shadakah, hibah and gift are including to positive dividend, these are rec- ommended in Islam. Yet, it will be negative dividend if state officials are as receivers. While risywah and gift (state officials) are including to negative gratification, these practices are prohibited and immoral (maksiat) based on al-Qur’an, hadist and opinion of theologians. Risywah and gift (state officials) are categorized to jarimah ta’zir, the doer can be punished with ta’zir penalty, ranging from the heaviest to it should be heaviest and lightest punishment.

Keywords: Gratification concept, Islamic law perspective.

Abstrak: Gratifikasi merupakan perbuatan yang sudah dipraktekkan oleh umat Islam semenjak dahulu sampai sekarang. Karena pada intinya gratifikasi adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain. Namun dewasa ini ada aturan perundang-undangan yang melarang amalan gratifikasi. Untuk itu, dalam kajian ini akan ditelaah konsep berkaitan dengan gratifikasi dalam tinjauan Hukum Islam. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analitik dengan pendekatan normatif, yaitu meninjau konsep grati-

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

fikasi berdasarkan al-Qur’an dan hadis serta pendapat para ulama yang telah ada yang berkaitan dengan gratifikasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa, dalam Islam gratifikasi mempunyai makna yang sangat luas, yaitu segala bentuk pemberian. Konsep gratifikasi dalam Islam adakala berupa sedekah, hibah, hadiah, dan risywah. Bentuk-bentuk gratifikasi dalam Islam tersebut ada yang termasuk ke dalam kategori positif dan kategori negatif. Gratifikasi dalam bentuk sedekah, hibah, dan hadiah termasuk ke dalam amalan grati- fikasi positif, amalan tersebut memang dianjurkan dalam Islam. Namun, amalan ini dapat berubah menjadi amalan negatif apabila penerimanya adalah petugas negara. Adapun gratifikasi dalam bentuk hadiah kepada penguasa dan risywah termasuk ke dalam gratifikasi negatif, karena dua bentuk amalan gratifikasi ini telah disebutkan dalam al-Qur’an, hadis, maupun pendapat para ulama sebagai amalan yang dilarang syara’, yaitu suatu amalan maksiat (jarimah). Gratifikasi dalam bentuk hadiah kepada penguasa dan risywah termasuk kedalam kategori jarimah ta’zir, maka pelakunya dapat dihukum dengan hukuman ta’zir, mulai hukuman terberat hingga hukuman teringan.

Kata Kunci: Konsep gratifikasi, perspektif hukum Islam.

Pendahuluan

penulis menggunakan metode deskriptif-ana- litik.

Gratifikasi dengan makna pemberian pada dasarnya merupakan suatu hal yang diboleh-

kan dalam Islam. Bahkan Islam menganjurkan Definisi Gratifikasi

memberi gratifikasi karena dengannya akan Dalam kamus Bahasa Indonesia, gratifikasi tercipta rasa kasih sayang di antara sesama. diartikan sebagai pemberian hadiah uang ke-

Pemberian gratifikasi dapat menumbuhkan pada pegawai di luar gaji yang ditentukan. 1 rasa kasih sayang tentunya pemberian yang Sedangkan dalam kamus Hukum, gratifikasi

dilakukan berlandaskan hati nurani yang tulus yang berasal dari bahasa Belanda, gratificatie, dan ikhlas, dan semata-mata hanya mengharap atau bahasa Inggrisnya gratification diartikan ridha Allah SWT. Akan tetapi, dalam realitas sebagai hadiah uang. Berdasarkan kedua defi- dan perkembangannya, gratifikasi terkadang nisi tersebut, baik dalam kamus Bahasa Indo- dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan- nesia maupun kamus Hukum, gratifikasi diar- tujuan tertentu, sebagai media untuk menda- tikan sebagai pemberian hadiah berupa uang. patkan keselamatan dan keuntungan. Dian- Definisi dalam kedua kamus tersebut bersifat taranya ialah gratifikasi yang diberikan untuk netral. Artinya, amalan gratifikasi bukanlah penguasa atau pegawai negara. Ditambah lagi merupakan suatu amalan tercela atau makna dengan diberlakukannya undan-undang yang suatu perbuatan negatif. Sedangkan objek melarang amalan gratifikasi dalam masyarakat gratifikasi dalam kamus Bahasa Indonesia Indonesia. Padahal amalan tersebut sudah laz- jelas ditujukan kepada pegawai, sementara im dilakukan oleh masyarakat. Amalan grati- dalam kamus Hukum objek gratifikasi tidak fikasi tidak luput berlaku dalam dunia Islam

ditentukan. 2

dan juga dipraktikkan oleh orang muslim di Adapun definisi gratifikasi dalam un- Indonesia. Hanya saja istilah gratifikasi secara dang-undang adalah pemberian dalam arti

harfiah tidak dikenal dalam sistem Hukum Is-

1 Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tanti Yuniar,

lam. Maka dari itu, perlu ada pengkajian un-

(Jakarta: Agung Media Mulia, t.t.), hlm. 224.

tuk mencari perbincangan Hukum Islam men-

2 Eddy OS Hiareij, “Memahami Gratifikasi”,

genai gratifikasi. Dalam melakukan kajian ini

Kompas.com, 13 Juni 2011. 2 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, 5 lebih luas dari sekedar material. Ahmad Mus-

rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa tafa al-Maraghi menjelaskan, bahwa yang di- bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, maksudkan dengan sedekah ialah bukan saja perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, memberikan suatu zat (benda) kepada orang dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik lain dengan tujuan karena Allah, tetapi boleh yang diterima di dalam negeri maupun di luar juga suatu perkhidmatan. Sebagaimana hadis negeri dan yang dilakukan dengan mengguna- Rasul SAW yang diriwayatkan daripada Abu kan sarana elektronik atau tanpa sarana elek- Aiyub yang artinya: tronik. 3

akan kutunjuki kepada kalian tentang sebaik-

Ringkasnya, dalam tinjauan undang-un-

baik sedekah dari pada memberikan suatu

dang tidak semua gratifikasi dilarang. Grati-

benda, ialah bersedekah dengan mendamaikan

fikasi yang dibolehkan oleh undang-undang kedua kelompok yang sedang bersengketa,

menyatukan kedua kelompok yang sedang ber-

adalah pemberian yang dilakukan dengan niat

pecah belah.

yang tulus dari seseorang kepada orang lain Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan

tanpa memikirkan diri sendiri artinya pembe- dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, Rasulullah bers-

rian dalam bentuk “tanda terimakasih” tanpa abda yang artinya; “sebaik-baik sedekah ialah

mengharapkan balasan apa-apa. Sedangkan mendamaikan kedua kelompok yang sedang gratifikasi yang dilarang dalam undang-un-

bertelagah”. 6

dang adalah perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Neg-

Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sedekah merupakan

ara yang dianggap sebagai perbuatan korupsi suatu amalan menyerahkan sesuatu barang/

apabila pemberian tersebut dilakukan karena zat untuk dipergunakan atau dimiliki oleh

berhubungan dengan jabatannya dan berten- orang lain karena mengharapkan pahala di-

tangan dengan kewajiban atau tugasnya. akhirat nanti, atau mengharapkan ridha Allah.

Sedekah boleh berupa zat (benda) yang ketara

Konsep Gratifikasi dalam Hukum Islam

(materi) boleh juga juga berupa jasa (non ma- teri).

1. Gratifikasi dalam Bentuk Sedekah

Ulama fikih sepakat mengatakan bahwa Sedekah ialah pemberian berupa sesuatu yang sedekah merupakan salah satu amalan yang

berguna bagi orang lain yang memerlukan ban- disyari’atkan dan hukumnya ialah sunnah. tuan (fakir dan miskin) dengan tujuan beriba- Kesepakatan mereka didasari pada surat al-

dah (mencari pahala) kepada Allah semata. 4 Baqarah 2: 280. 7 Sedekah ini disunnatkan di Quraish Shihab mengartikan sedekah sebagai setiap saat, tanpa ada batas waktu. Sedekah se-

pengeluaran harta secara ikhlas yang bersi- fat sunnah atau anjuran. Jika infaq berkenaan

5 Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab:

dengan materi maka sedekah mempunyai arti

1001 Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Ja- karta: Lentera Hati, 2008), hlm. 191.

6 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 3 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang

Jilid Ke-2, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

al-Tijariyah, t.t), hlm. 154. 4 Kamus Istilah Fiqh, Abdul Mujieb dan Mabruri

7 Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Tholhah Syafi’ah, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1994), hlm. 311.

hlm. 1619.

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain bagai amalan sunnah diterangkan melalui dal- milik seseorang kepada orang lain dikala dia

il al-Qur’an dan hadis. Adapun dalil tentang masih hidup tanpa adanya imbalan. Imam anjuran bersedekah dalam al-Qur’an separti Taqy al-Din dalam kitab Kifayat al-Akhyar yang dinyatakan di dalam nas QS. al-Baqarah menjelaskan, yang dimaksud dengan hibah

2: 245. Dan masih banyak lagi ayat al-Qur’an ialah tamliku bi‘ayri ‘iwad (pemilikan tanpa yang bercakap tentang sedekah. Adapun dasar 11 penggantian).

hukum sedekah dalam hadis ialah hadis dari Berdasarkan berbagai definisi di atas, Abu Hurayrah. 8

dengan mudah boleh dikatakan bahwa hibah Disamping sunnah, adakalanya hukum ialah suatu akad pemberian hak milik oleh sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang kepada orang lain ketika ia masih seseorang yang bersedekah mengetahui pasti hidup tanpa mengharapkan imbalan dan balas bahwa orang yang akan menerima sedekah jasa. Oleh sebab itu, hibah merupakan pem- tersebut akan mempergunakan harta sedekah berian yang murni bukan karena mengharap- untuk kemaksiatan. Adakalanya hukum kan pahala dari Allah SWT serta tidak pula sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika terbatas berapa jumlahnya. Maka apabila ses- seseorang berjumpa dengan orang lain yang eorang memberikan hartanya kepada orang sedang kelaparan hingga dapat mengancam lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan keselamatan jiwanya, sementara dia mempu- kepadanya hak pemilikan maka hal itu tidak nyai makanan yang lebih dari apa yang diper- disebut hibah, ia disebut dengan i’arah (pinja- lukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi man). Begitu juga, apabila seseorang member- wajib jika seseorang bernazar hendak ber- ikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan sedekah kepada seseorang atau lembaga.

memperoleh pahala, hal separti ini disebut dengan sedekah. Lain halnya jika tujuannya

2. Gratifikasi dalam Bentuk Hibah

untuk menghormati atau sebagai penghargaan atas prestasi seseorang baik ia berharap pahala

Hibah menurut syara’ juga diartikan ialah

9 pemilikan yang sunnat ketika hidup. atau tidak, itu dinamakan dengan hadiah. Hibah Adanya hibah juga didasari al-Qur’an

juga bermakna memberikan pemilikan harta al-Karim. Dalam al-Qur’an, penggunaan kata kepada orang lain di saat masih hidup tanpa

hibah digunakan dalam konteks pemberian Pengartian yang hampir sama anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan- juga dikemukakan Sayid Sabiq dalam kitab- nya, do’a-do’a yang dipanjatkan oleh hamba- nya Fiqh al-Sunnah, yaitu suatu akad yang hambanya, terutama para Nabi, dan menjelas- pokok perpertanyaannya pemberian harta kan sifat Allah yang Maha Memberi Kurnia.

imbalan. 10

Namun ayat tersebut boleh digunakan anjuran

8 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, al-Maktabah al- secara awam, agar seseorang memberikan se-

Syamilah, Bab Sadaqah, Jilid Ke-2, Hadis No.

bahagian rezekinya kepada orang lain, mis-

1410, (t.tp: Dar Tuq al-Najah, 1422 H), hlm.108.

9 Al-Sayyid Ab ū Bakr, I‘ānah al-Tālibīn, Jilid. alnya, QS. al-Baqarah 2: 262 dan QS. al-Mu-

Ke-4, (Beirut: D ār al-Fikr, t.t), hlm. 141.

nafiqun 63: 10.

10 ‘Abd al-‘Adim Ibn Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz: Kitab al-Taharah wa al-Salah, Alih Bahasa oleh Tim Tashfiyah LIPIA, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,

11 Taqy al-Din Abu Bakar Ibn Muhammad, Kifayat 2006), hlm. 66.

al-Akhyar (Bandung: al-Ma’arif, t.t), hlm. 323. 4 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

Dari dua dalil tersebut dapat ditarik Najamuddin Ahmad Ibn al-Rafi’ah dalam pemahaman bahwa pemberian hadiah

3. Gratifikasi dalam Bentuk Hadiah

kitabnya Kifayah Rasulullah SAW fi Syarh dianjurkan oleh Allah dan disunnahkan al-Tanbih yang dikutip oleh ‘Abd Ghani Ibn

oleh Rasulullah. Hadiah merupakan suatu Isma’il dalam Tahqiq al-Qadiyah fi al-Farq

lambang kasih sayang diantara sesama Bayna al-Risywah wa al-Hadiyah, ia berkata,

manusia. Tidak dilihat besar dan kecilnya hadiah ialah jenis-jenis kebaikan (pemberian)

pemberian tersebut.

yang mengandung makna adanya peminda- Adapun tentang menerima hadiah han hak milik tanpa alat tukar, yang mana ke-

dibolehkan juga berdasarkan firman Al- baikan itu dibawakan ke tempat orang yang

lah SWT dalam QS. al-Nisa’ 4: 4 di atas. diberi sebagai bentuk penghormatan untuk

Dan hadis-hadis yang menunjukkan di- memupuk silaturrahim. 12 bolehkannya menerima hadiah sangatlah

Adapun tinjauan Islam berkenaan dengan banyak. Di antaranya ialah hadis riwayat al-Bukhari dari Ibn ‘Umar, 15 hadis riwayat

hukum memberi dan menerima gratifikasi da-

lam bentuk hadiah dapat penulis jelaskan se- Malik dari ‘Ata’ Ibn Yasar, hadis riwayat bagai berikut:

Ahmad dari al-Muttalib Ibn ‘Abd Allah

a) Dibolehkan Memberi Hadiah. Ibn Hantab, hadis riwayat Ahmad dari

Memberi hadiah dan menerimanya Khalid Ibn ‘Ady al-Juhany, dan hadis ri-

serta membalas kepada yang memberi wayat Ahmad dari Abu Hurayrah. hadiah itu dibolehkan (tidak dimakruh-

b) Rasulullah juga Menerima Hadiah. kan) saling memberi hadiah sesama

Rasulullah ialah manusia yang dija- orang Islam, hukum ini disepakati oleh

min oleh Allah terhindar dari kesalahan mayoritas, walaupun ada sebahagian me-

(ma’sum). Beliau ialah manusia yang

makruhkannya. 13 Hadiah yang diberikan

15 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Op. Cit., hlm.

dapat melahirkan kasih sayang dalam

hati, maka sangat wajar jika Rasulullah

16 Malik, Mawata’ al-Imam Malik, al-Maktabah

menganjurkan untuk saling memberi

al-Syamilah, Bab Ma Ja’a fi al-Ta’afuf ‘an al-

dan menerima hadiah, karena faedah dan

Masa’alah, Jil. Ke-2, Hadis No. 9, (Beirut: Dar

manfaatnya amat besar bagi umat Islam.

Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1985), hlm. 998. Lihat ‘Abd Ghani Ibn Isma’il, Tahqiq al-Qadiyah fi

Memberi hadiah ialah dibolehkan, hal ini

al-Farq Bayna al-Risywah wa al-Hadiyah (t.tp.:

berdasarkan firman Allah SWT dalam al-

Maktabah al-Qur’an, 2003), hlm. 38.

Qur’an al-Karim QS. al-Nisa’ 4: 4 dan

17 Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, al-Maktabah al-

sabda Nabi Muhammad SAW dari Abu

Syamilah, Bab I ’ta’ al-Ghani min al-Tatawu’, Jil.

14 Hurayrah. Ke-6, Hadis No. 12043, (Beirut: Dar al-Kutb al-

‘Ilmiyah, 2003), hlm. 305. 18 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, al- 12 Ibid., 80-81.

Maktabah al-Syamila, Bab Hadith Khalid Ibn 13 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh

‘Ady al-Juhany ‘an al-Nabi SAW, Jil. Ke-29, Islam, (Jakarta: Putra Rizki Putra, 1997), hlm.

Hadis No. 17936, (t.tp: Mu’assasah al-Risalah, 445.

2001), hlm. 456. Sanad hadis ini sahih. Disamp- 14 Al-Turmidhi, Sunan al-Turmidhi, al-Maktabah

ing itu, hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu al-Syamilah, Bab fi Hassi, Jilid Ke-4, Hadis No.

Ya’la, al-Tabrani, Ibn Hibban dan Hakim. 2130, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba'ah

19 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam, Jilid Ke-13, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1975), hlm. 441.

Op. Cit., hlm. 299.

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain sempurna, karena setiap amalan yang ia

but di Madinah dan mengambil salah satu lakukan tidak terlepas dari pantauan dan

hamba sahaya itu untuk dirinya, yang ke- tuntunan Allah. Ia melakukan sesuatu

mudian melahirkan Ibrahim. Sedangkan bukan mengedepankan keinginannya se-

hamba sahaya yang satu lagi diberikan mata, tetapi selalu dibimbing oleh wahyu.

kepada Hasan Ibn Thabit, yang kemudian Untuk itu, Rasulullah sekalipun men-

melahirkan anak yang bernama Muham- erima hadiah, sudah pasti akan terhindar 25 mad.

dari amalan-amalan yang menyimpang. Sekurang-kurangnya dari bebera- Keputusan yang ia berikan boleh dipas-

pa hadis yang telah penulis kemukakan tikan tidak akan terpengaruh oleh had-

jelaslah Rasulullah menerima pemberian iah yang beliau terima. Oleh karena itu,

hadiah, mulai dari pemberian oleh masa- hadiah yang Nabi terima bukanlah hadiah

yarakat biasa hingga para bangsawan yang terlarang dan risywah.

negara atau penguasa. Penerimaan Rasu- Banyak dalil yang menerangkan ten-

lullah SAW terhadap hadiah merupakan tang Rasulullah SAW menerima pembe-

salah satu wujud kemurahan hatinya dan rian hadiah dari orang lain. Hal itu boleh

satu bentuk akhlak yang baik yang akan dilihat dari beberapa hadis Nabi yang di-

menyatukan hati. Memakan makanan riwayat al-Bukhari dari Abi Hurayrah, 20 yang dihadiahkan dan memakai baju yang

hadis riwayat al-Bukhari dari Anas, 21 merupakan hadiah ialah salah satu syi’ar hadis riwayat al-Tabrani dari Anas Ibn

Rasulullah SAW dan salah satu ciri beliau Malik, 22 hadis riwayat al-Bukhari dari

sebagaimana tersurat dalam nas. Abi Hurayrah, 23 dan hadis riwayat Abu

c) Tidak Boleh Memberi Hadiah kepada Ha- Dawud dari Anas Ibn Malik. 24

kim dan Pejabat.

Sebagai contoh lainnya, Nabi Mu- Dalam perbahasan yang lalu, di- hammad SAW pernah menerima hadiah

bolehkan memberi dan menerima hadiah dari penguasa Qibti. Penguasa Koptik per-

kepada sesama rakyat biasa, menerima nah memberikan hadiah kepadanya beru-

hadiah dari penguasa, dan Rasulullah pun pa dua hamba sahaya perempuan yang

pernah menerima hadiah. Akan tetapi bagi bersaudara dan seekor hewan sejenis

pejabat atau pegawai negara separti hakim kuda. Lalu Nabi memandu hewan terse-

dan lain-lain dilarang menerima hadiah. Dengan begitu dilarang juga bagi yang

20 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-3., Op. Cit., hlm. 155.

21 Ibid., Bab I’za Tahawalat al-Sadaqah, Jilid Ke-2, 25 Qutaybah al-Daynuri menulis dalam kitabnya hlm. 128.

al-Ma’arif, sebagaimana yang dikutip oleh ‘Abd 22 Al-Tabrani, al-Mu’jam al-Awsat, al-Maktabah

Ghani bin Isma’il dalam Tahqiq al-Qadiyah, al-Syamilah, Bab Man Baqiyah min Awali Ismi-

ketika menyebut anak-anak Rasulullah SAW. hi Mim min Ismihi Musa, Jilid Ke-8, Hadis No.

Qutaybah al-Daynuri mengatakan, Ibrahim Ibn 8235, (al-Qahirah: Dar al-Haramayn, t.t), hlm.

Mariyah al-Qibtiyah dilahiirkan di Madinah 150.

selepas lapan tahun kedatangan Rasulullah SAW 23 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-3, Op.

ke sana, ia hidup selama satu tahun, sepuluh bu- Cit., hlm. 153.

lan, dan lapan hari. ibunya, Mariyah al-Qibtiyah 24 Abu Dawud, Musnah Abi Dawud, al-Maktabah

merupakan hadiah dari Muqawqis, penguasa Is- al-Syamilah, Jilid Ke-3, Hadis No. 2169, (Mesir:

kandariyah, untuk Rasulullah SAW. Lihat, ‘Abd Dar Hijr, 1999), hlm. 537.

Ghani bin Isma’il, Op. Cit., hlm. 70-71. 6 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam memberinya. Karena pemberian hadiah

Dari ayat al-Qur’an dan hadis-hadis kepada pegawai negara termasuk dalam

di atas, walaupun bukan khusus bercakap amalan hadiah yang diharamkan. Hal ini

tentang konteks pemberi hadiah, karena untuk menjaga hal-hal yang tidak baik

dalam ayat dan hadis di atas lebih ke- efeknya. Apalagi memberi hadiah kepada

pada dilarangnya menerima pemberian orang yang semula belum pernah mem-

apabila dia sebagai pegawai negara, na- beri hadiah ketika dia belum memangku

mun larangan untuk memberikan boleh jabatannya. Dalam hujjah hukum Islam,

dipahami melalui mafhum mukhalafah, mengantisipasi untuk tidak terbukanya

yaitu dilarangnya petugas mengambil se- peluang untuk terjadinya penyelewengan

suatu pemberian bermakna larangan bagi ini disebut sadd al-dhari’ah. Karena didu-

seseorang memberikannya. Jadi, dari pe-

ga pemberian hadiah tersebut mempunyai mahaman mafhum mukhalafah nas-nas maksud dan tujuan tertentu, tidak sekedar

tersebut boleh dipahami bahwa bentuk kasih sayang atau persaudaraan. Hal itu

amalan yang mengatasnamakan hadiah barangkali dilakukan untuk mendapatkan

kepada penguasa atau pegawai negara sesuatu yang diinginkannya, baik berupa

ialah haram hukumnya. pekerjaan, perlindungan, dukungan, dan

Tentang pembahasan sebelumnya, pertolongan. Kalau sudah demikian ben-

bahwa Rasulullah pernah menerima had- tuknya, maka itu bukan lagi hadiah seba-

iah, itu khusus bagi Nabi, sedangkan gaimana yang telah ditakrifkan, melaink-

untuk hakim atau penguasa selain Nabi an sudah merupakan bentuk kemaksiatan,

diharamkan menerima hadiah dan mem- karena pemberian itu tidak dimaksudkan

berikan hadiah untuknya, sekalipun tanpa untuk suatu kebaikan, yaitu keinginan un-

adanya permintaan. Karena pemberian tuk mendapat ridha Allah SWT.

hadiah kepada selain Nabi, termasuk ke Pemberian hadiah kepada penguasa

dalam amalan yang dilarang. Hal ini seba- dilarang berdasarkan al-Qur’an al-Karim

gaimana kita fahami dari nas al-Qur’an QS. ‘Ali ‘Imr ān 3: 161 dan hadis Nabi

dan hadis di atas. Disamping itu juga per- Muhammad SAW riwayat al-Bukh ārī

nah dijelaskan oleh ‘Umar bin ‘Abd al- dari Abi Humayd al-Sai’dy, 26 hadis ri-

‘Aziz, ia suatu ketika diberi hadiah oleh wayat Muslim dari ‘Ad ī Ibn ‘Amiyrah

seseorang tapi ditolaknya karena waktu al-Kindy, 27 hadis riwayat al-Bukh ārī dari

itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Abu Hurayrah, 28 dan hadis riwayat Ah-

Orang yang memberi hadiah kemudian mad dari Abi Humayd al-Sai’dy. 29

berkata, ‘’Rasulullah pernah menerima hadiah’’. Lalu ‘Umar menjawab, ‘’hal itu

26 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-9, Op.

bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi

Cit., hlm. 70.

bagi kita itu ialah risywah.” 30 Jadi, setiap

27 Muslim, Sahih Muslim, al-Maktabah al-Syami- lah, Bab Tahrim Hadaya al-‘Amal, Jilid Ke-3,

hadiah yang diberikan kepada pegawai

Hadis No. 30, (t.tp: Dar Tuq al-Najah, 1422 H),

karena kedudukannya sebagai seorang

hlm. 1465.

pegawai tidak boleh diterima dan haram

28 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-4, Op. Cit., Hadis No. 3073.

30 Muhammad Y ūsuf al-Qardāwī, al-Halāl wa al- 29 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam, Jilid Ke-39,

Har ām fī al-Islām, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, Op. Cit, hlm. 14.

1994), hlm. 230.

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain hukumnya karena andaikan pejabat terse-

kebatilan atau untuk menghancurkan ke- but tidak sedang menjabat dan hanya ting-

benaran. Syaykh ‘Abd al-‘Az īz bin ‘Abd gal di rumahnya nescaya tidak akan ada

All āh bin Baz mendefinisikan risywah orang yang memberinya hadiah.

dengan memberikan harta kepada ses- Dengan demikian, hadiah juga seru-

eorang sebagai pampasan pelaksanaan pa dengan pemberian yang diharamkan,

maslahat (tugas/kewajiban) yang tugas apabila hadiah itu diberikan kepada pen-

itu harus dilaksanakan tanpa menunggu guasa. Hanya saja hukum hadiah boleh 33 ganjaran atau uang tip.

berubah bergantung pada masing-masing Dalam kitab Kasyf al-Qanna’an atau pihak yang berkaitan dengannya. Jadi

Matn al-Iqna’, karangan Mansur Ibn dapat disimpulkan sebagai berikut, dalam

Yunus Idris al-Bahuti. Definisi yang ada Islam dibolehkan memberi hadiah kepada

dalam kitab ini menurut penulis cukup sesama dan boleh menerima hadiah dari

menarik sebab ia mengemukakan bahwa orang yang sederajat dan penguasa asal-

jika pihak pertama memberikan sesuatu kan hadiah itu berpunca dari harta yang

kepada pihak kedua dalam rangka mence- baik, bukan diperolehnya dengan cara

gah pihak kedua agar tidak menzaliminya yang haram. Adapun memberikan hadiah

dan agar pihak kedua mahu melakukan kepada penguasa dilarang, karena ditakut-

kewajibannya maka pemberian semacam kan akan menyimpang dari prinsip-prin-

ini tidak dianggap risywah yang dila- sip pemberian hadiah, artinya kemungki- 34 rang agama. Senada dengan penganda-

nan tidak lagi hanya sekedar kasih sayang ian yang dikemukakan oleh al-Bahuti di dan penghargaan, tetapi ditakutkan punya

atas, Syams al-Haq al-‘Adim juga mem- maksud-maksud tertentu. Untuk mengan-

punyai pandangan yang hampir sama tisipasi perkara tersebut, maka Rasulullah 35 dengan al-Bahuti. Akan tetapi menurut

dan para sahabat menjangka sejak awal Syams al-Haq, pemberian atau risywah dengan mengharamkan pemberian hadiah

itu dilakukan harus dengan niat agar pe- kepada penguasa, hakim dan pelaksana

nyimpangan dan penyelewengan pihak negara lain.

penerima risywah boleh diubah semakin

d) Gratifikasi dalam Bentuk Risywah. baik. Dalam definisi ini dikemukakan Al-Sayyid Ab ū Bakr mendefinisikan

sebuah pengandaian, yaitu seandainya risywah dengan “memberikan sesuatu

pihak kedua melakukan kezaliman terh- agar hukum diputuskan secara tidak be-

adap pihak pertama dan pihak kedua tidak nar/tidak adil, atau untuk mencegah putu-

melaksanakan kewajiban-kewajiban yang san yang benar/adil.” 31 Definisi yang leb-

seharusnya ia lakukan terhadap pihak per- ih kurang sama diberikan oleh al-Jurj 32 āni. tama, maka dalam isu ini boleh diberikan

Sedangkan menurut Ibrahim al-Nakha’ ī,

33 Ab ū Abdul Halim Ahmad. S., Suap, Dampak dan

risywah ialah sesuatu yang diberikan

Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet. Ke-1, (Jakarta:

kepada seseorang untuk menghidupkan

Pustaka al-Kautsar, 1996), hlm. 20-21. 34 Al-Bahuti, Kasyf al-Qanna’an Matn al-Iqna’

31 Al-Sayyid Ab ū Bakr, Op. Cit., hlm. 232. Jilid Ke-6, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), hlm. 316. 32 ‘Ali al-Jurj ānī, al-Ta‘rīfāt, al-Maktabah al-

35 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Sy āmilah, http://alwarraq.com, al-Isdār al-Thānī,

Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. hlm. 111.

8 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

sesuatu berupa risywah. Dari uraian di atas boleh disimpulkan bahwa, risywah ialah sesuatu yang diberi- kan kepada hakim atau pejabat dan lain- lain dengan segala bentuk dan caranya. Sesuatu yang diberikan adakala berupa harta atau sesuatu yang bermanfaat bagi penerima, sehingga keinginan pemberi riyswah menjadi kenyataan. Dan amalan sedekah, hibah, hadiah, dan waqaf boleh berubah menjadi risywah apabila pembe- rian itu diperuntukkan kepada penguasa atau pegawai negara, dan kepada pihak lain apabila pemberian tersebut bertujuan agar pihak penerima menuruti kemahuan pihak pemberi.

Ibn ‘Abidin dengan mengutip kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk risywah. Pertama, risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah un- tuk mendapatkan keuntungan dalam ke- hakiman dan pemerintahan. Kedua, risy- wah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu. Ri- sywah model ini haram bagi yang mem- beri dan menerima. Ketiga, risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan mem- inta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil manfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya saja. Dan keem- pat, risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberi dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim ialah wa- jib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib. 36

Menurut penulis, subtansinya ada

36 Muhammad Amin, Khususyiyah Ibn ‘Abidin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1386 H), hl. 78.

dua bentuk risywah apabila ditinjau dari tujuan melakukannya. Pertama, risywah yang dilakukan dengan tujuan untuk mem- benarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Dengan kata lain, pemberian untuk membatilkan kebenaran dan mem- benarkan yang batil. Amalan risywah ini boleh mengalahkan pihak yang semestin- ya menang dan memenangi pihak yang se- patutnya kalah. Dan kedua, risywah yang dilakukan dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuangkan hak yang sepatut- nya diterima oleh pemberi (al-rasyi) atau untuk menolak kemudaratan, kezaliman, dan ketidak adilan yang dirasakan oleh pihak pemberi tersebut. Dalam arti lain, yaitu pemberian untuk mempertahankan kebenaran dan mencegah kebatilan dan kezaliman.

Berdasarkan kategori risywah yang penulis simpulkan di atas, maka hukum riyswah ada dua pula, yaitu risywah yang hukumnya haram dan risywah yang huku- mnya halal. Namun hukum dasar risywah ialah haram. Hal ini berlandaskan banyak sekali dali-dalil, baik al-Qur’an, hadis, maupun dalil-dalil ijtihadi lain yang men- erangkannya yang akan penulis uraikan berikut ini:

1) Risywah yang Hukumnya Haram.

Syariat Allah ialah cahaya yang menerangi kegelapan, maka setiap sesuatu yang dijadikan sarana untuk menolong kebatilan di atas kebenaran hukumnya haram. Dengan demikian, risywah yang dilakukan dengan tu- juan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar hukum- nya jelas haram. Karena hal ini san- gat dilarang dan sangat dibenci da- lam Islam karena sebenarnya amalan tersebut termasuk amalan yang batil.

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain Dalil al-Qur’an tentang larangan dan 39 Hurayrah.

haramnya amalan risywah tersebut Dari hadis-hadis tersebut, Rasul- ialah QS. al-Baqarah 2: 188, QS. al-

lah SAW tidak hanya melaknat orang Mai’dah 5: 42, QS. al-Mai’dah 5: 62

yang melakukan risywah. Namun dan 63.

celaan juga dialamatkan bagi orang Dari uraian pendapat para mufa-

yang menerima risywah. Hadis-hadis sirin dalam mengomentari ayat-ayat

di atas memberikan pandangan bah- di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-

wa risywah haram baik orang yang lah mengharamkan risywah dimana

memberikan maupun menerimanya. hal tersebut merupakan kebiasaan

Selain al-Qur’an dan hadis, ke- orang-orang Yahudi. Di dalam QS.

haraman risywah juga sudah menjadi al-Baqarah 2: 188 Allah melarang

kesepakatan para ulama (ijma’). Ban- memakan harta dengan cara batil atau

yak sekali dalil ijma’ yang menyebut- haram apapun jalannya. Namun di

kan bahwa risywah haram. Salah sa- ayat tersebut terdapat qarinah (bukti

tunya separti apa yang dikemukakan yang menguatkan) bahwa yang di-

oleh Imam Al-Qurtubi dalam al-Jami’ maksudkan ialah risywah. Larangan

li Ahkam, ketika menafsirkan QS. al- tersebut diperkukuhkan dengan QS.

Mai’dah 5: 42, ia mengatakan, ‘’Dan al-Mai’dah 5: 42, 62 dan 63 yang

tidak ada perbedaan hukum dikalan- merupakan celaan yang amat bu-

gan para salaf bahwa melakukan risy- ruk bagi orang-orang Yahudi karena

wah untuk menolak yang hak atau da- melakukan risywah. Maka jelas sekali

lam perkara yang dilarang merupakan pandangan al-Qur’an bahwa risywah 40 riyswah (suht) yang haram.’’ Sedan-

merupakan kejahatan awam yang di- gkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, haramkan oleh Allah dan merupakan

Imam al-Ramli yang digelar sebagai kebiasaan orang-orang kafir dari ka-

al-Syafi’i al-Saghir (Imam al-Syafi’i langan Yahudi.

kecil) menjelaskan, ‘’Bila saja ses- Adapun keharaman risywah da-

eorang mencurahkan harta untuk ber- lam hadis, banyak sekali hadis-hadis

hukum dengan yang tidak haq atau yang menjelaskan tentang keharaman

menolak berhukum dengan yang haq risywah. Di antara ialah hadis riwayat

maka ia telah berbuat risywah yang di

Abu Dawud, 41 hadis riwayat Ibn Ma- haramkan secara ijma’.’’ jah dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, 38 dan

Hamd Ibn ‘Abd al-Rahman al- hadis riwayat Al-Turmizi dari Abu

Junayd dalam bukunya juga men- jelaskan haramnya risywah secara

37 Abu Dawud, Sunan Abi Daud, Bab fi Kirahiyah al-Risywah, Jilid Ke-3., Hadis No. 3580, hlm. 300. Al-Hakim, Mustadrak ‘Ala Sahihayn, Jil.

39 Al-Turmidhi, Sunan al-Turmidhi, Jilid Ke-4, Op. Ke-4, Hadis No. 7066, (Beirut: Dar al-Kutub al-

Cit., hlm. 614.

I’lmyah, 1990), hlm. 115. 40 Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 38 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, al-Maktabah al-

Ke-6, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), Syamilah, Bab al-Ta’liz fi al-Hayf wa al-Risy-

hlm. 183.

wah, Jilid Ke-2, Hadis No. 2313, (t.tp: Dar ‘Ihya’ 41 Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Jilid Ke-8, (Bei- al-Kitab al-‘Arabiyah, t.t), hlm. 775.

rut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 255. 10 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

ijma’, sebagaimana petikannya berikut ini, “Dan sungguh telah ber- sepakat para sahabat dan pengikut, begitu juga dengan para ulama umat atas haramnya risywah dengan segala bentuknya. Dan telah terdapat nas- nas yang menjelaskan tentang pelak- sanaan dan tafsiran apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah serta berusaha menjauhinya semaksimal mungkin”. 42

Berdasarkan dalil-dali kehara- man risywah di atas, baik al-Qur’an, hadis, dan konsensus (ijma’) para ulama, maka risywah dengan segala bentuknya ialah haram. Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, salah satu bentuk amalan risywah ialah pemberiah (hadiah) yang tu- juannya untuk kebatilan. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah. Bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang pegawai yang meski tidak sedang berkaitan perkara atau urusan, karena kalau ada kebiasaan memberi hadiah sebelum menjadi pegawai, setelah menduduki jabatan terjadi peningkatan jumlah kebiasaan pemberian hadiah terse-

but. 43 Seorang pegawai juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya, nes- caya orang tersebut tidak akan mem- berikannya. 44

42 Hamd Ibn ‘Abd al-Rahman al-Junayd, Atharu Risywah fi Ta’thuri Namwi al-Iqtisadi wa Asal- ib Daf ’iha fi Zilli Syari’ah Islamiyah, (Riyad: al-Markas al-‘Arabi li Dirasah al-Amniyyah wa Tadrib, 1982), hlm. 5.

43 Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al-Mikhtar ‘al ā al-Dār al-Mukhtar Hasyiyat Ibn ‘Abidin, Jilid Ke-4, (Beirut: D ār al-Ihyā’, 1987), hlm. 34.

44 Ibid., Jilid Ke-5, hlm. 373.

Gambaran di atas memperlihat- kan ketegasan sikap ulama terhadap amalan risywah. Bahkan dalam kon- teks kehakiman, para ulama melaku- kan tindakan preventif dengan meng- haramkan penerimaan hadiah oleh seorang qadi padahal itu belum secara automatik boleh disebut risywah. Se- orang qadi tidak boleh menerima had- iah dari siapa saja, baik dalam bentuk uang atau lain bila si pemberi tidak biasanya memberi hadiah (sebelum ia menjabat). Atau orang itu pernah memberinya hadiah, tetapi setelah ia memangku jabatannya, orang terse- but melebihkan jumlah dan jenisnya. Hal ini sebagaimana yang diterang- kan dalam kitab I‘anah al-T ālibīn. 45

Dari keterangan di atas, terlihat dimana kecenderungan emosional manusia boleh mempengaruhi kepu- tusan yang akan diambilnya. Bagi mereka yang memegang kuasa di sektor awam, keadaan ini boleh men- imbulkan kerugian bagi pihak lain dan harus dicegah sejak awal. Sama halnya dengan larangan memutuskan perkara dalam keadaan emosi sedang tidak normal. Atas partimbangan itu, muncullah ketetapan hukum yang mana seorang hakim tidak dibenar- kan memutuskan hukum bagi dirinya, orang tuanya, anak-anaknya dan bagi rakan kerjanya. Tetapi mereka dipu- tuskan oleh imam atau hakim yang lain, atau penggantinya. Hal ini untuk mengelakkan tuhmah (isu pembicar- aan tidak baik). Hakim tidak dibenar- kan memutuskan suatu dasar atau hu- kum bagi sebahagian orang tua (ibu

45 Al-Sayyid Ab ū Bakr, Op. Cit., hlm. 229.

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

12 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

bapak) dan anak-anaknya, karena hal ini boleh menimbulkan jurang di pihak lain, mereka akan menilai da- lam proses pengambilan keputusan terdapat unsur nepotisme. Demikian juga kepada saudara-mara atau rakan kongsinya, dalam hal ini orang akan menganggap adanya unsur pakatan sulit.

Oleh karena itu, bagi seorang imam (pemimpin), pejabat, dan petugas haram menerima pemberi- an dari sesiapa, karena hal ini boleh melemahkan kredibiliti seorang pemimpin yang ideal berperanan se- bagai pihak yang netral terhadap se- luruh rakyatnya. Dengan menerima pemberian, termasuk hadiah, ia akan bersikap lunak dalam setiap dasar. Apalagi pelaku memberikan risywah jelas-jelas untuk suatu maksud yang dapat menghilangkan atau mengu- rangkan hak orang lain.

2) Risywah yang Hukumnya Halal. Sebahagian ulama memboleh- kan (rukhsah) amalan risywah (pem- berian) yang dilakukan dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuang- kan hak yang sepatutnya diterima oleh pemberi (al-rasyi) atau untuk menolak kemudaratan, kezaliman, dan ketidak adilan yang dirasakan oleh pihak pemberi tersebut. Karena pemberian tersebut bertujuan untuk mempertahankan kebenaran dan mencegah kebatilan dan kezaliman. Namun, ia harus bersabar terlebih dahulu sehingga Allah membukakan jalan untuknya. Mayoritas ulama ber- pendapat, risywah jenis kedua ini, yang menanggung dosanya hanya orang yang menerimanya.

Abu Lays al-Samarqand berkata, ‘’dalam kasus separti ini (risywah un- tuk mencegah kezaliman) tidak ada masalah jika seseorang menyerah- kan hartanya kepada orang lain demi

mencari kebenaran.’’ 46 Termasuk juga orang yang dibenarkan menyer- ahkan hartanya karena kasuselamatan jiwanya terancam dan tidak dimung- kinkan untuk membela diri. Pembe- rian risywah separti ini tidaklah di- larang, sebagaimana yang dimaksud dalam berfirman Allah SWT QS. Al- Baqarah 2: 286.

Dengan demikian, risywah un- tuk mempertahankan kebenaran dan mencegah marabahaya serta kezali- man itu dibenarkan jika memang tidak ada penyelesaian lain dan jika tidak diberikan risywah justru akan menimbulkan bahaya yang lebih be- sar.

Berdasarkan uraian konsep gratifikasi di atas, kelihatan bahwa dalam Islam, secara

garis besar, gratifikasi dengan berbagai macam bentuknya terbahagi ke dalam dua kelompok.

Ada yang pada dasarnya bernilai positif, di- mana syara’ memang menganjurkan akan hal itu, separti sedekah, hibah, serta hadiah, dan ada yang pada dasarnya bermakna negatif, yaitu risywah atau hadiah yang diberikan kepada penguasa yang memang sangat dila- rang Islam. Bahkan boleh jadi gratifikasi yang mengandungi nilai positif itu boleh berubah menjadi negatif, hal itu sangat bergantung dari tujuan diberikan dan kepada siapa dia memberikannya. Untuk itu, gratifikasi positif akan mendapat ganjaran positif. Dan grati- fikasi negatif tentunya akan mendapat huku-

46 ‘Abd Allah bin ‘Abd Muhsin, Suap dalam Pan- dangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 9-11.

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam man yang negatif pula.

man (‘uqubah).

Dengan melakukan analisa terhadap tiga

macam ta‘z īr, yaitu, al-ta‘zīr ‘alā al-ma‘āsī,

Hukuman Terhadap Pelaku Gratifikasi

al-ta‘z īr li al-maslahah al-‘ammah, dan al- ta‘z īr ‘ala al-mukhalafāt, maka gratifikasi

dalam Islam

Gratifikasi yang mengandungi nilai positif dalam bentuk risywah termasuk ke dalam kat- akan mendapatkan balasan yang positif, jika

egori ta‘z īr al-ta‘zīr ‘alā al-ma‘āsī. Hal ini niat dalam melakukan amalan itu semata-mata disebabkan, risywah merupakan suatu amalan karena Allah, bukan karena dipengaruhi oleh maksiat yang dilarang oleh Allah dan Rasul- faktor lain selain diri-Nya. Di antara ganjaran- Nya melalui nas, hanya saja hukumanya yang ganjaran kebaikan itu ialah, nanti sebahagian tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis. besarnya akan diperolehi di akhirat. Orang Oleh karena itu ia masuk dalam kategori yang memberi sedekah, hibah, dan hadiah, ta’zir. Karena ada penyebutan pengharaman akan menuai hasilnya nanti, bergantung amalannya saja dalam nas belum cukup me- seberapa besar pemberian itu di dunia. Bila masukkannya ke dalam klasifikasi hukuman dia berbuat banyak, maka dia akan mendapat- hudud. Jadi gratifikasi dalam bentuk risywah kan banyak, tidak akan luput kebaikan itu dari merupakan maksiat yang diharamkan selama- balasan Allah nanti, walau sedikit pun. Allah lamanya, untuknya dapat diganjar dengan hu- menjanjikan, apa saja yang diberikan sese- kuman yang berlaku untuk jar īmah ta‘zīr. orang dengan ikhlas, pasti akan memperoleh Sedangkan hukuman dalam bentuk had- balasan. Orang-orang yang memberikan har- iah boleh dikumpulkan kedalam al-ta‘z īr li al- ta mereka di jalan Allah tanpa takut menjadi maslahah al-‘ammah. Al-ta‘z īr li al-maslahah miskin, akan memperoleh rahmat yang sangat al-‘ammah hukumnya dilarang apabila me- menakjubkan. Apa saja yang dibelanjakan di menuhi syarat-syarat tertentu, karena tindakan jalan Allah akan diganjar sepenuhnya. Hal ini itu sendiri tidak bersifat maksiat. Hal ini sama sebagaimana yang disampaikan Allah SWT persis apa yang terdapat pada hadiah. Hadiah melalui beberapa firmannya dalam al-Qur’an pada dasarnya ialah suatu amalan yang dian- al-Karim QS. Al-aqarah 2: 272. jurkan, kemudian dikarenakan pemberian itu Hukuman adalah balasan untuk pelaku kepada penguasa, maka itu sudah memenuhi amalan yang dilarang dalam syariat Islam syarat amalan tersebut menjadi maksiat. Jadi yang sering disebut dengan al-‘uqubah. Di- memberinya kepada pegawai menjadi sebab mana hukuman merupakan suatu bentuk aki- hadiah dilarang. Dalam sisi yang lain, hadiah bat yang harus ditanggung akibat melalukan ini juga termasuk ke dalam al-ta‘z īr ‘alā al- sesuatu yang dilarang dalam agama (jari- ma‘ āsī, karena hadiah kepada penguasa me- mah), sebagai pemberi kasusan penghalang mang sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah, untuk pelaku dan juga sebagai pembelajaran sesuatu yang dilarang oleh Nabi berarti suatu untuk orang lain agar tidak melakukan amalan kemaksiatan. Jadi, ditinjau dari segi hadiah yang sama. Dikarena gratifikasi bentuk risy- secara awam, maka hukuman dalam bentuk wah dan hadiah kepada petugas negara dalam hadiah termasuk al-ta‘z īr li al-maslahah al- Islam merupakan suatu pesalahan terhadap ‘ammah. Dan ditinjau dari segi khusus, had- aturan syariat (al-jarimah), maka bagi pelaku iah kepada penguasa, hukuman hadiah ter- amalan tersebut layak untuk diberikan huku- masuk dalam al-ta‘z īr ‘alā al-ma‘āsī. Sedikit

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain penulis tambah, segala bentuk amalan grati- sampai membinasakan. Dengan begitu sehar-

fikasi dalam Islam, sekalipun pada awalnya usnya dalam hukuman terhadap amalan ta‘z īr bukan maksiat, maka boleh dikumpulkan ke tidak termasuk pemotongan anggota badan,

dalam al-ta‘z īr li al-maslahah al-‘ammah jika apalagi sifatnya sampai menghilangkan nya- amalan tersebut boleh terbukanya peluang ke- wa. Akan tetapi, ada sebahagian ahli hukum pada kemaksiatan, misalnya sedekah, hibah, Islam memberikan pengecualian dari keteta- waqaf, yang mana penerimanya ialah pen- pan awam tersebut, sehingga dibolehkannya guasa. Hal ini untuk menjangka kemungkinan pemberian hukuman hukuman mati dalam kat- berlakunya risywah.

egori jarimah ta‘z īr. Hal demikian dibolehkan Maka dari itu, hukuman untuk amalan jika kepentingan awam menghendakinya atau gratifikasi yang diharamkan dalam Islam ialah apabila pembasmian terhadapnya tidak boleh dalam bentuk hukuman ta’zir, hakim diberikan terealisasi kecuali dengan jalan menghukum- kuasa untuk menjatuhkan hukuman untuknya, nya sampai mati (membunuhnya). mulai dari hukuman yang paling ringan sam-

Hukuman mati yang merupakan huku- pai kepada hukuman yang paling berat sesuai man bagi pelaku jarimah ta‘z īr boleh dijatuh- dengan pesalahan atau kesalahan dalam grati- kan separti kepada pelaku jarimah mata-mata, fikasi. Untuk itu, jenis-jenis hukuman untuk pembuat fitnah, pelaku bid‘ah dan perogol amalan gratifikasi tersebut sangat berbeda, yang membahayakan. Sukar memang menga-

dan hakim mempunyai hak untuk menetapkan takan bahwa di dalam jar īmah ta‘zīr tidak ada salah satunya. Jadi jenis-jenis hukuman atau 49 hukuman mati. Oleh karena itu hukuman da-

hukuman untuk kategori jarimah ta‘z īr grati- lam bentuk hukuman mati boleh dilaksanakan fikasai ialah sebagai berikut: 47

bagi pelaku jarimah ta‘zir tertentu. Karena kasusan kerosakan yang ditimbulkannya cu-

1. Hukuman Mati

kup luar biasa. Kasusan ini sama halnya den- gan apa yang berlaku pada gratifikasi, kasu-

Hukuman mati dalam jarimah ta‘z īr disebut

48 dengan al-qatl al-siy san yang ditimbulkannya sudah merosakkan āsah. Pada hakikat- tatanan sosial masyarakat.

nya, tujuan utama hukuman ta‘z īr ialah untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak

2. Hukuman Cambuk

47 ‘Abd al-Q ādir ‘Awdah, al-Tasyrī‘ al-Jina’ī al- Para ulama sepakat memasukkan cambuk ke Isl āmī, Jilid Ke-1, (Beirut: Dār al-Kutub, 1963), dalam salah satu daripada hukuman terhadap hlm. 687-708.

jar īmah ta‘zīr. Namun para ulama berselisih

48 Hukuman mati dalam jarimah ta‘z īr disebut den-

pendapat dalam menetapkan batas tartinggi

gan al-qatl al-siy āsah karena dalam penetapan- nya ada campur tangan penguasa atau hakim. hukuman cambuk dalam ta‘z īr. Imām Abū Tentunya hal ini berbeda dengan hukuman mati Han īfah dan Muhammad berpendapat bahwa pada kasus qis ās-diyāt dan hudūd yang dikenal batas tartinggi hukuman cambuk dalam ta‘z īr dengan sebutan al-qatl al-syar‘ ī. Penyebutan al- ialah tiga puluh sembilan kali, dan menu- qatl al-syar‘ ī terhadap hukuman mati pada huku-

rut Ab

ū Yūsuf ialah tujuh puluh lima kali.

man qis

ās-diyāt dan hudūd dikarenakan ketentu-

annya sendiri sudah diatur oleh nas (al-Qur’ ān Sementara di kalangan Sy āfi‘iyyah ada tiga atau hadis) sehingga tidak ada peluang bagi pen- pendapat. Pertama, sama dengan pendapat guasa atau hakim untuk merubahnya, baik dalam artian menambah ataupun menguranginya. Ibid.

49 Ibid.

14 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam Ab ū Hanīfah dan Muhammad, yaitu batas tart- mungkin penjara seumur hidup atau sampai

inggi hukuman dalam ta‘z 51 īr ialah tiga puluh batasan bertaubat). sembilan kali. Kedua, sama dengan pendapat

Ab ū Yūsuf yaitu tujuh puluh lima kali jilid.

4. Hukuman Disalib

Dan pendapat ketiga, hukuman cambuk pada Hukuman dalam bentuk salib selain terda- ta‘z īr boleh lebih dari tujuh puluh lima kali, pat pada hukuman untuk jar īmah ta‘zīr juga tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat tedapat pada hukuman untuk jar īmah hudūd. bahwa jar īmah ta‘zīr yang dilakukan hampir Akan tetapi hukuman dalam bentuk salib sejenis dengan jar īmah hudūd. pada hukuman ta‘z īr tidak disertai oleh huku- Menurut pendapat yang popular di kalan- man mati, namum pelakunya disalib dalam gan ahli fikih Mālikī, batas tartinggi diserah- keadaan hidup dan dibolehkan untuk makan kan kepada penguasa karena hukuman ta‘z īr dan minum, tidak dilarang mengerjakan wud- didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan hu’, tetapi dalam mengerjakan solat cukup disesuaikan berdasarkan berat dan ringannya

50 dengan isy ārah saja. Dan batasnya menurut pesalahan. Jadi dalam pendapat ini tidak

ahli fikih tidak boleh melebihi dari tiga hari adanya sekatan minimum dan maksimum

dalam pemberian hukuman ta‘z īr, hukuman yang diberikan sangat bergantung kepada situ-

lamanya. 52

5. Hukuman Pengasingan

asi dan keadaan dengan partimbangan utama ialah kemaslahatan bagi masyarakat awam, Pengasingan yang dalam bahasa Arabnya bukan partimbangan individu atau kelompok disebut dengan al-hajr merupakan salah satu tertentu.

daripada hukuman untuk jar īmah ta‘zīr yang boleh dipilih oleh hakim untuk ditetapkan ke-

pada pesalah jar īmah ta‘zīr. Rasulullah per- nah melakukan hukuman untuk jar īmah ta‘zīr

3. Hukuman Penjara

Hukuman dalam bentuk penjara atau dis- dalam bentuk pengasingan bagi para pelaku ebut juga dengan hukuman kurungan dalam jar īmah, yaitu terhadap tiga orang (Ka‘ab bin Hukum Islam ada dua bentuk, yaitu pertama M ālik, Mirārah Ibn Rubay‘ah, dan Hilāl Ibn penjara terhad atau sementara (ada batas ‘Umayyah) yang mana ketiganya tidak ikut masa tertentu). Batas terendah dari hukuman serta dalam perang Tabuk. Mereka dipulaukan dalam bentuk penjara terhad ini ialah satu oleh masyarakat dengan tidak diajak bicara se- hari, sedangkan batas tartingginya menurut lama lima puluh hari, sehingga pada akhirnya Sy āfi‘iyyah ialah selama satu tahun, dengan turunlah ayat QS. al-Tawbah 9: 118. mempersamanakan (menganalogikan)-nya

kepada pengasingan dalam jar īmah al-zinā. Sedangkan ulama lain menyerahkan semuanya

6. Hukuman Denda

kepada penguasa dengan mempartimbangkan Islam juga mengenakan hukuman denda terh- al-masl āhāh. Kemudian yang kedua penjara adap pelaku jar īmah yang digolongkan dalam tidak terhad (tidak ditentukan batas masanya, kategori ta‘z īr. Misalnya mengenai pencurian

buah yang masih di pohonnya, hukuman-

50 Ibid., 689-694. Lihat juga, Wahbah al-Zuhayl ī, al-Fiqh al-Isl āmī wa Adillatuhū, (Damsyiq: Dār

51 Abd al-Q ādir ‘Awdah, Loc. Cit. al-Fikr, 1989), hlm. 5601.

52 Ibid., hlm. 689.

Al-Risalah

Vol. 16, No. 1, Juni 2016

Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain nya berupa denda dua kali ganda harga buah berikut. Pertama, sedekah ialah penyerahan