DESKRIPSI NASKAH-NASKAH SYA RIYYAH DI SUMATRA BARAT

BAB 5 DESKRIPSI NASKAH-NASKAH SYA$ $

   RIYYAH DI SUMATRA BARAT 5.1. Penjelasan Umum

  Penting dijelaskan bahwa naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah yang akan dikemukakan pada bab ini adalah naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah yang dijumpai di Sumatra Barat pada akhir abad ke-20. Semua naskah yang dijumpai tersebut ditulis dalam kertas modern, semacam kertas kuarto atau folio. Untuk kepentingan penelitian ini, penulis mendapatkan semua naskah-naskah tersebut dalam bentuk fotokopi. Oleh karenanya, pemerian bersifat kodikologis, yang biasanya diterapkan atas alas naskah tulisan tangan kuno (manuscript), akan dilakukan dengan beberapa penyesuaian.

  Secara umum, naskah-naskah ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu naskah Arab dan naskah Melayu atau Minangkabau.

5.2. Naskah Arab: Tanb¥h al-MŒsy¥

  Teks Tanb¥h al-MŒ sy¥ yang dijumpai di Sumatra Barat ini dapat dipastikan sebagai karangan Abdurrauf al-Sinkili, sama persis dengan teks yang telah dikemukakan sebelumnya. Akan tetapi, dari segi kodikologis, fisik naskahnya jauh berbeda. Penyalin naskah ini adalah seorang guru tarekat Sya‹‹Œ riyyah di Koto Tangah, Padang, Sumatra Barat, yakni Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib (lahir 18 Agustus 1922 M). 1 Sebutan “al-Khatib” tampaknya diambil dari gelar “khatib

  Mangkuto” yang disandangnya ketika pada tahun 1943, ia dinobatkan oleh masyarakat Batang Kabung sebagai khatib Jumat di mesjid setempat (Amin 2002: 5). Demikian halnya dengan 1 Tentang riwayat hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin, lihat naskah

  

otobiografinya berjudul Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin, yang

selesai ditulis pada 28 Syawwal 1423 H/9 Nopember 2002 di suraunya sendiri, yang

terletak di seberang Air Batang Kabung, Koto Tangah Tabing, Padang. Adapun

78 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  sebutan “Imam Maulana”, yang merupakan gelar yang disandangnya ketika pada tahun 1964, setelah meletakkan “jabatan” sebagai khatib Jumat, ia dinobatkan pula sebagai imam 2 salat Jumat di mesjid yang sama. Jadi, nama aslinya sendiri adalah Abdul Manaf Amin. Kata “Amin” pun sesungguhnya diambil dari nama ayahnya, yang merupakan seorang tokoh Muhammadiyah di Muara Penjalinan, Koto Tangah Padang, sedangkan ibunya bernama Fatihah.

  Imam Maulana Abdul Manaf Amin berasal dari suku Bali Mansiang. Dalam sejumlah tulisannya, nama Imam Maulana Abdul Manaf Amin ditulis lengkap, tetapi dalam sebagian tulisan yang lain nama tersebut ditulis tanpa kata al-Khatib. Untuk kepentingan konsistensi, dalam penelitian ini sendiri, penulis akan menyebut nama penyalin tersebut tanpa kata al-Khatib.

  Selain menyalin teks Tanb¥h al-MŒ sy¥ , Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga menyalin sejumlah kitab penting lainnya, seperti 3 Fatú al-RaúmŒ n karangan Syaikh ZakariyyŒ al-An§Œ r¥ , Tuúfah al- Mursalah IlŒ R´ ú al-Nab¥ karya Faèl AllŒ h al-Hind¥ al-BurhŒ np´ r¥, dll.

  Selain itu, hingga tahun 2002, ia juga mengarang tidak kurang dari 20 naskah Melayu dalam aksara Jawi, yang kebanyakan berbicara tentang ajaran dan sejarah tarekat Sya‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat. Sebagian dari naskah-naskah karangannya itu menjadi sumber utama dalam penelitian ini.

  Teks Tanb¥h al-MŒ sy¥ versi Sumatra Barat ini merupakan salah satu dari tiga teks yang dibundel menjadi satu naskah. Dua teks lainnya adalah

  Fatú al-RaúmŒ n karangan Syaikh ZakariyyŒ al-An§Œ r¥, dan Tuúfah al- Mursalah IlŒ R´ ú al-Nab¥ karya Faèl AllŒ h al-Hind¥ al-BurhŒ np´ r¥. Selain di

  bagian kolofon, judul teks selengkapnya terdapat juga di bagian depan naskah, yakni Tanb¥h al-MŒ sy¥ al-Mans´ b ilŒ $ar¥q al-QusyŒ sy¥ al-Sya‹‹Œ r¥ , penyebutan judul ini sedikit berbeda dengan empat salinan kelompok 2 naskah periode sebelum abad ke-20, yang tidak menambahkan kata al-

  

Dalam tradisi masyarakat di Minangkabau, pengangkatan seseorang sebagai khatib

dan imam salat Jumat ini seringkali dirayakan dengan mengadakan jamuan di Mesjid

3 setempat (lihat Amin 2002: 58).

  

Syaikh ZakariyyŒ al-An§Œ r¥ (w. 1520) adalah seorang ulama ahli hadis dan ahli fikih

terkemuka yang juga seorang sufi. Ia menulis sejumlah karangan mengenai tasawuf,

dan dikenal karena kegigihannya menyelaraskan antara tasawuf dengan syariat.

Berbagai karangan al-An§Œ r¥, termasuk di dalamnya kitab Fatú al-RaúmŒ n , sangat

populer di Dunia Melayu-Indonesia. Sejumlah ulama Melayu-Indonesia periode awal,

seperti Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf al-Sinkili, Syihabuddin dan Kemas

Fakhruddin Palembang, Muhammad Arsyad al-Banjari, dan lain-lain, seringkali

menjadikan kitab karangan al-An§Œ r¥ tersebut sebagai rujukan utama dalam

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  79 Sya‹‹Œ r¥ di belakangnya. Nama penyalin juga tertulis di bagian depan: …ditulis kembali oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin.

  Tidak ada penjelasan tertulis kapan dan dari naskah mana naskah ini disalin, tetapi berdasarkan pengakuan dari Imam Maulana Abdul Manaf Amin sendiri, ia menyalin naskah tersebut dari naskah milik 4 gurunya, Syaikh Ibrahim di Ampalu Tinggi. Adapun keterangan dalam kolofon naskah sendiri menyebutkan bahwa penyalinan kitab ini selesai pada 18 syawal 1089 H/03 Desember 1678. Dapat dipastikan bahwa tanggal ini tidak merujuk pada waktu disalinnya naskah Tanb¥h al-MŒ sy¥ versi Sumatra Barat ini oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, melainkan pada naskah milik Syaikh Ibrahim yang menjadi rujukan dalam proses penyalinan. Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga menambahkan bahwa naskah Tanb¥h al-MŒ sy¥ yang ia jadikan rujukan tersebut bukan hasil salinan Syaikh Ibrahim Ampalu sendiri, melainkan hanya koleksinya saja.

  Menarik dikemukakan bahwa berdasarkan informasi dalam naskah Muballigul Islam karangan H. K. Deram (w. 2000), seorang guru tarekat Sya‹‹Œ riyyah di PS Tandikat, Pariaman, Sumatra Barat, kitab Tanb¥h al-MŒ sy¥ pertama kali ditulis oleh al-Sinkili pada 18 Syawal 1080 H/11 Maret 1669 M (Deram 1997: 83). Ini artinya, jarak antara teks Tanb¥h al-MŒ sy¥ yang terdapat dalam naskah versi Sumatra Barat dengan teks aslinya (otograf) yang ditulis oleh Abdurrauf al-Sinkili sebetulnya tidak terlalu jauh, yakni sekitar 9 tahun.

  Teks Tanb¥h al-MŒ sy¥ versi Sumatra Barat ditulis dalam bingkai berukuran 17,5 x 8,5 cm, sementara naskahnya sendiri berukuran 21,5 x 16,5 cm. Teks ini terdapat dalam 5 kuras pertama dari 13 kuras yang ada, sedangkan kuras berikutnya berisi teks Fatú al-RaúmŒ n (h. 72-105) dan Tuúfah al-Mursalah IlŒ R´ ú al-Nab¥ (h. 106-166). Setiap kuras terdiri dari 8 lembar, yang berarti 16 halaman verso dan rekto. Jumlah baris dalam setiap halaman umumnya adalah 19 baris, kecuali pada halaman pertama 11 baris, dan di beberapa halaman tertentu 24 baris karena terdapat catatan kaki di dalamnya yang menggunakan font lebih kecil.

  Penulisan teks dimulai dari verso, sedangkan penomoran halaman terletak di tengah atas setiap halamannya. Tidak terdapat alihan di setiap halaman. Juga tidak terdapat ilustrasi maupun iluminasi dalam keseluruhan halaman naskah.

4 Tentang silsilah guru-guru Syaikh Ibrahim Ampalu Tinggi ini akan dikemukakan

  Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

80 Teks ditulis dengan tinta cair hitam, dan menggunakan bahasa

  Arab tanpa harakat dengan menggunakan gaya khat naskh¥. Bentuk tulisan tergolong kecil, tipis, tetapi rapi dan mudah dibaca.

  Dibanding dengan semua salinan teks Tanb¥h al-MŒ sy¥ periode awal, kandungan teks ini pada dasarnya tidak memiliki perbedaan mendasar, sehingga penulis merasa tidak perlu lagi mendeskripsikannya. Satu hal yang penting dikemukakan bahwa pada beberapa kata tertentu penyalin memberikan terjemahan dalam bahasa Melayu. Selain itu, penyalin juga menambahkan catatan kaki yang berisi penjelasan atas beberapa istilah dan pembahasan yang agak rumit. Tampaknya, terjemahan dan catatan kaki tersebut dimaksudkan untuk lebih memudahkan mur¥d dalam memahami ajaran-ajaran Sya‹‹Œ riyyah, karena al-Sinkili sendiri pada beberapa bagian tertentu — misalnya dalam hal teknik zikir dan simbol-simbol asygŒ l al-sya‹‹Œ r¥ — memang tidak menjelaskannya secara detil. Bahkan secara eksplisit al- Sinkili mengatakan bahwa untuk lebih terperincinya mengenai teknik zikir dan penjelasan atas simbol-simbol tasawuf tersebut, harus berdasarkan petunjuk Syaikh atau mursyid (Tanb¥h al-MŒ sy¥

  h. 25, 26, 28). Sebetulnya, mengingat popularitasnya, penulis yakin bahwa selain salinan naskah yang telah diperoleh ini, masih ada sejumlah salinan naskah Tanb¥h al-MŒ sy¥ lainnya yang beredar di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan para pengikut tarekat Sya‹‹Œ riyyah. Menurut pengakuan Drs. Syamsul Bahri, seorang imam tarekat Sya‹‹Œ riyyah yang juga dosen di Fakultas Ushuluddin, IAIN Imam Bonjol Padang misalnya, ia juga menyimpan salinan Tanb¥h al-MŒ sy¥ yang dimilikinya sejak kecil, ketika ia belajar tarekat Sya‹‹Œ riyyah dari ayah kandungnya. Sayang, hingga kini yang bersangkutan belum bisa memperlihatkan naskah miliknya itu karena konon katanya sedang dipinjam oleh saudaranya, Syaikh Abdul Razak, yang juga ulama tarekat Sya‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat.

  5 Di antara bukti lain bahwa teks Tanb¥h al-MŒ sy¥ begitu populer

  adalah sering dikutipnya kandungan isi teks ini dalam sumber-sumber lokal yang ditulis oleh para ulama Sya‹‹Œ riyyah.

  6 Selain itu, penulis juga

  menjumpai sebuah lembaran berisi silsilah tarekat Sya‹‹Œ riyyah yang menghubungkan Syaikh Burhanuddin Ulakan dengan gurunya, Abdurrauf al-Sinkili, dan kemudian sampai kepada guru-guru al-Sinkili berikutnya. Dalam lembaran yang tidak diketahui penulisnya tersebut disebutkan bahwa silsilah ini diambil dari kitab Tanb¥h al-MŒ sy¥ . 5 Wawancara dengan Drs. Syamsul Bahri, 17 September 2002 di IAIN Imam Bonjol Padang.

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  81 Menarik dikemukakan bahwa dalam Muballigul Islam, ketika

  menyinggung Tanb¥h al-MŒ sy¥ , H. K. Deram menjelaskan bahwa kitab ini ditulis: “…untuk pedoman oleh kaum muslimin bahwa faham waúdat al-

  wuj´ d dari Hamzah Fansuri itu sesat lagi menyesatkan… ” (ibid: 83).

  Memang, dalam kitab tersebut, al-Sinkili berusaha melakukan waúdat al-

  wuj´ d reinterpretasi atas doktrin waúdat al-wuj´ d yang oleh sebagian

  masyarakat Muslim saat itu dianggap terlalu bersifat filosofis, meskipun —masih menurut al-Sinkili— sikap sebagian Muslim lain yang menghakimi para pengikut ajaran waúdat al-wuj´ d tersebut sebagai

  7 kafir, juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

5.3. Naskah-naskah Melayu/Minangkabau

  Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, naskah- naskah yang masuk dalam kategori ini adalah naskah-naskah dalam bahasa Melayu atau bahasa Minangkabau yang ditulis oleh empat orang ulama Sya‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat, yakni Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), Mukhtar Abdullah Tuanku Sidi (w. 2001), dan Tuanku Bagindo Abbas Ulakan. Sejauh ini, naskah-naskah karangan ulama Sya‹‹Œ riyyah lainnya baru sampai pada tahap identifikasi. Naskah-naskah yang ditulis oleh empat ulama di atas pun sesungguhnya masih banyak yang belum dapat diakses. Mukhtar Abdullah Tuanku Sidi misalnya, diketahui 8 menulis sejumlah naskah yang kini disimpan oleh anak cucunya. Sayang, penulis belum dapat mengakses naskah-naskah tersebut.

  Untuk mempermudah pembacaan, naskah-naskah yang telah terkumpul dibagi menjadi dua kelompok: pertama, kelompok naskah yang bersifat ajaran, dan kedua, kelompok naskah yang bersifat kesejarahan. Namun demikian, dalam pemeriannya, yang akan dikemukakan secara detil hanya naskah-naskah yang bersifat ajaran saja, karena hal tersebut sangat diperlukan untuk melihat dinamika ajaran Sya‹‹Œ riyyah, dan membandingkan corak dan sifat ajarannya dalam satu naskah dengan naskah yang lain; sedangkan pembahasan atas naskah-naskah yang bersifat kesejarahan, terutama menyangkut kandungan isinya akan dikemukakan di bagian tersendiri. Dalam bagian ini, naskah-naskah yang bersifat kesejarahan tersebut hanya akan diperikan secara singkat saja, terutama dari aspek kodikologinya.

  Penting juga penulis kemukakan bahwa semua naskah 7 Sya‹‹Œ riyyah Melayu versi Sumatra Barat yang menjadi sumber 8 Lebih jauh tentang hal ini, lihat Fathurahman 1999.

  

Wawancara dengan Rohani, cucu dari Mukhtar Abdullah Tuanku Sidi, 14 September

82 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  utama penelitian ini ditulis di atas kertas modern, dan penulis dapatkan dalam bentuk fotokopinya.

5.3.1. Naskah-naskah yang Bersifat Ajaran a.

   Pengajian Tarekat

  Berdasarkan informasi di bagian kolofon, naskah ini diduga kuat merupakan hasil tulisan seorang mur¥d yang sedang belajar tarekat Sya‹‹Œ riyyah kepada gurunya; dalam hal ini sang mur¥d bertindak sebagai penyalin, sementara gurunya adalah pengarang. Proses penurunan teksnya sendiri tampaknya terjadi melalui tradisi lisan, yakni pengarang mengemukakan ide-idenya, kemudian penyalin mewujudkannya menjadi teks tertulis.

  Dugaan bahwa proses transmisi teks ini terjadi melalui tradisi lisan diperkuat dengan adanya beberapa istilah tasawuf berbahasa Arab yang sebetulnya sudah baku, tetapi ditulis

  ©

  dengan keliru, antara lain kata tanazzul (turun), ditulis tan azul , dan kata taraqq¥ (naik), ditulis taruka, kata musyŒ hadah , ditulis

  musyahadŒ h , dll. (h. 23). Kesalahan seperti ini sangat

  dimungkinkan akibat proses penurunan teks secara lisan (imlŒ ’). Selain itu, bahasa yang digunakan juga menunjukkan bahasa lisan yang dipakai sehari-hari di Minangkabau.

  Oleh karenanya, sangat mungkin proses transmisi teks ini terjadi melalui proses belajar mengajar dalam sebuah pengajian tarekat. Sayangnya, tidak ada keterangan mengenai kapan pengajian tarekat itu berlangsung. Kolofon selengkapnya berbunyi:

  “…disalin tarekat ini daripada tarekat Ulakan…Ungku Qadi Ulakan…wassalam, dari si penulis, H.K. Deram, PS Tandikat

  VII Koto Pariaman, 1-9-1992…”

  Dari kolofon di atas, tampak bahwa yang bertindak sebagai pemilik ide atau pengarang adalah Ungku Qadi Ulakan, dan H. K. Deram, yang menyebut dirinya sebagai penulis, bertindak sebagai penyalin. Tentang Ungku Qadi Ulakan sendiri, sejauh ini tidak banyak sumber tertulis lain yang menginformasikan lebih jauh identitasnya. Satu-satunya sumber yang menyebut nama tersebut adalah naskah Inilah

  Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Abdurrauf (Syaikh

  , karangan Imam

  Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh

  Maulana Abdul Manaf Amin, yang akan dideskripsikan di bawah. Dalam naskah ini, pengarang menceritakan

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  83

  pengalamannya bertemu dengan seorang yang ia sebut sebagai Ungku Qadi Yusuf, yang bertindak sebagai kadi di Ulakan:

  “…kemudian kami selidiki pula ke Ulakan yang bersangkut sejarah Syaikh Burhanuddin, adakah buku sejarah beliau? Diterangkan oleh Ungku Qadi Yusuf, kadi Ulakan, bahwa sejarah Syaikh Burhanuddin hilang di masa agresi Belanda dahulu…” (h. 4-5).

  Dalam naskah tersebut juga diisyaratkan bahwa Imam Maulana Abdul Manaf Amin bertemu dengan Ungku Qadi Yusuf Ulakan menjelang tahun 1993, sedangkan naskah

  

Pengajian Tarekat ini disalin tahun 1992. Artinya, diduga kuat

  bahwa Ungku Qadi Ulakan yang disebut sebagai pengarang naskah Pengajian Tarekat ini adalah Ungku Qadi Yusuf, yang bertindak sebagai kadi, semacam muft¥, di Ulakan hingga sekitar tahun 1990-an.

  Dibanding naskah-naskah lainnya, Pengajian Tarekat tergolong tipis, yakni hanya 33 halaman, dengan 12-14 baris setiap halamannya. Ukuran naskahnya sendiri adalah 21,5 x 16 cm, sedangkan ukuran teksnya 18,5 x 14 cm.

  Teks Pengajian Tarekat ditulis dalam bahasa Melayu Minangkabau dengan menggunakan tulisan Jawi berharakat dan bergaya khat naskh¥. Penulisannya sendiri tergolong tidak terlalu rapi, kendati masih bisa dibaca. Penulis mendapatkan fotokopi naskah ini dari Adriyetti Amir, salah seorang dosen di Fakultas Sastra Unand, Padang.

  Naskah Pengajian Tarekat ini mengemukakan pembahasan mendalam tentang berbagai ajaran tasawuf, antara lain mengenai hakikat makhluk (baca: manusia), hubungannya dengan Sang Pencipta. Di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œ riyyah sendiri, materi pengajian tarekat ini sering disebut sebagai “pengajian tubuh”.

  Disebutkan bahwa tubuh manusia terdiri dari dua sisi: bagian yang kasar (lahir) dan bagian yang halus (batin). Pada hakikatnya, bagian tubuh lahir tidak mempunyai kemampuan dan kehendak apa-apa, karena bagian tubuh batinlah yang menggerakannya. Pengarang menganalogikan hubungan tubuh kasar dengan tubuh halus ini dengan hubungan antara sangkar dan burung di dalamnya, jika burung bergerak, sangkar pun bergerak, demikain halnya jika burung diam, sangkar pun diam (Deram 1992: 1-3):

  Hidup tubuh nan kasar dihidup tubuh nan batin

  Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

   “...a’y Œ n kh

  sendiri terdiri dari empat unsur, yaitu: api, angin, air, dan tanah. Dalam tubuh lahir, unsur api berbentuk darah tempat bersemayamnya sifat Tuhan yang bernama al-‘A

  A’yŒ n khŒ rijiyyah

  ú ad Tuhan yang barnama Allah... (h. 6).

  Œ m nan sabanar-banar diri; ujud ma

  Œ n £Œ bitah tubuh yang halus, si ujud

  Œ rijiyyah tubuh nan kasar samangat yang tahu di sakit, padih, haus, dan lapar; a’y

  

a’yŒ n Œ bitah yang wujud dengan sebenar-benar wujud:

£ £

  84 Kuasa tubuh nan kasar dikuasa tubuh nan batin Barkahandak tubuh nan kasar dibarkahandak tubuh nan batin Mandangar tubuh nan kasar dimandangar tubuh nan batin Malihat tubuh nan kasar dimalihat tubuh nan batin Barkata tubuh nan kasar dibarkata tubuh nan batin

  yang merasakan berbagai gejala fisik, sedangkan tubuh batin adalah

  n khŒ rijiyyah

  . Menurutnya, tubuh lahir adalah a’yŒ

  bitah

  Pengarang juga menganalogikan konsep tubuh lahir dan tubuh batin ini dengan konsep a’yŒ n khŒ rijiyyah dan a’yŒ n Œ

  Tidak nan hidup Tidak nan tahu Tidak nan kuasa Tidak nan barkahandak Tidak nan mandangar Tidak nan malihat Tidak nan barkata Melainkan Allah

  Menurut pengarang, pengetahuan atas tubuh lahir dan tubuh batin ini penting untuk sampai pada penghayatan tentang hakikat Allah, karena pada hakikatnya, tubuh batin adalah ruh Allah yang ditiupkan kepada tubuh lahir, dan Dia- lah yang memiliki ‘hidup’, ‘tahu’, ‘kuasa’, ‘kehendak’, ‘mendengar’, ‘melihat’, dan ‘berkata’ tersebut, bukan dirinya sebagai tubuh lahir. Jika seorang sŒ lik telah mampu keluar dari sifat-sifat lahiriyahnya, ia akan mengetahui bahwa dalam dirinya hanya ada kehendak Tuhannya, ia sendiri bagaikan mayat yang tidak memiliki kehendak dan keinginan apapun. Keadaan inilah yang disebut oleh pengarang sebagai “mati hakiki”, yaitu mati fana, atau “mati sabanar mati”, sebagai kebalikan dari “mati suri”, yang berarti keadaan mati seperti umumnya. Dalam teks (h. 4-5), pengarang mengatakan:

  ½¥ m , yang Mahaagung; unsur angin berbentuk

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  85

  yang Mahakuat; unsur air berbentuk tulang tempat

  ú ¥

  bersemayamnya sifat Tuhan yang bernama al-‘Mu y , yang Mahahidup dan Menghidupkan; dan unsur tanah berbentuk daging tempat bersemayamnya sifat Tuhan yang bernama al-

  î ¥

ak m , yang Mahabijaksana. Tanah sendiri berasal dari air, air

  berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api berasal dari

  £

a’yŒ n Œ bitah . Jadi, pada hakikatnya, a’yŒ n khŒ rijiyyah yang

  £

  merupakan tubuh lahir, akan kembali kepada a’yŒ n Œ bitah ,

  £

  tubuh batin, dan a’yŒ n Œ bitah inilah sesungguhnya yang

  ¥ Œ

  merupakan perwujudan tujuh sifat Tuhan, yaitu: ay t , ‘Ilmu,

  Œ

Qudrat , Ir dat , Sama’, Ba§ar, dan KalŒ m (h. 9). Tetapi, kendati

  sifat Tuhan itu berbilang, pengarang tetap menegaskan bahwa pada hakikatnya sifat dan zat Allah adalah satu (Mahaesa), selain Tuhan adalah hanya bayang-bayang belaka (h. 11).

  Hal penting lain yang dikemukakan dalam Pengajian

  

Tarekat adalah tentang pentingnya seorang sŒ lik mengikuti

  segala perilaku Nabi; apapun yang dilakukan Nabi harus diikuti, demikian halnya apapun yang tidak dilakukan Nabi, hendaknya juga dihindari (h. 11-13). Hal yang unik berkaitan dengan kepatuhan ini adalah, pengarang selalu menempatkan posisi Syaikh (mursyid) setelah Nabi, bahkan dalam hal keimanan sekalipun. Artinya, yang harus dipatuhi setelah Allah dan Nabi adalah Syaikh (h. 14):

  Bahasa iman percaya akan Allah akan Nabi akan guru

Bahasa Islam manjunjung titah Allah dan titah Nabi dan titah

guru Manjauhi tagah Allah tagah Nabi tagah guru

  Dalam naskah ini, pengarang juga mengajarkan tentang kesatuan hamba dengan Tuhannya, meskipun tidak secara mutlak. Menurutnya, seorang hamba yang sudah makrifat sebagai Œ bid adalah bayang-bayang Tuhannya sebagai Ma’b´ d. Sifat yang ada pada Œ bid pada hakikatnya juga adalah sifat Ma’b´ d (h. 15-16).

  Konsep kesatuan Œ bid dan Ma’b´ d ini sesungguhnya merupakan bagian dari pembahasan pengarang tentang konsep tauhid (mengesakan Tuhan), yang terdiri dari tiga macam:

  ©

tauú¥d af’Œ l , tauú¥d §ifŒ t , dan tauú¥d Œ t . Artinya, meskipun ada

  dua entitas, yakni Œ bid dan Ma’b´ d, namun pada hakikatnya tidak ada aktivitas selain Aktivitas Tuhan (tauú¥d af’Œ l ), tidak ada sifat selain Sifat-sifat Tuhan (tauú¥d §ifŒ t ), dan tidak ada zat

86 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  inilah yang bersifat kekal, sedangkan aktivitas, sifat, dan zat selain Tuhan akan binasa (h. 20).

  Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab Pengajian Tarekat ini tampaknya memang merupakan ajaran tasawuf filosofis “tingkat tinggi”. Dalam kitab ini pula misalnya dikemukakan tentang proses penciptaan manusia (h. 20-21). Disebutkan bahwa pada awalnya manusia ini hanya berada dalam pengetahuan Allah, yakni dalam N´ r qad¥m, alamnya disebut “alam qudus”; kemudian, manusia turun ke dalam pengetahuan Muhammad, yakni dalam N´ r î ayŒ t , alamnya disebut “alam malakut”; kemudian manusia turun lagi ke alam Adam, yakni N´ r Muúammad, alamnya disebut “alam arwah”; kemudian turun lagi ke dalam tulang rusuk sang ayah, yakni

  N´ r Nufah , alamnya disebut “alam ajsam”; dan terakhir

  manusia berada di rahim ibu, yakni InsŒ n KŒ mil , dan alamnya disebut “alam insan” (h. 20-21).

  Oleh karenanya, pada hakikatnya:

  “…daging bukannya daging malainkan tulang dahulunya, karana tulang bukannya tulang malainkan urat dahulunya, karana urat bukannya urat malainkan darah dahulunya,

  £ Œ Œ karana darah bukannya darah malainkan a’y n bitah

  £ £ Œ Œ Œ Œ ´ dahulunya, a’y n bitah bukannya a’y n bitah malainkan N r

  ú ´ ú ´ Mu ammad dahulunya, N r Mu ammad bukannya N r

  ú ´ ªŒ Œ ´ ªŒ Œ Mu ammad melainkan N r t All h dahulunya, N r t All h

  Œ bukan turabit (terbit?) sendirinya malainkan bakas si ujud ‘ m ,

  Œ si ujud ‘ m itu bukan bardiri sendirinya malainkan berdiri si

  Œ ú ú ujud ‘ m pada si ujud mu ad , makna ujud mu ad Zat Allah Taala…” (h. 26-27).

  Menarik dikemukakan bahwa dalam uraian di atas, pengarang menghubungkan tahapan proses penciptaan manusia itu dengan tahapan zikir tauhid lŒ ilŒ hŒ illŒ AllŒ h ; kata

  lŒ dihubungkan dengan alam insan, kata ilŒ ha dengan alam

  ajsam, kata illŒ dengan alam arwah, dan kata AllŒ h dengan alam malakut. Sedangkan alam qudus, yang merupakan tingkatan tertinggi, dihubungkan dengan zikir H´ , yang dalam dunia tarekat memang dianggap sebagai ungkapan zikir paling mendalam.

  Tentang zikir sendiri, pengarang menyebutkan adanya empat tingkatan: pertama, zikir jal¥, yang merupakan tingkat zikir terendah, dengan tujuan untuk mensucikan tubuh lahir, kalimat zikirnya adalah lŒ ilŒ hŒ illŒ AllŒ h ; tingkatan kedua

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  87

  kalimat zikirnya adalah AllŒ h AllŒ h AllŒ h ; ketiga, zikir sirr¥, dengan tujuan untuk mensucikan nyawa, kalimat zikirnya adalah H´ AllŒ h ; dan tingkatan zikir tertinggi, atau yang keempat adalah zikir maisyur¥ (?), dengan tujuan untuk mensucikan ruhani, kalimat zikirnya adalah AllŒ h H´ (h. 22).

  b.

   KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm

  Naskah ini tersimpan sebagai koleksi dari Imam Maulana Abdul Manaf Amin, yang juga sebagai pengarangnya. Informasi tentang waktu penulisan naskah ini terdapat dalam kolofon pada halaman terakhir:

  ¥ ê Œ “Maka, selesai ditulis buku Taqw m wa al- iy m ini dengan taufik dan hidayat daripada Allah Swt pada hari Isnain, Jumadil Akhir, tahun 1406 H/1986 M, pada kampung Batang Kabung. Ditulis oleh Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin…” (h. 103).

  Naskah yang terdiri dari 103 halaman ini berukuran 21 x 15 cm, sedangkan teksnya berukuran 18 x 11 cm, dengan jumlah baris antara 19 hingga 21 baris per halaman, kecuali halaman pertama yang hanya terdiri dari 13 baris, karena di bagian atasnya diisi dengan ilustrasi bertuliskan kata-kata al-

  

taqw¥m ar¥q¥ (taqwim adalah caraku), dan diikuti oleh kalimat

  basmalah, serta kata-kata AllŒ h , Muúammad, Ab´ Bakr, ‘Umar,

  £ U mŒ n , dan ‘Al¥.

  Teks ini ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawi dan khat naskh¥ yang cukup rapih dan mudah dibaca. Pada halaman 25 terdapat ilustrasi tentang jadwal bilangan taqwim.

  Pada dasarnya, naskah ini berisi tentang prinsip-prinsip dan cara menghitung bulan (úisŒ b taqw¥m ) untuk mengetahui awal bulan Qamariyah. Secara khusus, naskah ini juga mengemukakan tuntunan untuk menentukan awal puasa Ramadhan dan awal bulan Syawal melalui metode ru’yat al-

  

hilŒ l (melihat bulan). Pengarang mengemukakan berbagai

  persoalan tersebut dengan mengemukakan dalil-dalil, terutama yang bersumber dari hadis Nabi. Pada halaman kedua, Imam Maulana Abdul Manaf Amin menulis:

  “Adapun kemudian daripada itu, maka inilah suatu kitab yang ú Œ ¥ menerangkan masalah is b taqw m dan masalah puasa ramadhan, dan hal-hal yang bersangkut dengan keduanya…” (h. 2).

88 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  Menurut Imam Maulana Abdul Manaf Amin, berdasarkan beberapa petunjuk dalam hadis Nabi, metode úisŒ b

  taqw¥m berlaku untuk menentukan semua bulan Islam, kecuali

  bulan Ramadhan dan bulan Syawwal. Kedua bulan ini tidak bisa ditentukan melalui metode úisŒ b taqw¥m , melainkan melalui ru’yat al-hilŒ l (melihat bulan), karena adanya hadis lain yang secara khusus mengatur penentuan awal dua bulan tersebut (h. 36-38).

  Lebih dari itu, dan ini yang penting dalam konteks penelitian ini, pengarang menjelaskan bahwa prinsip-prinsip menghitung bulan dan menentukan awal puasa Ramadhan serta awal bulan syawal yang dikemukakannya adalah merupakan salah satu ciri dari praktek beragama para penganut tarekat Sya‹‹Œ riyyah. Oleh karenanya, dalam naskah ini, secara berulang-ulang pengarang mendefinisikan corak beragama kaum Sya‹‹Œ riyyah sebagai:

  “…yang bermazhab SyŒ fi’¥, beri’tikad ahl al-sunnah wa al- Œ jam ’ah , bertasawuf atas tarekat Sya‹‹ar¥, membilang bulan

  ú Œ ¥ memakai is b taqw m , dan memasuki puasa dengan ru’yat al-

  Œ hil l , artinya melihat bulan di malam ketiga puluh Sya’ban…” (h. 72).

  Di bagian lain, pengarang juga menjelaskan bahwa ajaran úisŒ b taqw¥m serta ru’yat al-hilŒ l ini merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Syaikh Burhanuddin Ulakan, yang mendapatkan pengetahuan dari gurunya, Syaikh Abdurrauf al- Sinkili di Aceh. Dalam hal ini, pengarang menulis:

  “Beliau Syaikh Burhanuddin menuntut ilmu pada Syaikh Abdurrauf adalah bermacam-macam ilmu, di antaranya yaitu ú § ilmu tafsir, fikih, na w arf (gramatika Arab, pen.), tauhid dan tasawuf. Tasawufnya atas tarekat sya‹‹ar¥, dan ilmu untuk

  ú Œ mencari tanggal satu hari bulan arab yang bernama is b

  ¥ taqw m …” (h. 69).

  Dalam konteks Minangkabau, ajaran úisŒ b taqw¥m Syaikh Burhanuddin ini kemudian disebarluaskan oleh murid-murid utamanya, yaitu, antara lain:

1. Syaikh Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting

  Batusangkar, yang menyebarkan ajaran úisŒ b taqw¥m ini hingga ke Tanah Datar;

2. Syaikh Tarapang (Syaikh Pandan Baico) dari Kubung

  Tiga Belas Solok, yang menyebarluaskan ke daerah Solok dan Sijunjung;

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  89 3.

  Syaikh Abdul Muhsin (Syaikh Supayang) dari Supayang, yang menyebarluaskan ke daerah Alahan Panjang Muara Labuh dan Lubuk Gadang; 4. Syaikh Muhammad Nasir (Syaikh Surau Baru) dari

  Koto Tangah Padang, yang menyebarluaskan di Koto Tangah Pauh Lubuk Bagalung Padang, dan sekitarnya; 5. Syaikh Buyung Muda (Syaikh Bayang) dari Bayang

  Bandar, yang menyebarluaskan ke seluruh Bandar Sibupuluh hingga ke Kuraji; dan 6. Syaikh Jalaluddin Kapeh Kapeh dari Paninjauan

  Padang Panjang, yang menyebarluaskan ke Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota Payakumbuh. Imam Maulana Abdul Manaf Amin menegaskan bahwa dengan tersebarnya ajaran Syaikh Burhanuddin ke berbagai pelosok di Minangkabau ini, maka:

  “…waktu itu seluruh Minangkabau satu mazhab, yaitu mazhab Imam SyŒ fi’¥, satu iktikad yaitu iktikad ahl al-sunnah wa Œ al-jam ’ah , satu tasawuf yaitu atas tarekat Sya‹‹ar¥, dan satu bilangan bulan yaitu ú is Œ b taqw ¥ m , dan satu cara memasuki

  Œ puasa, yaitu dengan ru’yat al-hil l , artinya melihat bulan di malam ketiga puluh, tidak ada pertikaian…(h. 73).

  Perbedaan pendapat, dan kemudian pertikaian, khususnya menyangkut penentuan awal bulan puasa Ramadhan dan awal bulan Syawwal, menurut pengarang naskah ini, baru muncul pada tahun 1207 H/1792 M ketika tarekat Naqsyabandiyah mulai menancapkan akarnya di wilayah Sumatra Barat. Imam Maulana Abdul Manaf Amin menulis:

  “…kemudian pada tahun 1207 H, duduklah mengajar di Kampung Cangking Koto Candung Ampat Angkat Bukit Tinggi, seorang ulama yang dimasyhurkan orang dengan Tuan Syaikh Koto Tuo (Tuan Syaikh Cangking) yang mengajarkan agama Islam yang bermazhab Imam SyŒ fi’¥, dan beriktikad ahl

  Œ al-sunnah wa al-jam ’ah , tetapi dalam tasawuf atas tarekat naqsyabandi, dan untuk memasuki puasa memakai bilangan lima tidak memakai rukyat…Semenjak itulah baru ada pertikaian tarekat dan pertikaian puasa di Minangkabau yang sebelumnya hanya satu saja pengamalan penduduk di Minangkabau ini, tidak ada pertikaiannya…(h. 73-74).

  Akhirnya, di bagian akhir, pengarang sedikit mengemukakan tentang penegasan bahwa tarekat Sya‹‹Œ riyyah

90 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  yang dibawa oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan tidak mengajarkan dan tidak mengembangkan ajaran waúdat al-

  wuj´ d . Dikemukakannya bahwa: “…ulama yang menuduh tarekat Syaikh Burhanuddin

  ú ´ berfaham wa dat al-wuj d adalah kurang tahu pada sejarah Syaikh Burhanuddin…di sini kita jelaskan supaya jangan sama pula kita dengan ulama yang buta sejarah itu…(h. 74).

  c.

   RisŒlah M¥zŒn al-Qalb

  Naskah ini merupakan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin lainnya, yang juga bertindak sebagai pengarang. Penegasan tentang nama pengarang dan tempat penulisan, terdapat di bagian sampul depan naskah: “…disusun oleh Imam

  Maulana Abdul Manaf Amin pada qoryah Batang Kabung Koto Tangah Tabing Padang… ”. Selain itu, masih di bagian sampul

  depan, tertulis juga tujuan ditulisnya naskah ini, yakni: “…untuk bahan pertimbangan bagi kaum Muslimin buat beramal

  ibadat kepada Allah… ”; Keterangan tentang nama pengarang,

  tempat, dan tujuan penulisan naskah ini juga terdapat pada halaman 2, dengan tambahan bahwa penulisannya: “…dibantu

  oleh yang mulia Abu Syaikh Haji Salif Tuanku Sutan Guru Besar pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Batang Kabung, Tabing Padang… ”.

  Naskah ini berukuran 21 x 15 cm, sedangkan teksnya berukuran 18 x 11 cm, dengan jumlah baris antara 19 hingga 21 baris per halaman, hanya halaman 2 yang terdiri dari 11 baris, karena di bagian atasnya diisi dengan ilustrasi bertuliskan kata-

  £

  kata AllŒ h , Muúammad, Ab´ Bakr, ‘Umar, U mŒ n , dan ‘Al¥, yang diulang sebanyak dua kali. Tebal naskahnya sendiri adalah 208 halaman; yang dihitung mulai dari halaman berisi judul dan identitas penulis, serta berakhir pada dua halaman berisi daftar isi.

  Teks RisalŒ h M¥zŒ n al-Qalb ditulis dengan aksara Jawi, menggunakan jenis khat naskh¥ yang tergolong rapi, sehingga sangat mudah dibaca. Waktu penulisannya, seperti terdapat di bagian mukaddimah, adalah pada tanggal 27 Jumadil Awwal 1410 H atau 26 Desember 1989 M.

  Adapun latar belakang penulisan naskah ini dikemukakan oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin:

  “Adapun sebabnya maka disusun buku ini adalah berkehendak setengah saudara kita untuk memberi penjelasan

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  91 tentang adanya dua faham untuk beramal ibadat kepada Allah, yaitu disebut orang Kaum tua (kaum kuno) dan Kaum muda (kaum baru) sehingga kami orang awam merasa ragu-ragu manakah yang akan diikuti…Oleh karena kita banyak membaca buku-buku sejarah dan buku hadis, maka dapatlah saya mengabulkan kehendak saudara-saudara kita itu barang alakadarnya” (h. 3).

  Dari ungkapan di atas, naskah ini, menurut pengarangnya, ditulis atas permintaan orang ketiga, dalam hal ini sebagian kalangan Muslim awam, yang meminta fatwa kepada pengarang berkaitan dengan adanya perdebatan antara kelompok Muslim modernis, yang di Sumatra Barat disebut sebagai Kaum Muda dan kaum Muslim tradisionalis, yang dikenal sebagai Kaum Tua, tentang berbagai persoalan ritual keagamaan. Oleh karenanya, naskah ini bisa dianggap sebagai salah satu bentuk fatwa tertulis dari kalangan ulama tarekat Sya‹‹Œ riyyah terhadap persoalan keagamaan yang terjadi di kalangan masyarakat Sumatra Barat. Tidak heran kemudian, pengarang mewanti-wanti:

  “…oleh karena itu, wahai kaum muslimin, untuk menentukan yang manakah akan kita ikut dan kita amalkan dari salah satu dari faham yang dua ini, maka bacalah berulang-ulang dengan tenang buku ini mudah-mudahan dapatlah kita menentukan pegangan kita…” (h. 6).

  Selanjutnya, sesuai dengan tujuan penulisannya, sebagian besar isi naskah ini mengemukakan berbagai persoalan khilafiyah yang menjadi ajang perdebatan antara Kaum tua dan Kaum muda tersebut. Posisi pengarang sendiri— yang tentu saja mewakili pendapat para ulama tarekat Sya‹‹Œ riyyah— berada dalam kelompok Kaum Tua, yang berusaha keras bertahan dari “serangan” Kaum Muda, dengan mengemukakan berbagai dalil, baik dari al-Quran maupun hadis Nabi.

  Satu hal yang menarik dalam konteks perdebatan ini adalah —seperti juga dikemukakan secara sepintas dalam naskah KitŒ b al-Taqw¥m wa al-êiyŒ m — adanya sanggahan pengarang atas tuduhan dari kalangan ulama modernis bahwa tarekat Sya‹‹Œ riyyah mengajarkan faham waúdat al-wuj´ d yang menegaskan kesatuan Tuhan dan alam. Menarik karena dalam naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah yang ditulis di luar Minangkabau pada sebelum abad ke-20, tarekat ini memang selalu mengemukakan ajaran waúdat al-wuj´ d, kendati dengan

92 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  akan dikemukakan lebih detil pada bagian berikut— secara tegas menolaknya.

  Menurut Imam Maulana Abdul Manaf Amin, akar ketegangan antara Kaum tua dan Kaum muda di Sumatra Barat sesungguhnya telah terjadi pada awal abad ke-19, tepatnya ketika pada tahun 1804 tiga orang ulama modernis asal Minangkabau, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikat Padang Panjang, Haji Abdurrahman dari Piyobang, Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Batusangkar, kembali dari menuntut ilmu di Makkah, dan bermaksud mengembangkan faham Wahabi di Sumatra Barat. Ketiga ulama tersebut: “…bermaksud menukar mazhab Syafii dengan mazhab Wahabi di Minangkabau… ” (h. 78).

  Di antara fatwa-fatwanya, antara lain disebutkan bahwa membacakan tahlil dan mengadakan jamuan makan di rumah orang yang meninggal adalah bertentangan dengan ajaran agama; berziarah ke makam Nabi, makam ulama, dan makam orang-orang saleh adalah perbuatan terlarang; demikian halnya dengan mendirikan bangunan di atas kuburan, sehingga karenanya setiap bangunan yang sudah ada pun harus dihancurkan. Ketiga ulama tersebut juga mengecam keras berbagai ritual keagamaan di Sumatra Barat lainnya yang dianggap sebagai bidah dan penuh khurafat, seperti praktek- praktek tarekat dan tasawuf.

  Dalam kenyataannya, dakwah tiga Haji tersebut mendapat tantangan keras, khususnya dari para ulama Minangkabau saat itu yang, menurut Imam Maulana Abdul Manaf Amin, kebanyakan menganut tarekat, bermazhab SyŒ fi’¥ dan beriktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ ’ah , sehingga untuk beberapa lama faham Wahabi tidak mendapat tempat di Minangkabau. Bahkan, sejak paruh terakhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, muncul ulama-ulama lokal di Minangkabau yang merupakan para pembela faham lama. Di antara mereka adalah: Syaikh Abdullah Khatib Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Arsyad Batuhampar, Syaikh Amrullah Maninjau, Syaikh Abdul Manaf Padang Ganting Batusangkar, Syaikh Abdullah Halaban Payakumbuh, Syaikh Said Mangko Payakumbuh, Syaikh Angku Koto tua Koto Tangah Padang, Syaikh Muhammad Salih Padang Kandis Payakumbuh, Syaikh Biyaro Ampat Angkat Bukittinggi, Angku Syaikh Batipuh al- Sya‹‹ar¥ Koto Baru Padang Panjang, Syaikh Angku Lima Puluh Malalo Tanah Datar, Angku Syaikh Surau Gadang Pakandangan Pariaman, dll.

Bab 5. Deskripsi Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah

  9. merayakan maulid Nabi Muhammad Saw. pada bulan Rabiul Awwal dengan, antara lain, membaca

  setelah salat wajib; 18. bertawasul ketika berdoa tidak termasuk perbuatan

   ilŒ hŒ illŒ AllŒ h berjamaah

  16. dianjurkan mempelajari tasawuf dan tarekat; 17. sunat membaca zikir lŒ

  14. mempelajari sifat Allah yang 20 hukumnya wajib; 15. wajib mengganti (qaèŒ ) salat yang tertinggal, baik sengaja atau tidak sengaja;

  13. memperingati kematian mayat (tahlil) hingga hari ketiga, ketujuh, dan keseratus;

  12. sunat menambahkan kata “sayyidinŒ ” sebelum menyebut nama Muhammad;

  subúŒ na rab¥ al-‘az¥m ketika ruku’ dan subúŒ na rab¥ al- a’lŒ ketika sujud;

  Barjanzi; 10. sunat berdiri saat membaca Barjanzi (asyraqal); 11. sunat menambah kata “wa biúamdih¥” setelah bacaan

  93 Semua ulama di atas, menurut Imam Maulana Abdul

  Manaf Amin, menganut tarekat, khususnya tarekat Sya‹‹Œ riyyah, bermazhab SyŒ fi’¥, dan beriktikad ahl al-sunnah wa

  6. mentalkinkan mayat; 7. sunat menghadiahkan pahala bacaan bagi orang yang telah mati;

  5. melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat di bulan Ramadhan;

  4. menentukan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri melalui ru’yat (melihat bulan);

  membaca qunut seraya mengangkat tangan pada salat subuh;

  tiúah ; 3.

  praktek keagamaan sebagai berikut (h. 134-136): 1. melafazkan u§all¥ dalam niat salat; 2. wajib membaca basmallah dalam surat al-fŒ

  ahl al-sunnah wa al-jamŒ ’ah tersebut dengan beberapa faham dan