PERANAN MEMBACA ESTETIK DALAM PEMBINAAN APRESlASl SASTRA Dl SMA NEGERI SUMATRA BARAT

Laporan Feneli t ian

PERANAN MEMBACA ESTETIK
DALAM PEMBINAAN APRESlASl SASTRA Dl SMA NEGERI
SUMATRA BARAT

Oleh

Penelitian ini dibiayai oleh :
Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi (P3T) IKlP Padang
Tahun Anggaran 198811989
Surat Perjanjian Kerja No. : 69IPT37.HglN .911989
Tanggal 15 April 1989
?

,

INWITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN IKIP PADANG

: 1989


,

, , ' .

ABSTRAK
RIZANUR

GANI

:

Peranan Membaca Estetik Dalam Pembinaan
Apresiasi

Sastra Di SMA Negeri Sumatra

Barat

Penelitian


ini

menunjukkan

konsep dan proses membaca

bahwa

kekurangmantapan

estetik merupakan salah satu

kendala yang menghambat pembinaan apresiasi sastra siswa
SMA

Negeri

langsung,
kehadiran


Sumatra

Barat.

mengundang

Kondisi

ini,

kendala-kendala

sisi-sisi psikologis

secara

lain

tidak


terutama

yang menghalangi proses

pemantapan keprofesionalan tenaga kependidikan.
Di samping itu juga terlihat, bahwa kerancuan konsep
membaca

eferen dan membaca

estetik

mempersempit

ruang

gerak proses pembudayaan gairah membaca. Membaca belum
lagi merupakan kebutuhan dasar kerohanian yang mendesak,
melainkan


baru

sampai

pada

tahap

pelengkap

sarana

akademik yang sangat bersahaja. Kebersahajaan ini tentu
saja hanya mampu menghadirkan pola pikir dan pola rasa
yang

juga

bersahaja


pula.

Jawaban

yang

kadarnya

bersahaja, pastilah bermuara pada sikap-ni-lai yang belum
mampu

melahirkan

kepedulian

yang

pas

dengan


tuntutan

kehidupan yang semakin kompleks.
Jika

kurikulum

SMA

menuntut

pemantapan

proses

apresiasi sastra siswa, maka peGlu dilakukan pembenahan
segera terhadap

tata


pikir

dan

tata

kerja guru. Guru

perlu diajak agar dengan ikhlas mau membaharu. Bukan cuma
membaharu dalam pelaksanaan tugas yang selama ini hampir
tenggelam dalam kerutinan, tetapi

juga membaharu

dalam

pola pikir dan pola rasa.Proses membelajarkan siswa bukan
sekedar suatu kerutinan belaka, melainkan suatu kehendak
yang


berwawasan

pendidikan

dengan

mengapresiasi

yang

kandungan

idealisme

yang layak.
Kemampuan
transaksional

mampu


terlahir dari proses

mengundang

respons

dan

analisis

siswa dalam upaya pemberian makna sebuah wacana sastra.
Hal ini

mencerminkan

Kekreatifan

yang


tingkat kreatifitas yang pantas.

diharapkan

itu

cuma

dapat

dihadirkan

dari keterlibatan guru-siswa dalam saling pengertian yang
tentang

dalam

memerlukan

sasaran-sasaran

perancangan

dan

pengajaran

pelaksanaan

sastra. Yang

program

secara

seksama dan terarah.
Penelitian ini sekali gus juga menampakkan, bahwa
masih
proses

banyak

celah-celah

belajar-mengajar

kelemahan
apresiasi

dalam

mata

sastra.

rantai

Walaupun

disadari cukup banyak perbaikan yang telah dilaksanakan,
rangkaian nilai kurang yang masih mengambang perlu segera
dibenahi.

Untuk

itu

dirasa

perlu

lapangan dan penelitian-penelitian

melakukan

observasi

yang lebih terfokus.

Dengan demikian, diharapkan terbinanya

tradisi positif

dalarn proses pembelajaran siswa yang lebih bercitra masa
depan.
iii

PENGANTAR

Penelitian ini dilaksanakan dalam
tentang

keberadaan

pengajaran

upaya pelacakan

sastra

di

SMA

~egeri

Sumatra Barat. Pelacakan tentang apa yang dilakukan guru
dan apa yang dikerjakan siswa. Apakah proses pembelajaran
tersebut telah mengandung kerangka acuan yang pas atau
sesuatu

yang

masih

seadanya.

ini

Penelusuran

semakin

penting, apabila kita menyadari bahwa pergeseran nilainilai

pada

ketrampilan

abad
olah

informasi
rasa

ini

sangat

memerlukan

sebagai unsur pengimbangan olah

pikir yang dilanda goncangan-goncangan Iptek.
Dalam kesempatan ini perlu disampaikan rasa terima
kasih.yang

dalam

kepada semua pihak yang memungkinkan

terlaksananya penelitian awal ini, terutama pada:
1.

Kepala

Bidang

Pendidikan

Menengah

Umum

Depdikbud

Sumatra Barat dan Kepala SMA Negeri Batusangkar dan SMA
Negeri

I

Padang,

yang

telah

memberikan

bantuan

yang

yang

telah

sangat bermakna.
2.

Kepala

Pusat. Penelitian

IKIP

Padang

membantu dengan sejumlah dana.

3.

Rektor

Pendidikan

IKIP

Padang,

Bahasa

dan

Dekan

FPBS dan

Sastra

Ketua

Indonesia

Jurusan

yang

telah

memberikan dorongan positif dan bersahabat.
4.

Erlina

Zahar

dan

Ezi

Rita

Zubir

yang

membantu

pengumpulan dan pengolahan data dengan tekun dan cermat.
Padang, 29 Agustus 1989
Rizanur Gani
iv

DAFTAR IS1

............................................
..........................................
.........................................
...............................

ABSTRAK
PENGANTAR
DAFTAR IS1
BAB
I: PENDAHULUAN
A Latar Belakang dan Pentingnya Masalah ...
B Masalah Penelitian
C Tujuan Penelitian
D Manfaat Penelitian
E Asumsi
BAB 11: TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A Proses Membaca
B Membaca Estetik Sebagai Dasar Pengamatan
Nilai

.

.
.
.

.
.

.....................
......................
.....................
.................................
......................

.

BAB 111:

.........................

..................................
C . Proses Transaksi .......................
D . Asumsi Epistemologis dalam Studi Respons
E . Butir-Butir Esensial Membaca Estetik ...
METODOLOGI PENELITIAN .....................
A . Rancangan Penelitian ...................

. ~ o p u l a s idan

....................

Sampel
C Teknik Pengumpulan Data
D Teknik Analisis Data
IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A Analisis
B Pembahasan
V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
B

................
...................
...................
BAB
.
................................
.
.............................
3AB
................
A . Kesimpulan .............................
B . Rekomendasi ............................
DAFTAR BACAAN ......................................
LAMPIRAN ...........................................
.
.

ii
iv
v
1
1
8
14
15
16
17
17
18
21
24
26
29
29
30
31
33
35
35

57
73
73
75
78
80

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang dan Pentingnya Masalah
A.

Solzhenitsyn

dalam

sambutan

penerimaan

Hadiah

Sastra 1972, menegaskan,"Sastra dapat menampilkan

Nobel

keajaiban, yaitu kemampuannya rnembuat seseorang belajar
melalui
sastra

pengalaman-pengalaman
ketika

sendiri

bersentuhan

.....melarutkan

yang

dengan

ditawarkan

pengalaman

cipta

rohaninya

pengalaman orang lain itu menjadi

bagian dari pengalamannya sendiri...!"
Substansi

sastra,

tidak

lain,

adalah

pengalaman

kemanusiaan. Pengalaman kemanusiaan itu mencakup hubungan
kompleks yang melibatkan seseorang, emosi yang membuatnya
menderita atau bahagia, pengalaman yang dihadapinya, dan
nilai serta kebermaknaan yang diharapkannya. Dengan kata
lain, apapun yang ditemukan seseorang dalam cipta sastra
yang

tentang

dibacanya

maut,

keadilan,

mengaitkan

dan

-

baik

isyu

kehidupan, seperti

dan

buruk,

segalanya

itu

berkaitan

dengan

pengalaman

cinta,
harus

batinnya.

Karena sastra tidak berkaitan langsung dengan sains dan
data

yang

manusia
jika

dapat

digeneralisasikan,

melainkan

dengan

yang harus menghadapi dunianya, maka pantaslah
setiap

pribadi

senantiasa

terkait

dengan

perspektifnya; dengan hubungannya yang unik dengan dunia
yang

dihadapinya.

Dengan

dernikian,

dia

tidak

rela

melangkahi hati nuraninya.
Dengan

hati

pesan-pesan

nuraninya,

kehidupan

dan

seseorang mencoba memahami
kemanusiaan

melalui

aneka

kilasan yang direfleksikan oleh karya-karya sastra yang
tentang

mengungkapkan

manusia

yang

ketiadaan

tempat

berpijak. Seperti karya-karya sastra dunia ciptaan Saul
Below,

pemenang

Hadiah

berhasil

memadukan

semangat

kerjanya

fiksinya

dengan

Nobel

Sastra

keberanian
sebagai

tahun

intelektualnya

sastrawan,

pandangan

1976.

dengan

serta

filsafatnya,

Dia

menjalin

lewat

bahasa

pergaulan dan kesegaran bahasa yang mengantarkannya.
Karl

Gierow, pengarang

dan

kritikus

sastra

serta

Sekretaris Tetap Akademi Swedia,dalam suatu pidato ucapan
selamat

untuk

Saul

Below,

berikutIwKarya-karya Saul
yang
tidak

bernafaskan
memiliki

terpenting
berjuang

dan

tempat berpijak".

untuk

Selanjutnya,
mengatakan,

perjuangan,

tambahnya,

pengembaraan

Below

ia

adalah

menemukan
Yan9

berkomentar
hampir

semuanya

manusia

tempat

adalah

yang

selalu

berpijak,

dalarn

ditentukan

oleh

seseorany

m a a t a b a t n y a " . "Below

kebeahaclilan,

percaya,

bahwa

katanya.

Swedia

pernah mau meninggalkan keyakinannya bahwa,

tidah

yang

"Tetapi, dan ini yang

terhuyung-huyung",

Below

novel

tentang manusia

Sekretaris Tetap Akademi
bahwa

sebagai

itu ~juga

yang

tidak

"Aati

hidup

mefainkan

oleh

kebenaranlah

yang

menang pada akhirnya", kata Gierow menambahkan lagi.
"Pengajaran sastra", kata Robert E. Probst (19841,
"haruslah

memampukan

pengalamannya
Sedangkan

dengan

Louise M.

siswa

menemukan

cipta

sastra

hubungan

yang

antara

bersangkutan" .

Rosenblatt (1983) menegaskan bahwa

pengajaran sastra melibatkan peneguhan kesadaran tentang
sikap

etik.

Hampir

mustahil

membicarakan

cipta sastra

-seperti puisi, novel atau drama, tanpa menghadapi masalah
etik

dan

tanpa

menyentuhnya

dalam

konteks

filosofi

sosial. Tanpa menhgadapkan siswa pada masalah kehidupan
yang

digelutinya

sepanjang

hari

di

tengah-tengah

masyarakat yang dihidupi dan menghidupinya.
Dalam

kaitan

prinsip, yang

itu

Rosenblatt

memungkinkan

menyarankan

beberapa

pengajaran sastra mengemban

fungsinya dengan baik:
1. Siswa harus diberi kebebasan untuk menampilkan respons
dan reaksinya.
2. Siswa harus diberi kesempatan untuk mempribadikan dan

mengkristalisasikan rasa pribadinya terhadap cipta sastra
yang dibaca dan dipelajarinya.
3. Guru harus berusaha untuk menemukan butir-butir kontak
di antara pendapat para siswa.

4. Peranan dan pengaruh guru harus merupakan daya dorong
terhadap

~i

penjelajahan

pengaruh

dalam sastra itu sendiri.

vital

yang

inheren di

Sumbangan karya sastra y,anq ta!~kal.:ah penting adalah
sebagai sumber telaah nilai. Karena nilai-nilai berkaitan
dengan dinamika atau motivasi di dalam kehidupan pribadi
atau masyarakat, rililka
.Pa&

nilai

memiliki

berbagai def j.ni.si.

pada gayasan y a n g menunjuk. pada

dasarnya ;rnengaccl

sesuatu, yang sadar atau tidak, membuitnya diingini atau
dikehendaki.

Dalam

inilah

yang

digunakan.

"ingin

menyarankan

sekedar

yang

dipertimbangkan

berbagai

"Namun saya", kata Rosenblatt,

bahwa

diingini,
sangat

konteks kehidupan, batasan

istilah
tetapi

berharga

nilai

tidak

hanya

apa

Yan9

juga

untuk

diingini,

yang

pantas diingini". Tujuannya, dalam proses pendidikan dan
pematangan,

adalah

keharusan

pengembangan

kapasitas

seseorang agar sampai pada tingkat pencapaian nilai yang
penuh pertimbangan.
Kemampuan untuk merefl-eksi~anpertimbangan-pertimbag
an

tentang

penting

nilai-nilai,

dalam

belajar

perangkat

mempertimbangkan

menjadi
kehidupan

bagian
kita.

nilai-nilai

yang

sangat

Kita

perlu

tersirat

atau

mencapai nilai-nilai aktual yang serasi dengan keputusankeputusan dan kegiatan-kegiatan yang lain. Di balik itu
di dalam berbagai wilayah kehidupan yang pola lama tidak
lagi
perlu

mampu

menjawab

menentukan

keputusan

berbagai

prioritas.

tuntutan kehidupan, kita
Jika

itu

akan

berupa

yang konstruktif, maka nilai itu harus cocok

LIP:

dengan

situasi

secara

;

keseluruhan.

Nilai

itu

harus

selaras dengan 'value judgment' pribadi yang bersangkutan
dan

dapat

memberikan

sumbangan pada pemahaman tentang

sesuatu yang penting bagi alur kehidupan kemanusiaan.
Rasanya, dari seluruh bentuk seni, sastra merupakan
ujud yang paling berimplikasi langsung dengan kehidupan.
Medium

tangguh,

wacana

sastra

pengalaman

yang
yang

hidup

melalui para sastrawan membangun
dilandaskan

kemanusiaan.

pada

Sebab

upaya

bahasa

berbagi
merupakan

aliran darah bagi perkembangan budaya dan sejarah suatu
bangsa.

Itulah yang dinukilkan oleh Henry James dengan

frasenya:"Untuk seluruh kehidupan, perasaan, pengamatan,
dan visi kemanusiaan".
Demikianlah, karya sastra tak terbantah lagi telah
'berhasil membangun nilai-nilai. Sebuah lirik yang sangat
sederhana

pun

mampu

memekarkan

perasaan-perasaan,

pengalaman-pengalaman berbagai pribadi dan berbagai aspek
kehidupan kemanusiaan. Karya fiksi, seperti cerpen, novel
dan drama, berhubungan erat dengan manusia dalam kondisi
harus melakukan pilihan.

Dengan pilihan itu dimantapkan

keanggunan sebuah nilai di atas nilai yang lain. Seperti
yang diucapkan oleh Aristoteles18'Karakteradalah sesuatu
yang
yang

berhubungan
harus

seseorang".

dengan

dipilih

dan

tujuan moral, menunjukkan
apa

yang

harus

apa

dihindarkan

Menarik untuk dikemukakan pendapat James R. Squire
(1964) yang menawarkan enam wilayah respons siswa dalam
proses belajar-mengajar sastra, yaitu:
1. Penilaian sastra, siswa menilai sastra dan kualitas
estetiknya.
2. Penafsiran sastra, siswa berupaya mengungkapkan makna

sebuah cerita dan motif perwatakannya.

3.

Penyimpulan

sastra,

siswa

menyimpulkan

peristiwa-

peristiwa yang terkandung dalam sebuah cipta sastra.
4. Pengasosiasian sastra, siswa menghubungkan pengalaman

pribadinya

dengan

orang,

tempat

dan

peristiwa

yang

terkait dalam sebuah wacana sastra.

5. Pelibatan dalam sastra, siswa mengidentifikasi dirinya
dengan pengalaman dan emosi-emosi perwatakan.
6. Penjabaran

sastra, siswa menentukan apa yang harus

dilakukan oleh perwatakannya.
Tiga kategori pertama, pada dasarnya merupakan ranah
kognitif; sedangkan ketiga kategori terakhir merujuk pada
ranah

afektif.

Dalam

penelitiannya,

Squire

menemukan

bahwa kebanyakan respons yang diberikan siswa berbentuk
respons

penafsiran.

respons

penilaian

Respons
sastra

kognitif

yang

lainnya,

menuntut

yaitu

ketrampilan

berpikir tingkat tinggi dalam proses penilaian, ternyata
sangat
hubungan

kurang.
yang

Sangat
positif

mengejutkan,
antara

penilaian

bahwa

terdapat

sastra

dengan

pelibatan dalam sastra. Mengejutkan karena yang pertama
ranah

merupakan

kognitif:

ketrampilan

intelektual;

sedangkan yang kedua mengacu pada ranah afektif, yaitu
respons emosional. Sebab itu Squire mengambil kesimpulan,
"Pembaca

yang

sangat

terlibat

dengan

sebuah

wacana

sastra, baik selama atau sesudah membaca wacana tersebut,
cendrung untuk terlibat secara emosional. Pembaca jenis
ini

potensial

untuk

menjelma

menjadi

pembaca

yang

superior". Dengan kata lain, pembaca yang superior itu
memiliki

segala persyaratan

yang dituntut oleh seorang

pengapresiasi dan penikmat cipta sastra.
~ a s a l a h n ~ akini
sastra

mampu

membaca

bahwa

mengapresiasi

dan

belum

dua

langsung

terlihat

pengajaran
ketrampilan
lapangan

di

keterpaduan

antara

proses

bela jar

dengan

Membaca
mata

jauh

mengembangkan

membaca

sastra.

merupakan

seberapa

Pengamatan

bela jar

proses

masih

membina

siswa.

menunjukkan,

adalah

dan mengapresiasi sastra

pelajaran

yang

terpisah dan

terpilah.
Siswa
membaca.

belum
Mereka

terlatih
masih

membedakan

membaca

wacana

berbagai

teknik

sastra

dengan

pendekatan pola eferen. Sebaliknya, membaca informasi dan
himpunan data dengan pendekatan pola estetik. Kenyataan
inilah yang
:menanganinya

perlu

segera dibenahi.

secara

konseptual,

Selama guru .belum

maka

a'presiasi sastra akan tetap sia-sia.

upaya

pembinaan

B. Masalah Penelitian
Penelitian ini memasalahkan kerancuan pola membaca
-

siswa.

Kerancuan ,yang berakibat

jauh

-

pada

kemampuan
.
.

.

siswa melibatkan diri dalam proses transaksional sastra
Rosenblatt(l985) menegaskan bahwa proses membaca
dapat dibedakan berdasarkan
(stance) pembaca

yang

sikap mental dan emosional

bersangkutan.

Salah

satu bagian

dari kontinum itu disebut sikap mental eferen(efferent1,
yang berasal dari bahasa Latin: effere(=to carry away).
Dalam

proses

membaca

difokuskan pada
misalnya,
diperoleh,

makna

kegiatan

seperti

terutama

umum yang dijaring dari wacana,

yang

kesimpulan

ini, perhatian

dinampakkan,

yang

ditarik,

informasi

pemecahan

yang

masalah

yang ditawarkan, konsep-konsep analitik yang diterapkan,
dan sebagainya. Sikap

mental

dan

emosional

biasanya mendominasi wacana-ajar(textbook)

::'begini

dan laporan-

laporan ilmiah. Unsur-unsur kesadaran personal, perasaan
asosiatif, malah

dikesampingkan

bahkan diabaikan

sama sekali.
Berbeda dengan membaca eferen yang terpusat pada apa
yang diperoleh setelah proses membaca, maka pada kontinum
membaca

estetik

terletak

membaca

itu berlangsung.

pada

perolehan

selama

proses

Perhatian tidak hanya tertuju

pada lambang-lambang verbal, melainkan pada sesuatu yang
terlihat, terasa, dan terpikirkan ketika proses transaksi
itu terjadi.

9

Setiap

kegiatlan membaca,

pada

dasarnya,

jatuh

di

antara kutub eferen dan kutub estetik. Mungkin di sekitar
titik tengah kontinum. Sebab perhatian pembaca mencakup
makna umum dan makna khusus yang menggema dari rangkaian
kata-kata.

Namun

dalam

proporsi

yang

berbeda,

selaras

membaca

wacana-

dengan niat pembaca.
Dalam
ajar,

membaca

kumulasi

eferen,

misalnya

merupakan pusat.perhitungan,

informasi

meskipun unsur-unsur asosiatif dan afektif mungkin saja
menyentuh perhatian. Demikian juga.dalam membaca estetik
dapat

saja terkilas

terpikat

komponen

sepenuhnya

pada

eferen, tetapi

spektrum

perhatian

perasaan,

sensasi,

asosiasi, gagasan-gagasan, d.an yang sejenisnya.
Patut dicatat, bahwa 'eferen' dan 'estetik' merujuk
pada

sikap

mental

dan

emosional

pembaca,

bukan

pada

wacananya. Tidak perduli apakah niat penulis atau potensi
linguistik
dibaca

pada

secara

wacana

eferen

atau

ketika membaca wacana
ketika

pembaca

tersebut,

setiap 'wacana dapat

estetik. Namun niat pembaca

itu yang mungkin berbeda. Bahkan

berniat

menikmati

larik-larik

puisi

s'eorang penyair, wacana tersebut mungkin saja tergelincir
ke arah eferen, jika pembaca yang bersangkutan mengingini
makna

harfiah

atau

mungkin

terjadi

sebuah

novel

dianalisis secara eferen, sebagai suatu dokumen sosial.
Malangnya,

pengajaran

membaca

menegaskan proses penerapan membaca
estetik

dengan

sikap

mental

dan

tradisional

gaga1

eferen dan membaca
emosional

tuntas.

10

Sehingga
membaca

siswa
itu

pernyataan

seringkali
tengah

politik

kebingungan

berlangsung.

mungkin

saja

ketika

proses

Akibatnya,

sebuah

dibaca

dengan

porsi

dominan diberikan pada unsur-unsur afektif dan asosiatif,
ketika

niat

fakta

yang

pembaca

hanyalah

melatari

mencoba

pernyataan

memahami

politik,

fakta-

tersebut.

Sebaliknya, sebuah wacana sastra, seperti cerita pendek,
puisi

atau drama dibaca dengan pola

pembaca

kehilangan

kualitas

dan

eferen.

Akibatnya

nilai-nilai(va1ues)

pengalaman esensialnya sebagai karya seni.
Kebingungan
masyarakat

yang

ini

diperteguh

mernbaharu

oleh

selalu

kenyataan, bahwa
berorientasi

pada

kecanggihan teknologi; yang mengundang budaya-ekstrovert.
Budaya ini,

lazimnya, cenderung mengutamakan makna umum,

takmempribadi, instrumental dan bermanifestasi keilmuan.
Sebab

itulah

pengajaran

membaca

di

sekolah senantiasa

didasarkan pada proses membaca bermodel eferen. Membaca
este