SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

PENGALAMAN RELIGIUS

PARA PENGANUT SAPTA DARMA YANG TELAH

BERPENGALAMAN MELAKUKAN SUJUD

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

  

Helios Satryo Aryo Dewo - 029114021

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2007

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Kupersembahkan karya ini untuk 1.

  Tuhan ku yang selalu melindungi dan membimbingku melalui para malaikat- malaikat Nya yang sampai saat ini telah sangat berjasa di hidupku.

  2. Kedua orang tuaku yang telah memunculkanku di dunia ini, aku mencintai kalian berdua.

  3. Seseorang yang sangat kusayangi yang telah sabar menantiku.

  4. Saudara-saudara dan teman-teman yang aku kasihi dan aku sayangi.

  5. Keluarga besar Sapta Darma.

HALAMAN MOTTO

  Musim tidak saling berebut untuk berganti, awanpun tidak bertanding

  v

  melaju lebih cepat daripada angin. Alam lebih tahu k apan merek a harus bek erja. (Dan Millman) Lebih baik tidak mengek spresik an apa-apa daripada disalahartik an. (Karl

  v

  Kraus) Jik a Tuhan memberi k ita roti y ang k eras, mak a Ia ak an memberi k ita

  v

  gigi y ang tajam. (Peribahasa Jerman) Cuk up dengan hening, hadirk an Tuhan, hay ati sif at-si f at Ny a

  v dik ehidupanmu dan ak an k au temuk an k ebahagiaan di dunia ini.

  Tantangan hidup y ang sebenarny a adal ah k eti k a k i ta berusaha bangk it

  v dari k eterpuruk an hidup.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang sudah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  

ABSTRAK

Pengalaman Religius Para Penganut Sapta Darma

Yang Telah Berpengalaman Melakukan Sujud

  Helios Satryo Aryo Dewo 029114021

  Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

  Pengalaman religius dikatakan sebagai suatu sensasi luar biasa akan Tuhan yang mampu merubah kehidupan seseorang. Pengalaman religius ini dapat difasilitasi oleh ritual, salah satunya adalah ritual sujud yang menjadi bagian dalam ajaran Sapta Darma. Oleh para praktisinya, sujud hanya dapat dipahami dengan melakukannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman religius para penganut Sapta Darma yang difasilitasi oleh sujud serta pengaruhnya terhadap kehidupan mereka sehari- hari.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan cara wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, subyek pertama berusia 75 tahun dan sudah bergabung selama 50 tahun, subyek kedua berusia 51 tahun dan sudah bergabung selama 11 tahun, subyek ketiga berusia 60 tahun dan sudah melakukan sujud sejak umur 23 tahun. Dalam penelitian ini para responden menceritakan pengalaman-pengalaman religius yang mereka dapatkan melalui sujud.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa sujud mampu untuk memfasilitasi pengalaman religius. Responden merasakan suatu sensasi fisik maupun psikologis dan merasakan suatu manfaat ketika melakukan sujud, subyek juga merasakan pertemuan dengan Tuhan nya. Pengalaman religius yang dialami ole h subyek memunculkan konsep tentang Tuhan yang menghasilkan suatu pengendalian diri di dalam penghayatan akan sifat-sifat Tuhan.

  Kata kunci : Pengalaman religius, ritual sujud, pengendalian diri.

  

ABSTRACT

The Religious Experiences of Sapta Darma’s Followers

Who Are Experienced With Sujud

  Helios Satryo Aryo Dewo 029114021

  Psychology Department Sanata Dharma University

  Religious experience is being known as an extraordinary sensation of God in which it has the power of changing a human being’s life. This religious experience can be facilitated by rituals and one of them is called sujud (kneeling) ritual in which it is a part of Sapta Darma’s teaching. By its practitioners, sujud can only be understood when a person is actually experiences it. The purpose of this research paper is to describe the religious experiences of Sapta Darma’s followers which are being facilitated with sujud and also the influences to their daily life.

  This research paper was done through qualitative method. The data were collected by doing interviews. Respondents in this research were divided into 3 people, first subject was 75 years old and had been joining since 50 years ago, second is a 51 year-old follower since 11 years ago, and the third one is 60 years old and had been doing sujud since the age of 23. In this research respondents were telling their religious experiences they achieve through sujud.

  Research results show that sujud has the power to facilitate religious experiences. Respondents were felt a physical and/or psychological sensation and a great benefits when they were doing sujud, subjects also feel their meets with their God. The religious experiences being experienced by subjects finally produces a concept of God in which it creates a self control in terms of their special attentions toward God’s natural characteristics.

  Keywords : Religious experience, sujud ritual, self-control.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, kasih dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjud ul “Pengalaman Religius Para Penganut Sapta Darma Yang Difasilitasi Oleh Ritual Sujud”.

  Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan dorongan serta kerja sama dari berbagai pihak yang terkait, oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada :

  1. Tuhan, yang telah membantuku dalam pengerjaan skripsi ini dengan cara Nya yang kadang masih susah kupahami.

  2. My Big Boss alias bokap, atas dukungan finansial yang telah diberikan.

  3. Mamah yang penuh dengan permasalahan hidup tapi masih mau membantuku menyelesaikan sebagian permasalahan dalam rumah tangga, Keep Fight Mom!!!.

  4. Pak Didik selaku wakil dekan dan pembimbingku, kritikan bapak memang tajam dan kadang sangat menyakitkan tapi saran bapak sangat membantu saya dan juga terima kasih atas referensi-referensi yang diberikan, itu sangat memperkaya pengetahuan saya.

  5. Mbak Wahyu yang telah merelakan waktunya untuk membantu saya dengan mengenalkan saya kepada bapak tuntunan dan para anggota Sapta Darma.

  6. Bapak Tuntunan dan anggota Sapta Darma yang sudi menjadi responden di dalam penelitian ini.

  7. Viki, atas bantuan pinjaman laptop dan printernya serta “cambuk” yang memacuku di dalam penyelesaian skripsi ini.

  8. R. M. Harcanie yang telah mengutus abdi dalemnya untuk mencari info mengenai lokasi pusat dari Sapta Darma.

  9. Teman-teman kerjaku di shooternet, atas bantuan yang kalian berikan untuk mengisi jatah kerjaku disaat aku ingin fokus ke penyelesaian skripsi ini.

  10. Semua dosen psikologi yang telah menambah pengetahuan saya tentang dinamika manusia.

  11. Semua karyawan-karyawan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Mas Dony, Mas Gandung, Mas Muji, Mbak Nani dan pak Gie atas bantuan dan peran serta kalian di dalam penyelesaian skripsi ini.

  12. Teman-temanku psikologi angkatan 2002 yang telah mendukungku untuk menyelesaikan skripsi ini.

  13. Danang dan Suko yang telah banyak sekali membantuku baik melalui dukungan serta fasilitas yang telah kalian berikan.

  14. Kocak, Richard dan Tombro yang sangat berperan dalam pengerjaan penelitian ini.

15. Buat semua orang yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu, terima kasih atas semuanya.

  DAFTAR ISI

  Halaman Judul........................................................................................... i Halaman Persetujuan Pembimbing............................................................ ii Halaman Pengesahan................................................................................. iii Halaman Persembaha n............................................................................... iv Halaman Motto.......................................................................................... v Pernyataan Keaslian Karya........................................................................ vi Abstrak....................................................................................................... vii Abstract...................................................................................................... viii Kata Pengantar........................................................................................... ix Daftar Isi.................................................................................................... xii

  BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1 B. Rumusan Masalah......................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian........................................................................ 6 BAB II. LANDASAN TEORI A. Pengalaman Religius..................................................................... 7 B. Ritual............................................................................................. 11 C. Kebatinan 1. Kebatinan Secara Umum................................................... 13 2. Konsep Tuhan Dalam Kebatinan....................................... 16 3. Manunggaling Kawulo Gusti............................................. 18

  D.

  Pelaksanaan Penelitian................................................................

  42 D. Ajaran-Ajaran Dalam Sapta Darma...........................................

  39 5. Bahan-Bahan Penggalian...............................................

  38 4. Tata Tertib Penggalian...................................................

  38 3. Inti Penggalian................................................................

  37 2. Tujuan Sujud Penggalian................................................

  37 1. Gambaran Singkat Mengenai Ritual Sujud Penggalian.................................

  35 C. Ritual Sujud Penggalian..............................................................

  34 B. Proses Perkenalan dan Gambaran Komunitas Sapta Darma.......

  31 BAB IV. PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A.

  Sapta Darma................................................................................... 19 E. Sujud Sebagai Yang Memfasilitasi Pengalaman Religius...........

  30 G. Analisis Data...............................................................................

  30 F. Pedoman Wawancara..................................................................

  29 E. Subyek Penelitian........................................................................

  28 D. Data Dalam Penelitian.................................................................

  27 C. Metode Pengumpulan Data.........................................................

  27 B. Definisi Operasional....................................................................

  Metode Penelitian........................................................................

  26 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A.

  24 F. Pertanyaan Penelitian...................................................................

  44 E. Deskripsi Subyek

  1. Sy...................................................................................

  Pembahasan Tiap Kategori a.

  74 h. Makna Sujud..............................................................

  73 g. Pengalaman Di Dalam Relasi Mereka Dengan Tuhan nya.....................................................

  Manfaat Yang Dirasakan Ketika Sujud...................... 72 f. Pengaruh Ke Dalam Kehidupan Sehari-hari..............

  70 d. Pengalaman Akan Tuhan Ketika Sujud...................... 71 e.

  69 c. Sensasi Psikologis Yang Dirasakan Subyek Ketika Sujud................................................................

  Latar Belakang Subyek Melakukan Sujud.................. 68 b. Sensasi Fisik Yang Dirasakan Subyek Ketika Sujud................................................................

  65 G. Pembahasan 1.

  48 2. Sn....................................................................................

  60 2. Kategori Hasil Penelitian.................................................

  56 c. Wm..........................................................................

  50 b. Sn.............................................................................

  Sy.............................................................................

  Narasi Subyek a.

  49 F. Hasil Analisis Data 1.

  49 3. Wm.................................................................................

  74 2. Pembahasan Umum Tentang Sujud

  Dan Pengalaman Akan Tuhan.........................................

  75 BAB V. PENUTUP A.

  83 Kesimpulan..................................................................................

  B.

  Keterbatasan Penelitian................................................................ 84 C.

  85 Implikasi Untuk Psikologi...........................................................

  D.

  87 Saran............................................................................................

  DAFTAR PUSTAKA............................................................................

  88 LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini baik di televisi maupun di media- media komunikasi

  lain, sering dijumpai kisah-kisah seseorang yang menceritakan pengalaman- pengalaman religius yang dia alami, salah satunya adalah acara Solusi yang ditayangkan di SCTV. Mereka mengatakan bahwa pengalaman mereka telah merubah semua kehidupannya, mereka percaya bahwa Tuhan telah membimbing mereka di dalam menyelesaikan semua permasalahan kehidupannya dan bahkan mereka juga merasakan keajaiban-keajaiban Nya.

  Pengalaman religius dianggap sebagai suatu sensasi yang luar biasa yang telah merubah hidup seseorang menjadi lebih baik dan hal ini menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia karena bisa membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan lebih bahagia dan bila memang benar bahwa pengalaman religius menjadi salah satu media untuk menyelesaikan sebagian permasalahan manusia, pengalaman religius menjadi sangat vital untuk diteliti.

  Bila berbicara mengenai pengalaman religius maka ada kemungkinan bahwa masing- masing definisi yang dimiliki setiap orang berbeda-beda.

  Pengalaman religius secara sempit dikatakan sebagai semua pengalaman akan Tuhan yang menunjukkan keberadaanNya, jadi disitu harus ada Tuhan (Swinburne, 1991). Habel mendefinisikan pengalaman religius sebagai jalan yang terstruktur dimana seseorang masuk ke dalam suatu relasi atau menerima kesadaran dari yang disucikan dalam konteks tradisi religius yang khusus (Habel dkk, 1993). Paloutzian menambahkan bahwa pengalaman religius adalah salah satu aspek yang paling inti dan yang paling penting dari keagamaan dan yang paling sulit dan yang paling cepat berlalu untuk dipelajari (1996).

  Pengalaman religius sering dihubungkan dengan ritual, ritual juga diklaim sebagai salah satu kunci untuk mencapai penga laman mistik, spiritual dan religius (Rappaport; Bloch dalam Cross Currents, 2003). Ritual dianggap sebagai suatu aturan budaya yang mendasari semua kehidupan manusia yang mampu membantu manusia untuk mengembangkan dirinya ketika berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang mendasar dalam hidupnya (Malinowski; Eliade dalam Diaz & Sawatzky, 1995). Ada anggapan bahwa ritual harus ada di dalam suatu kelompok masyarakat karena peran ritual di dalam suatu kelompok yaitu sebagai yang mendorong keharmonisan dalam suatu kelompok dan sebagai penopang dan yang melindungi mereka dari kehancuran (van Gennep; McManus dalam Diaz & Sawatzky, 1995).

  Di Indonesia khususnya masyarakat Jawa, ritual sesungguhnya bukanlah sesuatu yang asing lagi. Namun kini tampaknya hal ini mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kini hanya segelintir masyarakat Jawa yang tertarik untuk mempelajari ritual-ritual yang ada di masyarakat Jawa. Kenyataan ini menyerupai kasus yang terjadi di masyarakat asli Amerika Utara yang diteliti oleh Laughlin dan d’Aquili. Bisa jadi hal ini mengindikasikan awal kehancuran dari suatu ideologi yang telah menopang mereka (dalam Diaz & Sawatzky, 1995).

  Rappaport mengatakan bahwa hanya dengan melakukan ritual, kita baru bisa memahami apa yang sesungguhnya bisa diekspresikan olehnya (Rappaport dalam Cross Currents, 2003). Ini mungkin erat kaitannya dengan ritual sujud yang dilakukan oleh penganut salah satu aliran kejawen, aliran Sapta Darma. Melalui para praktisinya, mereka percaya bahwa kebenaran sejati dari Sapta Darma hanya dapat diekspresikan dan dialami langsung dengan melakukan sujud yang dianggap sebagai media untuk berinteraksi dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan-nya.

  Sapta Darma merupakan salah satu aliran kebatinan yang masih hidup di Indonesia. Sapta Darma mengajarkan kepada para pengikutnya untuk mengembangkan ketenangan batin atau rasa, dimana metode yang digunakan untuk menjalankan hal itu biasa disebut dengan sujud. Sujud merupakan sebuah upaya untuk menaikkan sari hidup yang juga disebut “air perwitosari” atau “air suci” dari tulang ekor ke ubun- ubun melalui tulang belakang serta menurunkannya lagi ke tulang ekor, bersama dengan naik turunnya air suci itu kepala harus ditundukkan hingga ke tanah dan diangkat lagi (Hadiwijono, 1999). Jika dilakukan dengan rutin, sujud diyakini akan mampu menghasilkan sesuatu yang sangat penting di dalam diri manusia, yaitu “atom berjiwa” yang dapat digunakan untuk memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh, menentramkan berbagai napsu angkara, mencerdaskan pikiran serta menjadikan manusia dapat bersekutu dan mendapat bagian dari sifat-sifat Hyang Maha Kuasa (Pawenang, 1962).

  Sebelumnya pernah juga dilakukan penelitian mengenai Sapta Darma yang dilakukan oleh Giri (2003) dan Maria (2006). Penelitian yang dilakukan Giri (2003) berusaha untuk mencari apa makna kebahagiaan menurut pengikut aliran kebatinan Sapta Darma. Ada penegasan bahwa konsep “ketentraman” yang mereka miliki sifatnya lebih mendalam daripada konsep kebahagiaan. Para penganut Sapta Darma memiliki pemahaman bahwa kebahagiaan pada dasarnya terdapat di dalam diri manusia sendiri dan hal itu akan dapat tercapai apabila hidup seseorang dipergunakan untuk berbuat baik terhadap sesama serta yang paling jelas ketika hidup seseorang telah dapat masuk kedalam lingkungan yang transenden. Maria (2006) berusaha untuk menjelaskan realisasi diri penganut kerokhanian Sapta Darma ditinjau dari perspektif Jung.

  Realisasi diri adalah keberhasilan individu mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan yang saling bertentangan, yaitu kesadaran dan ketidaksadaran, sikap ekstroversi dan introversi dan 4 fungsi psikis, baik yang rasional yaitu pikiran dan perasaan, maupun yang irasional yaitu pengindera dan intuisi.

  Pencapaian realisasi diri penganut Kerokhanian Sapta Darma didukung oleh penghayatan penganut terhadap ajarannya. Sujud sebagai sarana pengendalian diri dan mawas diri merupakan upaya aktif mengintegrasikan diri secara harmonis melalui proses memilah, mengembangkan dan mengintegrasikan potensi unsur-unsur kepribadian, baik yang disadari maupun yang tidak disadari sehingga meningkatkan kualitas pribadi yang mengarah pada realisasi diri.

  Dalam penelitian ini, yang akan menjadi fokus adalah pengalaman religius ketika seseorang melakukan ritual sujud. Sujud sebagai salah satu contoh ritual dianggap mampu memfasilitasi sua tu pengalaman religius. Adapun yang akan menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah pengalaman religius seperti apakah yang diperoleh para penganut Sapta Darma yang telah berpengalaman melakukan sujud mengingat dibutuhkannya suatu penelitian di dalam memahami sujud itu sendiri dan apa pengaruh pengalaman religius tersebut di dalam kehidupan mereka? B.

   Rumusan Masalah

  Setelah melihat latar belakang di atas, maka yang akan menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah, “Apa pengalaman religius para penganut Sapta Darma yang telah berpengalaman melakukan sujud dan apa pengaruh pengalaman itu terhadap kehidupan mereka?”

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa pengalaman religius yang dialami oleh para penganut Sapta Darma yang tela h berpengalaman melakukan ritual sujud dan apa pengaruh pengalaman itu terhadap kehidupan mereka.

D. Manfaat Penelitian

  Melalui penelitian ini diharapkan ritual-ritual yang ada di masyarakat Jawa tetap terus dipertahankan dan diharapkan juga penelitian ini dapat membantu perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi agama di dalam melihat pengalaman religius dan pengaruhnya dalam kehidupan seseorang. Dan bagi masyarakat nantinya diharapkan dapat berpikir lebih terbuka ketika melihat fenomena- fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan pengalaman religius mereka.

BAB II LANDASAN TEORI Bab ini membahas pemahaman akan apa itu pengalaman religius dan

  komponen-komponen apa yang harus ada agar suatu pengalaman dapat disebut sebagai pengalaman religius; gambaran dan elemen-elemen yang ada di dalam ritual sujud; penjelasan mengenai kebatinan dan konsep Tuhan menurut kebatinan baru kemudian masuk ke Sapta Darma dan sujud baik itu tata cara maupun tujuannya; kemudian akan dilanjutkan dengan penjelasan dari peneliti mengenai ritual sujud sebagai yang memfasilitasi pengalaman religius; dan diakhir bab ini adalah pertanyaan dari penelitian ini.

A. Pengalaman Religius

  Pengalaman adalah suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama- tama dari pikiran melainkan terutama dari pergaulan praktis dengan dunia.

  Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan afektif. Istilah ‘dunia’ mencakup baik orang maupun barang. Ada penekanan pada unsur pasif.

  Dalam mengalami sesuatu, orang pertama-tama merasa ‘kena’ atau disentuh oleh sesuatu hal, lebih daripada secara aktif mengerjakan atau mengolah hal.

  Oleh karena itu keindrawian dan, afeksi dan emosi memainkan peranan yang besar dalam pengalaman. Setiap pengalaman sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan apa yang bersifat irasional dalam diri manusia. (Syukur, 1988)

  Pengalaman religius harus dibedakan dengan pengalaman biasa, pengalaman religius memang sulit untuk didefinisikan, James mendefinisikan pengalaman religius sebagai semua perasaan, tingkah laku dan pengalaman dari seseorang sejauh mereka melihat diri mereka sendiri di dalam relasi mereka dengan apapun yang mereka pandang sebagai Tuhan mereka (James, 1958). Pengalaman religius juga dikatakan sebagai pengalaman yang spesifik yang mencakup rasa kagum terhadap alam yang tak terbatas, keterpesonaan sekaligus misteri menanggapi kehadiran Yang Suci, ketergantungan terhadap kekuatan Tuhan atau perintah dari yang tak tampak, perasaan bersalah dan kegelisahan yang menemani kepercayaan dalam keputusan Tuhan dan perasaan damai yang mengikuti keyakinan dalam pengampunan Tuhan (religious-experience). Otto memberi syarat kepada pengalaman agar dapat disebut sebagai pengalaman religius (Otto, 1959):

  1. Adanya keterpesonaan kepada Numinous yang merupakan suatu dunia atau dimensi dari realita yang misterius dan mempesona.

  2. Adanya suatu daya tarik yang mampu mengatasi ketakutan 3.

  Adanya suatu perasaan misteri dan rasa ingin tahu yang menjadi satu dan bisa dikatakan merupakan sentuhan manusia dengan “Wholly Other” Moore dan Habel mengidentifikasikan pengalaman religius ke dalam 2 kelompok, yaitu pengalaman religus yang didapat melalui media dan pengalaman religius yang didapat tanpa melalui media apapun. Pengalaman religius yang didapat melalui media bisa didapat melalui ritual, orang yang spesial, kelompok-kelompok religius, obyek-obyek tertentu atau dari alam. Sedangkan pengalaman religius yang tidak melalui media apapun mereka dapat melalui dewa atau Tuhan nya secara langsung (Habel dkk, 1993).

  Pengalaman religius tidak dapat dipisahkan dari apa yang kita sebut sebagai pengalaman mistik, mistik dianggap sebagai suatu proses identifikasi terhadap suatu kekuatan dan realita dan semua ketidak rasionalan yang tertinggi (Otto, 1959). James menggunakan istilah “bagian mistik dari kesadaran” untuk meliputi seluruh bagian-bagian dari pengalaman, baik pengalaman yang tidak religius maupun pengalaman yang sangat religius sekalipun. Mistik dibagi menjadi 4 tanda yang menjadi bagian dari pengalaman yaitu (James, 1958): a) lebih menggambarkan suatu perasaan yang tak terlukiskan yang muncul dari pengalaman yang tidak dapat dibagikan kepada yang lain

  b) munculnya insight yang lebih kita kenal sebagai pencerahan atau wahyu yang merupakan susunan dari pengetahuan yang kita pelajari dari waktu ke waktu c) tidak bertahan lama d) bersifat pasif

  Berangkat dari pemikiran bahwa tubuh dan pikiran memiliki suatu hubungan, ditemukan suatu hasil penelitian yang menunjukkan kaitan erat antara pengalaman religius dan susunan organ tubuh. Banyak ritual-ritual religius atau latihan- latihan religius didesain untuk merangsang indra- indra dalam tubuh khususnya mata, telinga, hidung, lidah dan organ-organ pengindraan lainnya. Tidak mungkin ditemukan adanya pengalaman religius yang tidak berhubungan dengan penginderaan karena sensasi dan perasaan- perasaan diproduksi oleh organ-organ internal dalam tubuh dan oleh reaksi- reaksi dalam tubuh (Wuff, 1997).

  Setelah melihat penjelasan di atas mengenai pengalaman religius, maka dapat dikatakan bahwa suatu pengalaman dapat dikatakan sebagai pengalaman religius bila memiliki semua komponen-komponen di bawah ini: a.

  Setiap pengalaman religius menceritakan pengalaman akan pertemuan dengan Tuhan nya atau yang di Tuhan kan atau yang transenden. Maka jelas komponen utama yang harus ada dalam pengalaman religius adalah adanya kehadiran Tuhan atau apapun yang di Tuhan kan.

  b.

  Pertemuan dengan Tuhan nya biasanya akan memunculkan suatu perasaan yang kadang sulit untuk dijelaskan. Maka yang menjadi komponen kedua adalah adanya perasaan yang muncul ketika bersentuhan dengan Tuhan nya baik itu kekaguman, ketergantungan, kegelisahan dan sampai ke ketakutan sekalipun tergantung bagaimana seseorang memandang Tuhan nya sebagai yang mempesona (fascinosum) atau sebagai yang maha dahsyat (tremendum).

  c.

  Ada suatu penelitian yang menjelaskan keterkaitan pengalaman religius dengan pengindraan dalam tubuh. Jadi komponen ketiga adalah semua sensasi yang dirasakan secara fisik oleh tubuh dalam menanggapi pengalaman religius. d.

  Suatu pengalaman religius cenderung pasif dimana seseorang merasa disentuh oleh kekuatan dari luar yang dirasa sebagai kehadiran dari Tuhan mereka.

  e.

  Yang menjadi komponen terakhir dalam pengalaman religius adalah adanya suatu perubahan yang cukup berarti di dalam kehidupannya setelah pengalaman akan pertemuannya dengan Tuhan nya dan perubahan itu cenderung mengarah ke perubahan yang lebih baik meskipun tidak menutup kemungkinan itu tidak mempengaruhi hidupnya sama sekali.

B. Ritual

  Ritual merupakan susunan dari tingkah laku yang memiliki nilai- nilai simbolik yang pelaksanaannya ditentukan oleh suatu agama atau budaya dari suatu kelompok masyarakat tertentu (Ritual).

  Ritual sujud yang nantinya akan diteliti dalam penelitian ini merupakan ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan dan juga tindakan religius dari para anggotanya (Dhavamony, 1995). Ritual memiliki elemen penting di dalamnya yang juga tampak dalam ritual sujud (Erikson dalam Wuff, 1997), yaitu: a.

  The Numinous Numinous seringkali dihubungkan dengan setting religius dan ritual, Erikson memikirkan ini sebagai hal yang sangat penting bagi ritual.

  Bagi Erikson penghormatan terhadap Numinous bisa mengalami distorsi sampai ke menjadi pemujaan dan ini justru merupakan perubahan ke arah yang lebih buruk.

  b.

  The Judicious Istilah- istilah yang dipilih yang bisa memberi sugesti perbedaan antara yang benar dan yang salah.

  c.

  The Formal Aspek ini meyakinkan bahwa susunan bagian-bagian dari suatu ritual tampak begitu sempurna yang kadang oleh para psikoanalis ini justru dianggap sebagai model- model dari ritual.

  d.

  The Ideological Berbeda dengan elemen-elemen sebelumnya yang dimulai pada masa anak-anak. Elemen ini menegaskan bahwa anggota-anggota yang sudah dewasa dapat secara penuh menjadi anggota dalam suatu kelompok ritual dan sudah bisa membuat suatu komitmen bagi kelompoknya serta membagikan pandangannya tentang dunia yang dia inginkan.

  e.

  The Affiliative Elemen ini berhubungan dengan ego yang diekspresikan dalam persahabatan, cinta dan pekerjaan.

  f.

  The Integral Secara tradisional, para leluhur meyakinkan makna dari roda kehidupan manusia dengan mempersonifikasi kebijaksaan suatu ritual.

  Peran mereka inilah yang oleh Erikson disebut sebagai integral yang dalam beberapa tahun kemudian dia sebut sebagai filosofi.

  Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa ritual seperti sujud merupakan suatu tradisi dari para leluhur yang memiliki nilai filosofi dan ideologi tersendiri yang selalu terhubung oleh sesuatu yang berbau dengan mistik sebagai ciri mereka dan ada kecenderungan dimana ritual hanya dapat dipahami dengan melakukan dan membuka diri terhadap pengalaman yang dimunculkan dalam ritual. Ada peran-peran penting yang harus dimainkan dala m ritual oleh anggota-anggotanya dalam hubungannya dengan kelompok tersebut. Tujuan dari ritual ada bermacam- macam, mereka mencakup pemenuhan untuk kewajiban atau pemikiran-pemikiran yang idealis akan religiusitas mereka, pemuasan dari kebutuhan emosi dan spiritualitas para praktisi, mempereta tali sosial dalam masyarakat, demonstrasi dari rasa hormat atau kepatuhan, menyatakan bergabungnya seseorang dalam suatu kelompok, mendapatkan pengakuan dari kelompok, atau kadang hanya untuk kepuasan ritual itu sendiri (Ritual).

C. Kebatinan 1. Kebatinan Secara Umum

  Aliran kebatinan lebih dikenal sebagai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan suatu sistem kepercayaan atau sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama, aliran, faham, sekte atau madzab dari agama tersebut, serta bukan pula termasuk kepercayaan adat (Sofwan, 1999). Kata kebatinan itu sendiri berasal dari kata Arab, batin yang berarti sebelah dalam, inti, bagian dalam, di dalam hati, tersembunyi dan misterius

  (Mulder, 1983). Geertz mengartikan batin sebagai “dunia-dalam dari pengalaman manusia” (1963).

  Dengan lebih singkat Kamil (1985) merumuskan kebatinan sebagai olah batin yang macam apapun. Kebatinan itu sendiri seperti yang telah dirumuskan dalam kongres BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) kedua di Sala pada tahun 1956 yang menyatakan bahwa kebatinan ialah “Sumber Azaz dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi

  

luhur, guna kesempurnaan hidup .” Untuk mencapainya kebatinan berprinsip

  agar manusia selalu berusaha membersihkan diri dengan semboyan “sepi ing ”.

  pamrih rame ing gawe

  Djojodigoeno (Giri, 2003) menambahkan bahwa kebatinan mempunyai 4 unsur yang penting yaitu : a.

  Ilmu gaib Ilmu yang menitik beratkan pada penggunaan ilmu- ilmu gaib untuk melayani keperluan manusia.

  b.

  Union mistik Usaha untuk menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan.

  c.

  Sangkan paraning dumadi Bertujuan mengenal Tuhan dan menembus alam rahasia mengenai darimana manusia datang dan kemana manusia pergi.

  d.

  Budi luhur Menciptakan masyarakat yang saling menghargai dan saling mencintai sesuai perintah Tuhan.

  Mukti Ali (Soesilo, 2004) juga mengemukakan 5 sifat kebatinan, yaitu: 1)

  Bersifat “batin”, yaitu yang dipergunakan sebagai keunggulan kekuatan lahir, peraturan hukum yang diharuskan dari luar oleh pendapat umum.

  2) Bersifat subyektif, yaitu mementingkan rasa atau pengalaman rohani. 3)

  Sifat keaslian, yang merupakan ciri khas kebatinan, lebih mengutamakan gaya hidup dan kesopanan timur.

  4) Hubungan erat antar para warganya. 5) Sifat kelima adalah faktor ahklak atau budi luhur.

  Kebatinan tidak akan terlepas dari mistik, karena pada dasarnya kebatinan adalah mistik, yang berupaya menembus pengetahuan mengenai alam raya dengan tujuan mengadakan suatu hubungan langsung antara individu dengan Yang Maha Kuasa (Endraswara, 2003).

  Ada begitu banyak aliran kebatinan yang ada di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Departemen Agama, jumlah aliran kebatinan pada tahun 1950 an mencapai kurang lebih 400 aliran. Aliran-aliran tersebut baru benar-benar terorganisir setelah kemerdekaan. Aliran kebatinan tersebut memiliki ajaran yang berbeda- beda serta motivasi dan tujuan yang berbeda-beda pula, bahkan ada diantaranya yang menyatakan diri sebagai agama atau minta diakui sebagai agama seperti Aliran Sapta Darma sehingga pemerintah merasa perlu untuk melakukan pengawasan terhadap aliran-aliran kebatinan tersebut.

  Menurut Mulder kebangkitan kebatinan Jawa secara fenomenal dalam tahun-tahun sesudah kemerdekaan tidak dapat diterangkan dengan suatu alasan sederhana saja. Ada 2 interpretasi yang muncul, yang pertama adanya perasaan muak terhadap bentuk-bentuk tingkah laku religius agama tertentu.

  Bagi penganut kebatinan, “Tuhan” ada dalam hati manusia dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa terus menerus kepada Yang Mahakuasa. Interpretasi kedua yang dianut luas menganggap bahwa bangkitnya kebatinan merupakan reaksi melawan serangan gencar modernisasi dan sehubungan dengan itu, kemerosotan moral bangsa (Hadiwijono, 1967).

  Setelah melihat unsur dan sifat kebatinan maka dapat disimpulkan bahwa kebatinan merupakan usaha manusia yang terus menerus dalam mengolah batinnya sehingga manusia dapat bersatu dengan Tuhan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

2. Konsep Tuhan Dalam Kebatinan

  Kebatinan mengakui Tuhan dimana wujud dan keberadaannya masih diluar jangkauan manusia sehingga Tuhan dipandang sebagai Zat yang tidak bisa digambarkan, tidak bisa dipikirkan seperti apa, yang lebih dikenal dengan istilah tan kena kinanya ngapa (Sofwan, 1999). Oleh Hadiwijono (1999), Tuhan dipandang sebagai Zat yang mutlak dalam arti falsafah yang menjadi sumber segala sesuatu.

  Ada ambivalensi dalam pandangan tentang Tuhan menurut kebatinan. Disatu sisi Tuhan dipandang sebagai Dzat yang transenden namun disisi lain Tuhan dipandang sebagai sebagai Dzat yang immanen. Tuhan sebagai Dzat yang transenden tampak ketika ia dipandang sebagai Dzat yang mutlak yang tidak bisa digambarkan seperti apa yang oleh salah satu aliran kebatinan disebut sebagai terdahulu dari segala yang terdahulu, yang paling luar dari yang paling luar. Tuhan sebagai Dzat yang immanen artinya Tuhan ada di dalam alam ini, Tuhan tersembunyi, terlibat di dalam alam yang nyata bahkan Tuhan termasuk dalam susunan alam (Sofwan, 1999).

  Pandangan tentang Tuhan sesungguhnya bertolak dari pengalaman individu menanggapi suatu Dzat Gaib, Yang Illahi. Pertama Yang Illahi diakui sebagai Fascinosum : yang menarik, yang mempesona, karib, mesra dan menimbulkan cinta pada Nya. Yang kedua, Ia diakui sebagai Tremendum : yang menakutkan, yang jauh, ya ng dashyat (Sofwan, 1999).

  Ajaran ke Tuhan an dalam kebatinan disimpulkan sebagai paham pantheisme. Pantheisme berasal dari kata pan (seluruh) dan Theos (Tuhan), bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan, maka ciri khas dari ajaran ini adalah mengidentikkan Tuhan dengan akan satu keadaannya dalam dzat.

  Pentheisme mangajarkan bahwa Tuhan bukan sebagai obyek penyembahan atau kebaktian, tetapi Tuhan dipandang sebagai hukum yang merangkum keseluruhan sebagai satu kesatuan yang tak berkepribadian, kendatipun Ia dipandang sebagai yang hidup.

  Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat dilihat bahwa sesungguhnya dalam kebatinan, manusia dipandang sebagai mikrokosmos dan Tuhan sebagai makrokosmos yang mengatur kehidupan di dalamNya. Hubungan antara manusia dan Tuhan saling mempengaruhi karena manusia hidup di dalam Tuhan sebagai keseluruhan, sehingga diantara mereka diharapkan adanya suatu keselarasan agar dapat tercipta suatu hubungan yang “satu” diantara keduanya. Manusia sebagai mikrokosmos harus mampu menyatu dalam keseluruhan dalam artian manusia yang berkedudukan sebagai “kawula” harus mampu menyatu dengan “Gusti”. Penyatuan ini yang nantinya lebih dikenal sebagai “Manunggaling Kawula Gusti”.

3. Manunggaling Kawula Gusti

  “Manunggaling Kawula Gusti”, merupakan istilah untuk menggambarkan penyatuan atau peleburan manusia sebagai “kawula” dan Tuhan sebagai “Gusti”. Ajaran tersebut menghantarkan pada suatu kesimpulan bahwa manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan Tuhan, tidak lagi terbebani hukum dan bebas dari hukum. Bagi mereka yang telah menemukan kesatuan dengan hakekat hidup atau Dzat Tuhan, segala peribadatan adalah kepalsuan. Karena Tuhan tidak terkena hukum kealaman, maka manusia yang menyatu dalam Dzat Tuhan akan mencapai keabadian seperti Tuhan yang terbebas dari semua kerusakan. Puncak penyatuan “Kawulo Gusti” oleh Syekh Siti Jenar disebutkan sebagai uninong aning unong (Soesilo, 2004).

  Dalam konsep “Manunggaling Kawula Gusti”, manusia yang mampu bersatu dengan Tuhan diyakini akan memiliki sifat-sifat yang juga dimiliki oleh Tuhan. Manusia yang telah mencapai penyatuan dengan Tuhan nantinya juga akan memiliki kekuatan-kekuatan yang berasal dari Tuhan seperti kemampuan untuk menyembuhkan, kemampuan mencipta dan kemampuan- kemampuan lain yang diluar akal manusia. Kelebihan ini diharapkan dapat digunakan sebijaksana mungkin oleh mereka yang telah mencapai tahapan itu.

D. Sapta Darma

  Sapta Darma yang artinya 7 kewajiban suci merupakan wahyu yang diterima oleh bapak Hardjosapuro yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sri Gutomo. Bapak Hardjosapuro dilahirkan di Pare, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 27 Desember 1914. Beliau hanyalah rakyat biasa yang bekerja sebagai tukang cukur rambut ataupun sebagai tukang blangkon dan pedagang kecil karena beliau memang hanya berijazah sekolah rakyat (Giri, 2003).

  Berikut adalah hasil penelitian yang diambil dari Giri (2003). Sujud menurut Wewarah Sapta Darma bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan dengan cara sujud yang sempurna, niscaya kita betul-betul akan mengerti apa yang dikatakan “pembangunan Rokhani” yang sesungguhnya. Karena sujud, selain membuktikan kebaktian umat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga memberikan manfaat yang besar bagi tercapainya keluhuran budi dan lain sebagainya antara lain: ketenangan, kesadaran, kewaspadaan serta ketentraman hidup, yang akhirnya akan menuju kepada kebahagiaan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di alam langgeng (Giri, 2003).

  Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya (emating sujud).

  Sikap duduk

  Duduk tegap menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya di waktu sujud manusia harus menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita bertimpuh. Namun diperkenankan, mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran rasa.

  Tangan bersidakep, yang kanan di luar dan yang kiri di dalam. Selanjutnya menenteramkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke satu titik pada ujung kain sanggar yang terletak kurang lebih satu meter dari posisi duduk. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus.

  Setelah merasa tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai dikepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (Jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin:

  Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rokhim Allah Hyang Maha Adil Hal ini dimaksudkan: a.

  Mengagungkan/meluhurkan nama Allah.

  b.

  Mengingat-ingat akan sifat keluhuran Allah. Ucapan itu tidak hanya diucapkan dalam mulai sujud, tetapi juga diucapkan bila Warga Sapta Darma akan memulai samadi (ening).

  Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan bergoyang dengan sendirinya. Kemudian dimulai dengan merasakan jalannya air sari yang ada di tulang ekor (Jawa:

  brutu

  atau silit kodok). Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah- olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkukknya badan diikuti terus (bukan karena kemampuan tapi karena ada rasa), sampai dahi menyentuh kain sanggar.

  Setelah dahi menyentuh kain sanggar, dalam batin mengucap: “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa” (3 kali).

  Hyang Maha Suci ialah sebutan bagi roh suci seorang manusia yang berasal dari Sinar Cahaya Allah ialah yang meliputi seluruh tubuh seorang manusia.

  Maha berarti ter (=paling). Kuasa berarti kuasa atau menguasai. Maha Suci berarti meliputi/tersuci (terputih). Jadi maksudnya adalah kesucian yang meliputi pribadi kita bersujud pada Hyang Maha Kuasa.

  Hyang Maha Kuasa adalah sebutan Allah yang menguasai alam seisinya termasuk manusia baik rohaniah maupun jasmaniahnya.

  Sujud berarti: penyerahan diri pada Hyang Maha Kuasa atau menyembah Hyang Maha Kuasa. Jadi berarti: Roh suci kita menyerahkan purbawasesa pada Hyang Maha Kuasa.

  Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan- lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula.

  Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut di atas, sehingga dahi menyentuh kain sanggar lagi. Setelah dahi menyentuh kain sanggar di dalam batin mengucap:

  “Kesalahnnya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa”(3kali).

  Maksudnya : setelah meneliti dan menyadari kesalahan-kesalahan (dosa- dosa) setiap harinya, maka selalu Roh Suci mohon ampun pada Nya akan segala dosa-dosanya tersebut.

  Dengan perlahan- lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti tersebut di atas sampai dahi menyentuh kain sanggar yang ke tiga kalinya.

  Kemudian dalam batin mengucap: “Hyang Maha Suci bertobat Hyang Maha Kuasa”(3kali).

  Dimaksudkan untuk tidak berbuat kesalahan dan dosa lagi. Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit lagi, baru kemudian sujud selesai.

  Sujud yang dilakukan dengan penuh kesungguhan akan memiliki dampak yang sangat besar sekali bila dilakukan minimal sehari sekali dan sungguh-sungguh.

  Sebenarnya sujud menurut wewarah tersebut bila didalami serta diteliti sungguh-sungguh adalah membimbing/menuntun jalannya air sari. Air sari yang telah tersaring sungguh-sungguh, serta menuntun Sinar Cahaya yang ada/meliputi seluruh tubuh, diratakan sampai ke sel-sel yang sedalam- dalamnya.

  Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambaran berwarna hijau muda (=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia.

  Adapun air sari atau air putih/suci berasal dari sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang di makan manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa=Cetik/silit kodok/brutu). Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. Daya kekuatan ini disebut: atom berjiwa yang ada pada pribadi manusia.

  Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti diantaranya: Dapat memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh

  • Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara
  • >Dapat mencerdaskan pikiran.

  • penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.

  Dapat memiliki kewaskitaan, seperti kewaskitaan akan

  Untuk mencapai itu semua maka syarat yang harus dilaksanakan adalah pengolahan/penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari- hari.

  Setelah melihat penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa laku sujud ini bertujuan untuk membangkitkan suatu kekuatan yang luar biasa di dalam diri kita yang tertanam di tulang ekor kita yang mereka kenal sebagai inti atom berjiwa yang kemudian mengalir melalui tulang punggung sampai ke kepala kita. Selain itu sujud juga ditujukan sebagai bukti penyerahan diri dan kebaktian kita kepada Tuhan.