BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA TUTURAN TRANSAKSI JUAL BELI SANDANG DI TOKO JAYA MUKTI ABADI PASAR WAGE PURWOKERTO - repository perpustakaan

20
BAB II
LANDASAN TEORI

A.

Penelitian Sejenis yang Relevan
Penelitian mengenai alih kode dan campur kode sudah pernah diteliti oleh

Resti Wahyu Purwaningsih pada Maret 2012 dengan judul “Alih Kode dan Campur
Kode pada Tuturan Transaksi Jual Beli Sandang di toko Pusaka Purwokerto.”. Data
yang digunakan adalah tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode pada
transaksi jual beli sandang di toko Pusaka Purwokerto yang dilakukan pada Maret
2012. Sumber data dalam penelitian ini adalah penutur (penjual dan pembeli) yang
melakukan transaksi jual beli sandang di toko Pusaka Purwokerto. Penyediaan data
menggunakan metode simak dengan teknik dasar yaitu teknik sadap. Sebagai teknik
lanjutan yaitu teknik Simak Libat Cakap (SLC), teknik rekam, dan teknik catat. Pada
tahap analisis digunakan metode agih dengan teknik dasar yaitu Bagi Unsur Langsung
(BUL) dan teknik lanjutannya yaitu teknik ganti. Tahap penyajian hasil analisis data
menggunakan metode penyajian informal.
Berdasarkan kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda

dengan penelitian Resti Wahyu Purwaningsih. Adapun perbedaannya terletak pada
sumber data penelitian dan permasalahan yang dianalisis. Penelitian yang dilakukan
oleh Resti Wahyu Purwaningsih hanya menganalisis macam alih kode dan campur
kode, dan faktor penyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode pada tuturan
transaksi jual beli di toko sandang Pusaka Purwokerto. Sedangkan penelitian
selanjutnya selain menganalisis macam alih kode dan campur kode, dan faktor
penyebab terjadinya alih kode dan campur kode pada tuturan transaksi jual beli
7

Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

21
8
sandang di toko Jaya Mukti Abadi, peneliti juga menganalisis jenis tindak tutur yang
jenis tindak tutur yang terdapat pada tuturan alih kode dan campur kode dalam
transaksi jual beli sandang di toko Jaya Mukti Abadi Pasar Wage Purwokerto. Sumber
data penelitian Resti Wahyu Purwaningsih yaitu penjual dan Pembeli yang melakukan
transaksi di toko sandang Pusaka Purwokerto. Sedangkan sumber data peneliti
selanjutnya yaitu penjual dan pembeli yang melakukan transaksi di toko sandang
Jaya Mukti Abadi Pasar Wage Purwokerto.


B. Bahasa
1.

Pengertian Bahasa
Menurut Kridalaksana (2008: 24) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang

arbitrer dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Keraf (2001: 1) mendefinisikan bahasa adalah
alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
bahasa adalah simbol/lambang bunyi bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia, digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri.

2.

Fungsi Bahasa
Chaer (2007: 23) mendefinisikan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat


komunikasi. Dalam kapasitas sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki fungsi-fungsi
yang lebih khusus dalam masyarakat, seperti untuk menjalani sebuah hubungan atau
kerja sama sesama manusia, menyatakan pikiran dengan perasaan, menyatakan
keinginan, alat untuk mengidentifikasi diri dan sebagainya.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

922
Menurut Keraf (2001: 3-6) bahasa memiliki empat fungsi yaitu: (a) alat untuk
menyatakan ekspresi diri, (b) alat komunikasi, (c) alat mengadakan integrasi dan
adaptasi sosial, (d) alat mengadakan kontrol sosial.

a. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan tentang
segala sesuatu yang ada di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan
keberadaan kita. Melalui bahasa dapat diketahui ekspresi senang atau sedih seseorang.
Kita dapat mengetahui ekspresi seseorang melalui bahasa yang diucapkan tanpa
bertatap muka. Jadi setiap orang dapat berkspresi sesuai dengan bahasa yang
digunakannya ketika berkomunikasi.

b. Alat Komunikasi

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita,
melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerjasama dengan
sesama warga. Dalam kelompok masyarakat, alat komunikasi digunakan untuk
berinteraksi yang dihubungkan dengan komunikasi. Salah satu alat yang digunakan
untuk berkomunikasi adalah bahasa. Dalam hal ini bahasa sebagai alat komunikasi
tidak hanya terjadi dilingkungan masyarakat saja tetapi bahasa sebagai alat
komunikasi juga dapat terjadi dikalangan pedagang di pasar.

c. Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial
Melalui bahasa, seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenai
adat istiadat, tingkah laku, dan tata-krama masyarakat. Ia mencoba menyesuaikan
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

23
10
dirinya (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa. Bila dapat menyesuaikan dirinya
maka ia pun dengan mudah membaur dirinya (integrasi) dengan segala macam tatakrama masyarakat tersebut. Selain itu salah sau unsur kebudayaan memungkinkan
pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman bermasyarakat.

d. Alat Mengadakan Kontrol Sosial

Kontrol sosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak
tanduk orang lain dan semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat
diatur dengan menggunakan bahasa. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa
mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat. Melalui bahasa
setiap orang akan berfikir dalam berbahasa di lingkungan sosial. Selain dilingkungan
sosial masyarakat control sosial biasanya juga terjadi dikalangan para pedagang di
pasar.

3. Variasi Bahasa
Chaer dan Leonie Agustina (2004: 62) membagi variasi bahasa menjadi
beberapa segi, yaitu: (a) variasi bahasa dari segi penutur, (b) variasi bahasa dari segi
pemakaian, (c) variasi bahasa dari segi keformalan, (d) variasi bahasa dari segi sarana.
a. Variasi Bahasa dari Segi Penutur
Variasi bahasa dari segi penutur dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
(1) idiolek, (2) dialek, (3) kronolek, (4) sosiolek.
1. Idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan.
2. Dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif,
yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu.
3. Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu.

4. Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan, dan kelas sosial para penuturnya.
b. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa
yang digunakan untuk keperluan atau bidang tuturan. Misalnya, bidang sastra,
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

11
24
jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan,
dan kegiatan keilmuan.
c. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan
Variasi bahasa dari segi keformalan dibagi menjadi beberapa macan, yaitu:
(1) ragam resmi atau formal, (2) ragam usaha atau ragam konsultatif, (3) ragam
santai atau ragam kasual, (4) ragam akrab atau ragam intim.
1. Ragam resmi atau formal, yakni variasi bahasa yang digunakan dalam pidato
kenegaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku
pelajaran, dan sebagainya. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam
bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak
dalam situasi yang tidak resmi.

2. Ragam usaha atau ragam konsultatif, yakni variasi bahasa yang lazim
digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau
pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi ragam bahasa ini
berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.
3. Ragam santai atau ragam kasual, yakni variasi bahasa yang digunakan dalam
situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib
pada waktu beristirahat.
4. Ragam akrab atau ragam intim, yakni variasi bahasa yang biasa digunakan oleh
para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan
penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi
yang seringkali tidak jelas.
d. Variasi Bahasa dari Segi Sarana
Variasi bahasa dari segi sarana dibagi menjadi dua, yaitu: (1) ragam lisan, (2)
ragam tulis.
1. Ragam lisan, yakni dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu
oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada
suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik
lainnya.
2. Ragam tulis, yakni lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang disusun
bisa dapat dipahami pembaca dengan baik.


Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

25
12
Variasi bahasa tersebut dapat dirangkum dalam bagan berikut.

Bagan 1. Jenis Variasi Bahasa
Jenis Variasi Bahasa
Dari Segi
Penutur

Dari Segi Pemakaian
(topic pembicaraan)

Idiolek
Dialek
Dialek Temporal
/Kronolek
Dialek Sosial

/Sosiolek

Dari Segi
Keformalan

Ragam Bahasa
Sastra

Ragam Resmi/
Formal

Ragam Bahasa
Jurnalistik

Ragam Usaha/
Konsultatif

Ragam Bahasa
Militer
Ragam Bahasa

Umum

Dari Segi Sarana
(medium)

Lisan
Tulis

Ragam
Santai/Kasual
Ragam

Akrab/Intim

Ragam Bahasa Niaga/
Perdagangan

4.

Transaksi Jual-Beli Sandang

Transaksi merupakan persetujuan jual beli (dalam perdagangan) antara dua

pihak (Depdiknas, 2008: 1484). Dalam dunia perdagangan peristiwa jual beli tentu
saja melewati proses transaksi yang merupakan persetujuan antara pembeli dan
penjual. Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang
menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang
dijual (Depdiknas, 2008: 589), sedangkan sandang merupakan bahan pakaian
(Depdiknas, 2008: 1356). Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa transaksi
jual beli sandang merupakan persetujuan jual beli dalam dunia perdagangan demi
mengikat antara penjual yang menyerahkan barang bahan pakaian, dan pembeli yang
membayar barang yang dijual.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

13
26
C. Alih Kode
1.

Pengertian Kode
Suwito (1995: 78) mengatakan bahwa istilah kode dimaksudkan untuk

menyebut salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan. Sedangkan menurut
Kridalaksana (2008: 127) kode diartikan sebagai (a) lambang atau sistem ungkapan
yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, (b) sistem bahasa dalam suatu
masyarakat, dan (c) variasi tertentu dalam suatu bahasa. Berdasarkan penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa kode merupakan variasi bahasa yang memiliki
maksud tertentu untuk digunakan dalam berkomunikasi sesuai dengan kebutuhan
penutur dan mitra tutur.

2.

Pengertian Alih Kode
Suwito (1995: 80) mendefinisikan alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode

yang satu ke kode yang lain. Sedangkan menurut Kridalaksana (2008: 9) alih kode
adalah penggunaan variasi-variasi bahasa atau dua bahasa atau lebih dalam satu tutur
sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena
adanya partisipan lain. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa alih kode
merupakan suatu peralihan dari variasi bahasa satu ke variasi bahasa yang lain karena
berubahnya situasi dan kondisi sehingga harus dapat menyesuaikan diri dengan
adanya partisipan lain.

3.

Macam-Macam Alih Kode
Suwito (1995: 81) membedakan dua macam alih kode, yaitu alih kode intern

dan alih kode ekstern. Alih Kode Intern yaitu alih kode yang terjadi antar bahasaAlih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

1427
bahasa daerah dalam satu bahasa nasional (bahasa Indonesia), atau antara dialekdialek dalam satu bahasa daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat
dalam satu dialek. Sedangkan Alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antara
bahasa asli dengan bahasa asing. Dari hal tersebut menurut Poedjasoedarma, dkk.
(1979: 45-56) alih kode ekstern dibagi menjadi dua macam yaitu alih kode permanen
dan alih kode sementara. Alih kode permanen terjadi apabila seorang pmbicara secara
tetap mengganti kode bicaranya kepada lawan bicaranya. Alih kode sementara yaitu
alih kode yang dilakukan seorang pembicara pada waktu bicara dengan tingkat tutur
yang biasa ia gunakan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa alih kode
intern adalah alih kode yang hanya terjadi antarbahasa sendiri ataupun dialek sendiri.
Sedangkan alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antarbahasa asli (bahasa
nasional, dialek yang ditempati) dengan bahasa asing.

4.

Faktor Penyebab Alih Kode
Menurut Poedjasoedarma dkk. (1979: 45-56) faktor penyebab alih kode yaitu:

(a) alih kode karena mensitir kalimat lain, (b) berbicara secara tidak langsung kepada
lawan bicara, (c) relasi tidak pasti antara si penutur dengan lawan bicara, (d)
ketidakmampuan menguasai kode tertentu, (e) pengaruh kalimat-kalimat yang
mendahului penutur, (f) pengaruh situasi bicara, (g) alih kode karena kendornya
penguasaan diri, (h) pengaruh materi percakapan, (i) pengaruh hadirnya orang ketiga,
(j) pengaruh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kode yang dikuasai lawan
bicara, (k) keinginan mendidik lawan bicara, (l) pengaruh praktik berbahasa, (m)
bersandiwara dan berpura-pura, (n) frasa-frasa basa-basi, pepatah dan peribahasa, dan
(o) pengaruh maksud-maksud tertentu.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

28
15
a.

Alih Kode Karena Mensitir Kalimat Lain
Kalimat yang disitir biasanya diucapkan dalam tingkat tutur aslinya. Kata-

katanya memang tidak harus selalu persis sama asal saja isinya sama. Intonasinya pun
biasanya disamakan dengan intonasi aslinya. Biasanya kita jumpai kata-kata kunci
yang menunjukkan bahwa si penutur mensitir kalimat seseorang atau kalimatnya
sendiri. Contoh dialog anak yang minta baju baru kepada Ibunya.
Anak : “Bu baju baru punya Reni modelnya bagus Bu.”
Ibu
: “Biasa bae koh.”
‘Biasa saja kok.’
Anak : “Biasa bae koh. (menirukan ibunya). Apik koh Bu.”
‘Biasa saja kok. Bagus koh Bu.’

Pada contoh tersebut terjadi peristiwa alih kode bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa . Hal tersebut diseababkan karena si penutur yaitu anak yang menyitir
atau mengucapkan dalam ragam asli tuturan lawan tutur yaitu ibu. Penutur yaitu anak
tidak dapat mengendalikan diri karena marah tidak dibelikan baju baru sehingga tidak
dapat bertutur dalam ragam yang tetap dan akhirnya beralih kode dengan menyitir
tuturan yang dilakukan oleh ibunya yaitu menggunakan bahasa Jawa.

b. Berbicara Secara tidak Langsung kepada Lawan Bicara
Orang Jawa seringkali menyatakan pendapatnya secara tidak langsung kepada
lawan bicaranya. Seolah-olah apa yang dikatakannya tertuju pada dirinya sendiri atau
paling tidak seolah-olah tidak tertuju kepada lawan bicaranya, namun sebetulnya
ditujukan juga pada lawan bicaranya. Berikut ini contoh bagaimana seorang tuan
rumah menawarkan teh kepada tamunya sambil meminta maaf karena teh itu tidak
disertai dengan makanan kecil. Kalimat yang tidak langsung ditujukan kepada lawan
bicaranya ditulis dalam kurung.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

29
16
Ngga, Den mang unjuk, toya bening mingan. (Ha ra ana nyamikane kok ya).
‘Silakan, Den, minum, tetapi hanya air tawar. (Memang saya tidak punya
makanan kecil, mau apa lagi).’ (Poedjasoedarma dkk. 1979)
Pada cotoh tersebut merupakan alih kode yang disebabkan berbicara secara
tidak langsung kepada lawan bicara. Pada kalimat pertama yang tidak dalam kurung
penutur menggunakan bahasa krama karena tertuju pada lawan tutur yaitu tamunya.
Lalu kalimat selanjutnya penutur menggunakan bahasa ngoko seolah-olah apa yang
dikatakannya tertuju kepada dirinya sendiri atau paling tidak seolah-olah tidak tertuju
pada lawan bicaranya, tetapi sebetulnya kalimat tersebut ditujukan juga pada lawan
bicaranya.

c.

Relasi Tidak Pasti Antara Si Penutur dengan Lawan Bicara
Orang akan beralih kode jika relasi tidak pasti antara si penutur dengan lawan

bicaranya telah berubah dari segi ekonomi maupun pendidikan. Berikut salah satu
contoh bagaimana seorang bekas murid bertemu dengan bekas guru. Si bekas murid
itu sekarang sudah menjadi seorang dosen, sedangkan guru itu masih tetap menjadi
guru. Ketika masih menjadi guru, guru tersebut selalu berbicara dalam ngoko kepada
muridnya semasa masih menjadi murid. Kini dengan berubahnya relasi bekas
muridnya menjadi seorang dosen, maka guru itu berbicara menggunakan krama atau
paling tidak madya.
Guru

: “Roni priwe kabare?”
‘Roni gimana kabarnya?’
Bekas murid : “Sae Pak.”
‘Baik Pak.’
Guru
: “Seniki sampun dados dosen nggih?”
‘Sekarang sudah jadi dosen ya?’
d. Ketidakmampuan Menguasai Kode Tertentu
Ketika terjadi komunikasi dengan orang lain yang menggunakan bahasa yang
berbeda dengan lawan bicaranya kadang-kadang tidak mampu menguasai kode atau
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

1730
bahasa yang diucapkan lawan bicaranya. Dengan demikian akan terjadi alih kode.
Contoh alih kode karena ketidakmampuan menguasai kode tertentu. Misalnya Adi
yang berasal dari Jakarta pindah ke Jawa namun baru beberapa bulan. Suatu hari Adi
berbicara menggunakan bahasa Jawa kepada Roni tetapi Adi kebingungan karena
keterbatasan kosa kata Adi dalam bahasa Jawa. Oleh sebab itu, Adi beralih ke bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi dengan Roni.
Adi
Roni
Adi

e.

: “Ron bengkel tambal ban neng ndi ya?”
‘Ron bengkel tambal ban di mana ya?’
: “Niku teng prapatan Di.”
‘Itu di perempatan Di.’
: “Oke terima kasih Ron.”

Pengaruh Kalimat-kalimat yang Mendahului Penutur
Sering orang melakukan alih kode karena kalimat-kalimat ataupun kata-kata

yang mendahuluinya. Dalam mensitir kalimat, orang sering menggunakan tingkat
tutur yang bukan merupakan tingkat tutur tetapnya. Jadi di sini dia menggunakan dua
tingkat tutur sekaligus. Kadang-kadang tingkat tutur sitiran ini mempengaruhi tingkat
tutur tetapnya.
contoh :
Penjual : “Monggo badhe mundhut napa?”
‘Silahkan mau ambil apa?’
Pembeli 1 : “Badhe mundhut teh wonten napa boten?”
‘Mau ambil the ada atau tidak?’
Penjual : “Oh teh wonten.”
‘Oh teh ada.’
Pembeli 2 : “Tuku kopi ana apa ora?”
‘Beli kopi ada atau tidak?”
Penjual : “Kopi ya ana.”
‘Kopi ya ada.’
Pada contoh tersebut terjadi peristiwa alih kode yang dilakukan oleh penjual
yaitu dari bahasa Jawa krama saat melayani pembeli 1 partama kali pembeli datang,
tetapi ketika pembeli 2 ternyata menggunakan bahasa ngoko pada saat akan membeli
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

18
31
akhirnya penjual tersebut terpengaruh oleh kode pembeli 2 yang menggunakan ngoko.
Jadi penjual tersebut menggunakan dua kode sekaligus pada saat melakukukan
transaksi jual beli di tokonya.

f.

Pengaruh Situasi Bicara
Dalam suatu pertemuan sering kali terjadi peristiwa tutur (speech event). Pada

pertemuan halalbihalal atau acara kenduri, orang sering beralih dari situasi santai ke
situasi resmi. Bersamaan dengan berubahnya situasi tadi, terjadi pula adanya alih
kode. Contoh seorang anak berhalalbihalal dengan ayahnya. Anak tersebut biasanya
bicara dalam tingkat tutur madya terhadap ayahnya, tetapi kini menggunakan krama.
Ayahnya juga menjawab dengan kode yang resmi pula.
Anak : “Wis saged dimulai Pak?”
‘Sudah bisa dimulai Pak?’
Ayah : “Saged.”
‘Bisa.’
Anak : ”Njih pareng matur Bapak, sowan kula ngaturaken bekti kula saha
ngaturaken sedaya kalepatan kula lan sakwayahipun sedaya mugimugi Bapak maringi pangapunten dhateng kula.”
‘Kiranya sekarang izinkan saya berkata kepada Bapak. Kedatangan
saya ini untuk menyampaikan hormat saya kepada Bapak. Semoga
Bapak berkenan memaafkan saya.’
Ayah :”Celathu lan lakuku sing ora keduga ditampa menyang anak, ya
dingapura karo sing kuwasa.”
‘Ucapan dan tindakan saya yang tidak baik diterima oleh anak
hendaknya dimaafkan Tuhan yang Maha Kuasa.’ (Poedjasoedarma dkk.
1979)

g.

Alih Kode karena Kendornya Penguasaan diri
Orang yang tak dapat menguasai diri sering tidak bisa berbicara dalam madya

atau krama. Misalnya dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat jika
biasanya seorang anak yang berbicara krama kepada orang tuanya akan beralih
menggunakan ngoko jika anak tersebut sedang marah. Berikut ini adalah contoh
seorang anak yang sedang minta dibelikan laptop baru kepada orang tuanya.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

32
19
Contoh :
Anak : “Bu, tumbas leptop malih Bu?”
‘Bu, beli laptop lagi Bu?’
Ibu
: “Leptopmu bodhol apa?”
‘Laptop kamu rusak apa?’
Anak : “Boten tapi sampun ketinggalan jaman Bu.”
‘Tidak tapi sudah ketinggalan zaman Bu.’
Ibu
: “Ya tukune nek leptope wis bodhol.”
‘Ya belinya kalau laptopnya sudah rusak.’
Anak : “Lah pelit temen Bu, leptope wis ala koh.”
‘Lah pelit sekali Bu, leptopnya suadah jelek kok.’
Pada contoh tersebut kalimat yang bercetak tebal menunjukkan bahwa alih
kode disebabkan karena kendornya penguasaan diri. Anak yang pada awalnya
menggunakan ragam krama kepada ibunya beralih menjadi ngoko karena si anak
tidak dapat mengendalikan diri sehingga si anak tersebut beralih ke dalam ragam
ngoko. Hal tersebut terjadi karena si anak tidak dapat mengendalikan dirinya yang
marah karena tidak dibelikan laptop baru. Maka dari itu kendornya penguasaan diri
dapat mengakibatkan peristiwa alih kode.

h. Pengaruh Materi Percakapan
Sudah banyak kita singgung bahwa materi percakapan sangat memungkinkan
terjadinya berbagai alih kode. Bila orang berbicara ilmu pengetahuan, masalah politik
atau pemerintahan, orang sering beralih ke bahasa Indonesia. Sebaliknya jika orang
tersebut berpindah ke topik santai misalnya cerita pengalaman pribadi maka bahasa
mereka beralih ke ragam santai. Contoh bagaimana seorang kakak mau menguji
pengetahuan adiknya. Kode tetapnya adalah bahasa Jawa ngoko, sedangkan kalimat
yang bertautan dengan ilmu sejarah diucapkan dalam bahasa Indonesia.
Kakak : “ Saiki tak bedheki. Ibu kota kerajaan Majapahit di mana?”
‘ Sekarang coba tebak. Ibu kota kerajaan Majapahit di mana?’
Adik : “Ibu kota kerajaan Majapait di Singosari.”
Kakak : “Ooo, bodho.”
‘ Ooo, bodoh.’
Adik : “Lha ngendi?” (Poedjasoedarma dkk. 1979)
‘Di mana?’
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

33
20
i.

Pengarauh Hadirnya Orang Ketiga
Ketika sedang terjadi pembicaraan antara dua orang dengan menggunakan

bahasa daerah, kemudian muncul pihak ketiga yang menggunakan bahasa Indonesia,
maka kedua orang yang menggunakan bahasa daerah akan beralih kode ke bahasa
Indonesia. Contoh antara dua orang Jawa yang sedang saling bicara kemudian datang
orang ketiga yang berasal dari Jakarta sehingga terjadi alih kode ke dalam bahasa
Indonesia karena hadirnya orang ketiga.
Orang Jawa 1 : “Kudhunge regane piraan?”
“Kerudungnya harganya berapa?’
Orang Jawa 2 : “Pitulas ewu.”
‘Tujuh belas ribu.’
Orang Jakarta :”Kerudungnya bagus sekali.”
Orang Jawa 1 :”Iya emang bagus.”
Orang Jawa 2 :”Ah, biasa saja kok.”

j.

Pengaruh Keinginan untuk Menyesuaikan Diri dengan Kode yang Dikuasai
Lawan Bicara
Orang dewasa yang berbicara kepada anak kecil biasanya berusaha

menggunakan dialek anak kecil. Orang dewasa bermaksud agar si anak lebih mengerti
apa yang dikatakannya atau pun lebih merasa dekat terhadapnya. Persamaan kode ini
akan lebih mendekatkan lawan bicara dengan si penutur. Misalnya ketika orang
dewasa menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya sedangkan si Rani
bercicara menggunakan bahasa Jawa pada saat orang dewasa tersebut ingin berbicara
dengan Rani orang dewasa tersebut menggunakan bahasa Jawa karena ingin
menyesuaikan diri dengan kode yang dikuasai Rani.
Contoh :
Orang dewasa :”Rani, tadi sudah mandi belum?”
Rani
:”Urung!”
‘Belum!’
Orang dewasa :”Sak iki maem dhisik, njur pakpung!”
‘Sekarang makan dulu, lalu mandi!’ (Poedjasoedarma dkk.
1979)
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

34
21
k. Keinginan Mendidik Lawan Bicara
Para ibu di rumah dan guru di sekolah tingkat rendah (taman kanak-kanak dan
kelas terbawah sekolah dasar) sering menyelipkan kalimat-kalimat krama dalam
berbicara kepada anak asuh mereka. Kalimat-kalimat krama tersebut dimaksudkan
untuk membiasakan si anak pada tingkat tutur krama. Dengan kalimat krama yang
secara langsung ditujukan kepada anak tersebut, diharapkan bahwa si anak akan
menjawab dalam krama pula. Maka hal tersebut jelas menunjukkan kalau alih kode
terjadi karena keinginan mendidik lawan bicara.
Contoh :
Guru : “Bocah-bocah, saiki Ibu Guru kagungan cangkriman. cangkrimane
gampang banget. sego sekepel dirubung tinggi iku apa? Hayo sapa
kang ngerti? Sinten ingkang ngertos? Anton sampun ngertos?”
‘Anak-anak, sekarang Ibu Guru mempunyai teka-teki. teka-teki ini
mudah sekali. Nasi sekepal dikerumuni kutu busuk itu apa? Ayo, siapa
tahu? Siapa yang tahu? Anton tahu?’ (Poedjasoedarma dkk. 1979)

l.

Pengaruh Praktik Berbahasa
Bahasa merupakan kecakapan yang hanya bisa dikuasai melalui praktik-

praktik serta latihan yang bertubi-tubi. Untuk mempraktikkan langsung pada situasi
yang cocok tidak selalu tersedia cukup kesempatan, maka biasanya orang akan
melatih berbicara dalam bahasa yang mereka pelajari dengan kawan dan teman
sejawat. Tidak jarang dijumpai anak-anak muda berbicara satu dan yang lainnya
dalam bahasa Inggris sekedar untuk latihan. Ada juga anak-anak kecil yang berbicara
satu sama lain dalam bahasa Indonesia dan krama. Semua ini sekedar melancarkan
kemampuan bicara mereka.

m. Bersandiwara dan Berpura-Pura
Anak-anak kecil sering mengadakan berbagai macam permainan yang
merupakan aktivitas tutur dipraktikkan. Permainan seperti ini, misalnya pasaran,
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

35
22
bertamu, sekolah. Dalam permainan mereka menirukan kode yang lazim dipakai
orang dalam aktivitas jual beli, bertamu ataupun mengajar/bersekolah. Sebelum
permainan ini dimulai mereka berbicara satu sama lainnya dalam ngoko, tetapi bila
mereka sudah masuk dalam permainan, mereka juga akan memakai madya atau
krama. Bila bermain sekolah, tidak jarang mereka akan memakai bahasa Indonesia.

n. Frasa-Frasa Basa-Basi, Pepatah dan Peribahasa
Dalam hubungan komunikasi sehari hari kita jumpai berbagasi basa-basi yang
tidak pernah tertinggal. Frasa-frasa ataupun kalimat-kalimat basa-basi ini selalu tetap
dan tidak pernah diubah. Frasa atau kalimat semacam itu, misalnya kula nuwun,
mangga, nuwun sewu, nyuwun pangapunten, nyuwun pamet, dan matur nuwun.
Meskipun ini semua masuk dalam tingkat tutur krama, tapi dalam kehidupan seharihari tidak pernah diubah menjadi ngoko walaupun keseluruhan peristiwa tutur terjadi
dalam ngoko. Juga bila orang mengucapkan pepatah “Kebo kaboten sungu”, ‘Kerbau
yang bertanduk terlalu berat’ tidak pernah orang mengucapkan dalam krama atau
madya. Tetapi bila orang ingin memberi keterangan atas peribahasa maupun pepatah
tersebut, dia akan menggunakan kodetetapnya. Jadi, kalau sebagai kode tetapnya
krama, dia akan memberi keterangan dalam krama pula.

o.

Pengaruh Maksud-Maksud Tertentu
Orang sering kali menyampaikan maksud-maksud tertentu tidak dengan secara

terbuka. Banyak sekali alih kode yang terjadi dalam bahasa Jawa yang dibangkitkan
oleh adanya maksud-maksud tertentu yang terkandung dalam alih kode tersebut.
Maksud tersebut tadi bisa berupa: melucu, merayu, membujuk, memamerkan diri,
menggoda, menyindir, menekankan, mengakrabkan diri. dan lain sebagainya. Jadi dari
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

23
36
beberapa pendapat di atas terdapat kesamaan penyebab alih kode antara lain
pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur,

perubahan situasi dengan

hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, perubahan
topik pembicaraan. Berdasarkan beberapa teori tersebut peneliti akan menggunakan
teori Poedjasoedarma karena teori tersebut lebih rinci dalam memaparkan sebabsebab alih kode. Peneliti juga beranggapan teori tersebut tepat digunakan dengan data
yang diperoleh peneliti.

D. Campur Kode
1.

Pengertian Campur Kode
Menurut Kridalaksana (2008: 40) campur kode ialah penggunaan satuan

bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam
bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, dan sebagainya.
Menurut Suwito (1995: 88) campur kode ialah unsur-unsur bahasa atau variasivariasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri.
Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia
memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang
memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam
kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai
sebuah kode (Aslinda dan Leni Syafyahya, 2010: 87). Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa campur kode merupakan pencampuran dua bahasa antara bahasa
satu dengan bahasa lain atau variasi bahasa dalam sebuah situasi tuturan.

2.

Macam-Macam Campur Kode
Suwito (1995: 92-94) membedakan campur kode menjadi beberapa jenis,

yaitu: (a) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, (b) penyisipan unsur-unsur
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

24
37
berwujud frasa, (c) penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, (d)
penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, (e) penyisipan unsurunsur berupa klausa.

a. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Kata.
Menurut Kridalaksana (2008: 110) kata adalah (1) morfem atau kombinasi
morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan
sebagai bentuk yang bebas; (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari
morfem tunggal; (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang
telah mengalami proses morfologis.
Contoh :
(10) Pembeli 1 :”Ini yang larang ya?” (B. 1. 10)
‘Ini yang mahal ya?’
Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsur bahasa
Jawa berwujud kata ke dalam tuturan bahasa Indonesia. kata tersebut terdapat pada
kata : “…larang…”. Hal tersebut disebabkan karena pembeli 1 tidak dapat
menggunakan bahasa Indonesia secara tetap sehingga pada saat melakukan transaksi
pembeli 1 menyelipkan bahasa Jawa pada tuturannya karena pembeli tidak dapat
secara tetap menggunakan bahasa Indonesia.

b. Penyisipan unsur-unsur berwujud frasa.
Menurut Chaer (2007: 222) frasa adalah satuan gramatikal yang berupa
gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata
yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.
Contoh :
(66) Pembeli 1: “Lah warna ya, butuhe ireng putih.” (B. 1. 66)
‘Lah warna ya butuhnya hitam putih.’
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

25
38
Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsur bahasa
Jawa berwujud frasa

yang dilakukan oleh pembeli 1 ke dalam tuturan bahasa

Indonesia. Frase tersebut, yaitu “…butuhe ireng...”. yang bermakna ‘butuhnya hitam’.
Pada kutipan tersebut pembeli 1 dalam berbahasa Indonesia menyelipkan bahasa
Jawa. Hal tersebut disebabkan pembeli 1tidak dapat secara tetap menggunakan bahasa
Indonesia pada saat melakukan tuturan.

c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata.
Menurut Muslich (2009: 48) perulangan kata merupakan peristiwa
pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun
sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks
maupun tidak.
Contoh :
(27) Penjual A : “Oh itu lagi dicari yang ijo-ijo dulu kali Bu haji.” (B. 1. 27)
‘Oh itu lagi dicari yang hijau-hijau dulu kali Bu haji.’
Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsure berwujud
perulangan kata yang dilakukan oleh penjual A dari bahasa Jawa ke dalam tuturan
bahasa Indonesia. Penyisipan itu berupa perulangan kata, yaitu “…ijo-ijo…”. yang
bermakna “hijau-hijau’. Hal tersebut disebabkan karen penjual A tidak dapat secara
tetap menggunakan bahasa Indonesia sehingga penjual A menyelipkan bahasa Jawa
pada saat melakukan tuturan.

d. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
Menurut Chaer (2007: 296) idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak
dapat “diramalkan” dari unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara
gramatikal. Sedangkan menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008: 517) idiom
adalah (1) konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna unsurnya.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

39
26
Contoh :
“Bapak saben dina membanting tulang nganti wengi.”
Pada contoh tersebut terdapat unsur penyisipan bahasa Indonesia yang dilakukan
oleh penutur yang berwujud idiom yaitu, membanting tulang ke tuturan bahasa Jawa.
Tuturan tersebut bermakna kalau seoarang bapak yang setiap harinya selalu bekerja
keras dalam bekerja. Idiom tersebut sering digunakan oaring pada saat mereka bekerja
dengan semangat.

e. Penyisipan unsur-unsur berupa klausa.
Menurut Chaer (2007: 231) klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan
kata-kata berkontruksi predikatif. Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di
atas satuan dan di bawah satuan kalimat, berupa tuturan kata-kata berkonstruksi
predikat (Chaer, 2009: 41). Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri
dari S P baik disertai O, PEL, dan KET ataupun tidak (Ramlan, 2005: 79).
Contoh :
Zaki : “Baju kamu bagus ya?”
Nurul : “Iya bagus neng kene urung ana modhel kaya kiye.”
‘Iya bagus. Di sini belum ada model kayak ini.’
Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa unsur bahasa Jawa ke dalam
tuturan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Nurul yang berwujud klausa. yaitu
”neng kene urung ana model kaya kiye.” yang maknanya ‘disini belum ada model
seperti ini’. Hal tersebut dilakukan oleh Nurul yang akan memberitahu pada Zaki
mengenai baju yang ditanyakan oleh Zaki kalau ditempat mereka melakukan tuturan
tidak ada yang model seperti yang dipakai Nurul.

3.

Faktor Penyebab Campur Kode
Suwito (1995: 90-91) mengungkapkan ada tiga alasan atau penyebab yang

mendorong terjadinya campur kode, antara lain yaitu (a) identifikasi peranan, (b)
identifikasi ragam, dan(c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

27
40
a. Identifikasi Peranan
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
Ukuran sosial berhubungan dengan peranan penutur dan mitra tutur dalam interaksi
sosial. Misalnya untuk identifikasi peranan penutur sebagai direktur dan mitra tutur
sebagai pegawai bersih-bersih. Ukuran identifikasi registral berkaitan dengan ruang
lingkup bidang pekerjaan. Misalnya di Pasar, pedagang dan pembeli pasti mempunyai
register sendiri untuk berkomunikasi. Mereka mencampur istilah-istilah dalam bidang
perdagangan dengan bahasa Indonesia. Ukuran edukasional berkaitan dengan tingkat
pendidikan penutur dan mitra tutur. Misalnya di kalangan orang yang berpendidikan
tinggi mampu mengerti berbagai bahasa / kode-kode yang dicampur tidak terbatas
pada bahasa Indonesia atau bahasa daerah tetapi bisa juga bahasa asing. Sebaliknya di
kalangan orang yang berpendidikan rendah kode-kode yang dicampur cenderung
ragam bahasa daerah.

b. Identifikasi Ragam
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan
campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya.
Misalnya antara orang tua dan anak di lingkungan masyarakat Jawa. Seorang anak
berkomunikasi dengan orang tua menggunakan krama yang bercampur madya.
Walaupun harus bercampur kode tetapi seorang anak akan menggunakan bahasa yang
lebih tinggi dari pada orang tuanya. Sebaliknya orang tua akan berbicara pada anak
dengan ragam madya atau ngoko.

c. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode
juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

41
28
orang lain terhadapnya. Misalnya pada proses belajar mengajar khususnya pada
pelajaran bahasa Inggris. Pada saat menjelaskan materi guru mencampur bahasa
Inggris dengan bahasa Indonesia karena guru beranggapan jika dijelaskan dengan
bahasa Inggris saja siswa tidak dapat memahaminya. Jadi menjelaskan dengan cara
campur kode bertujuan agar pembelajaran dapat dipahami.

E. Peristiwa Tutur
Menurut Hymes (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya, 2010: 32-33), bahwa
suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen tutur yang diakronimkan
menjadi SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah Setting and Scene,
Participant, Ends, Act Sequences, Key, Instrumentalities, Norms of Interaction and
Interpretation, dan Genres.

1.

S : Setting and Scene, setting berhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan
berlangsung, sementara scene mengacu pada situasi, tempat dan waktu terjadinya
pertuturan. Waktu, tempat dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan
penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola, pada
saat ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan
pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan
dalam keadaan sunyi.

2.

P : Participants, adalah peserta tutur, atau pihak-pihak yang terlibat dalam
pertuturan, yakni adanya penutur dan mitra tutur. Dua orang yang bercakap-cakap
dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah di
masjid, khotib sebagai pembicara dan jamaah sebagai pendengar yang tidak dapat
bertukar pesan. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

29
42
digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa
yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibnding
kalau dia berbicara terhadap teman-teman seusianya.
3.

E : Ends, mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang
terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara.
Namun cara partisipan di dalam peritiwa tutur itu mempunyai tujuan yang
berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha
membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha
memberikan keputusan yang adil.

4.

A : Act Sequences, berkenaan dengan bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk
berkaitan dengan kata-kata yang digunakan, sementara isi berkaitan dengan topik
pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapannya biasa, dan
dalam pesta tentunya berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

5.

K : Key, berhubungan dengan nada suara (tone), penjiwaan (spirit), sikap atau
cara (manner) saat sebuah tuturan diujarkan, misalnya dengan gembira, santai,
dan serius. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan gestur/gerak tubuh/ekspresi dan
isyarat.

6.

I:

Instrumentalities, berkenaan dengan saluran (channel) dan bentuk bahasa

(the form of speech) yang digunakan dalam pertuturan. Saluran misalnya oral,
tulisan, isyarat, baik berhadap-hadapan maupun melalui telepon untuk saluran
oral, tulisan bisa juga dengan telegraf. Instrumentalities juga mengacu pada kode
ujaran yang digunakan bahasa, dialek, fragmen atau register.
7.

N : Norms of Interaction and Interpretation, adalah norma-norma atau aturan
yang harus dipahami dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

43
30
cara yang berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada norma
penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
8.

G : Genres, mengacu pada bentuk penyampaian, seperti puisi, pepatah, doa, dan
sebagainya. Misalanya ketika tuturan dilakukan pada saat melakukan lomba baca
puisi. Pada saat melakukan tuturan orang yang akan membaca puisi akan mengaju
pada peristiwa tutur yang termaksuknya yaitu pada genres.

F. Tingkat Tutur
1.

Pengertian Tingkat Tutur
Rahardi, (2001: 52) mengatakan bahwa tingkat tutur dapat dikatakan

merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor
penentunya adalah relasi antara si penutur dengan si mitra tutur. Sedangkan Chaer dan
Leonie Agustina, (2004: 40) menyebutkan bahwa variasi bahasa yang penggunaannya
didasarkan pada tingkat-tingkat sosial dikenal dalam bahasa dengan istilah undha
usuk. Soepomo (dalam Poedjosoedarma, dkk 1979: 3) mengatakan tingkat tutur adalah
variasi – variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh
perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara orang pertama (O1) terhadap
lawan bicara (O2). Tingkat tutur merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat.

2. Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Menurut Rahardi, (2001: 59-60) dalam bahasa Jawa tingkat tutur dibagi
menjadi tiga yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, dan tingkat tutur krama.
Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa yang tak berjarak antara orang pertama atau
penutur dengan orang kedua atau mitra tutur. Dengan perkataan lain hubungan antara
keduanya tidak dibatasi oleh semacam rasa segan atau ‘pakewuh’. Oleh karena tidak
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

31
44
ada rasa yang demikian, maka tingkat ngoko yang dipakai di dalam bertuturan.
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di antara tingkat tutur
krama dan tingkat tutur ngoko. Tingkat tutur madya ini menunjukkan perasaan sopan
tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Sedangkan tingkat
tutur krama adalah tingkat yang memancarkan penuh sopan-santun antara sang
penutur dan sang mitra tutur. Dengan perkataan lain, tingkat tutur ini menandakan
adanya perasaan segan atau ‘pakewuh’ di antara keduanya. Hal demikian barangkali
disebabkan karena relasi antara penutur dengan mitra tutur ini belum terjalin dengan
baik.

G. Jenis Tindak Tutur
Searle (dalam Wijana, 1996: 17-20) mengemukakan bahasa secara praktis
setidak-tidaknya ada tiga bentuk tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur yakni: tindak tutur lokusi (locutronary act), ilokusi (illocutionary act), dan
perlokusi (perlocutionary act).

1.

Tindak Lokusi (locutronary act)
Menurut Rohmadi, (2004: 30) menjelaskan bahwa tindak lokusi adalah tindak

tutur untuk menyatakan sesuatu. Chaer dan Leonie Agustina (2004: 53) menyebutkan
tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu arti berkata atau
tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Dari
pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur untuk
menyatakan sesuatu sebagai tindakan dasar tuturan untuk menghasilkan suatu
ungkapan yang bermakna dan dapat dipahami.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

32
45
Berdasarkan kategori gramatikal, jenis lokusi dibedakan menjadi tiga bentuk:
yaitu bentuk pernyataan/ berita (deklaratif), perintah (imperatif), dan pertanyaan
(interogatif) (Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2010: 28).

a. Lokusi Pernyataan/ Berita (Deklaratif)
Tipe pernyataan juga merupakan lokusi, yakni menyatakan sesuatu kepada
pendengar. Lokusi dalam tipe pernyataan ini merupakan lokusi tidak langsung karena
hanya merupakan berita agar pendengar percaya dengan apa yang dituturkan oleh
pembicara. Lokusi pernyataan dinyatakan dengan kalimat berita, dalam kalimat berita
tidak terdapat kata-kata Tanya seperti apa, siapa, dimana, mengapa, kata-kata ajakan
seperti mari, ayo, kata persilahan silahkan, serta kata larangan seperti jangan
(Ramlan, 2005: 26-27).

b. Lokusi Perintah (Imperatif)
Bentuk perintah mengandung cirri utama bahwa tipe ini merupakan cara
mengungkapakan lokusi yang bersifat perintah atau larangan. Ciri-ciri bentuk
perintah: (1) intonasinya keras (terutama perintah biasa dan larangan)pola intonasinya
yaitu [2] 3# atau 2 3 2#, (2) kata kerja yang mengandung isi perintah biasanya
merupakan kata dasar, (3) dapat pula menggunakan partikel –lah (Ramlan 2005: 3943).

c. Lokusi Pertanyaan (Interogatif)
Bentuk kata tanya pada umumnya meminta pendengar untuk melaksanakan
suatu tindakan. Cara ini dipergunakan untuk menghindari rasa rendah diri atau rasa
hina pendengar, denga jalan memberikan kesempatan untuk menyatakan persetujuan
atau penolakan atas pertanyaan pembicara. Fungsi kata tanya adalah mengemukakan
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

46
33
pertanyaan dan perintah, tetapi keduanya merupakan jenis permintaan. Perbedaan
keduanya adalah pertanyaan meminta tindakan verba dan meminta tindakan non
verbal. Ciri-ciri bentuk pertanyaan:

(1) intonasi yang digunakan adalah intonasi

Tanya yaitu [2] 3 // [2] 3 2 #dan digambarkan dengan tanda Tanya, (2) sering
menggunakan kata Tanya seperti: apa, siapa, mengapa, kenapa, bagaimana, man,
bilamana, kapan, bila, dan berapa, (3) dapat pula menggunakan partikel tanya –kah
(Ramlan, 2005: 28-39).

2.

Tindak Ilokosi (Ilicutionary Act)
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan

kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan
pemberian izin, mengucap terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan
(Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 53). Sedangkan Rohmadi, (2004: 31) mengatakan
bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Menurut
Searle (dalam Rohmadi, 2004: 32) kategori ilokusi dibedakan menjadi lima jenis,
yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisif, deklaratif.
a. representatif, ialah tindak ujaran yang mengikat penuturnya kepada
kebenaran atas hal yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan,
menunjukan dan menyebutkan.
b. direktif, ialah tidak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud
agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu,
misalnya: menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
c. ekspresif, ialah tindak tutur yang dilakunan dengan maksud agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam ujaran itu,
misalnya: memuji, mengucapkan terimakasih, mengkritik, dan mengeluh.
d. komisif, ialah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya: berjanji, bersumpah,
atau mengancam.
Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

34
47
e. deklaratif, ialah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud
untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru,
misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengijinkan, dan meminta
maaf.

3.

Tindak Perlokusi (Perlocutionary Act)
Rohmadi, (2004: 31) menjelaskan bahaw tindak perlokusi adalah tindak tutur

yang pengutaraanya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak
perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang
diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force)
atau efek bagi yang mendengarnya. Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang
berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku
non linguistikdari lain (Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 53). Menurut Leech (1993:
323) menyebutkan macam-macam tindak tutur perlokusi:
a. bring h to learn that (membuat t mengetahui bahwa),
b. persuade (membujuk),
c. deceive (menipu),
d. encourage (mendorong),
e. irritate (menjengkelkan),
f. frighten (menakuti),
g. amuse (menyenangkan),
h. get h to do (membuat t melakukan sesuatu),
i. inspire (mengilhami),
j. impress (mengesankan),
k. distract (mengalihkan perhatian),
l. get h to think about (membuat t berpikir tentang),
m. relieve tension (melegakan),
n. embarrass (mempermalukan),
o. attract attention (menarik perhatian),
p. bore (menjemukan).

Teori-teori yang digunakan dalam penelitian pada landasan teori dapat
dikerangkapikirkan pada bagan 2 berikut.

Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013

Bagan 2. Kerangka Pikir Penelitian
Bahasa
Komunikasi
Lisan
Penjual

Pembeli

Variasi Bahasa
Jenis Tindak Tutur
menurut Searle

Alih Kode
Transaksi Jual beli
Pengertian

Macam

Faktor Penyebab

Lokusi

Ilokusi

Perlokusi

Campur Kode
a. Intern
b. Ekstern

Pernyataan
Pengertian

a. Mensitir Kalimat Lain
b. Berbicara Secara Tidak Langsung
c. Relasi Tidak Pasti
d. Ketidakmampuan Menguasai Kode
e. Pengaruh Situasi Bicara
f. Pengaruh Kalimat yang Mendahului
g. Kendornya Penguasaan Diri
h. Pengaruh Materi Percakapan
i. Hadirnya Orang Ketiga
j. Keinginan Mendidik Lawan Bicara
k. Menyesuaikan Diri dengan Kode yang Dikuasai Lawan Bicara
l. Pengaruh Praktik Bahasa
m. Bersandiwara dan Berpura-pura
n. Frasa-Frasa Basa-Basi, Pepatah dan Peribahasa
o. Pengaruh Maksud-Maksud Tertentu

Macam

Faktor Penyebab
Perintah

a.
b.
c.
d.
e.

Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Kata
Penyisipan Unsur-Unsur Berwujud Frasa
Penyisipan Unsur Berwujud Perulangan Kata
Penyisipan Unsur Berwujud Ungkapan atau
Idiom
Penyisipan Unsur Berupa Klausa

a. Identifikasi
Peranan
b. Identifikasi
Ragam

Pertanyaan

a. representatif
b. direktif
c. ekspresif
d. komisif
e. deklaratif

a. bring h to learn that (membuat t
mengetahui bahwa),
b. persuade (membujuk),
c. deceive (menipu),
d. encourage (mendorong),
e. irritate (menjengkelkan),
f. frighten (menakuti),
g. amuse (menyenangkan),
h. get h to do (membuat t melakukan
sesuatu),
i. inspire (mengilhami),
j. impress (mengesankan),
k. distract(mengalihkan perhatian),
l. get h to think about (membuat t berpikir
tentang),
m. relieve tension (melegakan),
n. embarrass (mempermalukan),
o. attract attention (menarik perhatian),
p. bore (menjemukan).

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA TUTURAN TRANSAKSI JUAL BELI SANDANG DI TOKO JAYA MUKTI ABADI PASAR WAGE
PURWOKERTO

35

33

Alih Kode dan..., Esa Apriaditya, FKIP UMP, 2013