73 MASS TRANSFER STUDY ON

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

ISSN : 1978 – 9777

MASS TRANSFER STUDY ON
POLYMER ELECTROLYTE FUEL CELL
Eniya Listiani Dewi
Center for Materials Technology (PTM), Deputy for Information, Energy and Materials
Technology (TIEM)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), MH. Thamrin 8, BPPT II/22, Jakarta.
eniyalist@webmail.bppt.go.id

Abstract:
Fuel cells are alternative energy production generator that produces heat and electricity
via an electrochemical reaction. It does not need recharging so long as hydrogen and oxygen fuel
are supplied. Among them, polymer electrolyte fuel cell (PEFC) using proton exchange membranes
(PEM) is recognized by the world as the main candidate to replace the internal combustion engine
in backup power, portable power, transportation applications and also in stationary uses.
Furthermore, in applications of stack PEFC, the operation conditions should be known
completelly. Here in we have studied the hydrogen mass transfer of operated 7 cells stack polymer

electrolyte fuel cell (PEFC) with MEAs commercials, flow rate of hydrogen and operational
temperature have been varied on overall reactions in the range of 10-85 mL/min and 28-55 oC. The
reactions rate was conducted by the fuel flow rate rather than the operational temperature. The
calculation of potential and current of operated cells were used to determine the correlation of
reaction flow rate coefficient and fuel or temperature, as ko = 5,7510x10-5.Q0,3566 and ko =
0,007223 exp(-1002,1/T). In summary, the effects of mass transfer rate was more dominant for the
overall reactions rather than the chemical reaction rate.
Keywords: polymer electrolyte fuel cell, hydrogen energy, reaction coefficient, mass transfer.

1. Pendahuluan
Fuel cell adalah suatu alat untuk menghasilkan energi listrik, air dan panas, dengan cara
mengoksidasi bahan bakar secara elekrokimia (Smith&Van Ness, 2001). Fuel cell mempunyai
komponen-komponen sama dengan baterai, yaitu terdiri dari dua elektroda dan dipisahkan oleh
elektrolit. Berbeda dengan baterai, fuel cell bukanlah alat untuk menyimpan energi, tetapi alat
untuk menghasilkan energi listrik melalui reaksi elektrokimia. Energi listrik akan terus diproduksi
dari reaksi secara terus-menerus selama aliran bahan bakar tetap ada.
Saat ini jenis-jenis fuel cell dikenal dalam lima kategori yaitu alkaline fuel cell (AFC)
(Eniya L. Dewi, K. Oyaizu, H. Nishide, E. Tsuchida, 2004), phosphoric acid fuel cell (PAFC)
(Sang J. Seo, Han-Ik Joh, Hyun T. Kim, Sang H. Moon, 2006), molten carbonate fuel cell (MCFC)
(Derek W. Hengeveld, Shripad T. Revankar, 2007), solid oxide fuel cell (SOFC), dan polymer

electrolyte fuel cell (PEFC) (V. Mishra, F. Yang, R. Pitchumani, 2005). PEFC yang berbahan bakar
hidrogen disebut proton exchange membrane fuel cell (PEMFC) sedangkan yang berbahan bakar
metanol disebut direct methanol fuel cell (DMFC) (C. Manea, M. Mulder, 2002). Bahan bakar
yang bisa dipakai antara lain adalah hidrogen, metana, butana, metanol dan lain-lain. Karena
menggunakan dua katoda maka akan terjadi reaksi di masing-masing elektroda yang dinamakan

B ‐ 1 
 

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

ISSN : 1978 – 9777

reaksi setengah sel, sedangkan reaksi total antara reaksi anoda dan katoda dinamakan reaksi total
sel.

Fuel (H2)
Fuel electrode
(catalyst layer+GDL)


H2

-

2H+

Oxygen electrode
(catalyst layer+GDL)
Steam & air

Gas

2e-

H2
2H+

Polymer Electrolyte


+ H2O
H2O

2e-

MEA

2H+ + 12 O2 + 2e1
2

Air (O2)

O2

+
Gambar 1. Skema reaksi PEFC.

Dari beberapa jenis fuel cell yang disebutkan di atas, fuel cell berelektrolit polimer (PEFC)
adalah jenis fuel cell yang paling banyak mendapat perhatian untuk diteliti dan dikembangkan lebih
lanjut karena memiliki beberapa kelebihan dibanding jenis lain, diantaranya ramah lingkungan,

tidak bising, tidak mengeluarkan gas beracun, efisiensi energi tinggi, dapat beroperasi pada suhu
rendah dan menggunakan bahan bakar sumber hidrogen secara langsung, dapat dikemas dalam
sistem yang lebih ringkas sehingga biaya operasinya lebih murah. Aplikasi PEFC contohnya pada
alat elektronik, generator rumah tangga maupun otomotif.
Untuk mendalami proses aplikasi fuel cell dan proses reaksi dalam stack fuel cell, pada
penelitian ini dipelajari pengaruh laju volumetrik umpan yaitu hidrogen dan suhu operasi terhadap
kinerja dari fuel cell dan terhadap kecepatan reaksi sel. Fuel cell yang digunakan adalah PEFC
yang mempunyai 7 cell stack atau 7 membrane electrode assembly (MEA) didalamnya. Data yang
didapat melalui pengukuran teganan dan arusnya akan dianalisa untuk mendapatkan hubungan
antara koefisien kecepatan reaksi.

2. Metode Penelitian
2.1 Peralatan
Peralatan yang dipakai pada penelitian ini adalah seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.
PEFC didapat dari Electrochem. Inc., peralatan pendukung dari BPPT dan Laboratorium Polimer
Tinggi, UGM dan perlengkapan gas didapat dari PT. Samator. Pada sistem peralatan pengujian
tersebut, hidrogen dialirkan 20 mL/menit dan oksigen 100 mL/menit ke dalam fuel cell.
Operasional pada sulu 28, 40 dan 55 oC. Beban listrik berupa lampu 12 volt dipasang pada open
circuit fuel cell. Voltase diukur dengan cara menyusun multimeter secara pararel dengan beban
listrik dan dicatat tiap 10 menit selama 1 jam. Arus listrik diukur dengan cara menyusun multimeter

secara seri dengan beban listrik dan dicatat tiap 10 menit selama 1 jam. Besar laju hidrogen sisa
keluar dari fuel cell diukur dan dicatat tiap 10 menit selama 1 jam. Langkah-langkah di atas
diulangi dengan memvariasikan laju umpan hidrogen sebanyak 10, 55, dan 85 mL/menit.
B ‐ 2 
 

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

ISSN : 1978 – 9777

Keterangan : 
10

1
11

12

4


3

5

9

8
2
6

7

3

5

4

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Tangki Hidrogen 
Tangki Oksigen 
Botol pengaman   
Pressure gauge     
Flowmeter 
Fuel cell stack 7 sel 
Regulator 
Pemanas mantel 

Termometer raksa 
Multimeter 
Lampu 
Buret 

3

3

Gambar 2. Skema peralatan pengujian PEFC.

2.2 Metode Eksperimen
2.2.1 Menentukan laju volumetrik hidrogen keluar
Laju volumetrik hidrogen keluar diukur dengan cara menggelembungkan air sabun di
dalam buret. Kemudian gelembung sabun diukur waktu yang dibutuhkannya untuk menempuh
tinggi buret sebesar 5 cm dengan diameter buret 1 cm. Laju volumetrik hidrogen dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan :
VH2 = (πD2H/4).(60/t)

(1)


vH2 = VH2/60

(2)

dengan: VH2 = laju volumetrik hidrogen, cm3/min; vH2 = laju volumetrik hidrogen, cm3/s; D =
diameter buret, cm; H = tinggi buret, cm, t = waktu, s.
2.2.2 Menentukan banyak Hidrogen bereaksi
Jumlah mol hidrogen yang bereaksi dihitung dengan cara menghitung selisih jumlah
hidrogen yang masuk dikurangi dengan jumlah hidrogen yang keluar.
Asumsi gas hidrogen adalah gas ideal :
PH2 . vH2 = nH2 . R . T

(3)

dengan: PH2 = tekanan gas hidrogen; vH2 = laju volumetrik hidrogen, cm3/s; nH2 = jumlah mol
hidrogen, mol; R = tetapan gas ideal, 0,082 cm3.atm/mol.K; T = suhu mutlak, K. Sehingga jumlah
mol hidrogen yang bereaksi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
n’H2 =


Pin .vin Pout .vout

R.Tin
R.Tout

(4)

dengan: n’H2 = jumlah mol hidrogen bereaksi, mol/s; Pin = tekanan masuk hidrogen, atm; Pout =
tekanan keluar hidrogen, atm; vin = laju volumetrik hidrogen masuk, cm3/s; vout = laju volumetrik
hidrogen keluar, cm3/s; Tin = suhu mutlak gas hidrogen masuk, K; Tout = suhu mutlak gas hidrogen
keluar, K, R = tetapan gas ideal, 0,082 cm3.atm/mol.K.
B ‐ 3 
 

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

ISSN : 1978 – 9777

2.2.3 Menghitung daya listrik yang dihasilkan
Pengukuran voltase dan arus dilakukan dengan multimeter. Daya yang dihasilkan oleh fuel
cell dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
P=V.I

(5)

dengan: P = daya listrik, watt; V = voltase, volt; I = arus listrik, ampere.

2.3 Metode Analisa
Pada penelitian ini digunakan fuel cell jenis PEFC dengan menggunakan 7 buah MEA.
MEA adalah suatu gabungan dari PEM (Proton Exchange Membran) yang berupa elektrolit padat
jenis asam, yaitu Nafion dan lapisan katalis pada elektroda. Elektroda yang dipakai adalah karbon
(porous carbon electrode) dan katalis yang dipakai adalah Pt (Platina). Secara umum mekanisme
yang terjadi untuk reaksi pada PEFC adalah seperti pada Gambar 1.
Pada anoda terjadi transfer massa hidrogen dari fasa gas ke permukaan katalis. Sehingga
persamaan transfer massa yang digunakan,

r p H = k m ( a ) (C H 2 − C H 2 S )

(6)

2

Sedangkan reaksi kesetimbangan antara H2 dengan H+,
H2.S



2H+.S + 2 e-

(7)

Persamaan kesetimbangan reaksi yang digunakan,

C H + = K .C H . S

(8)

Kedua persamaan di atas dapat digabung menjadi transfer massa (difusi) produk dari katalis ke fasa
gas. Pada PEM (proton exchange membrane) difusi ion H+ dari sisi anoda menuju sisi katoda
menggunakan persamaan transfer massa,

r pH + = k d (C H + ( a ) − C H + ( k ) )

(9)

Pada katoda transfer massa hidrogen dari fasa gas ke permukaan katalis. Sehingga reaksi
permukaan adalah,
1/2O2.S + 2H+.S + 2 e-

→ H2O.S

(10)

Maka transfer massa produk dari katalis kembali ke fasa gas, sehingga asumsi yang diambil untuk
mekanisme reaksi pada katoda adalah kecepatan transfer massa yang terjadi sangat cepat dan
reaksi yang terjadi adalah orde satu terhadap H+. Sehingga persamaan yang digunakan adalah,

rpH + ( k ) = k ( k ) C H + S ( k )

(11)

r pH 2 = 2 .r pH +

(12)

Dari persamaan (6)-(12) diatas dengan cara subtitusi didapatkan persamaan akhir hubungan antara
laju reaksi overall, koefisien kecepatan transfer massa dan konstanta kesetimbangan di anoda,
koefisien difusivitas pada membran dan koefisien kecepatan reaksi di katoda. Persamaan akhir
yang diperoleh :

B ‐ 4 
 

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

r pH 2 =

ISSN : 1978 – 9777

K
⎡ K
2
2 ⎤
)⎥
+(
+

k d k ( k ) ⎥⎦
⎢⎣ k m ( a )

C H2

(13)

rpH 2 = k o .C H 2

(14)

Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa koefisien laju reaksi keseluruhan tergantung pada
penahanan transfer massa (km(a)) dan (kd) dan penahanan kecepatan reaksi (k(k)).
Menurut Johnstone dan Thring (Johnstone, Thring, 1957) koefisien laju reaksi overall
adalah sebanding dengan laju volumetrik dipangkatkan suatu indeks, yaitu ko ≈ Vx. Bila nilai x
mendekati nol maka laju reaksi keseluruhan dikontrol oleh kecepatan reaksinya. Untuk nilai x
antara 0,5-0,8 maka laju reaksi keseluruhan dikontrol oleh kecepatan transfer massanya dan berada
pada daerah turbulence dynamic regime. Sedangkan untuk pengaruh suhu bila tiap kenaikan suhu
10 oC koefisien laju reaksinya naik dua kali atau lebih, maka laju reaksi keseluruhan dikontrol oleh
kecepatan reaksi kimianya, bila kenaikan koefisien laju reaksinya kurang dari 1,5 kalinya, maka
laju reaksi keseluruhan dikontrol oleh kecepatan transfer massanya. Dari persamaan Arrhenius, ko
= A.exp(-E/RT) bila nilai energi aktivasinya berorde seribu atau kurang maka laju reaksi keseluruhan
lebih dikontrol oleh kecepatan transfer massanya (Smith, J.M, Van Ness, H.C., and Abbott, M.M.,
2001).

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh laju volumetrik umpan hidrogen dan suhu operasi
terhadap laju reaksi sel pada PEFC. Dari persamaan laju reaksi didapatkan konstanta laju reaksi
overall merupakan gabungan dari konstanta kecepatan reaksi dan konstanta kecepatan transfer
massa. Dari hasil penelitian ingin diketahui faktor mana yang lebih dominan berpengaruh terhadap
laju reaksi secara keseluruhan pada reaksi sel. Hasil yang didapatkan dari perubahan volume
hidrogen dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Daya listrik dan koefisien laju reaksi overall pada berbagai laju umpan H2
No. Suhu
o

( C)

VH2 in
3

(cm /min)

Konsumsi
H2 (mol/s)
-6

∆Hreaksi

P

η

rp

(J/s)

(watt)

(%)

(mol/s.g kat)

ko
-6

(L/s.g kat)

1

28

10

1,6479 x 10

0,3982

0,1416

35,56

5,4930 x 10

1,2284 x
10-4

2

27

20

2,6882 x 10-6

0,6499

0,1410

21,70

8,9607 x 10-6

2,0039 x
10-4

3

27

55

2,4058 x 10-6

0,5814

0,1420

24,42

8,0193 x 10-6

1,7934 x
10-4

4

27

85

4,7480 x 10-6

1,1473

0,1412

12,31

14, 9267x
10-6

3,3382 x
10-4

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa dengan makin besarnya volume hidrogen yang digunakan
maka jumlah konsumsi gas hidrogen juga makin besar yang menunjukkan makin besar pula laju
reaksi hidrogen yang terjadi. Dengan persamaan hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi
gas hidrogen dapat ditentukan besar koefisien laju reaksi overall. Konsentrasi gas hidrogen yang
digunakan adalah tetap. Sehingga bisa dilihat dengan semakin besarnya laju umpan maka daya
listrik yang dihasilkan justru cenderung tetap. Hal ini dimungkinkan adanya faktor efisiensi dalam
B ‐ 5 
 

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

ISSN : 1978 – 9777

pengoperaian fuel cell. Dengan makin besarnya laju umpan justru efisiensi yang dihasilkan makin
rendah. Faktor efisiensi dapat terjadi karena tiga hal, yaitu adanya polarisasi aktivasi, polarisasi
hambatan dan polarisasi konsentrasi (EG&G Services, 2000). Polarisasi aktivasi adalah faktor
efisiensi yang terjadi karena laju reaksi elektrokimianya dikontrol oleh kinetika reaksi kimianya.
Polarisasi hambatan adalah faktor efisiensi yang terjadi dengan hilangnya energi listrik karena
hambatan listrik yang ada. Dan polarisasi konsentrasi adalah faktor efisiensi yang terjadi karena
hilangnya energi potensial karena ketidakmampuan material menjaga konsentrasi di fasa gas (bulk
gas), sehingga terjadi gradien konsentrasi dari bulk gas ke permukaan aktif katalis, dimana terbesar
terjadi pada katoda. produk melewati membran.

ko (L/gkat.s)
4.00E-04
3.50E-04
3.00E-04
2.50E-04
2.00E-04
1.50E-04
1.00E-04
5.00E-05
0.00E+00
0

20

40
60
80
laju volumetrik H2 (ml/min)

100

Gambar 3. Hubungan antara konstanta laju reaksi 
overall dengan laju volumetrik hidrogen. 

Faktor efisiensi yang terjadi pada percobaan ini dimungkinkan disebabkan adanya
polarisasi konsentrasi, yaitu adanya gradien konsentrasi dari fasa gas ke permukaan aktif katalis.
Hal ini disebabkan lambatnya transfer massa yang terjadi. Transfer massa yang terjadi bisa berupa
difusi fasa gas reaktan ke pori katalis atau difusi reaktan. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa makin
besar laju umpan hidrogen makin besar pula koefisien laju reaksi overallnya. Persamaan hubungan
keduanya dapat didekati dengan persamaan logaritmik :
ko = 5,7510 x 10-5.V 0,3566 , mol/s.gkat

(15)

Dari persamaan diatas didapat Reynolds index sebesar 0,3566 yang dapat didekati dengan harga
Reynold index dari literatur, untuk Reynolds index antara 0,5 dan 0,8 maka laju reaksi tersebut
adalah turbulence dynamis regime (Johnstone and Thring, 1957).
Dari Tabel 2 dapat dilihat dengan makin tinggi suhu maka konsumsi gas hidrogen juga
makin tinggi yang menunjukkan makin besar pula laju reaksi hidrogen yang terjadi. Dengan makin
tingginya suhu reaksi maka daya yang dihasilkan juga makin besar, namun efisiensi pengoperasian
dari fuel cell menurun. Hal ini bisa disebabkan adanya polarisasi aktivasi, yaitu reaksi kimia justru
makin lambat pada suhu tinggi karena kemungkinan terjadinya deaktivasi katalis.
Tabel 2. Daya listrik dan koefisien laju reaksi pada berbagai suhu.
No. Suhu

VH2 in

Konsumsi
H2 (mol/s)

∆Hreaksi

B ‐ 6 
 

P

η

rp

ko

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

(oC)

(cm3/min)

1

28

20

2

40

3

55

ISSN : 1978 – 9777

(J/s)

(watt)

(%)

(mol/s.g kat)

(L/s.gkat)

3,4493 x
10-6

0,8335

0,1448

17,37

11,4977 x
10-6

2,5713 x 10-4

20

3,7998 x
10-6

0,9182

0,1491

16,24

12,6660 x
10-6

2,8326 x 10-4

20

4,1649 x
10-6

1,0212

0,1517

14,86

13,8830 x
10-6

3,1047 x 10-4

Dengan persamaan hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi gas hidrogen dapat
ditentukan besar koefisien laju reaksi overall (Tabel 2). Konsentrasi gas hidrogen yang digunakan
merupakan fungsi suhu sesuai dengan persamaan gas ideal. Dari Tabel 2 diatas didapat bahwa
kecepatan reaksi naik kira-kira 1,08 kali tiap kenaikan suhu 10oC. Secara sederhana kecepatan
reaksi dikatakan mengkontrol laju reaksi overall bila tiap kenaikan 10oC maka koefisien laju
reaksinya akan naik dua kali. Bila kenaikan koefisien laju reaksinya kurang dari 1,5 kali maka laju
reaksi overall lebih dipengaruhi oleh kecepatan transfer massanya. Dari Gambar 4 dapat dilihat
bahwa makin tinggi suhu makin besar pula koefisien laju reaksi overallnya. Persamaan hubungan
keduanya dapat didekati dengan persamaan Arrhenius :
ko = 0, 007223 exp(-1002,1/T)

(16)

Dari persamaan diatas didapat harga energi aktivasi sebesar 8331,86 joule/mol. Dengan
pembahasan diatas dan berdasar Reynolds index, koefisien suhu reaksi dan besarnya energi
aktivasi, laju reaksi keseluruhan lebih dipengaruhi oleh kecepatan transfer massanya daripada
kecepatan reaksinya.

4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa dengan naiknya laju
umpan hidrogen maka laju reaksi juga makin besar. Hubungan antara konstanta laju reaksi dengan
laju volumetrik umpan hidrogen ko = 5,7510x10-5.Q0,3566, mol/s.gkat (Reynolds index = 0,3566).
Dengan naiknya suhu reaksi sel maka laju reaksi juga makin besar. Hubungan antara konstanta laju
reaksi dengan suhu ko = 0, 007223 exp(-1002,1/T), mol/s.gkat, koefisien suhu reaksi = 1,08, energi
aktivasi = 8331,86 joule/mol. Berdasarkan Reynolds index, koefisien suhu reaksi dan besarnya
energi aktivasi, maka laju reaksi keseluruhan sel pada fuel cell lebih dipengaruhi oleh kecepatan
transfer massa daripada kecepatan reaksi kimianya. Faktor efisiensi yang terjadi disebabkan karena
adanya polarisasi konsentrasi. Efisiensi yang terjadi pada pengoperasian fuel cell ini berkisar antara
12-36 %.

B ‐ 7 
 

Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007)
Yogyakarta, 24 November 2007

ko (L/gkat.s)
4.00E-04
3.50E-04
3.00E-04
2.50E-04
2.00E-04
1.50E-04
1.00E-04
5.00E-05
0.00E+00
20

25

30

ISSN : 1978 – 9777

35

40

45

50

55

60

Suhu (C)

Gambar 4. Hubungan antara Konstanta Laju Reaksi 
Overall dengan Suhu 

Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada DIPA-BPPT 2006 yang telah mendanai
penelitian ini. Serta kepada Rochmadi, Ph.D dan Pudio Fuadi Raharjo, Universitas Gajah Mada
yang telah membantu eksperimen di laboratorium.

Daftar Pustaka
Eniya L. Dewi, K. Oyaizu, H. Nishide, E. Tsuchida (2004), “Electrocatalysis for dioxygen
reduction by a μ–oxo decavanadium complex in alkaline medium and its application to a
cathode catalyst in air batteries”, J. Power Sources, 130 (1-2), 286-290
Sang J. Seo, Han-Ik Joh, Hyun T. Kim, Sang H. Moon (2006), “Properties of Pt/C catalyst
modified by chemical vapor deposition of Cr as a cathode of phosphoric acid fuel cell”,
Electrochim. Acta, 52 (4), 1676-1682
Derek W. Hengeveld, Shripad T. Revankar (2007), “Economic analysis of a combined heat and
power molten carbonate fuel cell system”, J. Power Sources, 165 (1), 300-306.
V. Mishra, F. Yang, R. Pitchumani (2005) “Analysis and design of PEM fuel cells”, J. Power
Sources, 141, 47-64
C. Manea, M. Mulder, “New polymeric electrolyte membranes based on proton donor-proton
acceptor properties for direct methanol fuel cells”, Desalination, 147, 2002, 179-182
Johnstone, R.E., and Thring, M.W. (1957), “Pilot Plants, Models, and Scaleup Methods in
Chemical Engineering”, McGraw-Hill Book Company, New York.
Smith, J.M, Van Ness, H.C., and Abbott, M.M. (2001), “Chemical Engineering Thermodynamics”,
6 th, McGraw-Hill Book Company, New York.
EG&G Services (2000), “Fuel Cell Handbook”, 5th, U.S. Department of Energy, Morgantown.

B ‐ 8