Kajian Pengembangan Penanggulangan HIVAIDS

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

Oleh:
Dra. YULFIRA MEDIA, M.Si
(Peneliti Bidang Perilaku Kesehatan)

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

Oleh:
Dra. YULFIRA MEDIA, M.Si
(PenelitiBidangPerilakuKesehatan)

ABSTRAK
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa
setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun
2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru. Bukittinggi
merupakan salah satu kota yang memiliki jumlah kasus terbanyak kedua (148 kasus),
dan mempunyai rate kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi
tingginya kasus HIV/AIDS, mendeskripsikan implementasi/pelaksanaan kegiatan

penanggulangan HIV/AIDS, dan merumuskan pengembangan strategi penanggulangan
HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya. Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan yang berbentuk deskriptif-interpretatif, yang menggunakan metode penelitian
kualitatif. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam
dan observasi, Sedangkan data sekunder dilakukan melalalui penelusuran
dokumen/laporan penelitian dari instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang
sesuai dengan standar keilmiahan sumber data. Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa ada beberapa faktor yang turut melatar belakangi tingginya kasus HIV/AIDS
yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan (lingkungan sosial dan budaya) dan faktor
akses negatif dari ineternet. Beberapa kendala dalam pelaksanaan penanggulangan
HIV/AIDS antara lain adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS,
keterbatasan jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll. Selanjutnya
beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam penanggulangan HIV/AIDS
berdasarkan pendekatan sosial budaya adalah strategi peningkatan informasi dan
pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS secara komprehensif, pemberdayaan
masyarakat dan penguatan kelembagaaan, peningkatan akses jangkauan pelayanan
dan dukungan penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Strategi
penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya tersebut disusun
dalam rencana aksi (action plan) yang dituangkan dalam berbagai alternatif kegiatan.
Strategi dan program yang disusun diharapkan bisa menjadi pedoman dalam

menyusun rencana pembangunan bidang kesehatan pada tahun berikutnya di
beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS.
Kata Kunci: Strategi, HIV/AIDS, sosial budaya

i

EXECUTIVE SUMMARY

Indonesia merupakan negara tercepat tingkat penyebaran virus
HIV/AIDS di Asia. Epidemi HIV/AIDS terjadi hampir di seluruh provinsi di
Indonesia, dan sejak tahun 2000 fase epidemiknya sudah berubah dari tingkat
low menjadi tahap concentrated epidemic (prevalensi lebih dari 5 %) pada sub
populasi beresiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (Penasun), wanita penjaja
seks (WPS), pelanggan penjaja seks, lelaki seks dengan lelaki lain dan waria
(Simarmata, 2010).
Di tinjau dari case rate kasus AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia,
case rate nasional tahun 2013 adalah sebesar 17,2. Sedangkan jika dilihat dari
case rate kasus AIDS per provinsi di Indonesia, Provinsi Sumatera Barat berada
pada peringkat 8 dari 34 propivinsi, dengan case rate sebesar 18,8. Kondisi ini

berada di atas case rate kasus AIDS nasional (17,2 ).
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami
peningkatan dan sangat mengkhawatirkan karena penularan serta wilayah
penyebarannya semakin meluas. Trend jumlah kasus baru HIV/AIDS di
Provinsi Sumatera dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dan sejak
tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa setiap tahunnya

telah

terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun 2013 telah
ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru.
Walaupun jumlah kasus paling banyak di Kota Padang (348 kasus) dan
diikuti Bukittinggi (148 kasus), namun Kota Bukittinggi mempunyai rate
kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75.
Upaya memerangi HIV/AIDS merupakan salah satu tujuan pencapaian
target MDGs (tujuan 6) dengan target mengendalikan penyebaran HIV dan
mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015, dan indikator antara

ii


lain adalah

Prevalensi HIV/AIDS dari total populasi dan proporsi jumlah

penduduk yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDs.
Melihat dari faktor resiko penularan HIV/AIDS yang disebabkan oleh
faktor perilaku masyarakat, maka persoalan HIV/IDS tidak hanya dikatakan
sebagai masalah
sosial.

Oleh

kesehatan semata, tetapi hal ini juga merupakan masalah

karena

itu,

permasalahan


HIV/AIDS

juga

memerlukan

penanggulangan yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak.
Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka penting untuk dikaji dan
dianalisis

mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus

HIV/AIDS dan bagaimana pengembangan strategi dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS yang sesuai dengan kondisi sosial budaya. Data ini diperlukan
sebagai bahan masukan untuk rekomendasi sebagai upaya mencari alternatif
solusi dalam upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS.
Tujuan Penelitian secara khusus adalah 1). Mengidentifikasi faktor-faktor
yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS, 2). Mendeskripsikan
pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, dan 3). Merumuskan
pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial

budaya.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptifinterpretatif, yang menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
dilaksanakan pada tahun 2014 di Kota Bukittingi, yang memiliki rumah sakit
layanan rujukan HIV/AIDS

yaitu di Klinik Serunai Rumah Sakit Achmad

Mochtar (RSAM). Data atau informasi yang dikumpulkan terdiri data primer
dan data sekunder. Data sekunder diperoleh

melalui dokumen/laporan dari

Dinas Kesehatan, Komisi Penangulangan AIDS, RSAM Bukittinggi,

dan

instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang sesuai dengan standar
keilmiahan sumber data. Selanjutnya data primer dilakukan dengan melakukan

iii


wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan analisis data dilakukan
secara manual dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kasus baru
HIV/AIDS di RSAM Kota Bukittinggi menunjukkan peningkatan terus dari
tahun 2012 sampai dengan 2014, yaitu dari 33 kasus (tahun 2012) meningkat
menjadi 40 kasus (tahun 2013), dan meningkat cukup tajam menjadi 72 kasus
(Agustus 2014). Penderita HIV/AIDS tidak hanya berasal dari Kota Bukittinggi,
tetapi juga berasal dari luar Kota Bukittinggi, yaitu dari Kota Payakumbuh,
Agam, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan kab/kota lainnya.
Jika ditinjau dari latar belakang karakteristik kumulatif penderita
HIV/AIDS dari tahun 2007-2013, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar
penderita adalah dengan jenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 82,07%. Dari
kelompok usia, persentase kumulatif HIV/AIDS (2007-2013) yang berasal dari
kelompok umur 25-49 tahun cenderung lebih besar yaitu sebesar 58%,15 lakilaki dan 55,93% perempuan.
Hasil penelitian mengungkapkan ada beberapa faktor yang turut melatar
belakangi tingginya kasus HIV/AIDS yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan
(lingkungan sosial dan budaya) dan faktor dari pengaruh kemajuan teknologi
informasi. Dari faktor perilaku, perilaku seksual yang tidak aman merupakan
faktor resiko terbesar dalam penularan HIV/AIDS saat ini. Sebagian besar

penderita belum mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS secara benar,
sehingga mereka tidak menyadari bahwa perilaku yang pernah dilakukan
sebelumnya berisiko untuk tertularnya infeksi HIV. Pada saat ini faktor risiko
terbanyak dari kasus HIV/AIDS adalah perilaku seks bebas pada kelompok
homoseksual (data RSAM tahun 2014) yaitu sebanyak 32,43%, dan diikuti
resiko penularan dari heteroseksual (25,6%).
Selanjutnya faktor lingkungan sosial budaya

juga cukup besar

pengaruhnya terhadap perilaku yang dianggap berisiko terhadap tertularnya

iv

HIV/AIDS. Kondisi lingkungan keluarga yang dianggap kurang harmonis, yang
mana masing-masing anggota keluarga tidak bisa menjalankan peran dan
fungsinya dengan baik (seperti adanya perpecahan keluarga dan kesibukan
orang tua dalam mencari nafkah) telah memberikan pengaruh kepada perilaku
menyimpang seperti narkoba dan seks bebas. Selanjutnya pengaruh lingkungan
sosial (lingkungan pertemanan) juga bisa memberikan situasi yang membuka

peluang terjadinya homoseksualitas. Hal ini

juga dimungkinkan karena

kurangnya pengawasan dari pihak keluarga. Apalagi saat ini ada juga ada
kecenderungan bahwa peran dan fungsi dari ninik mamak dan kelembagaan adat
relatif kurang. Di samping itu, akses negatif dari internet juga telah berdampak
terhadap perilaku reproduksi remaja, seperti perilaku seks bebas.
Dalam upaya

penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kota

Bukittingi dan KPA Kota Bukittinggi telah melaksanakan beberapa kegiatan
antara lain melakukan sosialisasi, penjangkauan dan pendampingan kepada
kelompok resiko tinggi, pertemuan dan koordinasi dengan dinas instansi terkait,
LSM peduli AIDS ODHA dan kelompok resiko tinggi, koordinasi layanan
kesehatan, dll. Namun demikian, terdapat adanya beberapa kendala antara lain
adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS, keterbatasan
jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll.
Penanggulangan HIV/AIDS tidak hanya menjadi permasalahan kesehatan

semata, tetapi juga perlu penanganan yang komprehensif/terintergrasi dari
berbagai lintas sektor. Beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam
penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya adalah
1). Strategi peningkatan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang
HIV/AIDS secara komprehensif, antara lain melalui penyebarluasan informasi
HIV/AIDS secara langsung kepada masyarakat melalui tokoh agama dan tokoh
masyarakat, 2). Strategi pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan,
antara lain melalui lokakarya peningkatan peran dan fungsi/pengawasan dari

v

keluarga, ninik mamak dan kelembagaan adat terhadap penerapan nilai-nilai
sosial budaya dan agama dalam rangka

pencegahan & penanggulangan

HIV/AIDS, 3). Peningkatan akses jangkauan pelayanan, dan 4). Dukungan
penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Strategi penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial
budaya tersebut disusun dalam rencana aksi (action plan) yang dituangkan

dalam berbagai alternatif
diharapkan

kegiatan. Strategi dan program yang disusun

bisa menjadi pedoman dalam menyusun rencana pembangunan

bidang kesehatan pada tahun berikutnya, khususnya dalam penanggulangan
HIV/AIDS. Rekomendasi yang disusun diharapkan juga bisa dimanfaatkan oleh
kabupaten/kota

lainnya

di

Provinsi

penanggulangan HIV/AIDS.

vi

Sumatera

Barat

dalam

upaya

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan akhir penelitian dengan
judul Kajian Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan
Pendekatan Sosial Budaya.
Mencermati perkembangan temuan kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera
Barat dari tahun ke tahun yang menunjukkan peningkatan terus kita layak
prihatin, karena penularan serta wilayah penyebarannya yang semakin meluas.
Kecenderungan peningkatan kasus HIV/AIDS seperti ini menyebabkan beban
sosial dan ekonomi menjadi lebih berat lagi termasuk pembangunan manusia ke
depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS yang intensif, terintegrasi dan terkoordinasi untuk menghasilkan
capaian program dengan cakupan yang lebih efektif, efesien dan berkelanjutan.
Penelitian merupakan salah satu upaya yang dapat dilaksanakan untuk
menghasilkan beberapa bahan masukan dalam perumusan kebijakan bidang
kesehatan khususnya dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Penelitian yang
berjudul

Kajian

Pengembangan

Strategi

Penanggulangan

HIV/AIDS

Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya telah dilaksanakan melalui kegiatan
Pengembangan Kapasitas Peneliti pada Bidang Litbang Bappeda Provinsi
Sumatera Barat pada tahun 2014. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor

yang

melatarbelakangi

tingginya

kasus

HIV/AIDS,

mendeskripsikan implementasi atau pelaksanaan kegiatan penanggulangan
HIV/AIDS,

dan

merumuskan

pengembangan

strategi

penanggulangan

HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya.
Kami menyadari atas segala keterbatasan dalam penulisan laporan ini,
dan untuk itu dengan senang hati kami menerima masukan dan saran dari semua
pihak. Semoga hasil kajian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pihak
vii

pengambil kebijakan dalam merencanakan program dan kegiatan untuk
penanggulangan HIV/AIDS, dan semoga dapat ditindaklanjuti dan bermanfaat
bagi kita semua, Amin.

Padang,

Desember 2014

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi Sumatera Barat
Kepala,

Ir. Afriadi Laudin, MSi
Pembina Utama Madya
NIP.19580521 198503 1 015

viii

DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ...................................................................................................
Executive Summary ..................................................................................
Kata Pengantar ..........................................................................................
Daftar Isi.....................................................................................................
Daftar Tabel ...............................................................................................
Daftar Grafik.............................................................................................
Daftar Singkatan/Akronim dan Istilah ......................................................

i
ii
vii
ix
xi
xii
xiii

[

BAB I.

PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................... .....
1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian........................................
9
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian.........................................................
10
1.5. Keluaran penelitian.......................................................
10

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................
11
2.1. Penjelasan HIV dan AIDS............................................
11
2.2. Tes dan Konseling HIV atau Voluntary Counseling
14
and Testing (VCT) untuk Pencegahan.........................
2.3. Perilaku Kesehatan dan Penyakit................................. 15

BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN ......................................
3.1.
3.2.
3.3.
3.4.
3.5.

23

Lokasi Penelitian ..........................................................
Disain Penelitian...........................................................
Teknik Pengumpulan Data............................................
Informan Penelitian.......................................................
Pengolahan dan Analisis Data ......................................

23
23
24
24
25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................
4.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian...........................
4.1.1. Kondisi Geografis ..............................................
4.1.2.Keadaan Penduduk.... .........................................
4.1.3. Kondisi Ekonomi ...............................................
4.1.4.Sarana Kesehatan ................................................
4.2. Gambaran Kondisi Perkembangan Kasus HIV/AIDS
diKotaBukittinggi.......................................................

29
29
29
30
31
31

ix

32

4.3. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Tingginya kasus
HIV/AIDS.......................................................................
4.3.1. Karakteristik Penderita HIV/AIDS......................
4.3.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku yang
Beresiko Terhadap HI/AIDS ............................

BAB V.

40
40
42

4.3.3. Faktor Lingkungan..............................................
4.3.4. Faktor Akses Negatif Dari Internet...............
4.4. Implementasi Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS....
4.4.1. Kebijakan-kebijakan yang Terkait Dengan
Penanggulangan HIV/AIDS ............................
4.4.2. Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS di
KPA Kota Bukittinggi ....................................
4.4.3. Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS yang
dilaksanakan Dinas Kesehatan.......................
4.4.4. Dukungan Beberapa Lintas Sektor dalam Upaya
Penanggulangan HIV/AIDS
4.4.5. Beberapa Permasalahan/Hambatan Dalam
Penanggulangan HIV/AIDS ............................
4.4.6. Permasalahan/Hambatan dalam Implementasi
Program ............................................................
4.5. Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
Berdasarkan Sosial Budaya ..........................................

53
62
64

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .........................
DAFTAR PUSTAKA

113
117

x

64
66
75
82

91
94
97

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan .....................................
31
Tabel 4.2 Jumlah Titik Spot Populasi Kunci di Kota Bukittinggi...............
71
Tabel 4.3 Jumlah Estimasi Populasi Kunci Berdasarkan Faktor Rsiko
Di Kota Bukittinggi....................................................................
71
Tabel4.4 Jumlah Tenaga Terlatih Yang Terdapat di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan .................................................................................... 76
Tabel 4.5. Capaian Layanan IMS tahun 2013 .............................................
81
Tabel 4.6Capaian Layanan HIV Tahun 2013 ............................................
82
Tabel 4.7 Analisis SWOT Pengembangan Strategi Penanggulangan
HIV/AIDS berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya ................. 101
Tabel 4.8 Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
BerdasarPendekatan Sosial Budaya ........................................... 104
Tabel 4.9. Rencana Aksi Pengembangan Strategi Penanggulangan
HIV/AIDS Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya.....................107

xi

DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1.1Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014
(s/d Juni 2014) di Indonesia ......................................................
2
Grafik 1.2 Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014
(s/d Juni 2014) di Indonesia.......................................................
2
Grafik 1.3 Case Rate AIDS di Indonesia .......... ........................................
3
Grafik 1.4Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbar tahun 2013 ...........
4
Grafik 1.5 Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS
Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2002-2013 ............................. 5
Grafik 1.6 Case Rate Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2013......................
6
Grafik 4.1 Kumulatif Penemuan Kasus HIV Positif
Tahun 2007-2013 ...................................................................... 33
Grafik 4.2 Kumulatif Penemuan Kasus HIV/AIDS di RSAM
Bukittinggi Tahun 2012-2014 .................................................... 34
Grafik 4.3 Perkembangan Jumlah Kasus HIV/AIDS di RSAM
Bukittinggi Tahun 2012-2014 .................................................... 34
Grafik 4.4 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Asal
Tahun 2012-2014 ....................................................................... 36
Grafik 4.5 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko
Tahun 2014 .................................................................................. 39
Grafik 4.6Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko
Tahun 2013 ................................................................................. 39
Grafik 4.7 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin
Tahun 2007-2013 ........................................................................41
Grafik 4.8Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin
Dan Umur tahun 2007-2013 .....................................................42

xii

DAFTAR SINGKATAN/AKRONIM DAN ISTILAH
AIDS
ARV
BCL
Balita
Batita
Balitbangkes
Bappeda
CST
Dinkes
GWL
HIV
HRM
IMS
IPM
Jamkemas
Jamkesda
KDS
Kemenkes
KIE
KPA
KPAD
KPAN
KPAP
KPAK
LSL
LSM
MDGs
NAPZA
NGO
ODHA
Penasun
Perda
Perwako
Perbup
PMS
PSK
PID
Puskesmas
Pustu

: Acquired Immunnodeficiency Syndrome
: Antiretroviral
: Behaviour Change Intervensi
: Bawah lima tahun
: Bawah Tiga Tahun
: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
: Care Support and Treatment
: Dinas Kesehatan
: Gay, Waria, dan Lelaki Suka dengan Lelaki
: Human Immunodeficiency Syndrome
: High Risk Men
: Infeksi Menular Seksual
: Indeks Pembangunan Manusia
: Jaminan Kesehatan Masyarakat
: Jaminan Kesehatan Daerah
: Kelompok Dukungan Sebaya
: Kementerian Kesehatan
: Komunikasi, Informasi, Edukasi
: Komisi Penanggulangan AIDS
: Komisi Penanggulangan AIDS Daerah
: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
: Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
: Komisi Penanggulangan AIDS Kota
: Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki: Lembaga Swadaya Masyarakat
: Millenium Development Goals
: Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif.
: Non Governmental Organization
: Orang Dengan HIV/AIDS
: Pengguna Napza suntikta
: Peraturan Daerah
: Peraturan Walikota
: Peraturan Bupati
: Penyakit Menular Seksual
: Penjaja Seks Komersial
: Pelvic inflammatory disease
: Pusat Kesehatan Masyarakat
: Puskemas Pembatu
xiii

Puskel
PMTCT
RSAM
Riskesdas
RPJMN
RPJMD
SKRT
TBC
VCT
WPS

: Puskesmas Keliling
: Prevention Mother To Chlild Transmision
: Rumah sakit Achmad Mochtar
: Riset Kesehatan Dasar
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
: Survey Kesehatan Rumah Tangga
: Tuberkulosis
: Voluntary Concealing Testing
: Wanita Penjaja Seks

xiv

I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Kita sadari

bahwa HIV/AIDS

semakin berpotensi untuk menjadi

masalah pembangunan masyarakat di Indonesia. Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang
menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang, membuatnya
lebihrentan terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit
infeksi oportunistik dan bisamenyebabkan kematian. (Kemenkes, 2010).
Indonesia merupakan negara tercepat tingkat penyebaran virus
HIV/AIDS di Asia. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia telah berlangsung lebih
dari 20 tahun, dan sejak tahun 2000 fase epidemiknya sudah berubah dari
tingkat lowmenjadi tahap concentrated epidemic (prevalensi lebih dari 5 %)
pada sub populasi beresiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (Penasun),
wanita penjaja seks (WPS), pelanggan penjaja seks, lelaki seks dengan lelaki
lain dan waria (Simarmata, 2010).
Perkembangan jumlah kasus HIV dan AIDS

di Indonesia terus

meningkat sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1987. Berdasarkan laporan
Kemenkes RI, sampai dengan Juni 2014 jumlah kumulatif kasus HIV sudah
mencapai 142.951 orangdan kasus AIDS sudah mencapai55.623 orang, seperti
terlihat pada grafik 1.1 dan 1.2. Dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
sampai bulan Juni 2014, persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah
hubungan seks berisiko pada heteroseksual (86,4%), LSL (Lelaki Seks Lelaki)
(4,8%), dari ibu positif HIV ke anak (3,6%) dan penggunaan jarum suntik tidak
steril pada penasun (2,6%). Sedangkan persentase AIDS tertinggi pada

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 1

kelompok umur 30-39 tahun (37,7%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun
(26,0%) dan kelompok umur 40-49 tahun (20,4%).

160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0

142,951

859 7,195 6,048 10,3629,793

21,59121,03121,51115,534

HIV

Grafik 1.1.Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari Tahun 2005 - 2014 (s/d Juni
2014) di Indonesia
Sumber: Kemenkes (2014)

60,000
50,000
40,000
30,000
20,000
10,000
0

55,623

5,184 3,665 4,6555,114 6,073 6,9077,312 8,747 6,266 1,700

AIDS

Grafik 1.2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS dari Tahun 2005 - 2013 (s/d
September 2013) di Indonesia
Sumber: Kemenkes (2014)
2 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Di tinjau dari case rate kasus AIDS(rate kumulatif AIDS) di Indonesia,
pada grafik 1.3terlihat bahwa case rate nasionaltahun 2013 adalah sebesar 17,2.
Sedangkan jika dilihat dari case rate kasus AIDS per provinsi di Indonesia,
Provinsi Papua memilikicase rate tertinggi dalam kasus HIV/AIDS

yaitu

sebesar319,9,dan Provinsi Sumatera Barat berada pada peringkat 8 dari 34
propivinsi, dengan case rate sebesar 18,8. Kondisi ini tampaknya berada di atas
case rate kasus AIDS nasional (17,2 )

Grafik 1.3. Case Rate AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia tahun
2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami
peningkatan dan sangat mengkhawatirkan karena penularan serta wilayah
penyebarannya semakin meluas. Pada grafik 1.4 tampak bahwa trend jumlah
kasus baru HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Baratdari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa
setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada
tahun 2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru.
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 3

Sampai dengan kondisi akhir tahun 2013 tercatat kumulatif kasus AIDS di
Sumatera Barat sebanyak 948 orang dan kumulatif kasus HIV sebanyak 964
orang (Dinkes, 2014). Kondisi peningkatan penemuan kasus ini juga dapat
mencerminkan bahwa akses terhadap layanan HIV-AIDS semakin meningkat.
250

Jumlah

200

150

100

50

0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

HIV

0

0

0

0

47

19

6

227

131

134

200

200

AIDS

1

0

6

12

44

102

105

150

128

130

120

150

Grafik 1.4: Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbartahun 2013
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar (2014)
Distribusi jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS tersebar di 19 kabupaten
dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Pada grafik 1.5 terlihat bahwa distribusi
jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS terbesar terdapat di Kota Padang diikuti
oleh Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar dan Kota
Payakumbuh. Dari grafik juga dapat dilihat bahwa sebagian besar penemuan kasus
di seluruh kab/kota sudah dalam status AIDS.

4 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

Padan Bukitti Agam Pdg Pessel T. Payak Paria Solok 50 Pasba D. Pasa Sawah Solsel P. Sijunj Kab. Menta
g nggi
Paria
Datar umbu man
Kota r
raya man lunto
Panja ung Solok wai
man
h
ng
AIDS 383 148 77
42
38
37
28
23
20
19
12
11
12
11
7
7
5
6
5
HIV

39

7

1

4

1

0

0

4

2
HIV

0

1

1

0

0

0

0

1

0

0

AIDS

Grafik1.5 :Jumlah Kumulatif Kasus HIV-AIDS per Kab/Kota tahun 2002 – 2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)

Walaupun jumlah kumulatif kasus AIDS paling banyak di Kota
Padang(383 kasus) dan diikuti Bukittinggi (148 kasus) pada grafik 1.5 diatas,
namun pada grafik 1.6 tampak bahwa Kota Bukittinggi mempunyai rate
kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75, sedangkan Kota Padang
hanya sebesar 35, 79, dan bahkan rate kumulatif dari Kota Bukittinggi ini
melebih case rate Provinsi Bali yang hanya 93.4 (grafik 1.3).

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 5

119.75
120
100
80
60
40

35.79
26.94
21.0618.01

20

12.7612.3111.98

14.38
8.12 6.20 5.82 5.25 5.23

4.21 3.47 2.74 2.68 1.72 1.46
ba
r
Su
m

Bu
ki

tti
n
Pa ggi
da
ng
S
Pa olok
ria
Pa
Pa yak man
da
u
ng mb
Pa uh
n
Sa
wa j a n g
hl
Pa
un
da
t
ng
Ag o
Pa
am
Ta riam
n
a
Pe
a
sis h D n
at
ir
Se ar
Me lata
n
Dh
n
ar taw
ma
a
sra i
y
So 50
a
lok
Ko
t
Se
a
l
Pa atan
Pa
s
sa
m a a ma
n
n
K a Ba
ra
b.
t
S
Si olok
jun
jun
g

0

Grafik 1.6. Case rate AIDS (rate kumulatif AIDS) per kab/kota di
Sumbar tahun 2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)
Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota besar dan kota wisata di
Provinsi Sumatera Barat yang sarat dengan keindahan alam, budaya, dan
penduduknya yang agamais. Namun melihat kondisi permasalahan kasus
HIV/AIDS di Kota Bukittinggi tersebut tentunya harus benar-benar disikapi
dengan serius.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai MDGs dalam kurun waktu 19902015 adalah memerangi HIV/AIDS (tujuan 6), dengan target mengendalikan
penyebaran HIV dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015.
Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target MDGs
6 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

adalah persentase penduduk umur 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan
komprehensif tentang HIV/AIDS. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa secara nasional tingkat
pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDadalah relatif rendah, di mana 11,4
persen penduduk yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang
HIV/AIDS.Provinsi dengan persentase urutan tertinggi adalah DKI Jakarta
(21,6%), dan Provinsi Sumatera Sumatera Barat menempati urutan ke 21,
dengan 9 % penduduk yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang
HIV/AIDS (Kemenkes, 2010).
Mengingat besarnya masalah yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran
virus HIV/AIDS ini, maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam
penanggulangan HIV/AIDS, dan salah satunya adalah dengan membentuk
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

(KPAN).

KPAN ini terbentuk

didasarkan pada Peraturan Presiden No.75/2006, yang melibatkan 18
Departemen dan lima organisasi LSM (Kemenkes,2010).
Provinsi Sumatera Barat juga sudah melakukan beberapa upaya dalam
pengendalian HIV/AIDS dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2008. Salah satu upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk memutus rantai penularan
adalah dengan meningkatkan penemuan kasus melalui upaya peningkatan akses
layanan HIV/AIDS, baik VCT (Voluntary Concealing Testing), CST (Care
Support and Treatment), PMTCT (Prevention Mother To Chlild Transmision),
dan pelayanan lainnya (Pemerintah Provinsi, 2011).
Kota Bukittingi juga sudah melakukan berbagai upaya dalam
penanggulangan HIV/AIDS dengan membentuk

Komisi Penanggulangan

HIV/AIDS (KPA) sejak tahun 2008. Adapun upaya yang sudah dilakukan oleh
KPA Kota Bukittingi antara lain adalah melakukan sosialisasi kepada
masyarakat terkait dengan bahaya HIV/AIDS, melalukan pendampingan dan

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 7

pembinaan terhadap penderita positif HIV/AIDS atau Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).
Walaupun beberapa upaya sudah dilakukan pemerintah Kota Bukittinggi
dalam penanggulangan HIV/AIDS, namun kondisi perkembangan kasus
HIV/AIDS tampaknyasulit untuk dikendalikan dan terus saja meningkat dari
tahun ke tahun. Permasalahan HIV/AIDS adalah merupakan fenomena gunung
es, di mana kasus yang tampak hanya sebagian kecil, tetapi yang sesungguhnya
terjadi jauh lebih besar. Pada hal jika ditinjau penduduk Sumatera Barat yang
mayoritas suku Minangkabau, dikenal sebagai penganut agama Islam yang kuat
dan teguh dengan adat dan tradisi mereka. Falsafah “Adat Basandi Syarak
Basandi Kitabullah, Syarak mangato, Adat Mamakai”adalah filosofis dan jati
diri utama masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau secara normatif
mempunyai keseimbangan hidup antara agama dan budaya. Islam memberikan
fondasi bagi prinsip kehidupan yang agamais, sementara sistem adat
memberikan fondasi bagi kehidupan yang berbudaya (Bappeda, 2013).
Jika dilihat dari Indek Pembangunan Manusia (IPM), Kota Bukittingi
saat ini adalah yang tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (79,29) pada tahun
2013. Namun, kondisi tersebut tidak cukup tanpa dilandasi dengan kematangan
emosi yang dilandasi nilai-nilai agama dan adat Minangkabau. Selanjutnya
dengan adanya perkembangan peradaban yang diikuti dengan perkembangan
informasi dan teknologi telah banyak membawa pengaruh ke dalam sendi-sendi
kehidupan, antara lain adalah penerapan nilai-nilai agama dan adat dewasa ini
yang mulai menurun dan menjadi perhatian semua kalangan (Bappeda Kota
Bukittingi, 2010).
Penerapan nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat
saat ini tampaknya belum bisa diterapkan oleh sebagian masyarakat, seperti
tercermin dari perilaku menyimpang (perilaku seksual yang bebas dan narkoba),
dan beresiko pada penularan penyakit HIV/AIDS.

8 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Melihat dari faktor resiko penularan HIV/AIDS disebabkan oleh faktor
perilaku masyarakat, maka persoalan HIV/IDS tidak hanya dikatakan sebagai
masalah kesehatan semata, tetapi hal ini juga merupakan masalah sosial. Oleh
karena itu, permasalahan HIV/AIDS juga memerlukan penanggulangan yang
komprehensif dan melibatkan banyak pihak.
Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka penting untuk dikaji dan
dianalisis

mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus

HIV/AIDS dan bagaimana pengembangan strategi dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS yang sesuai dengan kondisi sosial budaya. Data ini diperlukan
sebagai bahan masukan untuk rekomendasi sebagai upaya mencari alternatif
solusi dalam upaya penanggulanganpenyakit HIV/AIDS.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS dan
bagaimana pengembangan strategi penanggulanganHIV/AIDS yang berdasarkan
dengan pendekatan sosial budaya?
1.3. Tujuan Penelitian
TujuanUmum:
Mengembangkan

strategi

penanggulangan

HIV/AIDS

melalui

pendekatan sosial budaya.
Tujuan Khusus:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor (faktor internal dan eksternal penderita) yang
melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS.
2. Mendeskripsikan

implementasi/pelaksanaankegiatan

penanggulangan

HIV/AIDS.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 9

3. Merumuskan pengembangan strategi penaggulangan HIV/AIDS melalui
pendekatan sosial budaya.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
pengambil kebijakan dalam upaya

pencegahan

dan pengendalian penyakit

HIV/AIDS, dan dapat ditindaklanjuti serta dimanfaatkan oleh instansi terkait,
sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
1.5.KeluaranPenelitian
Keluaran dari kajian ini adalah merupakan laporan penelitian yang
memuat hasil penelitian dan analisis serta rekomendasi sebagai alternatif solusi
dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS.

10 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PenjelasanHIV dan AIDS
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh human
immunodeficiency virus (HIV) yang menyebabkan melemahnya sistem
kekebalan tubuh seseorang, membuatnya lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan
bisamenyebabkan kematian. (Kemenkes, 2010).
Biasanya orang yang terinfeksi HIV dapat hidup bertahun-tahun tanpa
menunjukkan tanda-tanda penyakit. Mereka mungkin tampak sehat dan merasa
sehat, tetapi dapat menularkan virus kepada orang lain. AIDS adalah tahap
akhir infeksi HIV, dan mereka yang terkena AIDS semakin lama akan semakin
lemah karena badanya tidak mampu melawan penyakit. Timbulnya AIDS
setelah terinfeksi HIV 7-10 tahun, sedangkan pada anak-anak dapat berkembang
lebih cepat. AIDS tidak dapat sembuh, tetapi obat-obat baru dapat membuat
penderita AIDS hidup lebih lama (Kemenkes, 2010).
Cara penularan HIV pada umumnya adalah melalui hubungan
heteroseksual, penggunaan jarum suntik bersama padapengguna narkoba suntik
(Penasun), penularan dari ibu ke bayi selama periode kehamilan, kelahiran dan
menyusui, tranfusi darah yang tidak aman dan praktek tatto (Kemenkes, 2010).
Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA)yang tertularHIV/AIDS dalam
banyak kasus disebabkan karena perilaku mereka beresiko tinggi tertular
HIV/AIDS. Perilaku resiko tinggitertular AIDS adalahperilaku seseorang yang
berbahaya adalah meliputi perpindahan air mani yang dilakukan melalui aktivas
seksual-lewat vagina, oral atau anal-persetubuhan. Ataupun aktivitas yang yang
melibatkan perpindahan transfusi darah, dapat melalui aktivitas seksual,
transfusi darah atau berbagi jarum suntik dengan orang lain ((Dian, 2013).

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 11

HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa
seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan
peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar
mandi atau WC/Jamban yang juga dipakai oleh penderita HIV/AIDS.
HIV/AIDS juga tidak tersebar melalui nyamuk atau serangga lain (Kemenkes,
2007).
Tanda-tanda klinis penderita AIDS adalah berat badan menurun lebih
dari 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan,
demam berkepanjangan lebih dari1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguangangguan neurologis, dan dimensia/HIV ensefalopati.
HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok
rawan mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu orang-orang
yang berperilaku seksual (para homo seksual dan heteroseksual) yang suka
berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom, pengguna narkoba suntik
yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama, pasangan seksual
pengguna narkoba suntik, bayi yang ibunya positif HIV.
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS
diantaranya adalah seperti dibawah ini :
1. Saluran pernafasan.
Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada
dan demam seperti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang
diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
2. Saluran Pencernaan.
Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya
nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada
rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diare yang kronik.
3. Berat badan tubuh.

12 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan
berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem
protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi
termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem
pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah
kurang bertenaga.
4. System Persyarafan.
Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang
ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan
respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral)
akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek
tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
5. System Integument (Jaringan kulit).
Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api
(herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa
nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut
pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retakretak) serta Eczema atau psoriasis.
6. Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita.
Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai
tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita
penyakit syphillis, dan jika dibandingkan pria, maka wanita lebih banyak
jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS
wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal
sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid
yang tidak teratur (http://www.drogpatravel.biz/).

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 13

2.2. Tes dan Konseling HIV atau Voluntary Counseling and Testing
(VCT) untuk Pencegahan
Kebanyakan orang pengidap HIV terlihat sehat dan tidak terlihat
tandaatau gejala dari infeksi. Status HIV seseorang hanya dapat diketahui
dengan melakukan tes HIV. Salah satunya melalui layanan VCT (Voluntary
Counseling and Testing).Voluntary Counseling and Testing (VCT) dalam
bahasa Indonesiadisebut konseling dan tes sukarela. VCT merupakan kegiatan
konselingyang bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum atau
sesudah tesdarah untuk HIV dilaboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien
terlebihdahulu mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. Proses VCT
inidiberlakukan

bagi

orang-orang

yang

tergolong

berisiko

tinggi

terhadappenularan HIV/AIDS, dan merupakan salah satuupaya untukmengecek
kebenaran, apakah seseorang tersebut terindikasikan berstatusHIV positif atau
negatif.
Jika seseorangseseorang dalam hidupnya pernahmelakukan hal-hal
berisiko tinggi seperti disebutkan diatas, maka melakukan tes HIV adalah
penting untuk dilakukan,sehingga bisalebih menjaga perilaku selanjutnya demi
kesehatan dirinya sendiri danpasangannya, serta (calon) anak-anaknya kelak.
Hal ini disebabkan selama ini banyakorang yang tidak menyadari resiko
perilakunya terhadap kemungkinantertular ataupun menularkan HIV, dan karena
tidak segera menjalani tesHIV perilakunya tetap saja berisiko tinggi. Secara
umum tes HIV jugaberguna untuk mengetahui perkembangan kasus HIV dan
AIDS serta untukmeyakinkan bahwa darah untuk transfusi dan organ untuk
transplantasitidak terinfeksi HIV.Dalam tes HIV, bisa saja memberi hasil negatif
bila orang yang ditesbaru saja terinfeksi. Hal ini dapat terjadi karena tubuh kita
membutuhkanwaktu beberapa minggu untuk mulai menghasilkan antibodi sejak
terjadinyainfeksi. ntibodi biasanya dapat dideteksi sekitar 3 – 8 minggu
setelahterinfeksi, dan masa ini disebut periode jendela (Faqih, 2013).
14 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

2.3.Perilaku Kesehatan dan Penyakit
Memahami

kondisi

masyarakat

merupakan

modal

awal

dalam

melakukan pengembangan berbagai bentuk program dan manifestasinya,
sebaliknya ketidakmengertian tentang kondisi masyarakat merupakan langkah
awal

gagalnya program pengembangan tersebut. Pengetahuan tentang

masyarakat juga menjadi dasar dalam melakukan adaptasi berbagai model
pengembangan,

mengingat

saat

ini

program

sedapat

mungkin

mempertimbangkan kebutuhan lokal dan permasalahan konkret yang dihadapi
oleh suatu masyarakat tertentu(Notoatmodjo, 1997).
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, dan
saling terkait dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Dalam
melakukan pemecahan masalah tidak hanya ditinjau dari segi kesehatannya
sendiri, namun harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap
“sehat-sakit” atau kesehatan tersebut (Notoatmodjo,1997).
Masalah kesehatan masyarakat, pada dasarnya menyangkut dua aspek
yang utama, yaitu aspek fisik seperti tersedianya sarana kesehatan dan
pengobatan penyakit, dan aspek non fisik yang menyangkut perilaku kesehatan.
Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan
individu maupun masyarakat (Sarwono, 1996).
Kesehatan merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor, baik faktor
internal (dari dalam diri manusia) maupun eksternal (di luar diri manusia).
Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikis, sedangkan faktor eksternal
terdiri dari berbagai faktor antara lain meliputi sosial, budaya masyarakat,
lingkungan fisik, politik ekonomi, pendidikan, dan

sebagainya.

Menurut

Hendrik L Blum (Notoatmodjo, 2010) ada 4 faktor yang mempengaruhi status
derajat kesehatan masyarakat atau perorangan. Faktor-faktor tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 15

16 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

1. Lingkungan
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh dan peranan terbesar diikuti
perilaku, fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat beragam antara
lain

yang berhubungan dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang

berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim,
perumahan, dan sebagainya. Selanjutnya lingkungan sosial merupakan hasil
interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya.
2. Perilaku
Faktor perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat,karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku manusia itu
sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat,
kebiasaan, kepercayaan, pendidikan, sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain
yang melekat pada dirinya.
3. Pelayanan kesehatan
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat
adalah faktor pelayanan kesehatan, karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap
penyakit, dan pengobatan kepadakelompok dan masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh keterjangkauan
lokasi, dan

juga dipengaruhi oleh tenaga kesehatan pemberi pelayanan,

informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam
memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 17

4. Keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang terdapat dalam diri manusia
dan dibawa sejak lahir, misalnya dapat dilihat dari golongan penyakit keturunan
seperti diabetes dan asma.
Jika ditinjau dari keempat faktor tersebut, faktor perilaku manusia
merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sulit untuk
ditanggulangi, dan disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena
faktor perilaku merupakan faktor yang lebih dominan dibandingkan dengan
faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat (Notoatmojdo, 2010).
Perilaku kesehatan pada dasarnya merupakan suatu respons seseorang
(organisme) terhadap suatu stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Dengan perkataan lain perilaku
kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat
diamati maupun yang tidak dapat diamati (misalnya pengetahuan, persepsi atau
motivasi) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
(Notoatmodjo, 2010). Respon menurut Sorlita Sarwono (1996) dapat bersifat
fasif (tanpa tindakan: berfikir berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan
tindakan). Dengan batasan ini, perilaku kesehatan merupakan segala bentuk
pengalaman, khususnya pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta
tindakannya yang berhubungan dengan dengan kesehatan.
Perilaku kesehatan secara garis besar dikelompokkan menjadi dua ,
yakni:
1). Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini
disebut perilaku sehat, yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah
penyakit, penyebab penyakit, atau penyebab masalah kesehatan.
2). Perilaku orang yang sakit atau terkena masalah kesehatan, untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan kesehatan. Perilaku ini disebut

18 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

perilaku pencarian pelayanan kesehatan. Tempat pelayanan kesehatan, baik
pelayanan kesehatan tradisional seperti dukun, maupun pengobatan modern
seperti rumah sakit, pukesmas, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
Perilaku, menurut Blum (dalam Sarwono,1996) mempunyai peranan
yang

lebih besar dalam menentukan pemanfaatan sarana kesehatan bila

dibandingkan dengan penyediaan sarana kesehatan itu sendiri. Hasil beberapa
pengalaman menunjukkan bahwa penyediaan dan penambahan sarana pelayanan
tidaklah selalu diikuti oleh peningkatan pemanfaatan sarana-sarana tersebut.
Berdasarkan penelitian-penelitian

yang ada, faktor sosial budaya

merupakan faktor eksternal yang paling besar peranannya dalam membentuk
perilaku manusia. Faktor sosial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku antara lain meliputi struktur sosial, pranata-pranata sosial, dan
permasalahan-permasalahan sosial lainnya. Faktor budaya sebagai faktor
ekternal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain mencakup nilainilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi dan sebagainya.
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seperti
persepsi, pengetahuan, motivasi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2010).
Salah satu teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-penelitian
kesehatan masyarakat adalah teori Lawrence Green. Green menyatakan bahwa
kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor
perilaku dan faktor di luar perilaku (non perilaku). Faktor perilaku itu sendiri
ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:
1). Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor
pemungkin adalah tersedianya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
dan kemudahan untuk untuk mencapainya, misalnya Puskesmas, Poskesri
dan Posyandu.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 19

2). Faktor- faktor predisposisi (pre disposing factors), yaitu faktor-faktor yang
memberikan kemudahan

atau mempredisposisi terjadinya perilaku

seseorang antara lain tradisi, pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai,
norma sosial, dan sebagainya.
3). Faktor-faktor penguat (reinforcing factors merupakan faktor-faktor yang
memperkuat atau mendorong terjadinya perilaku, seperti sikap dari perilaku
petugas kesehatan. Tokoh masyarakat juga merupakan salah satu contoh
dari faktor penguat bagi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.
Selain itu, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat
pemerintah pusat atau daerah juga
Determinan

perilaku

itu

menurut

termasuk faktor penguat perilaku.
Green

secara

sistematis

dapat

digambarkan sebagai berikut:

B = F (Pf, Ef, Rf)
B = Behavior
F = Fungsi
Pf = Predisposing faktors
Ef = Enabling faktors
Rf = Reinforcing faktors

Selain faktor perilaku, juga terdapat aspek non perilaku yang dapat
mempengaruhi pemafaatan pelayanan kesehatan, d