BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB VI

Bab VI
Pokok-Pokok Teologi yang Mengemuka
Pengantar
Seluruh perjalanan investigasi kita demi
mencari jawaban terhadap pertanyaan sudah dapat
kita akhiri di sini. Sekarang saatnya untuk kita
melakukan evaluasi, menimbang dan mengukur
kekuatan dan kelemahan dari pemikiran para pemikir
tadi tentang gereja dan pelaksanaan misi. Mengawali
itu baiklah kita membuat beberapa kesimpulan.
Analisa kita terhadap kekuatan dan kelemahan dari
pemikiran tokoh-tokoh tadi akan kita dasarkan pada
pokok-pokok yang kita simpulkan ini.
Sekurang-kurangnya ada lima pokok penting
yang mengemuka dan karena itu kita catat sebagai
kesimpulan dari anjangsana kita. Kelima pokok itu
adalah panggilan agar gereja keluar dari ghetto,
membaharui paham tentang jatidiri dan kehadiran
gereja, rekonsiderasi arti pertobatan, hakikat baptisan
sebagai sakramen, dan dialog sebagai misi. Baiklah kita
menjelaskan kelima pokok ini satu demi satu.

Mengeluarkan Gereja dari Ghetto
Hal yang perlu kita camkan dari anjangsana ini
ialah bahwa para pemikir besar Asia, termasuk juga
Indonesia melakukan perang melawan etnosentrisme,
Gereja Lintas Agama

285

yakni upaya sistematis untuk mengurung Yesus dan
keselamatan dari Allah dalam agama Kristen. Itu sama
dengan mengkarikaturkan Injil yang oleh Paulus
disebut sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan
baik orang Yahudi maupun Yunani (Rom. 1:16-17).
Secara eksplisit dan jujur para pemikir kita
menunjukkan bahwa keselamatan dikerjakan Allah
untuk semua manusia. Keselamatan itu ternyata sudah
hadir dalam semua agama, bukan hanya dalam agama
Kristen. Avery Dulles menulis: “Anugerah Allah tidak
terbatas pada orang-orang yang menyandang simbol
Kristen atau biblis.”1 Yewangoe menegaskan bahwa

Tuhan itu baik kepada semua orang. Karena itu gereja
patut menunjukan kebaikan Allah itu kepada semua
orang dengan cara ambil bagian dalam kehidupan
masyarakat.2
Tugas gereja dalam pekerjaan misi adalah
memperlihatkan kepada saudara-saudara non-kristen
kebaikan Tuhan itu sekaligus membekali mereka
dengan pemahaman baru untuk melihat dan menemui
Allah dan keselamatan yang sudah lama ada dan
bekerja dalam agama mereka serta mensyukuri
pekerjaanNya itu dalam cara-cara yang dikenal
menurut agama mereka. Song menulis:3
Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 67.
Andreas Yewangoe. Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang.
hlm. 10.
3
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
171.
1
2


286

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Yesus berkata, “Bukan setiap orang yang berseru
kepadaKu: Tuhan, Tuhan, akan masuk ke dalam
Kerajaan Sorga, melainkan Dia yang melakukan
kehendak BapaKu yang di sorga (Mt. 7:21).
Apabila kita masuk dalam ruang berisi pemelukpemeluk agama lain, kita akan bertemu dengan
sedikit orang yang memanggil Yesus “Tuhan”,
tetapi kita akan bertemu dengan cukup banyak
orang yang melakukan kehendak “BapaKu yang
di Sorga.” Sejarah setiap bangsa Asia, misalnya,
memberikan banyak contoh tentang orangorang, besar dan kecil, yang telah membaktikan
dirinya demi perdamaian, keadilan dan kasih
sayang.”

Avery Dulles yang mengatakan hal yang sama
dengan kalimat yang berbeda: “Gereja bertujuan

memurnikan dan mengintensifkan jawaban manusia
terhadap rahmat Kristus. Bila orang-orang beriman
berhasil menemukan bentuk-bentuk lahiriah untuk
menyatakan janji mereka kepada Allah melalui
Kristus, mereka akan menjadi simbol-simbol yang
hidup dari cinta ilahi dan suluh-suluh harapan di
dalam dunia.”4
Para pemikir kita memanggil gereja untuk
keluar dari ghetto, gaya hidup etnosentrisme,
menguak isolasi dan membongkar ego-agama untuk

4

Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 69.

Gereja Lintas Agama

287

masuk dalam ruang hidup saudara pemeluk agamaagama lain supaya bersama-sama mereka membangun

cinta-kasih, keadilan dan persaudaraan. Ini bukan
karena gereja kurang kristiani atau merupakan sebuah
penyangkalan atau penolak terhadap pesan sentral
kitab suci Kristen tentang Yesus sebagai satu-satunya
juruselamat. Kita menjadi lebih kristiani, kata Song,
jika ada di ruang hidup agama-agama lain.5 Kita pun
bisa memperkenalkan Kristus secara lebih efektif
kepada saudara-saudara yang non-kristen.
Supaya Kristus bisa diterima oleh mereka yang
beragama lain (karena Kristus sesungguhnya bukan
pribadi yang asing bagi agama-agama non-kristen)
maka Kristus harus diberitakan kepada mereka yang
non-kristen tanpa simbol-simbol Kristen. Meminjam
pendapat Bonhoeffer dengan sedikit perubahan, gereja
harus memperkenalkan Kristus tanpa agama (Kristen).6
Kami lalu teringat pendapat Song berikut:
“Pemberontakan terhadap kekristenan acapkali bukan
pemberontakan terhadap Yesus, melainkan terhadap
jenis misi Kristen yang berusaha mengubah namanama pribumi dengan nama-nama Kristen, mengganti


Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
169.
6
Dietrich Bonhoeffer. Letters and Papers from Prison. Ed.
by Eberhard Bethge: New York: Mcmillan. 1972. hlm. 279.
5

288

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

nilai-nilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya
Kristen.”7
Memberitakan Kristus tanpa agama Kristen.
Apakah itu mungkin? Tentu saja mungkin dan “ya”.
Ada dua alasan untuk itu. Pertama, dalam misi kita
tidak memberitakan agama Kristen, tetapi Yesus
Kristus. Kedua, Yesus lebih besar dari agama Kristen.
Dia berdiri di atas kristenisme sebagai hakim atas
semua hal yang dikerjakan kristenisme atas namanya.

Kristenisme historis tidak dapat menghaki Dia sebagai
miliknya sendiri saja. Yesus milik semua orang.8 Inilah
keyakinan yang melatar-belakangi upaya para pemikir
kita untuk memberitakan Yesus tanpa agama Kristen.
Kalau kita memeriksa kesaksian Alkitab, kita
akan menemukan jawaban kenyataan ini. Alkitab
sama sekali tidak berkaitan dengan sistim-sistim
keagamaan apapun. Alkitab tidak mempropagandakan
agama. Ia lebih memfokuskan perhatian pada individu
dan masyarakat yang mendiami bumi ini dalam
hubungan dengan Allah.9
Jelasnya, Alkitab bukan buku tentang agama.
Ia adalah buku tentang bagaimana manusia, pribadi
maupun kolektif dalam agama apapun harus
Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm.
13.
8
Albert Nolan, Op. Yesus bukan Orang Kristen? hlm. 17.
9
Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. Jalan

Keselamatan Satu-satunya. Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih /OMF. 2003. hlm. 69.
7

Gereja Lintas Agama

289

membangun hubungan yang benar dengan Allah.
Yesus juga tidak mendukung satu agama dan atau
pendiri agama yang baru.10 Bisnis utama Yesus adalah
membawa manusia yang hidup dalam agamanya untuk
kembali kepada kehidupan yang benar dan kudus di
hadapan Allah. Yesus mengajarkan manusia
menanggapi Allah dalam seluruh hidupnya di dalam
agamanya.
Agama memang disebut dalam Alkitab, tetapi
bukan sebagai hal yang paling penting. Perhatian
Alkitab pada agama adalah karena agama dianggap
sebagai lokus di mana manusia memberi respons

terhadap panggilan Alah. Alkitab memang tidak
mempropagandakan satu agama. Alkitab malah
bersikap kritis terhadap agama yang di dalamnya
manusia hidup dan menanggapi Allah. Ada dua point
tentang agama yang terdeteksi dalam kesaksian
Alkitab.

Pertama, bahwa agama bukan ciptaan Allah. Ia
adalah seperangkat sistim yang dibentuk manusia
untuk membuat dirinya tetap hidup setelah kejatuhan
di dalam dosa. Jelasnya, manusia setelah kejatuhan ke
dalam dosa tidak mungkin hidup tanpa agama. Kedua,
manusia menciptakan agama agar dapat tetap berdiri
di hadapan Allah dengan cara menyembunyikan
dirinya dari Allah. Chris Wright menulis: “Agama

10

Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 50.


290

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

merupakan cara halus untuk melarikan diri dari Allah,
karena ia takut dan malu menemuiNya.”11
Jadi kalau Alkitab menyaksikan kepada kita
bahwa Yesus datang untuk membawa kita kembali
kepada Allah, itu dapat juga berarti bahwa Yesus
memanggil kita keluar dari agama yang adalah tempat
persembunyian kita. Jadi untuk bertemu Allah dan
hidup di hadapanNya, manusia harus merelatifkan
agamanya. Memberitakan Kristus tanpa agama Kristen
adalah hal yang mungkin.
Inilah juga motif yang memandu upaya-upaya
berteologi dari para pemikir kita. Para pengikut
Kristus atau warga gereja diminta oleh para pemikir
kita untuk keluar dari kenyamanan beragamanya dan
membangun persekutuan yang akrab dan ramah
dengan sesamanya yang berbeda agama. Hanya dengan

cara itu dia benar-benar menjadi manusia yang
beragama (Kristen) secara benar dan dewasa.
Di Nairobi tahun 1975 dalam Sidang Raya
Dewan Gereja-Gereja Dunia (DGD) dikeluarkan
pernyataan iman berikut: “Injil Kristen menciptakan
persekutuan. Injil tidak menciptakan agama Kristen
untuk menjadi sistim filsafat tetapi untuk menuju pada
pembentukan gereja, yaitu persekutuan individuindividu. Injil mengundang manusia pria dan wanita
dari berbagai macam keluarga, suku, bangsa, kasta,

Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 70,
72.
11

Gereja Lintas Agama

291

klas, partai, ras, kebudayaan menuju kepada satu
persekutuan baru…”12
Jadi, para pengikut Kristus tidak harus merasa
takut menjadi manusia dalam perjalanan keluar dari
kenyamaman agama Kristen untuk berjumpa dengan
orang dari agama lain dan membangun persekutuan
dengan mereka. Itu bukan perbuatan merusak
agamanya. Itu juga sama sekali bukan tindakan
melecehkan atau menciderai Kristus sebagai the only
way. Tidak! Kita justru melakukan perintah Kristus:
“Pergilah…!” Kita juga pergi demi Kristus, yakni
memperlihatkan kepada agama lain bahwa Kristus
memang unik, the only way. Tentu saja dengan caracara yang dapat diterima dan dipahami oleh penganut
agama lain. Kehadiran Kristen di dalam ruang
kehidupan agama-agama lain keberadaan Yesus
sebagai the only way menjadi makin aplikable.
Para pemikir kita bukan orang-orang yang
kompromistis. Mereka juga bukan orang-orang yang
menyangkali keberadaan Kristus sebagai the only way.
Justru karena mereka percaya bahwa Dia adalah the
only way itulah, mereka menyerukan kepada para
pengikut Kristus untuk keluar dari ghetto agama
Kristen.

Lihat juga Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama.
Di Manakah Kita Berada Kini. Jakarta: Lembaga Penelitian
12

dan Studi DGI. 1980. hlm 22.

292

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Membaharui Paham tentang Jatidiri dan Kehadiran
Gereja
Upaya para pemikir untuk membaharui paham
tentang Gereja dengan cara memanggil gereja keluar
dari ghetto membawa kita ke dalam dua pokok
penting yang patut kita perhatikan lebih detail.
Pertama tentang model gereja. Kedua tentang
pemisahan gereja dan agama Kristen.
Berkenaan dengan pokok pertama. Gereja
pernah dan masih dipahami sebagai tempat atau
gedung tempat di mana orang-orang yang percaya
kepada Kristus bersekutu dalam akta ibadah untuk
membesarkan Allah, sekaligus sebagai sarana kesaksian
kepada dunia dan sesama.13 Ini bukan gambaran
tentang yang salah. Meskipun begitu gambaran seperti
ini saja tidak utuh.
Gereja juga masih terus dipahami sebagai
orang-orang yang dipanggil Allah dari dunia dan
dihimpunsatukan sebagai umat baru. Persekutuan baru
itu terus-menerus belajar A, B, C, baru melalui aneka
bentuk disiplin, aturan dan perayaan-perayaan
keagamaan. Allah meminta umat baru itu untuk tidak
boleh menjadi serupa dengan dunia.
Gereja yang sama pernah dan masih terus akan
dipahami sebagai sebuah masyarakat yang teratur
rapih dengan perangkat aturan, keyakinan, ritus dan
Bandingkan lagu dalam Kidung Jemaat: “Gereja bukanlah
gedungnya….”
13

Gereja Lintas Agama

293

jabatan-jabatan yang oleh Avery Dulles dimasukkan
dalam model institusi. Dalam gambaran ini gereja
dimaksudkan sebagai sekolah untuk mengajarkan
kepada anggota-anggotanya kebenaran, sebagai rumah
makan atau rumah penginapan di mana anggotaanggotanya diberi makan dari sumber rahmat yang
menghidupkan. Gereja juga dianggap sebagai rumah
sakit tempat anggota-anggotanya memperoleh
kesembuhan dari penyakit-penyakit dan gereja juga
dimengerti sebagai rumah perlindungan (benteng)
terhadap serangan-serangan dari musuh jiwa.14
Para pemikir kita menghargai pandangan
umum ini. Tetapi mereka mengajak kita untuk
memahami gereja secara lebih luas. Itu karena mereka
yakin, sebagaimana yang ditegaskan juga dalam Konsili
Vatikan II bahwa Gereja tidak dapat sepenuhnya
dimengerti oleh pikiran manusia yang terbatas. Karena
itu pikiran-pikiran kita yang terbatas tentang gereja
harus terbuka kepada penjelajahan baru yang semakin
luas. Mereka mengajak kita untuk memahami sisi lain
dari gereja yang belum diakomodir dalam dua
gambaran di atas.
Ada dua situasi konkret kehidupan di Asia
yang membayang-bayangi nurani dan kalbu waktu
mereka menghayati dan mulai bertutur tentang gereja.
Kedua situasi konkret itu yakni kepelbagaian agamaagama sebagai realita yang satu-satunya ada di Asia
dan kemiskinan yang bukan hanya menjadi stigma
14

Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 39.

294

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

khusus bagi Asia. Berhadapan dengan dua situasi ini
para pemikir kita berbicara tentang gereja yang satu
dalam dua gambaran atau model sebagaimana yang
dipetakan oleh Avery Dulles. Model yang dimaksud
adalah gereja sebagai persekutuan mistik dan gereja
sebagai hamba.
Bagi mereka gereja bukan sekedar umat Allah
yang bersekutu di dalam dunia dan tidak boleh sama
dengan dunia dalam arti hidup dalam ghetto, terisolasi
dari lingkungan sekitar, atau membentuk sebuah pulau
tersendiri dalam dunia. Gereja memang adalah umat
milik Allah, ia berbeda dari masyarakat lain, tetapi dia
bukanlah masyarakat yang sempurna dan tanpa cacat.
Tidak!
Para pemikir kita membuka mata dan hati kita
untuk melihat bahwa umat baru yang dipanggil dari
dunia itu kemudian diutus Allah untuk kembali ke
dalam dunia. Gereja adalah orang-orang yang
dipanggil untuk bersekutu, tetapi kemudian disuruh
pergi, masuk ke dalam ruang hidup manusia dari
agama-agam lain untuk menjadi garam dan terang,
bukan untuk meminta mereka meninggalkan agama
mereka. Gereja disuruh pergi oleh Allah untuk masuk
ke dalam ruang hidup umat beragama lain untuk
membangun persaudaraan dalam menjalankan nilainilai moral yang mencerminkan wajah Allah walau

Gereja Lintas Agama

295

tidak sedikit pun melekat dalam diri mereka ritus-ritus
atau cara beragama Kristen.15
Akan halnya kata persekutuan yang selalu
melekat erat dengan istilah gereja, para pemikir kita
juga mengajak kita untuk memahami persekutuan
bukan sekedar sebagai sebuah pengalaman fisik atau
jika orang-orang percaya itu berkumpul di satu tempat
dan terikat pada sebuah institusi dengan perangkatperangkatnya secara ketat. Song misalnya berbicara
tentang hati yang dipenuhi cinta kasih kepada Allah
dan sesama yang nyata dalam perbuatan sebagai tanda
dari kekristenan yang sejati.
Dalam arti ini model pertama dari gereja yang
dikembangkan para pemikir kita dapat kita
kategorikan dalam model persekutuan mistik ala
Avery Dulles, atau yang kami sebut di sini gereja lintas
agama. Gereja tidak lagi dipandang sebagai institusi,
yakni persekutuan organis tetapi personalis, bukan lagi
persekutuan yang kelihatan (socio corporis) melainkan
kesatuan batin (mystici corporis).16 Gereja adalah satu
spirit kehidupan dalam penyerahan dan ketaatan
kepada Allah. Spirit itu menginspirasi banyak orang

Lihat juga Rikard Kristian Sarang. “Dialog Antaragama
Sebagai Model Penerimaan, Pengakuan Terhadap
Keberagaman Dalam Terang Pemikiran Paul F. Knitter.
Dalam: BERBAGI: Jurnal Asosiasi Perguruan Tinggi Agama
Katolik (APTAK). Volume 2 No. 1, Januari 2013. hlm. 85.
16
Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 45-58.
15

296

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

yang tersebar dalam banyak agama, bukan hanya
dalam kekristenan.
Pemaknaan ini hendak menekankan bahwa
persekutuan tidak sekedar berarti kesatuan fisik, tetapi
juga pertautan komitmen batin. Pak Gerrit dan Song
agama hati. Panikkar
menggunakan
istilah
menegaskan bahwa agama-agama bertemu di hati dan
bukan di otak.17 Orang yang percaya kepada Yesus
Kristus bisa saja tidak pernah bertemu dan ambil
bagian dalam persekutuan secara kasat mata. Masingmasing mereka bisa saja berpisah karena alasan tempat
atau waktu atau agama, tetapi hati mereka terikat
dalam kesatuan cinta kasih kepada Allah dan kepada
sesama bagi kebaikan bersama. Dia yang ada di agama
A selalu mengingat sesamanya yang ada di agama B
dan sebaliknya dalam upayanya untuk memahami
kebenaran dan mewujudkan kebenaran itu dalam
hidupnya.
Paham seperti ini rasanya tidak asing dalam
pemahaman keseharian warga gereja. Bukankah kita
juga menyapa orang-orang yang percaya kepada Yesus
di negeri Belanda umpamanya sebagai saudara, kita
mengingat mereka dalam doa-doa kita, menyiapkan
ruang dalam hati kita bagi mereka, padahal kita tidak
pernah bertemu mereka, bahkan kita juga tidak tahu
apakah tata cara dan tata laku mereka sebagai
ungkapan ibadah sama dengan yang kita jalani.
Raimundo Panikkar. The Unknown Christ of Hinduisme.
hlm. 43.
17

Gereja Lintas Agama

297

Dasar biblis dari model ini memang jelas.
Gereja sebagaimana yang disaksikan Alkitab pertamatama adalah persekutuan cinta kasih yang melampaui
batas-batas denominasi dan agama. Ia juga berguna
untuk usaha-usaha oikumene yang bertujuan
mengakhiri adanya permusuhan antara umat
beragama. Meskipun demikian ada juga kelemahan
dari model gereja sebagai persekutuan mistik yang
dikembangkan para pemikir kita.
Kelemahan utama dari paham gereja lintas
agama seperti yang eksplisit atau implisit digagas oleh
para pemikir itu berhubungan dengan fakta bahwa
tidak adanya persatuan yang nampak di antara orangorang yang percaya kepada Yesus. Persekutuan itu
adalah soal hati atau soal cara hidup. Avery Dulles
menulis: “Dituntut adanya persatuan yang nampak di
antara semua orang Kristen, karena tanpa persatuan itu
hakikat Gereja sebagai tanda atau persekutuan akan
terpecah menjadi suatu kejamakan tanda yang tidak
saling berhubungan satu dengan yang lain.”18
Berbicara tentang gereja sebagai persekutuan
mistik, yakni yang melampaui batas-batas organisasi
yang kelihatan memang memiliki manfaat seperti yang
sudah kami tunjukkan tadi. Tetapi jika tidak ada rantai
penghubung yang mengikat satukan orang-orang
percaya yang menyebar dalam berbagai agama, maka
gereja lebih menjadi sebagai sebuah tubuh yang mati,
tanda yang tidak asli, sakramen yang fiktif. Bukankah
18

Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 65.

298

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

gereja bukan sekedar sebuah persekutuan dengan
Tuhan, tetapi juga dengan sesama secara kasat mata?
Kami memang tidak keberatan dengan paham
tentang gereja yang lintas agama, dalam arti pengikut
Kristus boleh tetap tinggal dalam agamanya,
betapapun itu agama yang non Kristen. Tetapi bagi
kami perlu ada sesuatu yang berfungsi sebagai mata
rantai yang mengikat satukan para pengikut Kristus
lintas agama itu. Jika tidak ada rantai itu, kemuridan
mereka adalah identitas yang palsu. Jalan keluar yang
kami usulkan sebagai mata rantai akan kami jelaskan
dalam sub judul di bawah.
Pemaknaan gereja sebagai persekutuan mistis,
yakni persekutuan hati atau agama hati juga mendapat
keberatan bahkan penolakan. Pandangan Panikkar
tentang adanya gereja dalam agama Hindu, bahkan
agama Hindu sendiri harus dipahami sebagai sakramen
Kristen dianggap sebagai yang akan membuat gereja
menguap menjadi semacam kehadiran universal
sehingga kekristenan kehilangan ciri khasnya.19
Kritik ini menurut pandapat kami meleset
secara metodologi dan bahkan tidak memiliki dasar
eklesiologis yang kuat. Kami sebut meleset secara
metodologis karena para pemikir kita justru sejak awal
membuat pemisahan antara gereja dan agama Kristen.
Kritik di atas justru menyatukan begitu saja gereja dan
Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. Jalan
Keselamatan Satu-satunya. Jakarta: Yayasan Komunikasi
19

Bina Kasih /OMF. 2003. hlm. 29.

Gereja Lintas Agama

299

agama Kristen. Itu nampak dalam kalimat: “Gereja
menguap menjadi semacan kehadiran universal
sehingga kekristenan kehilangan ciri khasnya.”
Kritik ini pada saat yang sama lemah
pendasaran eklesiologisnya. Betapa tidak kehadiran
gereja sebagai satu realita universal dianggap sesuatu
yang membuat kekristenan kehilangan ciri khasnya.
Padahal dalam eklesiologi salah satu ciri gereja,
sebagaimana yang ditetapkan dalam pengakuan iman
Kristen adalah am, katholik yang berarti gereja itu ada
di mana-mana, untuk segala makluk, gereja itu
universal. Dengan kata lagi, gereja barulah gereja kalau
dia universal, ada di mana mana, seperti Kristus adalah
Tuhan yang hadir di mana-mana.20

Model kedua dari gereja yang digumuli para

pemikir kita adalah sebagai hamba. Waktu berbicara
tentang Gereja bagi Orang Lain, Yewangoe dan pak
Gerrit menekankan pentingnya gereja membuka diri,
solider
dengan
nasib
bangsa.
Yewanggoe
menggunakan ungkapan: gereja jangan menghetto.
Sedangkan pak Gerrit memakai frasa: menguak isolasi
membangun relasi. Menjadi gereja bagi orang lain
patut ditunjukan dengan tidak serta merta
mengungkapkan diri sebagai ecclesia triumphant

G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 279.
20

300

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

(gereja yang menang), melainkan ecclesia servant
(gereja yang melayani).21
Pak Gerrit berbicara tentang presensia gereja
dalam kehidupan masyarakat bukan dalam bentuk
verbal melainkan tindakan konkret. Presensia itu, kata
pak Gerrit harus ditunjukkan dengan pelaksanaan
diakonia yang kontekstual, yang dia pahami sebagai
church of the poor, bukan sekedar church for the

poor.22

Gereja sebagai hamba memang tidak secara
langsung mempunyai dasar dalam Alkitab. Namun,
madah Hamba Tuhan dalam kitab Yesaya dan contoh
kehidupan pelayanan yang ditunjukkan Yesus sebagai
yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani
dapat merupakan fondasi yang kuat bagi pamahaman
ini.23 Bukankah Perjanjian Baru tak segan-segan
menerapkan nyanyian Hamba Tuhan itu kepada
Yesus, dan bukankah Gereja disebut sebagai Tubuh
Kristus?
Gereja sebagai hamba bukan hanya menarik
perhatian kita untuk memberi perhatian pada
keterhubungan iman gereja dengan Tuhan, tetapi juga
pada keterhubungan sosial dan kemasyarakatan dari
gereja. Sisi vertikal dan horizontal dari gereja
Andreas Yewangoe. Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang.
hlm. 8.
22
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 24.
23
Bandingkan Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 93.
21

Gereja Lintas Agama

301

mendapat tekanan yang berimbang, yakni gereja ada
bukan hanya untuk Tuhan dan sorga, tetapi juga untuk
sesama dan dunia. Gereja adalah agen Allah dalam
sejarah untuk membangun dunia dan manusia seturut
dengan nilai-nilai yang dimaklumkan Allah.
Penekanan ini patut diperhatikan dan menjadi sangat
penting dalam realitas Indonesia dan Asia pada
umumnya yang ditandai oleh kemiskinan yang
menyolok dan aneka bentuk ketidakadilan serta
penindasan.24
Kelemahan
yang
terkandung
dalam
pemahaman tentang gereja sebagai hamba ialah bahwa
sering gereja dijadikan alat pekabaran injil atau
sebagaimana yang ditolak para pemikir kita, terutama
Yewanggoe dan pak Gerrit yakni upaya mensubordinasikan diakonia di bawah marturia.
Berkaitan dengan hal kedua, para pemikir kita
dengan tegas menunjukkan kepada kita bahwa ada
perbedaan antara gereja dan agama Kristen. Tentu saja
mereka mengakui adanya hubungan antara gereja dan
agama Kristen, tetapi mereka tidak setuju untuk
menyamakan begitu saja keduanya. Pak Gerrit
berbicara tentang agama skriptural dan agama
substansial. Panikkar umpamanya mengatakan bahwa
kekristenan dapat dialami dalam dua cara: sebagai

Eben Nuban Timo. Anak Matahari. Teologi Rakyat
Bolelebo Tentang Pembangunan. Maumere: Penerbit
24

Ledalero. 1994.

302

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

agama yang secara natural sama dengan agama lain
dan sebagai sebuah perwujudan konkret dari iman.
Gereja sebagaimana yang dipahami para
pemikir kita bukan sekedar gereja tanpa dinding,
tetapi gereja lintas agama, gereja ada dalam berbagai
agama, secara khusus dalam agama Hindu dua cara
memahami kekristenan ini juga berlaku bagi agamaagama lain.25
Para pemikir kita melakukan upaya yang kami
dereligiolatreisme,
satu
upaya
untuk
sebut
membebaskan orang percaya, secara khusus para
pengikut Kristus dari penyembahan atau pemutlakan
terhadap agama. Bagi mereka agama tidak memberikan
keselamatan. Juruselamat manusia bukan agama tetapi
Allah. Agama adalah wadah yang di dalamnya manusia
merayakan keselamatan yang dikaruniakan Allah.
Di sorga tidak ada agama, termasuk juga agama
Kristen. Agama hanya diperlukan selama manusia ada
di bumi. Yesus juga bukan seorang Kristen. Secara
religius dia beragama Yahudi, karena dia menjalankan
dengan saksama semua ketentuan agamaNya, tetapi
pada saat yang sama Ia menunjukkan diri sebagai yang
lebih besar dari agama Yahudi. Jadi agama memang
diperlukan tetapi tidak boleh diperilah atau
dimutlakan. Yang harus dimutlakan justru adalah
cinta-kasih, yakni cinta kasih seperti yang dinyatakan
Allah di dalam Kristus.
Raimundo Panikkar. The Unknown Christ of Hinduisme.
hlm. 4.
25

Gereja Lintas Agama

303

Atas dasar ini Albert Nolan menegaskan
bahwa kalau toh akhirnya kita diminta menunjukkan
apa agama Yesus, maka jawabannya adalah cinta kasih.
Agama Yesus adalah cinta kasih, belas kasihan atau
solidaritas.26 Agama apa saja akan menjadi agama Yesus
kalau agama itu dijiwai oleh cintai kasih kepada Allah
dan sesama dan cinta kasih ini menjadi keprihatinan
utamanya.
Rekonsiderasi Arti Pertobatan
Hal penting berikut yang menjadi pokok
pergumulan para pemikir kita adalah mengenai
hakikat dan arti pertobatan. Mereka sepakat bahwa
pertobatan adalah aturan dasar dari setiap pekerjaan
misi atau pekabaran ini. Tetapi semua mereka tidak
sepakat jika pertobatan dipahami dalam pengertian
tradisional, yakni seseorang harus melakukan
pemutusan hubungan secara radikal dengan hal-hal
yang menjadi akar kepribadiannya dan pemberi
identitas kehidupannya, seperti agamanya dan
keluarganya.
Pertobatan seperti itu bersifat dangkal. Karena
itu mereka mengajak kita untuk memaknai pertobatan
dalam pengertian yang lebih dalam dan fundamental.
Yewangoe memahami pertobatan sebagai yang
mencakup
juga
komitmen
seseorang
untuk
Albert Nolan, Op. Yesus bukan Orang Kristen?
Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2005.
26

304

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

menghubungkan lagi dirinya dengan Allah yang hidup
dan berada dalam persekutuan yang kokoh dan
harmonis dengan sesama manusia dan seluruh alam
ini. Song memahami pertobatan sebagai pembaharuan
dan pendalaman wawasan, cara pandang, penghayatan
dan pengalaman iman. Panikkar memahami
pertobatan sebagai transformasi pemahaman tentang
Allah dan penghayatan religius.
Kalau kita memeriksa kesaksian Alkitab
tentang pertobatan kita menemukan di situ nuansa
pengertian yang sama. Kisah pertemuan Petrus dan
Kornelius adalah contoh yang baik bagi pemaknaan
pertobatan dalam arti yang baru tadi. Petrus
membaharui dan memperdalam cara pandangnya
terhadap karya Allah di medan sejarah, secara khusus
dalam lingkungan orang-orang yang dalam pandangan
agamanya dianggap kafir. Petrus tidak berpindah ke
agama baru, tetapi menjalani format ulang iman dan
teologi.
Paul Löffler yang melakukan sebuah penelitian
yang saksama terhadap arti kata conversi dan
repentance dalam Alkitab menunjukan kepada kita
bahwa pemahaman Kristen tentang pertobatan
sebagaimana yang menyertai perjalanan gereja
sepanjang sejarahnya telah seringkali disalahpahami
bahkan juga disalahgunakan, baik untuk kepentingan
politik maupun juga untuk pekabaran injil.27
Paul Löffler. “The Biblical Concept of Conversion.” Dalam
Gerald H. Anderson & Thomas F. Stransky. Mission Trends
27

Gereja Lintas Agama

305

Dia menunjukkan kepada kita bahwa dalam
Perjanjian Lama dua kata ini berhubungan dengan
istilah Ibrani shubh, yang artinya berbalik atau
kembali. Istilah ini muncul dalam konteks perjanjian.
Jadi bertobat sama sekali tidak menunjukkan tindakan
berbalik kepada sesuatu yang sama sekali baru,
melainkan kembali kepada perjanjian yang diikat
dengan Allah di Sinai (The Biblical Concept of
Conversion: 27).
Dengan demikian kata bertobat adalah seruan
kepada orang Israel, umat perjanjian dan bukan kepada
bangsa-bangsa lain. Mereka ini dipanggil untuk
berbalik kepada Allah, bukan kepada ritus atau ritual
keagamaan (Hos. 12:6). Pertobatan juga lebih dipahami
sebagai sikap pikiran dan sikap hati (I Raja 8:48).
Dalam Yeheskiel bertobat artinya memperoleh hati
dan roh yang baru (Yeh. 18:31).
Bertobat artinya pembaharuan hati dan
pikiran. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia hanya
berhubungan dengan kepercayaan metafisik yang
teoritis, verbal dan abstrak. Bertobat punya sangkut
paut erat dengan pembaharuan sikap hidup di tengah
masyarakat. Bertobat memiliki dampak sosial
kemasyarakat yang teramati seperti melakukan

No. 2. Evangelization. New York: Paulist Press. 1975. hlm.

24-44. Kutipan selanjutnya dari tulisan ini akan kami
cantumkan dalam batang tubuh teks dengan memberi tanda
kurung terhadap judul artikel dan halaman .

306

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

keadilan dan kebenaran (The Biblical Concept of
Conversion: 29).
Dalam Perjanjian Baru istilah Ibrani, shubh
dialihkan dalam dua kata Yunani: epistrephein dan
metanoeien. Kata pertama sering lebih mengandung
makna perubahan kiblat manusia secara fisik
sementara kata kedua menunjuk kepada mengubah
pikiran atau pendapat (The Biblical Concept of
Conversion: 31).
Dalam ketiga kitab Injil Sinoptis kata
metanoeien dipakai untuk berbalik kepada Kristus
(Mk. 1:4). Dalam kitab Yohanes dan surat-surat
Yohanian metanoeien diberi makna kelahiran kembali
yang sama artinya dengan mengenakan manusia baru
dalam surat-surat Paulus. Menurut surat-surat Petrus,
kata bertobat dihubungkan erat dengan pengudusan
(sanctivication), yakni bagaimana seseorang hidup
dalam kekudusan di hadapan Allah dan sesama yang
nampak dalam pembersihan pikiran dan pengdusan
tingkah laku kehidupan ( I Pet. 1:13-15; The Biblical
Concept of Conversion: 32-8).
Jadi bertobat sebagaimana disaksikan Alkitab
lebih merupakan sebuah tindakan pembaharuan hati
dan pemikiran yang semula berorientasi pada diri
sendiri menjadi berorientasi kepada Allah, yang
kemudian dinyatakan dalam pembaharuan modus
kehidupan
di
tengah
masyarakat
dengan
memperhatikan nilai-nilai kekudusan, kebenaran,
keadilan, kejujuran, kerendahan hati, kasih,
Gereja Lintas Agama

307

pengampunan dst. Bertobat sebagai sebuah akta
perpindahan dari satu agama ke agama lain bukan
merupakan pokok kesaksian Alkitab yang mendasar.
Pertobatan tidak punya hubungan dengan
perpindahan agama. Ia lebih menunjuk pada
perubahan atau pembaharuan pemahaman terhadap
hal-hal yang sudah ada. Pembaharuan itu terjadi
karena adanya perjumpaan atau relasi yang personal
dengan Allah di dalam Kristus. Itu sebabnya, istilah
bertobat adalah pertama-tama bagi orang-orang yang
sudah memiliki relasi dengan Allah. Berpindah agama
tanpa disertai perubahan pemahaman tentang Allah
dan tanpa pembaharuan sikap hidup di tengah
masyarakat adalah ibarat membungkus tinja dengan
kertas kado.
Hakikat Baptisan Sebagai Sakramen
Pokok penting berikut yang mengemuka
dalam diskusi para tokoh tentang perubahan
paradigma misi gereja adalah mengenai paham tentang
baptisan. Tentang pokok ini pemikir-pemikir kita
terbagai dalam hal pemahaman. Yewangoe dan Song
tidak menyinggung tentang soal itu. Sementara pak
Gerrit secara eksplisit menegaskan perlunya baptisan
bagi seorang pengikut Kristus. Tetapi dia melanjutkan
bahwa baptisan itu lebih dari sekedar pencatatan nama
seseorang sebagai anggota dari gereja institusional.
Nabeel Jabbour menekankan pentingnya
pendalaman pemahaman terhadap Injil yang secara
308

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

implist mengandaikan perlunya baptisan. Sementara
Panikkar sepertinya merasa sakramen Kristen yang
disebut baptisan tidak diperlukan karena agama Hindu
sendiri adalah sakramen bagi orang Hindu. Belajar dari
Paulus, pak Gerrit menegaskan bahwa baptisan tidak
selalu bermuara pada keanggotaan gereja secara
institusional dan belum tentu juga dapat dijadikan
dasar atau diidentikan dengan kristenisasi. “Mula-mula
baptisan tidak punya sangkut paut dengan
keanggotaan.”28 Baptisan sejatinya menunjuk kepada
penyatuan hidup seseorang dengan kehidupan Kristus.
Allah adalah pribadi yang besar, lebih besar
dari semua gagasan, pemikiran dan pemahaman kita
tentang diriNya. Para pemikir kita sepakat akan hal
yang satu itu. Ini sebabnya mereka meminta kita
untuk terbuka kepada karya-karya Allah yang besar
itu. Allah tidak bisa kita batasi atau kurung dalam
paham dan pemikiran kita yang terbatas.
Memang kalau kita memperhatikan kesaksian
Perjanjian Baru, Yesus tidak pernah membaptis. Itu
berbeda dengan Yohanes. Kenyataan ini bisa dipakai
untuk merelatifkan baptisan bagi mereka yang menjadi
pengikut Yesus. Kalau toh itu yang terjadi, kami
menganggap pemahaman itu bersifat premature.
Mengingat di penghujung pelayanan duniawinya,
Yesus memberi perintah kepada murid-murid untuk
membaptis (Mt. 28:19-20).
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 79.
28

Gereja Lintas Agama

309

Karena itu bagi kami baptisan penting
diberikan kepada orang-orang yang meresponi
panggilan Injil untuk menjadi murid Tuhan, sekaligus
sebagai tanda dan meterai dirinya sebagai warga
gereja. Selanjutnya, kami setuju dengan pak Gerrit
yang berpendapat bahwa mulanya baptisan tidak
punya sangkut paut dengan keanggotaan dari satu
agama. Baptisan lebih menunjuk kepada penyatuan
hidup seseorang dengan kehidupan Kristus.
Hal ini juga ditegaskan oleh Paul Löffler yang
melakukan investigasi mendalam terhadap arti kata
bertobat dalam Alkitab. Menurut dia, kata bertobat
seperti yang ditegaskan dalam Alkitab, secara khusus
Perjanjian Baru menunjuk kepada penyatuan
seseorang ke dalam tubuh Kristus. Karena itu kata
bertobat dan memberi diri dibaptis selalu mencul
bersama-sama. Dalam arti ini baptisan menunjuk
kepada penyatuan seseorang dengan Kristus (Rom. 6:34).29
Jadi murid Kristus bisa tetap tinggal dalam
agama di mana dia dibesarkan tetapi dia harus dibaptis.
Baptisan adalah perlu dan wajib. Tetapi menjadi
anggota dari agama Kristen secara organisasional
bukanlah sebuah keharusan. Murid Kristus tidak selalu
harus adalah orang beragama Kristen (Bdg. Mk. 9:3940).

Paul Löffler. The Biblical Concept of Conversion. hlm.
42.
29

310

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Persoalan
menjadi
rumit
jika
kita
memperhatikan hal berikut ini. Baptisan, menurut
Jurgen Moltmann adalah tanda eskatologis dari awal
sebuah eksodus dari kehidupan yang berorientasi pada
diri sendiri (ego-sentris) untuk memulai satu
kehidupan yang berorientasi pada Kristus dan sesama
(kristo-sentris).30 Ini berarti bahwa baptisan masih
harus diikuti dengan komitmen untuk menjalani
kehidupan percaya (kemuridan) seturut kehendak
Allah.
Kita semua tahu bahwa kuat lemahnya
komitmen untuk menjalani kehidupan sebagai murid
Kristus ikut juga ditentukan oleh faktor lingkungan.
Nah, jika seorang yang dibaptis tetap tinggal dalam
agamanya semula dan terus melakukan ritual
kehidupan menurut ketentuan yang berlaku dalam
agama itu dan pada saat yang sama kontak dengan
sesama warga gereja melemah, apakah itu tidak
berbahaya bagi pembentukan dirinya sebagai murid
Kristus?
Chris Wright membantu kita merumuskan
pertanyaan ini secara tajam.31 Dia bertanya: “Apakah
orang boleh menyembah dan berhubungan secara
pribadi dengan Allah yang benar dan hidup, tapi di
bawah nama atau nama-nama dewa lokal dan tanpa
mengetahui nama Allah yang memberi keselamatan
dan yang bertindak dalam Kristus? Belajar dari kisah
30
31

Jürgen Moltmann. (1977). The Church ... hlm. 243.
Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 77.

Gereja Lintas Agama

311

Abraham, Isak dan Yakub serta Israel setelah mereka
menetap di Kanaan, jawaban yang diberikan Chris
Wright adalah sebagai berikut.

Pertama, seseorang tidak bisa menyembah dan
berhubungan secara pribadi dengan Allah yang benar
dan hidup di bawah nama dewa-dewa lokal dan tanpa
mengetahui nama Allah yang hidup. Pengalaman
bapak leluhur Israel menunjukkan bahwa mereka
memang menyembah Allah yang hidup dengan
menggunakan nama El, dewa lokal Kanaan. Allah yang
hidup juga memperkenalkan diri kepada Abraham
dengan menggunakan nama El. Itu tidak bermaksud
mengesahkan agama El dan kuil-kuilnya. Tetapi Allah
melakukan itu untuk mengantar Abraham dan
keturunannya untuk keluar dari semua itu dan
bergerak menuju hubungan pribadi dengan Allah dan
untuk mengenal sepenuhnya nama dan sifat Allah
yang sesungguhnya.32 Kami setuju dengan jawaban ini.
Jadi, membangun hubungan penyembahan
dengan Allah yang hidup dengan menggunakan nama
dewa lokal bisa, tetapi itu harus didasarkan atas dan
berproses dalam pengenalan akan nama dan sifat-sifat
Allah yang hidup seperti yang dinyatakan di dalam
Kristus. Pengenalan ini berguna untuk membersihkan
paham-paham dalam dewa lokal dan semua ritus dan
ajarannya dari unsur-unsur yang telah dicemari dosa
sekaligus membuka paham dan ritus-ritus itu untuk

32

Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 79.

312

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

nilai-nilai dan paham-paham yang lebih luas, dalam
dan berkeadaban.33
Raimundo Panikkar telah melakukan upaya
ini. Dia menunjukkan kepada kita bahwa Isvara, yang
oleh orang Hindu dikenal sebagai Tuhan adalah nama
dari orang Hindu kepada Kristus. Begitu juga Brahman
adalah tidak lain dari Allah yang oleh orang Kristen
adalah pribadi pertama dalam Tritunggal. Raimundo
Panikkar tidak sendiri untuk usaha ini. Ia mempunyai
banyak teman baik yang melakukan hal yang sama,
yakni membangun hubungan penyembahan dengan
Allah yang hidup dengan menggunakan nama dewa
lokal, tentu saja didasarkan atas dan berproses dalam
pengenalan akan nama dan sifat-sifat Allah yang hidup
seperti yang dinyatakan di dalam Kristus.
Kita lihat itu misalnya dalam penyembahan
kepada Allah di bawah nama Mula Jadi Na Bolon di
lingkungan orang Kristen Batak atau Allah dengan
nama Uisneno di kalangan suku Meto warga Gereja
Masehi Injili di Timor. Waktu Injil di perkenalkan
untuk pertama kali kepada suku Sawi di pedalaman
Papua, Don Richardson menggunakan ungkapan Sawi:
Myao Kodon (Roh yang terbesar) untuk

Mengatakan ini kami teringat penggunaan nama-nama
dewa lokal seperti Uisneno, Mula Jadi Na Bolon oleh gereja
lokal di Indonesia dalam penyembahan kepada Allah yang
mereka kenal dalam Yesus Kristus.
33

Gereja Lintas Agama

313

memperkenalkan Allah di dalam Kristus. Sedangkan
nama untuk Yesus yang dia pakai adalah Tarop.34
Kitab Injil Yohanes merupakan dokumen
kanonik Kristen untuk soal ini. Penulis kitab Injil
keempat ini tidak segan-segan menggunakan istilah
logos untuk Firman dan juga Yesus Kristus. Semua kita
tahu bahwa logos adalah istilah teknis dalam filsafat
Yunani yang muncul sebanyak 1300 kali dalam karya
Philo yang menunjuk pada daya kosmik dalam alam
menggerakkan semua yang ada, padahal filsafat pada
waktu itu dianggap sebagai produk kekafiran.35
Adalah tidak adil kalau kita mengutuk upaya
Raimundo Panikkar dan menyatakan pekerjaannya
sebagai ajaran sesat atau sebuah sinkretisme,
menisbikan Yesus sementara penamaan Allah sebagai
Mula Jadi Na Bolon, Uisneno, Myao Kodon dan Yesus
sebagai Tarop serta logos untuk Firman Allah dalam
kitab Injil Yohanes kita anggap sebagai sebuah prestasi
misi yang penuh makna. Jangan-jangan itu kita
menyerang Raimundo Panikkar karena dia satu orang,
sedangkan yang lainnya kita biarkan karena jumlah
mereka mencapai jutaan.

Kedua, Chris Wright mengesankan bahwa si

pengikut Kristus boleh tetap tinggal dalam agama
Don Richardson. Anak Perdamaian. Bandung: Kalam
Hidup. 1974. hlm. 172, 241.
35
William Hendriksen. New Testament Commentary: The
Gospel of John. Grand Rapids - Michigan: Baker Book
House. 1988. hlm. 69-70.
34

314

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

semula, tetapi hanya sebagai sebuah solusi temporer.
Artinya si murid harus melihat itu sebagai persiapan
untuk beralih secara definitif ke dalam agama Kristen.
Kami menyatakan penolakan terhadap pendapat ini,
karena ia berangkat dari asumsi bahwa agama Kristen
lebih unggul, benar dan sempurna. Konsep ini
mengandaikan keberadaan agama Kristen dan agamaagama non-kristen dipahami dalam paradigm benar-

salah, terang-gelap, alami-ilahi, persiapan-pemenuhan,
benih-pertumbuhan, paradigm yang sudah kita tolak

dalam uraian sebelumnya.
Bagi kami, yang bersangkutan dapat tetap
untuk seterusnya tetap dalam agamanya, tetapi dia
harus selalu ambil bagian secara regular dalam ibadah
dan perayaan-perayaan persekutuan Kristen untuk
mengisi pundi-pundi imannya dengan air yang diambil
dari gunung batu Golgota dan taman Yusuf Arimatea
supaya membersihkan dan menyuburkan imannya dan
berbagai hal dalam agamanya. Si murid Kristus tidak
bisa terus mengurung diri dalam agamanya dan
menjalani semua ritus dalam agamanya seolah-olah
tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Kalau itu yang
dia lakukan maka keberadaannya sebagai murid
Kristen akan menguap dan persekutuannya dengan
Kristus yang dimeteraikan dengan baptisan akan
melemah. Tidak! Si murid tidak boleh mengurung diri
dalam agamanya. Ia harus senantiasa menjadi manusia
eksodus, manusia dalam perjalanan.
Kalau seorang murid Kristus yang agama
Kristen harus berada dalam perjalanan ke ruang hidup
Gereja Lintas Agama

315

agama-agama lain untuk belajar memahami dan
mengerti perasaan-perasaan religius terdalam dari
orang-orang dari agama lain agar ia bisa
memperkenalkan Kristus secara lebih efektif kepada
mereka, maka murid Kristus yang beragama lain harus
selalu menemukan dirinya dalam perjalanan ke dalam
agama Kristen untuk memperkuat komitmen
kehidupannya sebagai murid, mendalami maknamakna terdalam dari iman kepada Kristus di dalam
persekutuan Kristen. Hanya dengan cara ini hubungan
pribadinya dengan Allah yang hidup akan dapat
bertumbuh sesuai dengan kepenuhan kristus sekaligus
dia memperoleh perspektif yang luas dan dinamis
untuk membersihkan elemen-elemen diabolik yang
bekerja dalam agamanya.
Ini bukan sinkretisme seperti yang suka
dituduhkan oleh pihak-pihak yang sulit menerimanya.
Terhadap tuduhan ini, pleno Persidangan Dewan
Gereja-Gereja se-Dunia di Nairobi menegaskan hal
berikut ini: “Dialog sama sekali tidak merupakan suatu
percobaan bari sinkretisme, melainkan dapat membela
dari padanya, sebab dalam dialog kita mengenal
kepercayaan orang lain itu sedalam-dalamnya.
Kepercayaan kita sendiri dengan demikian diuji,
diperhalus dan diperkuat.”36

Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm
19.
36

316

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Dialog Sebagai Misi
Ada pendapat di kalangan orang beragama
Kristen, sebagaimana disinyalir oleh Chris Wright
bahwa dialog yang dipahami sebagai misi adalah
bertentangan dengan kitab suci, suatu pengkhianatan
terhadap misi, upaya perelatifan Yesus dan
penghancuran kekristenan serta merupakan bentuk
halus dari sinkretisme.37 Murid Kristus yang sejati,
warga gereja yang dilahirkan kembali yang ditandai
dengan pengurapan khusus oleh Roh Kudus (second
blessing) harus menafikan dialog. Orang Kristen harus
mengatakan tidak terhadap pemahaman tentang misi
sebagai dialog.
Pada pihak lain, para pemikir kita yang
notabene tidak diragukan komitmennya imannya
kepada Kristus dan integritas kekristenannya justru
berdiri di barisan terdepan untuk mendorong dialog
yang mereka pahami sebagai perwujudan dari tugas
misi. Mereka lakukan ini sebagai teladan yang patut
dipanuti oleh gereja dan setiap murid Kristus. Bagi
mereka, dialog bukan pengkhianatan terhadap misi
dan perelatifan Yesus.
Persoalan teologi yang patut kita pecahkan
sekarang ialah benarkah dialog adalah menghianati
misi, melembutkan kekristenan dan menisbikan Yesus
sehingga harus ditolak? Dalam paragraph selanjutnya,
Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 14.
Lihat juga Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama.
hlm 44.
37

Gereja Lintas Agama

317

kita akan mendiskusikan secara agak detail hakikat
misi, dialog dan hal-hal yang berkatian dengannya.
Kita akan mulai dengan memahami hakikat
misi. Selanjutnya, dialog sebagai misi dan manfaat
dialog.

Pertama, hakikat misi. Dalam sidang raya
Dewan Gereja-Gereja Dunia tahun 1975 di Nairobi
yang disebut-sebut sebagai menandai permulaan babak
dalam sejarah misi, yakni dialog, gereja-gereja
merumuskan paham tengang misi sebagai berikut:38
Gereja yang mengabarkan Injil sendiri pun perlu
diinjili dalam arti bahwa pengetahuan dan pengalaman
tentang Yesus Kristus dan InjilNya diperdalam oleh
jawaban mereka yang menjadi sasaran dalam
pemberitaan Injil itu. Hal ini benar juga karena Kristus
yang menjadi isi dari pemberitaan dan pengakuan kita
adalah lebih besar dari pada pengetahuan dan
pengalaman kita dengan Dia. Melihat dan menjelaskan
kehadiranNya dalam kepercayaan dan pengalaman
orang lain merupakan pula sebagian dari kesaksian kita
terhadapNya. Oleh sebab itu sebaiknya bahwa mereka
yang memberitakan Kristus kepada orang-orang yang
lain kepercayaannya, punya kemauan dan kesediaan
agar mereka pun belajar tentang kegenapan Kristus
sambil mendengar apa yang dikemukakan oleh orang-

Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm
18.
38

318

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

orang lain dalam pengakuan kepercayaan mereka
sendiri.
Dua hal penting dapat kita catat dalam
pernyataan ini. Pertama, misi bukan hanya satu
pekerjaan yang bersifat satu arah, yakni Gereja
menjumpai
manusia
non-kristen
untuk
memperkenalkan Yesus. Tentu saja itu bagian dari
misi, tetapi misi baru lengkap apabila gereja juga siap
mendengar bagaimana tanggapan atau jawaban dari
mereka yang menjadi sasaran misi tentang Yesus dan
Injil. Kedua, dalam pekerjaan misi gereja tidak hanya
datang untuk mengajar orang-orang yang lain
kepercayaannya. Gereja juga harus mau dan sedia
untuk belajar dari mereka tentang bagaimana mereka
memahami kegenapan Kristus seperti yang terungkap
dalam kepercayaan dan pengakuan mereka.
Misi karena itu merupakan sebuah komunikasi
atau kesaksian tentang Kristus dan Injil yang bersifat
dua arah, dialogis. Orang Kristen dan non-kristen
sama-sama belajar melihat dan menjelaskan kehadiran
Allah dalam kepercayaan dan pengalaman agama
sendiri maupun agama orang lain. “Sebab hanya
melalui dialog semacam ini kita dapat bertumbuh
dalam kehadiran Kristus dan memperdalam serta
memperluas katolisitas (sifat am) dari gereja.”39

Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm
18.
39

Gereja Lintas Agama

319

Kiranya menjadi jelas bahwa misi sebagai
dialog bukan penghianatan terhadap misi, menisbikan
Kristus dan melemahkan kekristenan. Misi sebagai
dialog justru mempertegas keunikan Kristus dan
memperkuat kekristenan. Kristus ternyata unik karena
Dia hadir dan dialami juga oleh orang-orang yang lain
kepercayaanNya dengan kita. Gereja diperkuat karena
dengan dialog menjadi nyata bahwa gereja adalah
katholik, am, kehadirannya melintasi batas agama
Kristen.

Kedua, dialog sebagai misi. Dalam sejarah

kekristenan, terutama dalam hal pelaksanaan amanat
pemberitaan Injil yang diberikan Kristus kepada para
rasul yang adalah cikal bakal gereja, misi pernah
dipahami sebagai sebuah tindakan komunikasi satu
arah, atau yang disebut monolog. Para pewarta injil
pergi ke negeri yang jauh. Mereka tidak merasa perlu
mendengar apalagi mempelajari sejarah hidup dan
pengalaman-pengalaman religius orang-orang yang
mereka jumpai. Semua itu dianggap tidak penting.
Kosuke Koyama menyebut model ini teacher

complex.40

Para pewarta Injil tidak ingin membiarkan
orang yang mereka temui berbicara tentang
penderitaan dan ketakutan, tentang harapan dan
Kosuke Koyama. Christianity suffers from “Teacher
Complex.” Dalam: Gerald H. Anderson dan Thomas F.
Stransky. Mission Trends No. 2. Evangelixation. New York:
Paulist Press. 1978. hlm. 71.
40

320

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

kerinduan mereka akan Allah. Para pewarta injil lebih
suka orang-orang itu mendengarkan mereka, bahkan
sekalipun kadang-kadang apa yang mereka sampaikan
tidak dipahami oleh para pendengar-pendengarnya.
Inilah salah satu model misi yang pernah dan bahkan
masih dijalani gereja dalam perjumpaan dengan
saudara-saudaranya yang non-kristen.
Choan-seng Song mencirikan praktek ini
dengan gambaran Adam di Eden yang diberi kuasa
untuk memberi nama kepada semua realitas yang ada,
padahal gereja sudah hidup di jaman edan yang tidak
lagi berhadapan dengan kenyataan yang tanpa nama,
tetapi yang telah penuh dengan nama-nama sehingga
sikap yang tepat bukan lagi memberi nama-nama
melainkan mengenali nama yang sudah ada untuk
mengerti dan menghayati artinya yang mendalam.41
Kosuke Koyama menyebut misi yang monologis ini
dengan beberapa istilah yang mengandung makna
mendalam: model meludahi orang lain, model
penerapan langsung, atau teacher-complex.
Para pemikir kita sepakat bahwa model misi
yang monolog bukan hanya telah ketinggalan jaman.
Model ini juga yang menjadi penyebab pemahaman
yang dangkal terhadap Injil dan kemuridan akan
Kristus yang dipaksakan. Yang paling mendasar dari
keberatan mereka ialah bahwa model monolog itu
tidak sesuai dengan pola misi, pewartaan Injil yang
dijalani Yesus dan Paulus.
41

Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 9.

Gereja Lintas Agama

321

Kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa Yesus
memang memberi perintah kepada murid-murid
untuk pergi, mengajar dan memuridkan semua bangsa.
Tetapi perintah itu didahului dengan panggilan kepada
murid-murid untuk belajar dari Yesus, dari sesama dan
juga dari alam. Mengajarkan Injil kepada orang lain
barulah terjadi setelah murid-murid belajar bagaimana
para pendengarnya memahami Injil itu.
Yesus sendiri tidak mengharamkan dialog.
Ketaatan Yesus akan pengutusan diriNya (misio dei)
oleh Sang Bapa diwujudkan dalam upaya yang tidak
henti-henti untuk melakukan dialog dengan orangorang yang Dia temui.42 Yesus memang mengajar dan
memanggil orang yang ditemuiNya kepada pertobatan.
Panggilan itu dilakukan melalui satu proses
percakapan, diskusi dan dialog yang intens. Itulah
yang terjadi misalnya dengan Nikodemus (Yoh. 3),
perempuan Samaria (Yoh. 4), Zakheos (Lk. 19).
Yang kami mau katakan melalui konsiderasi
ini adalah bahwa pertama, Yesus sendiri m