BOOK Ebenhaizer I Nuban Timo Gereja Lintas Agama BAB II

BAB II
Menguak Isolasi Menjalin Relasi
Emanuel Gerrit Singgih
Pengantar
Upaya kita untuk menjawab pertanyaan:
“Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti
menjadi anggota gereja institusional? Tidak dapatkah
seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam
agamanya sendiri?” mengantar kita pada perjumpaan
dengan Emanuel Gerrit Singgih, pendeta Gereja
Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Judul yang
kami pakai untuk bab ini (Menguak Isolasi, Menjalin
Relasi) kami angkat dari salah satu judul buku yang
berisi kumpulan karangan Pak Gerrit.1
Kami memilih Prof. Emanuel Gerrit Singgih
atau yang akrab dikenal di kalangan para pemikir
Indonesia dengan sapaan Pak Gerrit (kami akan
menyebut Pak Gerrit di sepanjang tulisan ini) karena
pertimbangan berikut. Pak Gerrit adalah seorang ahli
Perjanjian Lama. Ia memperoleh gelar doctor of
Philosophy dari Universitas of Glasgow, Skotlandia

untuk bidang studi Perjanjian Lama dengan disertasi
tentang Konsep Penciptaan dalam Tradisi Kenabian

Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009.
1

Gereja Lintas Agama

77

dari Amos sampai Deutro-Yesaya.2 Sebagaimana diakui

sendiri, Pak Gerrit menaruh minat yang besar
terhadap hermeneutik dan kontekstualisasi. Ini yang
membuat kami memilih Pak Gerrit, karena
jawabannya terhadap pertanyaan yang kita gumuli
pastilah bersumber dari upaya hermeneutik terhadap
kitab suci sekaligus pemahaman yang mendalam
terhadap pergumulan konteks Indonesia, atau yang dia

lebih suka menyebutnya sebagai gambaran dunia
sosial-budaya Indonesia.3
Dalam menelusuri pemikiran Pak Gerrit untuk
tujuan penulisan ini, kami akan mengorganisir bab ini
menurut sistematika berikut. Segera setelah pengantar
singkat, kami akan memperkenalkan siapa Pak Gerrit
dan karya-karya yang pernah dipublikasikannya
(sejauh yang dapat kami pantau, sekaligus yang kami
pakai untuk penulisan ini). Selanjutnya, kami akan
memperkenalkan kepada pembaca apa yang Pak Gerrit
maksudkan dengan kontekstulisasi yang tentu saja
didahului dengan menyajikan gambaran dunia sosialbudaya Indonesia sebagaimana yang dipetakan Pak
Gerrit.

Judul asli disertasinya adalah the Concept of Creation in
the Prophetic Tradition from Amos to Deutro-Isaiah.
2

Terjemahan tadi berasal dari kami. Mohon maaf bila ada
kesalahan terjemaah mengingat bahasa Inggris bukanlah

bahasa ibu dari penulis.
3
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. hlm. 19.

78

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Berturut-turut setelah itu kami akan
membahas hal-hal berikut: Apa yang Pak Gerrit
pikirkan tentang Misi dan Penginjilan. Mengikuti alur
berpikirnya, pembahasan kita tentang pokok tadi akan
membawa kita pada upaya re-interpretasi Matius
28:18-20 untuk konteks Indonesia yang dibuat Pak
Gerrit, lalu paham Pak Gerrit tentang penginjilan
sebagai kegiatan belajar-mengajar, dan paham dia
tentang agama sebagai kewajiban ataukah kebebasan.
Uraian kita akan diakhiri dengan mencoba melakukan
rekonstruksi pemikiran Pak Gerrit tentang model

bergereja yang cocok dengan permasalahan yang kita
bahas.
Biodata dan Karya

Nama lengkapnya: Emanuel Gerrit Singgih.
Sejak 1985 mengajar tafsir biblika dan kontektualisasi
di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana,
sekaligus adalah Guru Besar ilmu teologi di lembaga
Gereja Lintas Agama

79

itu. Sebelumnya (1983-1985) bekerja sebagai pendeta
jemaat GPIB di Ujung Pandang-Makasar.
Guru besar kelahiran di Jakarta, 7 Agustus
1949 terbilang penulis produktif dengan ide-ide
brilliant dan segar. Buku-buku yang sudah diterbitkan
telah melebihi hitungan jari-jari baik tangan maupun
kaki, belum lagi artikel-artikelnya yang dimuat di
berbagai jurnal dalam dan luar negeri, yang berbahasa

Indonesia maupun bahasa Inggris, mungkin juga ada
yang dalam bahasa Belanda, karena ternyata dia juga
fasih berbahasa negeri kincir angin itu.
Julianus Mojau mencirikan Pak Gerrit sebagai
ahli tafsir kontekstual, yakni membuat tafsiran Kitab
Suci dengan mempertimbangkan perspektif dan
kesadaran religius-kultural lokal.4 Maksud dari
upayanya itu, sebagaimana diakui sendiri oleh Pak
Gerrit, adalah membantu pembaca dalam hal ini warga
gereja di Indonesia untuk menentukan pijakan dan
keputusan yang tepat dan benar di tengah persoalan
berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia seturut
iman Kristen.
Pak Gerrit sebagaimana yang kami pahami dari
karya-karyanya, menyadari betapa pentingnya gereja
dan para pengikut Kristus di Indonesia memahami diri
secara baru untuk dapat menghadirkan diri secara baru
dan bermakna di Indonesia. Ia karena itu membekali
Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan
Teologis Protestan Dengan Islam Politik di Indonesia.

4

Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2012. hlm. 188.

80

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

kita dengan wawasan teologi yang segar agar kita tidak
terperangkap dalam wawasan teologis yang sempit
untuk menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid
berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja
institusional? Tidak dapatkah seseorang itu adalah
murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”
Memang Pak Gerrit tidak secara eksplisit
mengajukan pertanyaan tadi. Ia justru mengajukan
pertanyaan lain, tetapi yang serupa dengan itu.
Pertanyaan itu adalah: “Apa yang mewujudkan
identitas kristen kita? Apakah baptisan ataukah
tindakan?”5 Jawaban yang diberikan Pak Gerrit untuk

pertanyaan ini, tentu berkaitan erat dengan
pandangannya tentang apa dan bagaimana gereja.
Hal menarik yang kami temukan dalam upaya
menelusuri jawaban untuk pertanyaan tadi adalah
bahwa Pak Gerrit tak henti-henti mengajak gereja dan
para pengikut Kristus di Indonesia untuk mencari
eklesiologi yang relevan bagi konteks Indonesia.6
Ajakan untuk memikirkan pelayanan yang relevan
untuk konteks Indonesia tidak hanya sebatas pada
pelayanan gereja dalam bidang liturgi dan marturia.
Pak Gerrit melakukan kajian kontekstualisasi itu
sampai pada lembaga-lembaga para gereja, yakni yang

Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm.
189.
6
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 241.
5


Gereja Lintas Agama

81

berafiliasi dengan gereja seperti lembaga pendidikan
teologi, yayasan-yayasan Kristen dst.
Eklesiologi yang relevan itu dia rumuskan
dalam frasa yang kurang lebihnya adalah “konteks kita
di Indonesia melahirkan eklesiologi” dan bukan
eklesiologi yang diterapkan dalam konteks kita di
Indonesia.7 Di salah satu back-cover dari buku Pak
Gerrit tertera komentar berikut: “Kedua puluh tulisan
dalam buku ini berangkat dari dampak perubahan
paradigm ilmu…. termasuk juga dampak terhadap
pendidikan teologi terhadap pemahaman masyarakat
Kristen mengenai misi, terutama dalam mengakui
kenyataan bahwa Indonesia adalah kepelbagaian
(pluralitas) agama-agama…. Buku yang berfaedah
untuk memperluas dan mengembangkan wacana, cara
pandang, dan paradigma berteologi (khususnya di

Indonesia) demi identitas Kristen yang jelas, namun
tidak terisolasi di dalamnya, tetapi keluar menjalin
relasi dengan yang lain.”8
Pak Gerrit memperkenalkan perubahan
paradigma ilmu teologi. Tentu ada yang bertanya:
“Apa perubahan paradigma itu?” Jawabannya tidak
lain adalah kontekstualisasi, yakni konteks yang
melahirkan eklesiologi. Selama ini, menurut
Frasa ini kami rumuskan berdasarkan apa yang ditegaskan
oleh
Emanuel Gerrit Singgih
dalam bukunya:
Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 19.
8
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
Lihat catatan di back-cover
7

82


Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

kecenderungan tradisional, eklesiologi (konsep) yang
menentukan konteks. Pak Gerrit mengajak kita
melihat dari sudut pandang sebaliknya: konteks yang
melahirkan konsep dan dari itu melahirkan etos.
Tawaran sudut pandang baru itu Pak Gerrit
dasarkan atas pemikiran seorang filsuf Amerika
Thomas Kuhn yang menegaskan bahwa pengetahuan
berkembang bukan karena penambahan informasi
oleh sebab pengumpulan data, melainkan karena
perubahan cara pandang terhadap data yang tersedia.9
Tentu saja perubahan cara pandang itu, sebagaimana
yang kami pahami dari karya Pak Gerrit, dikondisikan
juga oleh pergumulan-pergumulan dan pengalamanpengalaman manusia dalam konteks.
Saatnya sekarang kita mendiagnosa atau
membedah konstruksi teologi yang dilakukan Pak
Gerrit dari perubahan cara pandang terhadap
keberagaman agama dan persoalan sosial Indonesia.
Penelusuran ini kita arahkan untuk menjawab

pertanyaan: “Apa yang mewujudkan identitas kristen
kita? Apakah baptisan ataukah tindakan?”
Lima Persoalan Pokok Indonesia
Kontekstualisasi teologi adalah salah satu hal
yang menjadi ciri pemikiran Pak Gerrit sebagaimana

Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm.
8.
9

Gereja Lintas Agama

83

yang terdeteksi dalam tulisan-tulisannya.10 Teologi
yang ideal, begitu kata Pak Gerrit, bersifat
kontekstual.11 Karya-karya teologi dari Eropa atau
Amerika yang selama ini kita pelajari sebenarnya
adalah karya yang kontekstual. Ia menjadi masalah
karena karya yang kontekstual ini diklaim atau
dipaksakan sebagai yang berlaku untuk semua konteks
atau yang memiliki relevansi yang bersifat global. Ini
sebuah kekeliruan.
Tetapi juga merupakan kekeliruan jika kita
mempertentangkan
perspektif
global
dengan
perspektif lokal, seakan-akan globalisasi berarti tidak
perlu lagi berangkat dari konteks atau kontekstualisasi
berarti mengabaikan dan meniadakan nilai dan
prinsip-prinsip global. Menurut Pak Gerrit kita tidak
perlu
mempertentangkan
globalisasi
dan
kontekstualisasi, perspektif universal dan lokal dalam
berteologi, karena globalisasi justru mengarahkan
perhatian pada konteks dan begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu globalisasi hendaknya dilihat dalam
hubungan yang dialektis dengan kontekstualisasi
(Menguak Isolasi: xii).
Teologi kontekstual sebagaimana yang
dipahami oleh Pak Gerrit dapat kita rumuskan dalam
kalimat berikut: “Upaya menghubungkan pengalaman
konkret mengenai pergumulan masyarakat setempat
Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? hlm. 188.
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 126.
10

11

84

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

dengan tradisi Alkitab sambil memperhatikan
tuntutan tafsiran kristis-historis dan naratif” (Menguak
Isolasi: 126). Maksudnya teologi memberi perhatian
yang seimbang antara iman Alkitab dan iman atau
kepercayaan yang ada di sekitar kita. Iman atau
kepercayaan yang non-Alkitab itu tidak sekedar
dilihat bersama dengan iman Alkitab untuk
diperbandingkan. Tidak seperti itu. Jika itu yang
dilakukan, maka dia bukan kontekstual melainkan
konfrontatif.
Pak Gerrit sadar bahwa dalam kontekstualisasi
memang ada unsur konfrontasi, yakni pengenalan
akan kekayaan religius dan spiritual yang terkandung
dalam pranata budaya dan agama yang dihayati
masyarakat setempat, tetapi kontektualisasi tidak
identik
dengannya.
Yang
berlaku
dalam
kontekstualisasi adalah identifikasi di antara
konfrontasi.12 Artinya, kekayaan religius dan iman
mereka bukan hanya dipelajari untuk dicari
perbedaannya dengan iman kita. Tidak hanya itu.
Kekayaan iman dan religius mereka harus
dihubungkan secara kreatif dengan iman kita untuk
bersama-sama membangun kehidupan bersama yang
damai dan berkeadilan.
Dalam tulisannya tentang Gereja yang
Kontekstual Pak Gerrit menjelaskan definisi ini secara
lebih operatif. Menurut dia gereja yang kontekstual
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 129.
12

Gereja Lintas Agama

85

adalah gereja yang sadar bahwa ada masalah-masalah
yang terjadi di sekitarnya dan karena itu berupaya
untuk menghubungkan masalah-masalah itu dengan
kesaksian Alkitab.13
Jika Gereja yang kontekstual sama artinya
dengan kita harus hidup bergereja dengan menyadari
ada masalah-masalah di dalam masyarakat di mana
gereja ada maka gereja haruslah menjadi persekutuan
yang terbuka untuk bergaul, mengenal dan belajar dari
orang-orang atau institusi-institusi yang ada di
sekitarnya. Pak Gerrit sendiri tidak menolak hal itu.
Dia berbicara tentang perlunya gereja dan orang
Kristen mengambil sikap rendah hati untuk melihat
realitas dari sudut pandang orang-orang yang
menyekitarinya. Hanya dengan itu gereja bisa
menawarkan jalan keluar bagi masalah-masalah yang
ada.
Pak Gerrit memetakan konteks Indonesia yang
menjadi lokus dari refleksinya tentang Injil dalam lima
ciri menonjol: kepelbagaian budaya dan agama,
kemiskinan yang parah, penderitaan dan bencana,
ketidakadilan termasuk ketidakadilan gender dan
kerusakan ekologi (Menguak Isolasi: 231). Lima
persoalan konteks Indonesia ini kembali ditegaskan
Pak Gerrit dalam tulisannya yang lain.14
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 56.
14
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 58.
13

86

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Eklesiologi yang Kontekstual di Indonesia
Secara singkat dapat kita katakan bahwa
teologi yang kontekstual di Indonesia sebagai mana
dipahami
Pak
Gerrit
adalah
upaya-upaya
merefleksikan injil dengan menyadari lima pokok
permasalahan di atas. Artinya gereja tidak boleh
sekedar menerjemahkan konsep-konsep teologis yang
ready made dari Eropa kemudian diterapkan dalam
konteks Indonesia. Ini tidak boleh terjadi karena sama
sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan otentik
yang berasal dari gambaran dunia sosial budaya
Indonesia. Yang perlu gereja buat adalah
menghubungkan gambaran dunia sosial-budaya
Indonesia untuk melahirkan teologi. Jadi gereja di
Indonesia tidak boleh sekedar menjadi church for
Indonesia, melainkan harus menjadi church of
Indonesia.
Waktu konsep ini diterapkan dalam hubungan
dengan kemiskinan dan penderitaan Pak Gerrit
menyerukan kepada gereja di Indonesia untuk
memperhatikan prinsip preferential option for the
poor. Dan untuk itu tidak cukup gereja di Indonesia
sekedar menjadi church for the poor. Ia harus bergerak
menjadi church of the poor.
Pertanyaan yang mau kita jawab dengan
membedah pemikiran Pak Gerrit adalah rancangbangun bergereja seperti apa yang ada di benak Pak
Gerrit jika preferential option for the poor itu kita
ganti dengan preferential option for the religious
Gereja Lintas Agama

87

pluralism. Maksudnya, kira-kira apa model bergereja

yang pas bagi konteks Indonesia yang salah satu
cirinya adalah kepelbagaian agama, karena ternyata
Pak Gerrit juga mencatat pluralitas sebagai salah satu
pilar pokok dari gambaran dunia sosial-budaya
Indonesia.
Dalam membicarakan eklesiologi yang
kontekstual di Indonesia Pak Gerrit hanya memberi
perhatian pada kemiskinan dan penderitaan. Perhatian
itulah yang membuat dia menyerukan agar gereja
menjadi church of the poor. Sementara kepelbagaian
budaya dan agama yang juga adalah salah satu ciri par
excellence dari konteks Indonesia belum dibahas
dalam tulisan yang berjudul: Mencari Eklesiologi yang
Relevan bagi Konteks Indonesia. 15
Sikap berdiam diri Pak Gerrit terhadap model
eklesiologi kontekstual Indonesia berhadapan dengan
masalah kepelbagaian budaya dan agama di Indonesia
sama sekali tidak berarti bahwa Pak Gerrit tidak
berbicara apa-apa tentang gereja dan orang Kristen
Indonesia dalam konteks pluralitas agama. Tulisantulisannya justru banyak membahas pokok ini dan di
beberapa bagian pokok ini dibahas secara mendalam
sekaligus dengan menawarkan solusi yang dibangun
berdasarkan sebuah upaya hermenutik.
Jadi adalah perlu untuk kita melakukan
rekonstruksi pemikiran Pak Gerrit tentang church of
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 230-239.
15

88

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Indonesia yang dicirikan oleh pluralitas budaya dan

agama. Rekonstruksi itu berkaitan dengan pertanyaan
yang Pak Gerrit sendiri ajukan: “Apa yang
mewujudkan identitas kristen kita? Apakah baptisan
ataukah tindakan?” Seperti apakah kira-kira jawaban
Pak Gerrit terhadap pertanyaan ini dan apa model
bergereja yang bersangkut paut dengan jawabannya
atas pertanyaan tadi.
Pekabaran Injil
Dalam pemahaman Pak Gerrit penyiaran atau
pemberitaan – sebutan yang dia pakai untuk tidak
kedengaran eksklusif Kristen - adalah jiwa dari
agama.16 Inilah sebabnya, menurut Pak Gerrit pada
tahun 1970-an, manakala Mentri Agama Republik
Indonesia (K.H. Ahmad Dahlan) menghimbau agar
umat Kristen tidak lagi melakukan kegiatan pekabaran
Injil, Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI,
sekarang PGI) maupun Majelis Agung Waligereja
Indonesia (MAWI) memberi reaksi menolak himbauan
itu. Apalagi, menurut informasi himbauan itu hendak
dituangkan dalam dokumen negara yakni Surat
Keputusan Bersama dua mentri.
Keberatan atau penolakan DGI maupun
MAWI itu adalah tepat, demikian pendapat Pak Gerrit
selain karena alasan doktrinal dan iman, terkesan
Lihat umpamanya Emanuel Gerrit Singgih. Menguak
Isolasi, Menjalin Relasi secara khusus bab 17.
16

Gereja Lintas Agama

89

bahwa pemerintah berlaku tidak adil dengan
himbauan itu. “Kalau dalam agama Islam ada yang
disebut dakwah – yang dapat disejajarkan dengan
pekabaran Injil dalam agama Kristen – kurang adil
kalau yang satu dilarang, sedangkan yang lain tidak
(Menguak Isolasi: 241).
Pekabaran Injil, apapun juga alasannya, tidak
bisa ditiadakan. Menurut pengamatan Pak Gerrit,
Gereja dan mayoritas orang Kristen di Indonesia
memahami pekabaran Injil sebagai dasar bagi semua
kegiatan Kristen. Bahkan kata Pak Gerrit ada yang
berpendapat bahwa teologi Kristen di Indonesia adalah
teologi pekabaran Injil.17 Tidak memberitakan Injil
akan mendatangkan celaka. Siapa memberitakan Injil
tidak akan celaka.
Terhadap communis opinion ini Pak Gerrit
memberi beberapa catatan. Pertama, pemberitaan Injil
penting dan harus terus dikerjakan. Tetapi mengingat
konteks Indonesia yang ada dalam pengamatan Pak
Gerrit sebagaimana sudah kami tunjukkan di atas
pekabaran Injil tidak bisa dilakukan menurut cara-cara
yang selama ini berlangsung, yakni pekabaran Injil
mendirikan gereja sebagai sebuah institusi atau
membangun simbol-simbol kesuksesan agama Kristen
di satu wilayah tertentu. Pekabaran Injil, kata Pak
Gerrit harus lebih dipahami sebagai kegiatan untuk

Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 240.
17

90

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

menunjukkan bahwa di tempat itu sudah hadir
Kerajaan Allah (Menguak Isolasi: 248).
Untuk itu menurut Pak Gerrit, gereja dan para
pengikut Kristus di Indonesia patut melakukan
reinterpretasi terhadap Matius 28:18-20 yang disebutsebut sebagai Amanat Agung atau ayat emas dalam
memahami kehadiran gereja di dalam dunia sekaligus
yang memberi identitas Kristen kepada kehidupan
kemuridan (Menguak Isolasi: 241). Ini catatan kedua
yang diberikan Pak Gerrit kepada gereja dan para
pengikut Kristus di Indonesia.
Re-interpretasi itu perlu memperhatikan halhal ini. 1). Pekabaran Injil harus dipahami dalam
kerangka yang lebih luas, yakni sebagai bagian dari
misiologi sehingga pelayanan sosial tidak menjadi alat
pekabaran Injil, tetapi pelayanan sosial itu sendiri
sudah menjadi kesaksian yang sah dari Injil Tuhan.18
2). Akibat dari penempatan pekabaran Injil sebagai
bagian dari misiologi maka pekabaran Injil yang
disebut-sebut sebagai Amanat Agung tidak boleh
dipahami sebagai yang bersifat non-holistik, atau
rohani berupa pertobatan dan kristenisasi serta verbal
semata-mata, melainkan juga bersifat holistic
(Menguak Isolasi: 242). Untuk jelasnya, kita akan
segera melakukan anjangsana untuk memahami apa isi
dari re-interpretasi terhadap Amanat Agung
sebagaimana yang dilakukan oleh Pak Gerrit.
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 238.
18

Gereja Lintas Agama

91

Re-interpretasi
Indonesia

Matius

28:18-20 Untuk

Konteks

Mayoritas orang Kristen di Indonesia
menganggap Matius 28:18-20 sebagai Amanat Agung.
Artinya ia dianggap sebagai teks yang menentukan
identitas Kristen. Tidak melaksanakan Amanat Agung
ini akan membuat gereja kehilangan jatidiri.
Betapapun Pak Gerrit rada-rada sungkang (ragu-ragu,
tidak setuju) dengan pemahaman ini, ia toh
menerimanya juga, tentu saja dengan beberapa catatan
seperti yang sudah kami tunjukkan secara singkat di
atas. Sinyal keraguan Pak Gerrit itu kita temukan
dalam pernyataannya berikut ini: “Amanat Agung
bukanlah teks yang selamanya menjadi ayat emas
dalam kehidupan orang beriman.”19
Karena bukan ayat emas wajarlah jika teks itu
terus-menerus dipahami secara baru. Melakukan reinterpretasi bukan berarti menolak keaslian teks itu
sebagai yang berasal dari Yesus. Tidak. Re-interpretasi
dimaksud untuk memahami apa sebenarnya yang
dimaksudkan Yesus dengan tugas yang diberikan
kepada murid-muridNya. Untuk maksud itu Pak
Gerrit mengajukan pertanyaan, apakah yang ada di
kepala Yesus dengan perintah membaptis dan
mengajar adalah menjadikan orang sebagai anggota
gereja institusional (warga GPIB, GKJ, GKI, GBI, dll)?
Ataukah menegaskan keberadaan si penerima baptisan
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 241.
19

92

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

dan pengajaran bahwa ia telah berada dan ambil
bagian dalam lingkungan keselamatan ilahi di dalam
Yesus?20
Menurut penglihatan Pak Gerrit ada tiga hal
penting yang patut diberi perhatian dalam melakukan
re-interpretasi terhadap Matius 28:18-20, yakni:
“pergilah… memuridkan dan baptis… mengajar
melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan
kepadamu.” Berikut ini diagnosa Pak Gerrit terhadap
isi teks yang perlu dire-interpretasi.
Pertama: “Pergilah…” Matius 28 adalah teks
pengutusan. Pak Gerrit menunjukkan kepada kita
bahwa pengutusan murid-murid oleh Yesus bukan
hanya terdapat dalam Matius 28. Di dalam Matius 10
Yesus juga mengutus murid-murid ke tengah-tengah
umat Israel. Dua teks ini memperlihatkan beberapa
perbedaan. Pertama, pengutusan dalam Matius 28
adalah ke luar umat Israel sementara dalam Matius 10
pengutusan ke dalam umat Israel. Kedua, pengutusan
Matius 28 tidak menyebut adanya pemberian kuasa
kepada para murid untuk mengusir setan dan
melenyapkan segala penyakit. Ketiga, dalam Matius 28
ada janji penyertaan Yesus sedangkan dalam Matius
sepuluh murid-murid diberi hak untuk mengebaskan
debu jika mereka ditolak.21
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 244.
21
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 243.
20

Gereja Lintas Agama

93

Matius 28:18-20 demikian Pak Gerrit memang
berasal dari Yesus, tetapi ia toh melihat ada indikasi
bahwa teks itu bukanlah Amanat Agung setidaktidaknya sebagaimana yang dipahami para murid
Yesus yang sebelas orang itu. Indikasi itu nampak dari
kenyataan berikut. Kesebelas murid Yesus yang
kemudian menjadi rasul tidak melaksanakan amanat
itu. Mereka semua berkumpul di Yerusalem sampai
akhir hidup mereka. Kalau ada informasi bahwa Petrus
mati di Roma, Yohanes melewati masa hidupnya
setelah kenaikan Yesus ke sorga di Efesus, Thomas
menjadi pekabar Injil di India dan Markus di Mesir,
semua itu hanyalah tradisi yang tidak dapat dibuktikan
secara
historis.
Sumber-sumber
biblis
tidak
menyebutkan itu. Dari antara para Rasul, justru Paulus
yang melakukan perintah tadi: “pergilah…”
Kedua: “Memuridkan dan membaptis…”
Paulus adalah rasul yang melakukan perintah Yesus:
“Pergilah…” Kesebelas murid Yesus lainnya tidak
pergi. Sebaliknya, Paulus yang pergi itu tidak merasa
terikat dengan perintah baptislah. Paulus justru
memahami pengutusannya bukan untuk membaptis (1
Kor. 1:17). Bagi Paulus membaptis bukan hal yang
utama. Itu sebabnya hanya ada dua orang yang dia
baptis, yakni Krispus dan Gayus. Kenyataan ini juga
dipakai oleh Pak Gerrit untuk menunjukkan bahwa
Matius 28:18-20 tidak harus dipahami sebagai Amanat
Agung.
Mengenai tujuan memuridkan dan membaptis,
pandangan umum di kalangan gereja dan para
94

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

pengikut Kristus adalah menjadikan mereka yang
dimuridkan dan dibaptis sebagai anggota dari sebuah
institusi gereja. Dalam diagnosanya terhadap isi kitab
Matius Pak Gerrit menunjukkan kepada kita
kandungan makna yang lain. Dua kali kata ekklesia =
gereja atau perhimpunan jemaat muncul dalam kitab
Matius, yakni 16:18 dan 18:17. Yang dimaksud dengan
eklesia dalam kedua teks itu adalah sebuah kelompok
khusus, kumpulan orang-orang pilihan.
Orang-orang pilihan itu adalah eklektos dalam
Matius 22:14 dan 24:22, 24, 31. Eklektos ini belum
tentu merupakan anggota-anggota dari satu lembaga
yang terorganisasikan secara ketat dan teratur.22
Artinya orang-orang yang dipilih oleh Tuhan dari
antara yang lain tidak harus diidentikan dengan
keanggotaan dari satu agama tertentu, secara khusus
dengan agama Kristen. Pak Gerrit menegaskan hal itu
dalam pernyataan berikut:23
Kelompok khusus berupa orang pilihan ini belum
tentu merupakan anggota-anggota dari satu
lembaga yang terorganisir secara ketat dan
terartur. Paling banyak kita hanya dapat
mengatakan bahwa eklesia dan eklektos
berhubungan dengan persekutuan tertentu. Kita

Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 244.
23
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 241.
22

Gereja Lintas Agama

95

juga telah melihat bahwa bagi Paulus baptisan
tidak merupakan sesuatu yang mutlak perlu.
Kalau begitu, amanat membaptis belum tentu
mengimplikasikan keanggotaan gereja dan belum
tentu juga dapat dijadikan dasar atau diidentikan
dengan kristenisasi. Masalahnya kita sudah salah
kaprah
mengidentikan
baptisan
dengan
keanggotaan gereja institusional.

Memuridkan dan membaptiskan sebagaimana
yang dipahami Pak Gerrit tidak identik dengan
mewajibkan seseorang menjadi warga agama Kristen.
Itu lebih dipahami sebagai tanda bahwa yang
bersangkutan telah ambil bagian atau berada dalam
lingkungan keselamatan ilahi di dalam Yesus Kristus.
Menjadi jelas bahwa Pak Gerrit tidak menolak tugas
memuridkan dan membaptis. Dia hanya mengingatkan
bahwa praktik baptisan yang dilakukan gereja saat ini
tidak lagi persis sama dengan apa maksud sejatinya
seperti yang dimaktub dalam Alkitab.24
Dalam tulisannya mengenai Ibadah dan Tata
Ibadah, Pak Gerrit mengambil waktu untuk membahas
tentang baptisan, terutama tentang fungsi air. Di situ
dia memperlihatkan adanya salah pengertian warga
gereja tentang baptisan. Baptisan sejatinya menunjuk
kepada penyatuan hidup seseorang dengan kehidupan
Kristus. Dengan dimasukkannya seseorang ke dalam
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 245.
24

96

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

air itu adalah sebagai tanda ia sudah mati bagi dosa dan
keluar lagi dari situ sebagai tanda bahwa ia bangkit
bersama Kristus. Apa yang sekarang dipahami oleh
mayoritas warga gereja adalah sebagai tanda bahwa
seseorang menjadi anggota gereja yang terdaftar. Pak
Gerrit menulis: “Mula-mula baptisan tidak punya
sangkut paut dengan keanggotaan.”25
Investigasi kita terhadap pokok ini mengantar
kita kepada kesimpulan bahwa bagi Pak Gerrit tugas
memuridkan
dan
membaptis
seperti
yang
diperintahkan Yesus dalam Matius 28:18-20 bukan
pertama-tama menjadikan seseorang anggota dari
gereja institusional. Itu lebih menunjuk kepada upaya
untuk memberikan meterai kepada yang bersangkutan
bahwa dirinya telah berada dalam lingkungan
keselamatan ilahi yang dikerjakan Yesus Kristus.
Paham ini sepertinya tidak asing bagi gerejagereja mainstream secara khusus yang bergabung
dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dan
orang Kristen di Indonesia. Ini dapat kita amati dari
sikap saling menerima anggota yang berpindah antar
denominasi tanpa melakukan baptisan ulang.26 Sikap
ini tentu dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa
baptisan bukanlah ritus yang menjadikan seseorang
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 79.
26
PGI. Usul Perubahan Lima Dokumen Keesaan Gereja.
Jakarta: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. 1988. hlm.
126-7.
25

Gereja Lintas Agama

97

anggota dari satu gereja institusional. Baptisan bukan
pertama-tama perbuatan gereja atau manusia kepada
sesamanya, tetapi baptisan adalah perbuatan Allah
kepada manusia. Jika baptisan adalah perbuatan gereja
atau manusia maka tentulah itu berhubungan dengan
penguatan satu institusinal gereja. Tetapi karena
baptisan adalah perbuatan Allah kepada manusia maka
ia bersifat lintas institusional gereja bahkan lintas
agama. Seseorang yang sudah dibaptis dalam Kristus
otomatis diterima dalam organisasi gereja mana pun,
juga kalau dia pindah denominasi Kristen. Juga kalau
seseorang pindah ke agama lain, statusnya sebagai
orang yang berada dalam lingkup keselamatan Kristus
tidak batal. Jika dia toh memutuskan kembali dari
petualangannya ke agama lain itu, dia diterima
kembali tanpa harus dibaptis lagi.
Kembali kepada masalah semula, Pak Gerrit
tidak sepenuhnya menerima klaim kebanyakan pihak
yang melihat perintah membaptis, memuridkan dan
mengajar seperti terdapat dalam Matius 28:18-20
sebagai Amanat Agung. Pak Gerrit memandang
membaptis, memuridkan dan mengajar adalah bagian
dari amanat dan bukan isi dari amanat itu.27 Kalau
begitu apa sajakah yang menjadi isi Amanat Agung
dari Yesus kepada para pengikutNya? Hal itu dijawab
Pak Gerrit saat mendiagnosa kata kerja ketiga dari
perintah Yesus dalam Matius 28:18-20: “Melakukan
segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu.”
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 243.
27

98

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Apa-apa sajakah perintah Yesus yang harus
diajarkan para rasul kepada bangsa-bangsa yang
menerima Kristus untuk mereka yakini dan lakukan?
Dalam diagnosa Pak Gerrit tidak disebutkan agar
bangsa-bangsa dijadikan anggota satu gereja
institusional atau beralih menjadi penganut agama
Kristen. Tidak! Kalau begitu apa perintah Yesus yang
harus diajarkan para rasul?
Segera setelah pertanyaan ini diajukan, Pak
Gerrit mengajak kita memperhatikan narasi kitab
Matius. Dia menyebut ada empat perintah Yesus yang
dipaparkan dalam kitab Matius, yakni: Khotbah di
Bukit (Mt. 7-9), Kaidah Kencana (7:12), Ringkasan
Taurat (22:37-40) dan Pelayanan terhadap Orang Kecil
(25:31-46). Inilah isi dari Amanat Agung Yesus. Tugas
mengajar yang dimaksudkan gereja dalam teks-teks ini
mengandung dimensi holistik, bukan hanya verbal
atau bertujuan kristenisasi. Keempat teks ini memiliki
jiwa yang sama, yakni sikap hidup terbuka kepada
orang lain, sesama yang berbeda dengan kita dan
kepada Allah.
Tentang Khotbah di Bukit. Di sini Yesus
menyerukan kepada kepada pendengarNya untuk
melakukan
reorientasi
pemahaman
tentang
kebahagiaan
hidup.
Jika
pandangan
umum
mengatakan bahwa orang yang berbahagia adalah
mereka yang tahu semua dan punya semua, Yesus
justru mengajarkan yang lain. Bagi Yesus orang yang
tidak tahu semua dan tidak punya semua itulah orang
yang berbahagia (Menguak Isolasi: 245).
Gereja Lintas Agama

99

Di tempat terpisah, Pak Gerrit menegaskan
bahwa hal ini mencegah kita mengambil sikap
superior terhadap orang lain atau agama lain, sambil
pada saat yang sama membuka jalan untuk dialog
menjadi terbuka untuk belajar dari orang lain dan
agama lain.28 Berusaha menjadi individu yang baik saja
tidak bisa menjadi ukuran sebagai bahwa yang
bersangkutan mengenal Allah karena menjadi baik
juga adalah hal yang dikejar oleh orang yang tidak
mengenal Allah. Kebaikan individual itu harus juga
ditunjukan dalam kesediaan untuk berjuang
mengakhiri dosa struktural.
Jadi Amanat Agung seperti yang direinterpretasi oleh Pak Gerrit bukanlah perintah untuk
membaptis dalam arti menjadikan orang keanggotaan
satu gereja institusional, melainkan menegaskan
keberadaannya dalam lingkungan keselamatan Kristus.
Tanda pengenal yang sudah diterima itu harus
dinampakkan sikap hidup yang terbuka kepada Allah
dan sesama. Menjadi anggota dari satu agama
institusional perlu tetapi itu tidak boleh dijadikan
sebuah kewajiban melainkan merupakan masalah
kebebasan hati nurani (Menguak Isolasi: 151).

Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 170.
28

100

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

Penginjilan Sebagai Kegiatan Belajar-Mengajar
Upaya re-interpretasi yang dibuat Pak Gerrit
bukan hanya terhadap Amanat Agung tetapi juga
terhadap paham tentang misi atau pekabaran ini
membawa dia pada sebuah paham baru tentang misi.
Paham baru itu dia kutip dari Verkuyl. Jika pandangan
umum di kalangan gereja dan orang Kristen tentang
seorang misionaris sebagai guru yang mengajar dunia
dan orang dari agama lain, Pak Gerrit justru
berpandangan lain. Seorang misionaris adalah murid
seumur hidupnya karena gurunya hanya satu. Pak
Gerrit menulis begini (Menguak Isolasi: 140):
Di dalam sebuah buku teks misiologi karangan
Verkuyl saya menemukan sebuah motif yang
disebutnya sebagai motif pribadi. Akan tetapi,
uraian Verkuyl mengenai motif ini ialah seorang
misionaris bukan guru. Ia murid seumur
hidupnya karena gurunya hanya satu. Itu berarti
pekerjaan misi selamanya adalah suatu kegiatan
belajar-mengajar, bukan hanya mengajar saja.
Kalau perikop ini mencerminkan pergumulan
gereja purba juga, kita akan melihat bahwa
interaksi yang autentik di antara gereja dan dunia
juga bisa menyebabkan gereja disadarkan oleh
dunia, di samping gereja menyadarkan dunia.

Para murid Kristus dalam pekerjaan pekabaran
Injil pergi kepada bangsa-bangsa dan bertemu dengan
orang dari agama lain bukan sekedar untuk mengajar
Gereja Lintas Agama

101

mereka, melainkan juga untuk belajar dari mereka.29
Belajar dari orang berbeda agama bukan sebuah noda.
Yesus yang adalah sang guru agung juga melakukan
itu. Dalam pertemuannya dengan perempuan SiroFenesia, perempuan itu bukan hanya memotivasi
Yesus untuk mengundang dia masuk ke dalam
Kerajaan Allah. Perempuan itu menyebabkan Yesus
mengubah prasangkaNya terhadap dia dan terhadap
orang kafir. Pak Gerrit sampai pada kesimpulan ini
setelah membedah pemikiran Kwok Pui Lan seorang
teolog perempuan Cina. Yesus belajar dari seorang
kafir, kata Pak Gerrit. “Kalau seorang perempuan kafir
dapat menyebabkan Yesus mengubah prasangka-Nya
terhadap perempuan dan terhadap orang kafir, betapa
sayangnya kalau murid Yesus masa kini tidak
mengikuti jejak gurunya itu” (Menguak Isolasi: 140).
Misi atau pekabaran injil bukan sekedar
mengajar dunia dan orang dari agama lain, tetapi juga
belajar dari mereka. Pak Gerrit juga memberi contoh
pdt. Martin Luther King Jr. dari USA, pejuang
persamaan hal-hak sipil orang hitam di Amerika yang
mengaku belajar tentang sikap anti kekerasan dari
Mahatma Gandhi, pahlawan kemerdekaan India yang
beragama Hindu. King belajar mengembangkan
karakter Kristen dari seorang bukan Kristen (Gandhi)

Pak Gerrit tidak sendiri dalam memahami misi sebagai
kegiatan belajar-mengajar. Mayoritas para teolog Asia,
seperti Kosuke Koyama, Choan-seng Song, Kitamori juga
berpendapat seperti itu.
29

102

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

yang telah mempraktekan Khotbah di Bukti dalam
konteksnya.30
Kosuke Koyama menyebut model misi atau
pekabaran injil ini two-way-traffic sebagai lawan dari
one-way-traffic31 yang cenderung menyombongkan
dan menegaskan diri sendiri. Misi yang sejati
mengandung di dalamnya kesediaan belajar dari citra
hidup religius orang beragama lain. Itu hanya bisa
terjadi jika gereja dipahami sebagai komunitas iman
yang terbuka dan dialogis dan para murid kristus
hidup dalam semangat kerendahan hati.
Sikap kerendahan hati, menurut Pak Gerrit
perlu ditunjukkan dalam menghadapi empat hal:32
Pertama, siap untuk mengoreksi pandangan lama
bahwa kebenaran bukan hanya dimiliki dan diketahui
oleh orang Eropa tetapi juga oleh orang yang tidak
dapat berbahasa Eropa. Kedua, kesediaan untuk
menerima bahwa Allah di dalam kasihNya yang besar
mendahulukan mereka yang miskin dan tak berdaya
daripada yang kaya dan kuat. Ketiga, kesediaan untuk
belajar dari agama-agama yang berbeda dari agama
kita. Keempat, untuk belajar dari pengalaman
perempuan tentang keselamatan.
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 189.
31
Kosuke Koyama. Christianity suffers from “Teacher
Complex.” hlm. 73.
32
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 127-9.
30

Gereja Lintas Agama

103

Untuk konsumsi buku ini, pembahasan hanya
akan kami fokuskan pada butir kerendahan hati ketiga,
yakni kesediaan untuk belajar dari agama lain.
Pembahasan kita untuk butir ketiga ini dibuat untuk
menjawab pertanyaan: “Apakah menjadi murid berarti
seseorang mesti menjadi anggota gereja? Tidak
dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap
berada dalam agamanya sendiri?”
Agama Bukan Kewajiban tetapi Kebebasan Hati
Nurani
Penegasan Pak Gerrit tentang perlunya
kerendahan hati orang Kristen untuk belajar dari
agama-agama lain berangkat dari keyakinannya
tentang agama. Baiklah kita terlebih dahulu mencatat
pokok-pokok pikiran Pak Gerrit tentang agama.
Pertama, Pak Gerrit tidak merasa enjoy dengan
penilaian negatif terhadap agama, sebagaimana yang
kita warisi dari pemikiran-pemikiran teologis Barat.
Dalam hubungan ini Pak Gerrit mengkritisi Hendrik
Kraemer yang menyebut tanah Sunda sebagai nova
zambala spiritual, yang memposisikan Islam sebagai
yang tidak memiliki dimensi spiritual.33
Belajar dari Aloysius Pieris, teolog Katolik dari
Sri Langka, Pak Gerrit mengakui bahwa agama bersifat
Emanuel Gerrit Singgih. Dua Konteks. Tafsir-Tafsir
Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi
di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. hlm. 75.
33

104

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

ambigu. Pada satu pihak bisa positif dan pada pihak
lain, bisa negatif. Sikap negatif terhadap agama tidak
sepenuhnya benar.34 Apalagi kalau ditegaskan bahwa
agama orang lain sajalah yang negatif dan agama kita
selalu positif. Sikap seperti ini, seperti yang ditegaskan
Pak Gerrit dalam ceramah di Gereja Kristen Pasundan,
(GKP) hanya akan membuat GKP akan terus terisolasi
dan tidak akan memiliki masa depan.35
Dalam kajiannya yang detail, Pak Gerrit
membedakan agama dalam dua kategori: agama literal
dan agama emansipatorik atau agama skriptural dan
agama substansial. Perbedaan antara dua corak agama
ini bukan antara agama A dan agama B. Perbedaan itu
ada dalam tiap-tiap agama. Juga adalah keliru kalau
kita berkata bahwa agama yang literal atau skriptural
bersifat fundametalis sedangkan agama yang
emansipatorik atau substansial bersifat kultural.
Menurut Pak Gerrit sikap fundamentalisme maupun
kultural dalam beragama dapat terjadi dalam dua
kategori agama ini.
dalam
agama
agama
agama
untuk

Kedua, agama tidak boleh hanya dipelajari
kerangka misiologis saja, dalam arti belajar
lain untuk mengetahui perbedaannya dengan
kita dan kemudian menegaskan keunggulan
kita serta meminta mereka dari agama lain
masuk ke dalam agama kita. Agama-agama

Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 167.
35
Emanuel Gerrit Singgih. Dua Konteks…. hlm. 77.
34

Gereja Lintas Agama

105

harus juga dipelajari sebagai bagian dari usaha mencari
kebenaran yang menyeluruh. Arti menyusun satu
pemahaman yang bisa menghubungkan kebenaran
yang saya yakini dengan kebanaran pada agama-agama
lain dalam penghayatan iman pribadi.36
Mempelajari agama dalam kerangka misiologis
artinya satu agama dipelajari dengan tujuan pekabaran
Injil yakni untuk mentobatkan para pemeluknya
supaya mereka beralih kepada agama yang baru. Sikap
ini dilatarbelakangi adanya pemutlakan kebenaran
dalam satu agama sambil merelatifkan kebenaran
dalam agama lain. Menurut Pak Gerrit, agama tidak
absolut. Hanya Tuhan saja yang absolut. Karena itu
masing-masing agama tidak dapat mengklaim
kebenaran yang absolut. Karena agama tidak absolut,
maka agama-agama harus terbuka satu sama lain dalam
hal kemanusiaan (segi horizontal) dan juga dalam hal
pemahaman tentang Tuhan (segi vertikal).37
Pak Gerrit karena itu berseberangan jalan
dengan Hans Kung. Hendrik Karemer maupun Karl
Barth yang mengawali percakapan dengan upaya
untuk melakukan de-absolutisme agama, tetapi di
ujung-ujung toh berbicara mengenai satu agama yang
benar. Agama yang benar, menurut kedua teolog
Eropa itu adalah agama Kristen. Agama Kristen
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 129.
37
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 17-18.
36

106

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

diabsolutkan. Ia lalu mengkiritk Karl Barth, Hendrik
Kraemer dan Hans Kung yang menilai agama-agama
besar non-kristiani secara negatif. Menurut dia, kalau
apriori negatif terhadap agama-agama besar nonkristen dari ketiga teolog terkemuka ini dipahami
dalam bingkai perubahan paradigma postmodern,
tidaklah mungkin mereka dicalonkan sebagai perintis
teologi di dunia purna modern.38
“Orang beragama lain bukanlah orang tidak
beriman.” Begitu tegas Pak Gerrit.39 Ia mengatakan ini
dalam hubungan analisa dan pemahamannya
mengenai kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan
Siro-Fenesia seperti yang disaksikan Markus 7:24-30.
Cerita ini memang sering dipakai gereja untuk
menempatkan orang-orang dari agama lain sebagai
kafir. Terbukti Yesus menyamakan perempuan SiroFenesia ini dengan anjing yang tidak patut
memperoleh roti yang disiapkan bagi anak-anak.
Tetapi menarik bahwa meskipun Yesus menyebut
perempuan itu anjing tetapi Yesus tidak menolak dia.
Yesus malah menawarkan keselamatan yang nyata
dalam pengusiran setan dari kehidupan putri dari
perempuan itu.
Bertolak dari teks tadi Pak Gerrit menegaskan
bahwa Yesus juga tidak melihat perempuan itu sebagai
Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan.
hlm. 15.
39
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 137.
38

Gereja Lintas Agama

107

obyek dari pekabaran Injil. Juga tidak dikatakan bahwa
sesudah perjumpaan dengan Yesus, perempuan itu
bertobat dan menjadi pengikut Yesus. Keyakinan
tentang agama seperti inilah yang mendorong Pak
Gerrit menegaskan bahwa tidaklah benar kalau kita
meminta seseorang pindah dari agamanya dan menjadi
anggota agama kita supaya ia memiliki iman yang
benar dan pertumbuh imannya berjalan baik.
Penegasan ini tidak berarti bahwa Pak Gerrit menolak
terjadinya perpindahan agama. Rasanya kesimpulan
itu terlaku buru-buru. Berpindah agama adalah sah
jika itu dilakukan atas dasar sukarela. Ini nyata dalam
penegasan Pak Gerrit bahwa agama bukanlah masalah
kewajiban melainkan kebebasan hati nurani (Menguak
Isolasi: 129).
Sikap yang tepat untuk kepelbagaian agama
adalah sikap dialogis, yakni berusaha mengerti apa
yang bermakna bagi orang lain, tetapi juga himbuan
agar orang lain mengerti apa yang bermakna bagi kita.
Orang Kristen di Indonesia, demikian kata Pak Gerrit
seperti di simpulkan Julianus Mojau, perlu
memandang umat Islam sebagai tetangga untuk saling
mendukung dalam memajukan kehidupan bersama
dan sebagai sesama komunitas umat Allah yang
melayani kemanusiaan.40 Agama tidak boleh hanya
dipelajari dalam kerangka misiologis saja.
Dialog dan hidup bersama mereka yang
berbeda agama tidak berarti orang Kristen
40

Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? hlm. 319.

108

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

merelatifkan atau bahkan kehilangan Yesus Kristus.
Justru dalam dialog, gereja dan para pengikut Kristus
dapat memberi kesaksian tentang Yesus Kristus kepada
umat beragama lain dan bersama-sama mereka terlibat
dalam perjuangan bagi keadilan dan kemanusiaan
untuk kebaikan bersama. Hal ini sejalan dengan apa
yang akan kami tunjukan dalam pembahasan
mengenai Nabeel Jabbour dalam kisahnya tentang
seorang orang Kristen Mesir bernama Samuel dalam
bab IV.41
Dalam hubungan dengan misi atau pekabaran
Injil, Pak Gerrit menegaskan bahwa misi bukan
sekedar mengajar orang dari agama lain tetapi juga
belajar dari mereka. Baptisan bukanlah pertama-tama
menjadikan orang sebagai anggota gereja institusional
melainkan menegaskan keberadaan si penerima
baptisan dan pengajaran bahwa ia telah berada dan
ambil bagian dalam lingkungan keselamatan ilahi di
dalam Yesus. Penegasan ini mengandaikan bahwa
seseorang dapat tetap tinggal dalam agamanya.
Keberadaannya sebagai murid Kristus tidak merupakan
sebuah panggilan agar ia memutuskan hubungan
dengan agama semula dan beralih ke dalam agama
Kristen.
Pak Gerrit sampai pada sikap ini karena bagi
dia identitas Kristen tidak terletak pada berbagai
macam isme atau pada keanggotaan seseorang dalam
satu agama, seperti agama Kristen tetapi pada relasi
41

Lihat Bab IV hlm. 119.

Gereja Lintas Agama

109

yang hidup dengan pribadi Kristus.42 Dalam bukunya
yang lain, Pak Gerrit menegaskan bahwa batas antara
gereja (baca: para pengikut Kristus) dan dunia (baca:
agama-agama) bukan dalam hal moralitas, seolah-olah
para pengikut Kristus memiliki moralitas lebih dari
orang dalam agama lain. Tidak, perbedaan gereja dan
dunia terletak pada humilitas, yakni persekutuan dari
para murid-murid Tuhan, yakni iman kepada Kristus
yang tersalib seperti yang disaksikan dalam Galatia
6:11-16.43
Gereja Tanpa Dinding
Verne H. Fletcher dalam bukunya Lihatlah
Sang Manusia menegaskan bahwa belajar dari realita
Kerajaan Allah yang sudah mewujud dalam masa kini,
gereja dan para murid kristus harus mulai mendirikan
tanda-tanda keselamatan itu pada masa kini. Salah
satunya adalah dengan menjalani hidup tanpa
membangun
tembok-tembok
pemisah.44
Ini
Emanuel Gerrit Singgih. Iman dan Politik dalam Era
Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000,
42

hlm. 3.
43
Emanuel Gerrit Singgih. Berteologi dalam Konteks.

Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi di
Indonesia Jakarta/ Yogyakarta: BPK Gunung Mulia/Kanisua.

2000, hlm. 211.
44
Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu
Pendelatan pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2007. hlm. 143-4.

110

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

mengadaikan bahwa gereja haruslah menjadi
persekutuan orang-orang percaya tanpa dinding.
Mencermati pemikiran Pak Gerrit yang
dituangkan dalam buku-buku yang berkali-kali kita
kutip, kami mendapat kesan bahwa pemikiran Pak
Gerrit tentang gereja dalam kehidupan bersama di
Indonesia yang salah satu cirinya adalah kepelbagaian
agama dan adalah tabu untuk memandang agamaagama itu sebagai yang kafir adalah gereja yang tanpa
dinding. Memang Pak Gerrit sendiri tidak memakai
istilah itu. Istilah yang dipakai Pak Gerrit presensia,
kehadiran dan hidup yang dinamis di tengah-tengah
mereka yang lain.45 Julianus Mojau menjelaskan frasa
itu dalam kalimat berikut:46
Singgih menggariskan bahwa misi Kristen seperti
itu hanya akan sungguh-sungguh efektif apabila
umat Kristen Indonesia secara sungguh-sungguh
menjadikan diri mereka sebagai sebuah
komunitas iman yang terbuka dan dialogis, yang
dapat menerobos kebuntuan hubungan dengan
umat Islam.

Kami memilih ungkapan gereja tanpa dinding
untuk menggambarkan konstruksi eklesiologi yang ada
Emmanuel Gerrit Singgih. Dunia yang Bermakna.
Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama. Jakarta: BPK
45

Gunung Mulia. 1999. hlm. 20.
46
Julianus Mojau. Meniadakan atau Merangkul? hlm. 189.

Gereja Lintas Agama

111

dalam pikiran Pak Gerrit, betapapun Pak Gerrit sendiri
tidak eksplisit menyebutkannya karena kami
mengingat penegasannya yang sudah kita catat di
depan, yakni “Kelompok khusus berupa orang pilihan
ini belum tentu merupakan anggota-anggota dari satu
lembaga yang terorganisir secara ketat dan terartur.
Paling banyak kita hanya dapat mengatakan bahwa
eklesia dan eklektos berhubungan dengan persekutuan
tertentu.”47
Gerejanya Pak Gerrit adalah komunitas iman
yang terbuka dan dialogis, bukan sekedar sebuah
organisasi. Tanda dari keberadaan seseorang sebagai
pengikut Kristus, kata Pak Gerrit bukan pada soal
ritual tetapi pada tindakan yang dimotivasi oleh
ketulusan
dan
keteguhan
hatinya
untuk
mendahulukan kerajaan Allah dan kebenaranNya.48
Jelasnya kemuridan yang sejati atau Pak Gerrit
sendiri menyebutnya: kesempurnaan Kristen tidak
terletak pada ritual atau moral, tetapi pada kesaksian
hidup dengan jalan mempraktikkan Khotbah di Bukit
(Mengantisipasi Masa Depan: 206). Tindakan dan
perilaku hidup seperti itu tidak hanya ditemukan
dalam diri orang-orang yang secara statistik dan
administrasi beragama Kristen. Tidak sedikit orang di
Emanuel Gerrit Singgih. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi.
hlm. 241.
48
Itu adalah saripati dari artikel Emanuel Gerrit Singgih
tentang Khotbah di Bukti yang dimuat dalam buku.
Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 188-208.
47

112

Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo

luar kekristenan yang menjalani teladan hidup tadi.
Jadi, pengikut Kristus tidak harus otomatis menjadi
pemeluk agama Kristen.
Pendapat Pak Gerrit tadi dituangkan dalam
pembahasannya tentang Khotbah di Bukit yang
dikemas dalam judul Rumah di Atas Batu. Di awal
uraiannya Pak Gerrit mengajukan pertanyaan: “Apa
yng mewujudkan identitas iman Kristen kita? Apakah
baptisan atau tidakan?” (Mengantisipasi Masa Depan:
189). Pak Gerrit kemudian meminta pembaca untuk
menggumuli pertanyaan ini sambil merenungkan
uraiannya yang menyusul.
Jadi, gereja dalam pemahaman Pak Gerrit
adalah gereja tanpa dinding. Yang penting dari gereja
bukan ritus-ritusnya, bukan juga organisasi dan
aturan-aturan yang harus ditaati. Yang menjadi
identitas gereja adalah keterhubungannya dengan
Kristus. Keterhubungan itu bersifat terbuka, nampak
dalam tindakan dan perilaku hidup, tidak bisa dibatasi
hanya dalam satu agama atau gereja yang institusional.
Gereja yang terbuka adalah yang hadir dan
berada di tengah-tengah dunia ini, bukan
mengasingkan diri dari dunia ini. Dalam rangka
keterbukaan itu Pak Gerrit mencatat dua hal. Pertama,
gereja di Indonesia tidak bisa meneruskan sikap
proselitisme mutlak, yakni sikap yang menegaskan
bahwa dari antara agama-agama yang ada, pastilah ada
agama yang benar dan yang lain salah, sehingga agama
lain yang tidak benar itu sebaiknya bubar dan
Gereja Lintas Agama

113

anggotanya dibujuk menjadi anggota agama yang
benar (Mengantisipasi Masa Depan: 59).
Kedua, sebagai ganti proselitisme gereja perlu
membangun sikap presensia dan dialog.49 Para
pengikut Kristus perlu hadir di tengah-tengah
masyarakat, hidup bersama orang lain, bukan sekedar
hidup berberdampingan dengan orang dari agama lain.
Dalam pemahaman tradisional presensia gereja
diwujudkan dalam apa yang Pak Gerrit sebut tridarma
Gereja: marturia, koinonia dan diakonia. Mengingat
konteks Indonesia yang dicirikan dengan lima masalah
itu, Pak Gerrit lebih memilih diakonia sebagai wujud
presensia gereja yang paling kuat. Presensia gereja
dalam wujud diako